Diskusi Pernikahan Beda Agama

>> Senin, 02 Februari 2009

Pada tanggal 31 Januari 2009 telah dilakukan beda buku soal Perkawinan Beda Agama yang tulis oleh Muhammad Munif dan Ahmad Nurkholis. Buku ini diterbitkan oleh Gramedia Pustaka. Buku ini ditulis didasari dari pengalaman penulis tentang pengalaman pernikahan nya (Ahmad Nurkholis). Nurkholis ini adalah putra dari cendekiawan muslim Indonesia ( Nurkholis Madjid).

Acara beda buku menghadirkan Prof Musdah Mulia (Muslim), Pendeta Saut Sirait ( Kristen) dan Bapak Herman (pemuka agama Budha) sebagai pembedah.
Sedangkan pelaksana kegiatannya adalah Kompas Gramedia dan ICRP di Istora Senayan bersamaan dengan acara pameran buku yang diselenggarakan oleh Kompas Gramedia dari mulai tanggal 28 Januari - 1 Februari 2009.

Awalnya aku berpikir bahwa acara ini akan dihadiri oleh banyak LSM penggiat HAM dan pluralisme. Waktu itu aku datang terlambat ke ruangan. Karena sebelumnya melihat - lihat stand buku murah digedung pameran. Waktu menunjukkan pukul 14.30 WIB, aku pun mencari dimana ruangan diskusi Beda Agama ini dilaksanakan.

Akhirnya aku sampai disatu barisan orang yang panjang sedang mengantri masuk di ruangan Kenanga 4. Awal nya aku pikir apakah ruangan ini yang dijadikan tempat diskusi. Tapi kenapa pesertanya kebanyakan dari teman - teman etnis tionghoa dan beberapa pasangan yang aku yakin sekali mereka dua orang yang berbeda latar belakang agama. Misalnya ada yang laki - laki wajah "jawa" dengan perempuan berwajah tionghoa. Dan ada perempuan menggunakan simbul kristen dan dengan laki - laki yang sedikit menunjukan bahwa dia adalah muslim. Pokoknya agak beda aura peserta yang selama ini aku ikuti.

Aku semakin yakin bahwa ini adalah ruangan diskusi nya. Setelah aku tahu bahwa di meja ada buku pernikahan beda agama. Kemudian aku bertanya kepada penjaga meja benarkah ini tempat diskusi publik tersebut? Panitia menjawab bahwa benar ini ruangan diskusi nya.

Wow, aku pikir keren banget ini diskusi banyak dihadiri oleh banyak orang. Dan yang membuat aku senang tidak satu orang pun yang antri itu aku kenal. Terus aku berpikir kenapa teman - teman LSM tidak banyak yang hadir ya. Setelah aku masuk ruangan, sempat melihat - melihat teman yang hadir dalam ruangan tersebut. Baru aku menemukan ada teman - teman ICRP yang hadir.

Umumnya yang aku lihat peserta nya adalah orang - orang berpasangan (laki - laki dan perempuan). Yang sangat mungkin sekali mereka umumnya pasangan atau mungkin sedang pacaran. Termasuk orang - orang yang duduk disebelah bangku ku, baik di depan maupun di samping kanan dan kiri ku. Wah kok pada pasangan semua ya, pikirku.
Kemudian aku berpikir ini pasti adalah pasangan - pasangan yang mempunyai keyakinan yang berbeda. Memang umumnya adalah anak - anak muda. Walau ada sebagian yang sudah tua.

Acara di mulai sekitar pukul 15.15 WIB, telat 15 menit dari yang sudah direncanakan. Acara dimulai dengan penyampaikan pandangan dari Gramedia alasan mengapa mau menerbitkan buku ini. Intinya menurut Gramedia bahwa pandangan sesuatu itu bukan yang mutlak. Dapat dilihat kembali dalam konteks ruang dan waktu.
Dalam hal ini termasuk soal pandangan pernikahan beda agama. Pihak Gramedia sendiri juga mempersilakan bagi orang - orang yang ingin menuliskan pandangan pernikahan beda agama yang dari versi lain, misalnya ingin membantah buku ini. Untuk dapat mengirimkan naskah nya kepada Gramedia. Kalau memang baik dan layak diterbitkan Gramedia akan menerbitkan.

Pada saat awal sesi diskusi, dua orang penulis memaparkan soal alasan mengapa membuat buku ini. Intinya penulis bicara pengalaman dan pandangan yang lain soal pernikahan beda agama. Bahwa Islam mempunyai beberapa pandangan soal pernikahan beda agama tersebut. Fatwa yang diharamkan oleh MUI dan didukung dengan tidak diakomodir oleh pemerintah terhadap pernikahan beda agama. Situasi ini membuat banyak pasangan beda agama yang bingung dan tidak tahu harus berbuat apa. Banyak dari pasangan itu "menipu" pemerintah. Dengan cara berpura - pura salah satu masuk ke dalam agama pasangannya. Walau ini bukan tidak bijaksana dan bukan pilihan yang baik menurut salah seorang peserta yang hadir.

Ini juga dikuatkan oleh Ibu Musdah bahwa sebenarnya dalam Islam ada 3 pandangan dalam soal pernikahan beda agama ini.
Pandangan pertama bahwa pernikahan beda agama diharamkan.Pandangan pertama ini lah yang "banyak" diyakini oleh ulama di Indonesia. Sehingga pemerintah Indonesia juga jadi ikut - ikutan dengan aturan itu. Misalnya MUI semakin menguatkan dengan membuat Fatwa Haram bagi pernikahan beda agama. Tapi pendapat MUI juga berubah - ubah. Misalnya MUI DKI sebelumnya (sekitar tahun 98) mengeluarkan fatwa dibolehkan nya pernikahan beda agama. Tetapi kemudian pada tahun 2001 MUI DKI mengeluarkan kembali fatwa bahwa pernikahan beda agama itu diharamkan.

Kedua pernikahan beda agama dibolehkan asalkan yang laki - laki muslim dan perempuan non muslim. Tetapi akan haram jika berlaku sebaliknya. Pandangan seperti ini menurut Ibu Musdah pandangan yang sangat bias gender. Karena kalau laki -laki yang non muslim dikuatirkan anak - anak nya akan mengkuti agama ayah nya.
Padahal menurut hasil penelitian bahwa pasangan beda agama, kebanyakan anak - anaknya agamanya akan ikut agama ibu nya. Jadi kalau alasan karena takut agama nya ikut bapaknya maka argumentasi ini jadi tidak relevan. Sambil guyon ibu Musdah mengatakan kalau hanya mau memperbanyak umat melalui perkawinan, ya mestinya perempuan nya lah yang muslim dan laki - laki non muslim.

Pandangan ketiga adalah bahwa pernikahan beda agama itu boleh dilakukan oleh siapa saja. Baik laki - laki muslim dengan perempuan non muslim atau sebaliknya. Karena menurut Ibu Musdah bahwa yang lebih penting adalah perkawinan itu tidak boleh poligami, karena traffiking, perkawinan anak, nikah sirih atau karena motip lainnya seperti motip ekonomi.

Kalau melihat UU No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan sebenarnya menurut Ibu Musdah masih ada sebagian ulama dan pemerintah yang berbeda pandangan menafsirkan pasal 2 UU tersebut. Memang sebagian ulama dan pemerintah melarang perkawinan beda agama tersebut. Tetapi dari pengalaman penulis (Ahmad Nurkholis) ada sebagain petugas catatan sipil di DKI yang mau mencatatkan perkawinanan beda agama. Memang tidak banyak yang mau melakukan itu.

Persoalan yang lebih besar menurut ibu Musdah mestinya pemerintah menempatkan diri sebagai pelayan rakyat. Jadi pemerintah bertugas mencatatkan siapa saja yang melakukan pernikahan dengan syarat yang sudah disebutkan diatas tadi. Jadi posisi pemerintah bukan untuk mensyahkan atau tidak sebuah perkawinan.

Kalau menurut Pendeta Saut Sirait dari pandangan Kristen bahwa tidak ada yang jelas untuk larangan atau membolehkan perkawinan beda agama. Jadi intinya dalam Kristen pernikahan beda agama sendiri tidak menjadi persoalan. Karena yang paling penting adalah bagaimana menebarkan cinta dengan pasangan dengan tulus. Cinta itu tidak tidak pernah bersyarat, artinya cinta datang dalam diri seseorang tidak pernah membedakan latar belakang seseorang. Dia datang begitu saja (natural). Termasuk perkawinan sejenis (homoseksual) juga tidak masalah dalam ajaran Kristen menurut pandangan pendeta Saut Sirait.

Pendapat ini semakin dikuatkan lagi oleh tokoh Budha bapak Herman, yang menegaskan dalam ajaran Budha bahwa perkawinanan adalah persoalan masyarakat. Ajaran Budha tidak mengatur soal perkawinan umat nya. Sehingga Bikshu tidak akan mengatur atau menikahkan soal perkawinanan dan tata cara nya. Perkawinan akan diatur oleh tokoh masyarakat Budha yang biasa disebut dengan Pandita. Begitu juga pandangan perkawinan sejenis ajaran Budha tidak pernah membahas soal itu.
Budha sendiri pernah menghadiri sebuah pernikahan beda agama. Dan Sang Budha pada saat hadir mendoakan pasangan tersebut untuk membangun rumah tangga yang baik.

Sebenarnya itu juga yang ditegaskan oleh Ibu Musdah bahwa dalam ajaran Islam ada 3 hal:
- Soal Aqidah, yaitu menyangkut soal ketuhanan dan kenabian
- Soal Ibadah , yaitu hubungan manusia dengan tuhannya misalnya soal puasa dan sholat.
- Soal Muammalah, yaitu hubungan manusia dengan manusia yang lainnya.
Dalam konteks perkawinan masuk dalam soal Muammalah. Sehingga dalam ilmu - ilmu fiqih, persoalan pernikahan ada dalam BAB Muammalah bukan pada Bab Ibadah ataupun Aqidah.

Pada sesi tanya jawab, salah seorang peserta yang kebetulan anak nya pernah dibantu dinikahkan beda agama oleh Munif. Sempat komplain dan menyampaikan telah meracuni anak nya menikah beda agama. Sempat terjadi debat panjang antara penulis dengan penanya. Tapi Munif menegaskan bahwa dia tidak pernah mengundang anak bapak tersebut untuk hadir kepadanya. Dia hanya membantu persoalan yag dihadapi oleh anak bapak tersebut. Selain itu bapak itu juga komplain dengan Gramedia yang telah menerbitkan buku ini. Dan dengan tegas akan menempuh jalur hukum untuk dapat menarik buku tersebut beredar dipasaran.

Kemudian Ibu Musdah menjawab bahwa siapapun berhak untuk keberatan dan tidak setuju dengan buku ini. Itu hak setiap orang termasuk bapak. Kalau memang mau melakukan jalur hukum, dipersilakan karena itu hak setiap orang. Tapi ibu Musdah menekankan bahwa jangan lupa bahwa ada orang lain juga yang mungkin berbeda pendapat dengan bapak. Dan mungkin juga akan menempuh jalur hukum agar buku ini dapat beredar dipasaran.

Pendeta Saut Sirat menambahkan atas pertanyaan tersebut, kalau bapak tidak setuju dengan buku ini. Sebaiknya lakukan bantahan dalam bentuk buku juga. Jadi menjadi perdebatan yang kritis dan membangun. Dan kemudian minta pihak Gramedia untuk menerbitkannya. Pihak Gramedia sendiri sejak sudah menjelaskan bahwa bersedia menerbitkan buku "tandingannya" Jadi ini menurut pendeta Saut lebih fair dengan ketidaksetujuan bapak.

Walau ada beberapa orang yang tidak setuju, tetapi umumnya pengunjung justru yang hadir adalah orang - orang yang memang membutuhkan informasi ini. Ini ditunjukkan beberapa kali tepuk tangan oleh pengunjung apabila Ibu Musda memberikan jawaban yang menunjukkan kepuasan pada peserta.
Yang mungkin menurut pengunjung sangat rasional dan tepat sasaran.

Selain itu pada saat selesai para pembicara terutama Ibu Musdah dan Munif menjadi "selebritis" karena banyak peserta meminta tanda tangan dan no kontak kedua tokoh ini. Bahkan banyak yang photo bersama dengan Ibu Musdah, diluar jalur ya cerita nya.

Memang terlihat jelas sekali ada banyak orang diluar sana yang sangat membutuhkan informasi soal pernikahan beda agama ini. Mungkin selama ini ulama - ulama dan masyarakat selalu memberikan pandangan yang sama. Bahwa menikah beda agama itu haram. Sehingga orang - orang yang hadir itu mendapatkan satu pencerahan dan sangat berbeda dari pandangan banyak orang. Aku sempat berpikir "kasihan" sekali teman - teman dan orang - orang diluar "haus" akan orang - orang yang mau berjuang untuk hak - hak mereka (soal beda agama).
Pemerintah mesti nya melihat fakta yang ada bahwa ada banyak warga negara tidak mendapatkan hak menikah hanya karena berbeda agama.

Diskusi kali ini memang luar biasa sukses aku katakan. Karena peserta bukan hanya kelompok LSM tetapi justru orang - orang yang mengalami persoalan itu sendiri. Selain itu juga ada dihadiri oleh orang - orang yang tidak setuju perkawinan beda agama. Ini menjadi dialog yang efektif sekali dan membangun satu sama lain.

Mungkin kedepannya bagi teman - teman yang selama ini melakukan kampanye isu - isu HAM, gender, seksualitas dan pluralisme. Untuk dapat mengambil kesempatan dan masuk ke even - even yang populis ini. Seperti pameran - pameran yang diselanggarakan oleh kalangan perusahaan. Ini akan menambah pengetahuan bagi pihak lain yang mungkin sekali sangat dibutuhkan. Jadi tidak hanya diskusi dikalangan LSM lagi. Biasanya kita kan buat even pembicara nya orang LSM, pesertanya LSM dan yang kerja LSM. Jadi seperti ONANI lah .


Wasalam


Toyo
Mampang, 2 Februari 09

0 komentar: