Kemajuan HAM di Indonesia

>> Kamis, 25 Juni 2009

PERATURAN KEPALA KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 8 TAHUN 2009 TENTANG IMPLEMENTASI PRINSIP DAN STANDAR HAK ASASI MANUSIA DALAM PENYELENGGARAAN TUGAS KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

Pasal 4
Konsep dasar perlindungan HAM, antara lain:

h. HAM tidak membedakan ras, etnik, ideologi, budaya/agama/keyakinan, falsafah, status sosial, dan jenis kelamin/orientasi seksual, melainkan mengutamakan komitmen untuk saling menghormati untuk menciptakan dunia yang beradab;

Pada pasal 4 ini sudah dituliskan secara jelas soal orientasi seksual.

Kemudian kemarin baru saja Amnesty International melaporkan kasus penyiksaan di Indonesia yang dilakukan oleh Polisi, ini linknya, buka yang bagian Indonesian Policed Criticed versi videonya. http://australianetworknews.com/

Memang ini proses panjang tapi minimal ini menunjukkan ada upaya gerakan bersama untuk menghargai hak2 asasi manusia atas dasar apapun.

Salam


Toyo

Read more...

Kritisi Isi Piagam Perempuan Di Aceh (PPdiA)

>> Senin, 08 Juni 2009

Di Deklarasikan Pada Tanggal 11 November 2008

Yang Mendasari PPdiA adalah :
1.Keadilan bagi Perempuan sesuai dengan prinsip-prinsip dasar Islam yang berkeadilan, musyawarah, persamaan, toleransi, keberagaman dan perdamaian.
2.Bahwa Nilai-nilai Islam yang damai dan Rahmatan Lil’alamin.

Dengan demikian tidak ada lagi upaya-upaya yang merendahkan serta meminggirkan peran perempuan dalam segala bidang kehidupan, karena perempuan adalah warga Negara yang bermartabat sebagaimana layaknya laki-laki.

Kelemahan isi PPdiA:

1.Pada pasal 2 ayat 2 mengatur jaminan khusus pendidikan bagi perempuan di Aceh (PdiA) yang beragama Islam. Mengapa hanya PdiA yang muslim, bagaimana dengan PdiA yang non muslim? Mengapa kelompok yang minoritas ini justru tidak dilindungi secara khusus? Ayat ini bertentangan dengan prinsip2 dasar Islam yaitu berkeadilan dan keberagaman. Serta isi pasal ini tidak sejalan dengan pasal 5 ayat 1, bahwa tidak boleh membedakan atas suku, agama, ras, kelas dan pilihan politik.

2.Pasal 5 ayat 2 menjadi rancu dan tidak tegas karena membolehkan PdiA diakui sebagai kepala keluarga pada kondisi tertentu. Bukankah persoalan kepala keluarga selama ini sangat gender, dimana hanya otoritas laki-laki saja. Ini kan yang selama ini terjadi. Kita tahu ada banyak dampak buruk bagi perempuan dan laki-laki karena konstruksi bahwa kepala rumah tangga adalah laki-laki? Misalnya perempuan diharuskan menjadi ibu rumah tangga, perempuan mendapatkan upah yang rendah dalam bekerja karena dianggap bukan penangungjawab keluarga. Selain itu bagi laki-laki sendiri merasa tidak percaya diri kalau pendapatkannya lebih kecil daripada istrinya. Atau juga ada banyak laki-laki menjadi depresi karena harus menjadi “bapak rumah tangga”, karena dianggap tidak berarti sebagai seoarang laki-laki yang notabenenya sebagai kepala rumah tangga. Sehingga kewajiban bahwa laki-laki harus menjadi kepala rumah tangga dan perempuan menjadi ibu rumah tangga ditolak keras oleh perjuangan hak-hak perempuan. Artinya pasal ini semakin meneguhkan bahwa laki-laki adalah kepala rumah tangga. Sehingga pasal ini bertentangan dengan prinsip dasar dari Islam itu sendiri yaitu persamaan dan berkeadilan bagi setiap manusia.

3.Pasal 7 ayat 3 menjelaskan bahwa PdiA dapat menentukan pasangan hidup sendiri berdasarkan aturan agama yang dianutnya, untuk aturan agama yang versi mana? Bukankah aturan agama akan berhadapan dengan tafsir dan ijtihad manusia. Dan itu sangat beragam sekali. Kita tahu bahwa selama ini tafsir dalam konteks Islam sangat partriarki sekali. Sehingga pasal ini lagi-lagi akan “menjerat” PdiA dalam kubangan ketidakadilan bagi PdiA sendiri. Misalnya saya ambil contoh untuk kasus pernikahan beda agama akan menjadi persoalan kalau berhadapan dengan aturan agama yang partriaki dan anti keberagaman. Maka ruang pernikahan beda agama kemungkinan besar akan tertutup rapat bagi PdiA. Padahal PdiA diberikan kebebasan menentukan pasangan mana yang terbaik bagi dirinya. Jadi pasal ini jelas tidak konsisten dengan perjuangan hak-hak perempuan.

4.Pasal 8 ayat 5 alasannya sama dengan pasal 7 ayat 3, soal syariat Islam itu akan berhadapan dengan tafsir yang biasanya sangat partriakis untuk persoalan perjanjian pernikahan.

5.Pasal 10 ayat 4, mengapa karena kejahatan seksual saja? Bagaimana jika hamil bukan karena kejahatan seksual dan bukan juga karena pernikahan dini sesuai dengan ayat 5 nya? Apakah ruang bagi perempuan akan selesai untuk pendidikannya? Seharusnya dalam pasal ini tegas saja bahwa perempuan hamil yang sedang menempuh pendidikan formal berhak mendapatkan fasilitas melanjutkan pendidikanya. Jadi tidak akan mempersoalkan mengapa perempuan itu hamil sebabnya apa! Karena pendidikan adalah hak dasar setiap perempuan. Mau hamil atau tidak bukan alasan untuk diberhentikan dari sekolah formal.

6.Pasal 10 ayat 7 sebuah kemajuan karena ada pendidikan pranikah, tapi jika tidak ada “konsep” yang berpihak pada perempuan maka justru akan membahayakan bagi posisi perempuan. Karena lagi-lagi dilekatkan sesuai ajaran agamanya. Misalnya informasi soal kesehatan reproduksi bagi perempuan dan laki-laki sangat penting bagi pasangan pranikah. Misalnya soal informasi HIV dan AIDS atau Kespro lainnya. Karena informasi soal ini tidak harus dilekatkan dengan “ajaran” agama. Kalau informasi soal relasi antara perempuan dan laki-laki dalam rumah tangga sudah diatur dalam pasal 10 ayat 8, ini sebuah kemajuan yang baik sekali. Karena yang lebih penting adalah melihat kualitas dari pendidikan pranikah itu baik dilakukan oleh lembaga agama maupun pemerintah. Kita juga tahu bahwa pendidikan pranikah yang dilakukan selama ini sangat partriarki sekali.

7.Pasal 11 ayat 8 kata “mengalami” Poligami apakah memberikan arti buruk atau merugi? Karena poligami sebagai sebuah tindakan kekerasan. Mengapa tidak langsung mengatakan misalnya perempuan korban Poligami dijamin hak-haknya secara adil. Sehingga jelas sekali posisi piagam ini soal poligami. Bila perlu memasukan pelaku poligami mendapatkan sanksi secara hukum. Atau larangan untuk melakukan poligami. Piagam ini menunjukkan “abu-abu” sikapnya dalam melihat persoalan poligami yang jelas-jelas sebuah tindakan kejahatan kemanusiaan atas nama agama.

8.Bagaimana melihat persoalan talak bagi perempuan selama ini? Apakah talak yang terjadi selama ini cenderung merugikan perempuan? Kalau faktanya bahwa talak banyak merugikan perempuan. Mengapa tidak mencari cara untuk mengatakan bahwa talak yang semena-mena adalah sebuah tindakan yang tidak boleh dalam perkawinan. Memang mesti dicari cara lain soal talak sehingga adil bagi keduanya (perempuan dan laki2) dalam proses perceraian. Karena ironis saja kalau kita tahu bahwa talak selama ini merugikan perempuan tapi kita masih saja memberikan ruang soal praktek talak ini. Ini hampir sama konteksnya pada persoalan Poligami, nikah sirih yang ada dalam piagam ini. Kalau sudah terbukti bahwa merugikan perempuan, ya harus tegas untuk ditolak praktek-praktek tersebut. Karena sepengetahuan saya bahwa talak itu salah satu “alat” kuasa laki-laki (suami) dalam perkawinan. Kemudian pasal ini juga mengabaikan persoalan perceraian bagi PdiA non muslim. Karena dalam ajaran non muslim(baca Kristen dan Khatolik) sangat sulit melangsungkan perceraian. Dan faktanya banyak merugikan perempuan selama ini. Mestinya Piagam ini juga dapat melihat persoalan diluar perempuan non muslim.

9.Pasal 11 ayat 13 satu kemajuan besar soal pernikahan yang tidak tercatat, tapi mengapa hanya pada kondisi khusus saja? Banyak perempuan yang menikah tidak tercatat itu karena multifaktor. Istilah kondisi khusus menjadi sulit mengukurnya. Semestinya tegas saja bahwa pernikahan yang tidak dicatatkan dalam kondisi apapun PdiA berhak memperoleh dokumen perkawinan yang syah.

10.Pasal 12 ayat 3 bukankah selama ini tubuh perempuan dikontrol oleh laki-laki(baca suami) untuk memutuskan apakah ingin KB, Hamil atau tidak? Bukankah ini yang menjadi persoalan bagi perempuan sendiri. Sehingga aturan pada ayat ini sama sekali tidak menjawab persoalan perempuan selama ini. Karena masih ada kata persetujuan bersama suami? Bukan kah kita tahu bahwa relasi kuasa suami dan istri itu banyak yang tidak setara. Mestinya PdiA berhak menentukan sendiri tanpa atau persetujuan suami. Jadi kalau ada istri yang tidak disetujui suami atau tidak bertanya dengan suami, perempuan itu berhak menentukan apakah ingin hamil, KB atau tidak! Ini masalah Kespro dan hak tubuh perempuan (personal is political). Dalam ayat ini tergambar sekali bahwa perempuan tidak sama sekali mempunyai otoritas penuh terhadap tubuhnya sendiri. Dan pertanyaannya mengapa hanya perempuan yang harus mendapat persetujuan dari suami? Belum lagi mengapa harus perempuannya yang diatur dalam soal Kespro ini ? Jika tidak hati2 justru akan menempatkan perempuan objek dalam konteks ayat ini. Ini adalah PPdiA bukan berarti perempuannya yang harus “diobok-obok” semua. Ada beberapa hal yang harus “dibebankan” pada pada tubuh laki-laki misalnya dalam konteks KB.

11.Pasal 12 ayat 4 soal aborsi atau tidak harusnya hak sepenuhnya perempuan. Jadi bukan karena pemerkosaan saja. Tapi hamil yang tidak diinginkan oleh perempuan itu sendiri. Sehingga perempuan berhak melakukan aborsi atau tidak terhadap kehamilannya sebelum jangka waktu 40 hari dan berhak mendapatkan pelayanan yang aman bagi perempuan. Jadi tidak harus atas rekomendasi atau visum dokter. Meneruskan atau tidak meneruskan hamil adalah sepenuhnya hak perempuan untuk memutuskannya. Kalau konsultasi dengan pihak lain seperti dokter, teman, keluarga ataupun suami hanya sebagai pendapat saja. Tapi keputusan akhir ada pada perempuan sendiri. Dan Negara wajib memberikan pelayanan yang aman untuk aborsi tersebut. Kata pemerkosaan sudah pasti akan dipahami oleh banyak orang pelakunya adalah orang yang bukan suaminya resmi. Padahal pemerkosaan juga banyak terjadi dalam rumah tangga. Sayangnya persoalan yang dilakukan oleh suami sulit sekali diungkap karena dianggap tabu dan aib bagi keluarga. Belum lagi kalau sudah dilekatkan dengan dosa karena membuka “aib” suami. Ini lah yang terjadi pada perempuan selama ini.


12.Pasal 12 ayat 6, ada kata “DIJAMIN” kalau makna dijamin artinya wajib atau harus maka menjadi tidak adil bagi PdiA. Tapi kalau maknanya dijamin itu artinya disediakan tetapi PdiA boleh memilih apakah akan menggunakan para medis perempuan atau tidak? Maka kata dijamin itu menjadi baik sekali. Karena bagi perempuan yang utama adalah pelayanan yang aman dan nyaman dalam soal kespro. Bukan cuma soal paramedisnya perempuan saja. Untuk apa kalau paramedisnya perempuan tapi tidak aman misalnya?

13.Pada pasal 12 ayat 7 sayang tidak dimasukan persoalan hak cuti haid bagi perempuan. Karena haid juga bagian dari kesehatan reproduksi bagi PdiA.

14.Pada pasal 13 politik perempuan tidak sama sekali disinggung soal perempuan minoritas yang diaceh atas hak partisipasi dalam politik. Pasal ini sangat netral padahal ada banyak perempuan potensi yang berasal dari kelompok minoritas. Misalnya perempuan non muslim, perempuan ODHA, perempuan Lesbian, perempuan muslim tidak menggunakan jilbab, perempuan pekerja sex komersil, perempuan diffabel. Karena piagam ini menyangkut soal hak perempuan mestinya jauh lebih melihat persoalan PdiA yang paling terpinggirkan sehingga menjadi perempuan ini dapat duduk setara dalam politik di publik.

15.Pasal 16 ayat 1 ada kalimat yang tidak melanggar martabat perempuan? Kalimat ini akan memungkinkan sekali merugikan perempuan sendiri. Karena selama ini kalau bicara martabat selalu dengan kepentingan partriarki. Dan ayat ini nantinya akan berbenturan dengan ayat 2 dan 4 yang bicara bahwa budaya dan seni sesuai dengan pengalaman perempuan, serta bebas mengepresikan diri. Bagaimana mau mengekpresikan diri kalau belum apa-apa dibatasi/dipagari dengan kata MARTABAT. Karena akan bisa dibalikkan kembali bahwa budaya ini merendahkan Martabat perempuan. Tapi lagi-lagi ukurannya dengan kaca mata partriarki. Karena kita tahu bahwa tubuh perempuan selalu menjadi ajang pertarungan soal moral dan tidak moral, bermartabat dengan tidak bermartabat. Ayat ini berpotensi masuk dalam ranah tersebut.

16.Khusus untuk pasal 18 ayat 2, ini bisa menjadi perhatian khusus bagi gerakan perempuan. Karena baru2 ini ada kejadian satu lembaga perempuan di Aceh membuka lowongan kerja dengan syarat “diutamakan yang belum menikah”. Pada pasal ini dengan tegas bahwa PdiA tidak boleh dibatasi dengan alasan status perkawinan, kehamilan, keguguran, dan/atau mengalami masalah lainnya berkaitan dengan Kespro. Mestinya masyarakat sipil menjadi kelompok yang pertama untuk menerapkan isi piagam yang sesuai dengan gerakan perjuangan hak-hak perempuan tersebut. Mengapa kemarin itu saya sangat keberatan dengan syarat itu, piagam ini sudah jelas sekali mengatur bahwa itu adalah tindakan yang tidak dibolehkan.

17.Piagam ini kurang banyak meyinggung persoalan kelompok2 perempuan minoritas yang selama ini dipinggirkan dan dirugikan. Misalnya soal pekerja rumah tangga, buruh migrant perempuan, perempuan non muslim, perempuan non etnis Aceh, perempuan pekerja sex, perempuan pekerja salon. Walau ada disinggung soal perempuan pecandu, perempuan kebutuhan khusus dan ODHA.

18.Kemudian piagam ini juga tidak menyinggung sama sekali soal kebijakan-kebijakan yang mengatur tubuh perempuan. Seperti aturan kewajiban berjilbab atau hukuman jambuk didepan umum bagi perempuan sama sekali tidak disinggung. Padahal ini menjadi persoalan “spesifik” di propinsi NAD.

19.Selain itu PPdiA tidak menyikapi secara serius soal pernikahan dini bagi anak khususnya perempuan. Padahal ini persoalan yang sangat penting menyangkut masa depan anak perempuan. Karena pernikahan dini masih banyak dilegalkan atas nama agama maupun adat istiadat.

20.Untuk pasal atau ayat yang tidak saya sebutkan dalam piagam ini artinya bahwa pasal dan ayat itu tidak bermasalah menurut saya. Atau mungkin saja saya kelewatan atau kurang sensitive melihat bahwa pasal itu bermasalah bagi PdiA.

Akhir kata saya tidak menolak penerapan Syariat Islam yang sesuai dengan nilai-nilai dasar Islam yaitu berkeadilan, musyawarah, persamaan, toleransi, keberagaman, perdamaian dan Rahmatan Lil’alamin (rahmat bagi semua alam).
Tapi saya akan TOLAK dan LAWAN penerapan Syariat Islam yang Partriaki serta tidak berdasarkan nilai-nilai dasar Islam, karena itu akan menyalahi substansi ajaran Islam sendiri.



Wasalam


Toyo

Kalibata, 7 Juni 2009



Catatan Tambahan:

PPdiA berisi 18 pasal yang terdiri dari 78 ayat.

Penanda Tangan PPdiA adalah :
1. Bapak Irwandi Yusuf (Gubernur NAD)
2. Bapak Sayed Fuad Zakaria (Ketua DPRA)
3. Prof. Dr. Tgk. H. Muslim Ibrahim, MA (Ketua MPU NAD)
4. Mayor Jenderal Soenarko (Pangdam Iskandar Muda)
5. Irjen Polisi Drs. Rismawan,MM (Kapolda NAD)
6. Yafizham, SH (Kepala Kejaksaan Tinggi Aceh)
7. Badruzzaman Ismail,SH, M.Hum (Ketua Majelis Adat NAD)
8. Drs. HM. Saleh Puteh, SH (Ketua Mahkamah Syariah NAD)
9. Dra. Hj. Raihan Putry Ali Muhammad, M.Pd (Kepala BPP dan PA NAD)
10. Darwati A.Gani (Ketua Penggerak PKK NAD)
11. Nurul Akmal, SE ( Ketua Komite Perempuan Aceh Bangkit)
12. Tgk. H. Muhammad Faisal Ali (Tim penyusun “PPdiA”)
13. Marcus Lange (Principal Advisor GTZ PAS NAD)

Tim Penyusun :
1. Prof. Dr. H. Rusjdi Ali Muhammad, SH (Dosen Fak. Syariah IAIN Ar-Raniry)
2. Tgk. H.Muhammad Faisal Ali (Sekretaris Himpunan Ulama Dayah Aceh NAD
3. Khairani Arifin, SH, M.Hum (Sekjen RPUK)
4. Dr. Nurjanah Ismail, M.Ag (Majelis Balai Syura Ureung Inong Aceh)
5. Suraiya Kamaruzzaman. ST,LLM (Ketua Dewan Pengurus Flower Aceh)
6. Drs. H. Soufyan M. Saleh, SH (Ketua Pengadilan Agama Banten)
7. Dra. Hj.Rosmawardarni,SH (Sekretaris Yayasan Putroe Kandoe)
8. Faizah, SP (Sekretaris KPAB)
9. Cut Sri Rozanna (Ketua Forum Kerjasama Lembaga Pemerintah dan Masyarakat Madani NAD )

Para Pembaca Kritis:
1. Prof. Dr. Tgk. H. Muslim Ibrahim, MA (Ketua MPU NAD)
2. Prof. Dr. H. Alyasa Abubakar, MA (Fak Syariah IAIN Ar-Raniri)
3. Prof. Dr. Syahrizal, MA (Tenaga Ahli Gubernur NAD)
4. Dra. Hj. Raihan Putry, M.Pd (Kepala BPP dan PA NAD)
5. Hj. Illiza Sa’aduddin Jamal, SE (Wakil Walikota Banda Aceh)
6. Badruzzaman Ismail,SH, M.Hum (Ketua Majelis Adat NAD)
7. Mawardi Ismail,SH, M.Hum (Dekan Fak.Hukum Unsyiah)
8. Saifuddin Bantasyam, SH.MA (Direktur Eksekutif Yayasan Peduli HAM)
9. Nursiti, SH. M.Hum (Sekjen Balai Syura Ureung Inong Aceh)
10. Dra. Laylisma Sofyati (Pengiat Masalah Perempuan)
11. Syarifah Rahmatillah, SH (Direktur MiSPI)
12. Asmawati (LINA)
13. Samsidar (Direktur ICTJ)
14. Ita F.Nadia (Tenaga Ahli BRR NAD-Nias)
15. Debra H. Yatim (Komseni)

Read more...

Sterilisasi Pada Perempuan ODHA

Baru saja ada kegiatan pertemuan forum United Nations General Assembly Special Session (Ungass), satu forum LSM yang fokus untuk perjuangan hak-hak kelompok HIV dan AIDS. Yang akan membuat laporan bayangan kepada PBB atas perkembangan HIV dan AIDS di Indonesia. Dalam pertemuan tersebut ada banyak perwakilan LSM AIDS dari berbagai daerah, mulai Aceh sampai Papua. Termasuk perwakilan dari kelompok gay, perempuan dan pecandu.

Tapi untuk kali ini aku share tentang persoalan perempuan. Misalnya salah seorang perempuan ODHA punya pengalaman bagaimana dia “dipaksa” oleh para medis untuk melakukan sterilisasi. Artinya kalau ada perempuan muda yang positif biasanya akan diminta untuk melakukan sterilisasi. Dan dampaknya perempuan itu tidak akan bisa hamil dan melahirkan selamanya . Dimana indung telurnya akan dipotong. Dan akan menjadi perempuan mandul sepanjang hidupnya. Menurut temanku banyak yang dilakukan dengan cara “pemaksaan” yang dilakukan oleh para medis. Alasannya Cuma satu supaya memutus penularan HIV dan AIDS pada anak-anak yang dilahirkan.

Padahal kalau ada perempuan yang terinfeksi HIV dan masih produktif bisa saja akan melahirkan anak yang negative. Artinya anak tidak tertular HIV dan AIDS dari orang tuanya.

Walau kedua orang tua anak tersebut positif HIV dan AIDS. Nama progamnya adalah PPTCT (Prevention Parents To Child Transmition).

Jika tidak dilakukan intervensi terhadap ibu hamil HIV-positif, risiko penularan HIV dari ibu ke bayi berkisar antara 25 – 45 persen. Di negara-negara maju, risiko penularan HIV dari ibu ke bayi telah turun menjadi hanya sekitar 1-2 persen sehubungan dengan majunya tindakan intervensi bagi ibu hamil HIV-positif, yaitu layanan konseling dan tes HIV sukarela, pemberian obat antiretroviral profilaksis, persalinan seksio sesarea, dan pemberian susu formula untuk bayi. Di Amerika Serikat, antara tahun 1997 hingga 1999, kasus HIV/AIDS melalui jalur penularan dari ibu ke bayi turun sebanyak 66 persen.

Jadi jika program PPTCT tersebut dilakukan oleh kedua pasangan dengan benar menjadi tidak perlu kuatir akan melahirkan anak yang positif. Dan biasanya kegagagalanya juga karena persoalan yang dapat dicegah oleh kedua calon orang tuanya. Misalnya pada saat melahirkan tidak dengan caesar atau perlakuannya terlambat, tidak teraturnya konsumsi ARV.

Menurut Pedoman Nasional Pencegahan Penularan HIV dari ibu ke anak ada beberapa program untuk mencegah terjadinya penularan HIV dari ibu ke bayi, yaitu:
 
1.      Mencegah terjadinya penularan HIV pada perempuan usia reproduktif;
2.      Mencegah kehamilan yang tidak direncanakan pada ibu HIV-positif; 
3.      Mencegah terjadinya penularan HIV dari ibu hamil HIV-positif ke  bayi yang dikandungnya;
4.      Memberikan dukungan psikologis, sosial dan perawatan kepada ibu HIV  positif beserta bayi dan keluarganya
 
 
 
 

Tindakan sterilisasi yang dilakukan oleh para medis tanpa memperhatikan hak-hak perempuan, maka ini adalah sebuah kejahatan kemanusiaan bagi perempuan. Belum lagi kita akan bertanya mengapa harus perempuan? Dan mengapa harus ada program sterilisasi? Ini sama saja dengan program “pengkebiran” pada masa raja-raja dahulu. Ini sangat ditentang dalam Konvensi International yang sudah dirativikasi oleh Negara Indonesia.

Praktek-praktek yang sangat tidak manusiawi masih saja dilakukan di Indonesia oleh para medis secara “legal” atas nama pencegahan HIV dan AIDS. Apapun alasannya bahwa pemandulan terhadap setiap manusia tidak dapat dibenarkan khususnya pada perempuan ODHA (Orang Dengan HIV&AIDS) Terlepas apakah atas “kesadaran” perempuan tersebut atau atas pemaksaan dari pihak lain. Praktek biadab itu harus segera dihapuskan oleh Negara untuk menjunjung tinggi hak asasi manusia khususnya perempuan ODHA.

Wasalam

Hartoyo


Sarinah, 30 Mei 2009

Read more...

Profile OurVoice

>> Jumat, 05 Juni 2009

Our Voice

Penguatan Eksistensi Diri

Our Voice adalah satu organisasi untuk kelompok gay dan biseksual laki – laki. Bentuk organisasinya perkumpulan yang keanggotaannya terdiri dari kelompok gay dan biseksual laki – laki serta orang – orang yang peduli dengan visi dan misi yang sama.

Our Voice di inisiasi oleh beberapa orang gay yang ingin melakukan sesuatu bagi kelompknya sendiri. Baik untuk menguatkan diri sendiri maupun untuk melakukan advokasi hak – hak kelompok gay dan biseksual laki – laki di Indonesia.

Our Voice mempunya nilai-nilai yang terus akan di Internalisasi kepada semua

anggotanya. Nilai – nilai tersebut antara lain:

a. Demokrasi

b. Egaliter

c. Kemandirian

d. Non diskriminasi

e. Pluralisme

f. Transparansi

g. Non kekerasan

Visi Our Voice

Menjadi pusat pendidikan dan pengorganisasian untuk perjuangan hak hak kelompok gay dan biseksual laki – laki yang setara di Indonesia.

Misi Our Voice

  1. Membangun keberdayaan bagi kelompok gay dan biseksual laki – laki melalui pendidikan kesadaran kritis.
  2. Mengembangkan pusat informasi mengenai persamaan dan keadilan bagi kelompok gay dan biseksual laki – laki dengan pendekatan berbasis Hak Asai Manusia.
  3. Mendorong penerimaan masyarakat terhadap kelompok gay dan biseksual laki – laki sebagai bagian dari masyarakat yang setara.

Kegiatan Our Voice

a. Memberikan pendidikan kepada kelompok gay dan biseksual laki – laki dan masyarakat umum tentang seksualitas, kesehatan reproduksi, gender, pluralisme dan HAM.

b. Melakukan pengorganisasian bagi kelompok gay dan biseksual laki – laki untuk membangun kesadaran kritis

c. Melakukan kampanye dan advokasi kepada publik untuk isu hak - hak kelompok gay dan biseksual laki – laki di Indonesia maupun International.

d. Melakukan penelitian dan publikasi persoalan yang menyangkut hak – hak kelompok gay dan biseksual laki – laki

Kegiatan On Going

  1. Melakukan pengorganisasian melalui millis Ourvoice untuk kelompok gay dan biseksual di Indonesia
  2. Membuat tulisan artikel yang bertema soal isu Gay dan biseksual laki-laki yang akan diterbitkan oleh Gramedia Kompas.
  3. Mengelola perpustakaan sebagai bagian dari kapasitas bagi kelompok gay dan biseksual laki-laki di Jakarta
  4. Melakukan penelitian advokasi anggaran HIV dan AIDS di tingkat DKI Jakarta, bekerjasama dengan Seknas FITRA
  5. Membuat media kampanye IDAHO dan Yogyakarta Prinsiple yang akan disebarkan kepada LSM dan masyarakat melalui youtube.

Pendiri OurVoice

1. Hartoyo (Ketua)

2. Harry Kurniawan (Pengawas)

3. Heryadi Tedja (Sekretaris)

4. Pardamean Napitu (Bendahara)

5. Rudolf Bastian Tampubolon

Badan Pengawas

1. Nursyahbani Katjasungkana (Ketua)

2. Darmiyanti muchtar

3. Irwan M Hidayana

4. Harry Kurniawan

5. Prof. Siti Musdah Mulia

Kontak Our Voice

Jl. Mampang Prapatan 11 No. 16 A Jakarta Selatan 12790

Telp : 021-92138925

Kontak Person : Hartoyo (081376192516)

Email : ourvoice_ind@yahoo.com

Read more...