Penyiksaan itu “Makanan Pokok” Anggota Polisi Indonesia

>> Kamis, 29 Januari 2009

Kalau harus menceritakan lagi pengalaman yang pernah aku alami bukan hal yang mudah bagi diriku. Minimal aku harus membutuhkan energi dan menjadi “marah” lagi terhadap kejadian itu. Tapi ini adalah konsekuensi pilihan ku untuk menjadi seorang survivor.

Malam itu dimana aku mendapatkan perlakuan yang sangat tidak manusiawi oleh sekitar 7 orang aparat kepolisian Polsek Banda Raya Propinsi Nanggroe Aceh Darusalam.
Kejadian itu pada tanggal 21 – 22 Januari 2007. Berawal aku yang dituduhkan sebagai tersangka pelaku pencabulan.

Aku sebelum berada di kantor polsek Banda Raya mendapatkan pemukulan dari massa (masyarakat). Masyarakat melakukan tindakan main hakim sendiri karena aku dianggap melakukan tindakan amoral dikamar saya sendiri. Tadi nya aku berpikir bahwa pihak kepolisian akan melindungi aku dari amukan massa tersebut. Tapi harapan ku mendapatkan perlindungan dan keamanan dari pihak kepolisan hanya isapan jempol belaka. Setelah aku sampai di kantor polsek Banda Raya yang dibawah oleh anggota polisi. Aku benar – benar kaget karena tiba – tiba aku dipaksa untuk membuka baju dan celanaku. Iya aku diminta telanjang bulat begitu juga teman ku.

Dan kemudian aku diminta untuk saling memegang alat kelamin dengan teman ku. Aku disuruh oleh polisi berpelukan dan diminta memegang penis satu sama lain. Dan kemudian disuruh oleh polisi onani bersama – sama. Aku menolak dan protes atas tindakan itu, tapi apa yang aku dapat malah pemukulan dan hujatan – hujatan. Selain itu aku juga diminta untuk melakukan oral sex didepan polisi tersebut. Sambil kemudian polisi yang ada ditempat itu melihat adegan itu sambil tertawa – tawa. Dan sambil terus memukuli diri ku dan teman ku.

Aku bukan hanya diam, aku melakukan perlawanan dengan protes kepada pihak polisi. Bahwa aku sebagai tersangka dan polisi tidak berhak menyiksa aku seperti ini. Tapi bukannya aku dimasukan tahanan tetapi semakin pemukulan semakin diarahkan kepada diriku. Bukan cuma onani dan berpelukan saja yang dipaksakan kepada diriku, aku malah dipaksa oral sex didepan polisi. Selain itu aku kemudian disemprot dengan air dihalaman kantor Polsek pada dini hari (sekitar pukul 03.00 WIB). Tak kalah biadab nya polisi kemudian memerintahkan teman ku untuk mengencingi kepala ku. Benar – benar kejadian yang sampai sekarang tidak pernah bisa aku lupakan.

Aku dipukuli dan dilecehkan secara seksual dari mulai pukul 23.00 wib sampai 04.00 wib esok harinya. Belum puas anggota polisi melakukan penyiksaan terhadap diriku dan teman ku. Kemudian salah seorang anggota polisi menempelkan senjata laras panjangnya dibagian anus ku. Hujatan demi hujatan terus dilontarkan kepada diri ku dan teman ku sebagai orang yang dianggap tidak bermoral. Polisi melakukan penyiksaan yang sangat tidak manusia padahal aku masih dalam posisi tersangka. Belum sama sekali dilakukan penyidikan kepada diri ku. Aku diperlakukan tidak lebih buruk dari binatang.

Anggota polisi terus melakukan penyiksaan kepada diriku, setiap ada polisi yang baru datang kemudian dengan enak memukuli ku. Seperti sudah menjadi budaya dan mengidap sakit jiwa anggota polisi yang ada pada waktu itu.

Ironisnya dari semua polisi yang ada di tempat kejadian, tidak ada satu orang pun anggota polisi yang melarang penyiksaan itu terjadi. Paling hanya diam dan melihat adegan – adegan penyiksaan yang aku alami. Bukan cuma disiksa, barang – barang ku seperti hand phone juga disita oleh pihak kepolisian. Sehingga aku tidak dapat menghubungi teman dan saudara ku bahwa aku sedang disiksa oleh anggota polisi malam itu.

Pada saat pemeriksaan oleh petugas pagi harinya, aku pun menceritakan semua kejadiannya. Dari mulai kamar ku dirusak oleh massa, dipukuli sampai aku disiksa oleh anggota polisi. Kemudian pada saat aku diminta membaca hasil pemeriksaan. Aku tidak setuju karena pihak penyidik tidak menuliskan penyiksaan yang dilakukan oleh anggota polisi. Penyidik hanya menuliskan proses kepada aku dipukuli oleh massa. Sehingga aku keberatan untuk menanda tangani surat penyidikan itu. Padahal aku sudah menceritakan semua bahwa aku disiksa oleh anggota polisi di kantor Polsek ini. Tapi kemudian pihak penyidik mengatakan kepadaku bahwa kalau mau dituliskan penyiksaannya maka akan lama proses nya lagi. Waktu itu kondisi ku benar – benar sudah trauma sekali dengan penyiksaan yang terjadi tadi malam. Pikiran ku hanya satu bagaimana aku bisa keluar dari tahanan ini. Karena aku tidak sanggup membayangkan lagi kalau harus ditahan lagi. Pasti polisi akan melakukan penyiksaan lagi kepada diriku.

Pada saat pemeriksaan juga aku tidak didampingi oleh pengacara ataupun teman ku. Temanku yang ada pada waktu itu dilarang mendampingi ku. Kemudian aku juga tidak ditanya apakah aku akan memanggil seorang pengacara atau tidak.
Selain itu juga penyidik tidak menjelaskan kepada ku apa yang menjadi hak dan kewajibanku sebagai seorang tersangka. Belum lagi selama aku didalam tahanan (sekitar 16 jam lama) , saya tidak diberikan air dan makanan apapun sedikitpun. Kalaupun saya makan nasi itu dari uang saya sendiri yang dibantu dibelikan oleh anggota polisi.

Hand phone ku yang disita diberikan pada saat saya keluar dari kantor polisi sekitar pukul 16.00 wib pada tanggal 22 Januari 2007. Sedangkan penyitaan hand phone saya sekitar pukul 23.00 Wib tanggal 21 Januari 2007. Pada saat selesai penyidikan saya sebagai tersangka tidak diberikan bukti apapun apalagi berkas penyidikan. Karena menurut saya ini merugikan diri saya sebagai tersangka untuk proses selanjutnya.

Singkatnya kemudian aku bisa keluar dari tahanan atas bantuan teman – teman LSM Perempuan di Aceh. Dan aku keluar tanpa mengeluarkan uang. Tetapi mungkin sekali karena aku mendapat dukungan oleh banyak teman – teman LSM di Aceh. Mungkin jika aku dan teman ku saja mungkin akan lain ceritanya. Walaupun aku bebas tanpa membayar, tetapi masih ada seorang staff di kantor polsek tersebut yang meminta uang kepadaku sebesar Rp 150.000 rupiah. Memang pihak polisi tidak memaksa aku untuk memberi tetapi sudah terlalu malas sekali aku berurusan dengan polisi – polisi ini pikir ku. Sehingga daripada banyak cerita akupun memberikan uang itu yang tidak jelas untuk apa maksudnya.

Kemudian aku sebagai tersangka tidak terbukti dan akhirnya dikeluarkan oleh pihak kepolisian. Setelah aku keluar dari tahanan, aku pun melaporkan para pelakunya kepada pihak kepolisian. Walau teman ku yang juga disiksa melarang dan keberatan untuk memperpanjang kasus penyiksaan ini.
Tapi saya terus maju untuk menuntut para pelaku penyiksaan terhadapku. Dengan bantuan teman – teman LSM saya melapor ke kepolisian di Jakarta, tapi kemudian saya harus melapor ke propinsi kejadian (yaitu Nanggroe Aceh Darussalam) pada bulan Maret 2007. Karena ini aturan internal kepolisian, karena pelakunya pangkat / jabatannya masih rendah. Kecuali pelakunya adalah jabatan yang tinggi.

Pada saat melapor ke Polda NAD saya didampingi oleh pengacara LBH Banda Aceh dan YLBHI Jakarta. Dan proses penyidikan berjalan lancar dengan proses yang cepat dan pelayanan yang baik dari pihak kepolisian. Kemungkinan karena aku dibantu oleh salah seorang pekerja LSM International di Banda Aceh yang sangat dikenal oleh pihak kepolisian NAD. Selain juga aku didampingi oleh dua orang pengacara. Pada saat proses penyidikan saya dibantu oleh pengacara dan teman – teman LSM untuk melakukan advokasi bersama. Kami pun melakukan desakan untuk segara para pelaku ditindak tegas. Baik dari LSM Indonesia, Komnas HAM maupun pihak International. Padahal aku untuk memilih melaporkan para pelaku sebuah pilihan yang mungkin terlalu berat buat diriku. Karena pelakunya adalah polisidan penyidiknya juga para polisi.

Ada beberapa hal yang aku hadapi dalam melakukan penuntutan kepada pihak kepolisian,
Pertama : Penyidik hanya sibuk mencari saksi dalam hal ini temanku itu. Padahal temanku sudah ketakutan dan tidak tahu dimana tempat nya lagi. Dia sendiri sudah tidak bisa dikontak untuk diminta keterangan sebagai saksi. Polisi dalam hal ini penyidik tidak berusaha untuk mencari bukti – bukti lain untuk menjerat para pelaku penyiksaan tersebut. Misalnya bisa saja Kapolsek yang sudah jelas mengakui didepan teman – teman LSM Aceh bahwa anak buahnya memang melakukan penyiksaan. Selain ada banyak bukti dari teman – teman LSM yang tahu bagaimana aku diperlakukan selama di tahanan (walau itu pagi hari). Sehingga proses peradilan nya sampai tertunda – tunda, dari mulai awal Maret 2007 baru disidangkan pada tanggal 8 Oktober 2008. Penyidik terus saja meminta saksi teman saya untuk dapat hadir. Dan polisi bukan nya berusaha menemukan saksi tersebut tetapi malah meminta saya dan pengacara untuk menemukannya.

Kedua, pihak kepolisian pada saat menerima laporan dari ku sebagai korban penyiksaan. Ataupun aku sebagai tersangka tidak diberikan hasil penyidikan maupun terhadap hasil penyidikan kasusku. Begitu juga pada saat aku melaporkan pelaku penyiksaan tersebut. Yang aku terima hanya bukti bahwa aku telah melaporkan pelakunya. Walau aku sebelum menandatangi diminta untuk membacanya. Tetapi berkas laporan maupun penyidikan pelakunya, aku sebagai tersangka maupun korban tidak sama sekali diberikan. Ini menjadi sulit untuk melacak atau memonitoring proses penyidikan sampai pengadilan untuk melihat apakah ada mafia peradilan dalam hal ini.

Ketiga, pada saat saya melakukan pelaporan dan dilakukan test visum oleh dokter dalam hal ini psikiatri. Hasilnya juga tidak jelas dan sangat tidak indepent. Karena setelah saya diperiksa oleh seorang psikiatri. Pihak psikiatri kemudian melakukan rapat tertutup dengan pihak kepolisian yang sama sekali tidak melibatkan saya sebagai korban maupun kuasa hukum saya.

Ini menjadi rawan sekali hasil keputusan test visum tersebut karena pelaku penyiksaannya adalah pihak polisi. Akan sangat mungkin sekali bahwa hasil visum dari psikiatri tersebut dipengaruhi oleh pihak kepolisian. Selain itu juga hasil visum tidak diberikan kepada saya sebagai korban. Kemudian saya melakukan tes lain lagi (test psikologi) atas permintaan dokter psikiatri tersebut. Esok harinya. Dan saya diharuskan membayar sebesar (sekitar Rp 600.000, agak lupa besarannya) oleh pihak Psikiatri dalam hal ini kepala Rumah Sakit Jiwa Banda Aceh. Hasil test psikologi itu memang diberikan kepada saya. Tetapi saya tahu bahwa hasil test kedua ini tidak berhubungan dengan test visum pertama.

Ketiga, pada proses pengadilan justru aku sebagai saksi / korban malah oleh hakim aku diperlakukan tidak tidak adil lagi. Hakim malah menasehati aku. Hakim sudah seprti layaknya ulama. Misalnya bahwa apa yang aku lakukan merupakan dosa besar. Jadi Hakim malah masuk kepersoalan pribadi saya sebagai seorang gay. Bukan pada persoalan yang sedang diperkarakan. Dan hakim seperti membenarkan perlakuan penyiksaan tersebut. Dengan mengatakan bahwa kalau tidak dilakukan akan terjadi Tsunami lagi.
Hasil persidangan tindakan penyiksaan terhadap aku malah dijadikan Tindak Pidana Ringan (Tipiring). Yang memutuskan 4 orang anggota polisi bersalah. Tetapi tidak dihukum dalam tahanan dan hanya mengganti biaya Rp 1.000. Proses persidangannya dengan hakim tunggal (Sugeng Budianto, SH). Kemudian penyidik sekaligus menjadi jaksa penuntut yang juga dari pihak kepolisian (Sujono, S.sos).

Dari proses panjang yang terus aku lalui ini menjadi semakin sulit para tersangka untuk berani melaporkan pelaku penyiksaan. Selama ini para tersangka akan memilih diam dan beranggapan bahwa hal biasa apabila dilakukan penyiksaan kepada tersangka dalam proses pemyidikan. Seperti yang dikatakan teman saya itu.
Kalaupun harus melaporkan penyiksaan tersebut akan sangat sulit sekali mendapatkan keadilan. Seperti kasus yang aku alami ini. Belum lagi prosesnya yang sangat berbelit dan sulit sekali.
Sehingga dari mulai pihak kepolisian sampai hakim pun melakukan tindakan yang sama sekali tidak berpihak pada penegakan hak asasi manusia.

Sehingga menurut aku sebagai tersangka dan sekaligus korban penyiksaan mestinya harus ada kebijakan yang benar – benar membuat jerah para pelaku penyiksaan. Kemudian harus dipikirkan juga bagaimana seorang korban penyiksaan lebih aman dan berani melaporkan kasus – kasus penyiksaan yang dilakukan oleh kepolisian.


Dalam proses peradilan terutama menyangkut penyidikannya yang pelaku penyiksaannya adalah anggota polisi, harus ada cara bagaimana proses pengadilan itu dapat benar – benar adil. Karena pelaku penyiksaanya adalah polisi dan penyidiknya juga polisi (jeruk makan jeruk). Ini akan semakin rawan sekali terhadap indepent penyidikan berlangsung. Sehingga ini semakin sulit keadilan akan didapat oleh para korban penyiksaan seperti aku dan korban – korban yang lainnya. Belum lagi proses peradilannya dari data – data yang juga tidak transparan kepada publik. Sehingga sangat tidak fair kalau pihak polisi menuntut para korban penyiksaan dipersalahkan karena tidak melapor atau tidak mau menjadi saksi pada kasus penyiksaan yang dilakukan oleh anggota polisi.

Akhirnya muaranya adalah harus ada reformasi hukum dan adanya sistem pendidikan bagi kepolisian maupun hakim / jaksa bahwa penyiksaan itu tidak dapat dibenarkan dilakukan oleh siapapun dan dalam situasi apapun. Siapapun orangnya dia tidak berhak mendapatkan penyiksaan, apalagi masih sebagai tersangka. Mesti nya azas praduga tak bersalah harus dijunjung tinggi oleh lembaga peradilan di Indonesia.


Wasalam


Hartoyo
Diskusi Publik : Hak – hak Tersangka dan Terdakwa Dalam RUU KUHAP. Gedung LBH Jakarta, Jum’at, 30 Januari 2009

5 komentar:

joe 30 Januari 2009 pukul 11.33  

Jika kita baca buku “Kenapa Berbikini Tak LAnggar UU Pornografi,” (ada di gramedia) maka yang menolak UU POrn seharusnya mendukung, sebalilknya yang mendukung seharusnya menolak. Kenapa bisa begitu? Dunia memang sudah terbolak-balik. Biar kita tidak terbolak-balik juga, maka buku di atas sangat penting tuk dibaca.

Gay Indonesia 30 Januari 2009 pukul 17.10  

JOe seperti nya kamu tidak begitu paham maksud dari kelompok yang menolak UU Porno. Setahu saya kelompok menolak, keberatan jika perempuan dipaksa berbikini, tetapi juga menolak perempuan dipaksa mengunakan pakaian yang ditutup rapat - rapat. Beda dengan yang mendukung, menolak berbikini tetapi memaksa harus menutup rapat - rapat.

Mau berbikini atau menutup rapat - rapat semua hak perempuan sendiri. Negara tidak boleh memaksa pakaian perempuan.

Salam

Toyo

Vadley 24 Agustus 2009 pukul 14.27  

Crazy!!

Kamu benar seharusnya mereka melindungi kamu dari amuk massa, bukan justru menganiaya kamu.
x((

Apakah tidak ada peraturan khusus tentang kaum Gay di Indonesia??..

www.balimoneveil.blogspot.com 27 Mei 2016 pukul 09.43  

Jika cerita ini nyata, sungguh prihatin dengan hukum yang nyata nyata tidak bisa menyentuh kalangan tertentu di wilayah tertentu

Anonim 16 Juni 2016 pukul 04.35  

Sama nih aku pernah kena kasus narkoba, Di polsek aku disuruh mengonani beberapa polisi. Anjing banget, dasar homo