"Menyimpangkah Homoseksual? " Tinjuan Kritis UU Pornografi.

>> Sabtu, 17 Januari 2009

Acara dimulai sekitar pukul 09.30 Wib di Gedung YLBHI Jakarta Pusat.
Narasumber yang hadir adalah :
Ifdhal Kasim (Ketua Komnas Ham), dr Kartono Muhammad ( mantan Ketua IDI),
dr Aminullah SP KJ (direktur Kesehatan Jiwa Depkes), Yanti Muchtar (Direktur Kapal Perempuan) dan Hendrik Julius ( Our Voice).

Acara ini diselenggarakan oleh Our Voice (LSM untuk isu hak - hak gay dan biseksual laki - laki) dengan Kartini Asia (Jaringan aktivis perempuan di Asia dan Eropa).
Pembukaan dibuka oleh Ibu Nursyahbani Katjasungkana selaku perwakilan dari Kartini Asia, beliau yang menyampaikan soal sedikit sejarah perempuan di Indonesia.
Gerakan perempuan pernah mengalami masa pembungkaman pada masa tahun 65. Yang mana Gerwani distigma sebagai gerakan perempuan "binal" atau jalang yang kemudian oleh Orde baru gerakan perempuan perempuan didomestifikasi.

Dan dalam hal ini Kartini mencoba membangun kembali bagaimana perempuan dapat bangkit merebut hak - hak nya kembali. Kartini sendiri selain fokus untuk isu fundamentalis, livelihood dan juga persoalan seksualitas perempuan. Sehingga acara ini bagian dari kegiatan Kartini bekerjasama dengan Our Voice, untuk merayakan 16 hari kekerasan terhadap perempuan ( 25 Nov - 10 Des 08) dan Hari HAM International (10 Des 08).

Menurutnya Bapak Aminullah dalam PPDGJ (Pedoman Penggolongan Diagnosa Gangguan Jiwa) II REVISI ( TAHUN 1983) , bahwa Homoseksual Tidak dimasukkan lagi dalam kategori Ganguan Jiwa ataupun sebagai Deviasi Seksual, karena hal ini merupakan fenomena manifestasi seksualitas manusia sebagaimana halnya dengan heteroseksual ataupun biseksual.

Kemudian homoseksual atau orientasiseksual lainnya dalam PPDGJ III dapat dikatakan gangguan jiwa apabila dalam diri seorang homoseksual ada gangguan psikologis dan perilaku yang berhubungan dengan perkembangan dan orientasi seksual termasuk dalamnya:Homoseksua l (F 66.x1).
Artinya seorang gay misalnya apabila masih bingung dan terus merasa berdosa atau takut dan tidak nyaman dengan dirinya sendiri. Maka ini lah yang dinamakan dengan gangguan jiwa. Tapi itu juga tidak berlaku pada homoseksual maupun biseksual saja tetapi juga pada kelompok heteroseksual. Ini yang disebut dengan Ego Distonik.

Tapi sayangnya dr Aminullah tidak membahas bahwa gangguan penerimaan diri seorang gay dengan seksualitasnya banyak dipengaruhi oleh lingkungan. Artinya seorang gay akan merasa bingung karena lingkungan hidupnya sangat heterosentris.
Bahwa kebenaran hanya ada pada hetoseksual.
Pendapat ini dikuatkan oleh Henrik Julius (Komunitas Our Voice), bahwa budaya partriaki dan heterosentris telah masuk dalam alam tak sadar manusia. Sehingga konsep bipolar (maskulin - feminin) harus benar - benar terpisah. Laki - laki harus maskulin dan perempuan harus feminin. Karena kemaskulinannya maka seorang laki - laki hanya cocok dengan perempuan yang feminin, begitu juga sebaliknya. Ini lah yang semakin menguatkan konsep heterosentris mengakar dalam pikir setiap manusia tanpa disadari.

Bapak Kartono Muhammad, menegaskan bahwa UU Pornografi tidak memperhatikan ilmu pengetahuan kesehatan. Artinya pihak Depkes mesti membuat surat tegas kepada pemerintah bahwa homoseksual bukanlah penyimpangan. Dan pemerintah dalam hal ini Depkes mesti melakukan sosialisasi kepada semua pihak. Untuk menginformasikan bahwa homoseksual bukanlah penyimpangan seksual. Ini yang harusnya dilakukan oleh pihak Depkes RI melalui berbagai media sebagai bagian dari pendidikan publik.

Kalau dilihat dalam konteks HAM, Bapak Ifdhal Kasim menegaskan bahwa didalam hak - hak asasi manusia secara universal bawha tidak boleh melakukan diskriminasi dalam bentuk apapun.
Bapak Ifdhal dalam diskusi kali ini banyak memaparkan soal isi dari Yogykarta Prinsiple. Yaitu satu prinsip yang dibuat oleh para pakar hukum diseluruh dunia sekitar melibatkan pakar hukum sebanyak 89 orang.
Yang dideklarasikan di Yogyakarta pada tahun 2006.
Dalam YP dihasilkan ada 29 prinsip yang mengatur, melindungi dan memenuhi hak - hak kelompok LGBTIQ.
Jadi sikap Komnas HAM dengan tegas akan memperjuangkan hak - hak kelompok LGBTIQ sebagai bagian dari hak asasi manusia.
Kemudian juga bagaimana YP prinsiple ini dapat menjadi sebuah konvensi di tingkat International (PBB). Yang dapat disepakati bersama oleh negara - negara anggotanya.
Tapi untuk sampai menjadi sebuah Konvensi butuh perjuangan panjang, dan kelompok LGBTIQ sendiri harus melakukan tekanan dan advokasi untuk dapat mendorong YP menjadi sebuah konvensi baik di tingkat Nasional maupun International. Karena YP sendiri sudah menjadi desakan di tingkat International untuk menjadi sebuah konvensi di PBB. Ada beberapa lembaga International yang fokus untuk advokasi YP ini.

Tapi sayangnya menurut Ibu Yanti dan beberapa peserta masih belum terasa bukti dan fakta bagaimana Komnas HAM melakukan penegakan HAM kepada kelompok LGBTIQ ini. Mestinya Komnas HAM dapat melakukan tindakan yang lebih kongkret untuk memajukan hak - hak kelompok LGBTIQ.
Menurut Yanti Muchtar bahwa negara juga harus menyediakan dana misalnya rumah aman (shelter) bagi kelompok LGBTIQ ini. Karena kelompok ini sangat rentan sekali terhadap diskriminasi dan stigma dari masyarakat.

Kemudian Yanti Mucthar juga menegaskan bagaimana kelompok Lesbian dapat menjadi penghubung antara gerakan LGBTIQ dengan gerakan perempuan. Karena gerakan perempuan sudah memperjuangkan lesbian melalui feminis radikal. Sehingga menjadi penting gerakan lesbian dapat menjadi motor alat penghubungan (irisan) dua gerakan ini (LGBTIQ dan perempuan). Sayangnya dalam diskusi kali ini tidak ada kelompok lesbian yang menjadi pembicaranya. Mungkin ini menjadi masukan kedepannya kalau ingin gerakan LGBTIQ bergabung dengan gerakan perempuan.

Kemudian Yanti Muchtar juga mempertanyakan bagaimana gerakan LGBTIQ dilihat oleh gerakan perempuan (ini pertanyaan bukan pernyataan).
Artinya dari pengalaman advokasi RUU dan UU Pornografi.
Ada berkembang bahwa isu LGBTIQ tidak usah diangkat dahulu karena dianggap tidak strategis atau malah akan menjadi bumerang bagi advokasi RUU dan UU Pornografi.
Bagaimana fenomena ini dapat dilihat secara lebih dalam, ada apakah hal ini?
Ini yang menurut Yanti Muchtar harus dapat didiskusikan bersama antara gerakan perempuan dan LGBTIQ. Apakah memang harus "disembunyikan" dahulu gerakan LGBTIQ?? Ini pertanyaan yang harus dipecahkan bersama.

Pada akhir acara ada satu pertanyaan dari Ibu Nursyahbani Katjasungkana, bahwa bagaimana menyikapi soal operasi orang - orang Intersex ( orang yang memiliki dua jenis kelamin) di Semarang. Karena sampai sekarang sudah ada sekitar 300 orang intersex yang sudah dioperasi di rumah sakit Semarang. Dan sekarang juga sudah ada Forum Intersex Nasional yang berkantor di Semarang.
Tapi sayang kasus - kasus operasi pemilihan jenis kelamin yang dilakukan di RS Semarang justru mengalami banyak persoalan bagi individunya sendiri.

Karena selama ini team medis hanya melihat jenis kelamin dari biologis saja. Artinya team dokter apabila akan melakukan operasi lebih melihat konteks biologis saja.
Akibatnya orang- orang yang sudah ditentukan jenis kelaminnya setelah tumbuh besar malah merasa salah dengan jenis kelaminnya sendiri. Misalnya setelah di operasi menjadi laki - laki kemudian setelah besar orang tersebut malah merasa dirinya perempuan.

Menurut Ibu Nur, ini harus menjadi perhatian kalangan medis terutama Depkes bahwa menentukan jenis kelamin tidak hanya melihat soal biologis saja. Tetapi juga secara psikologisnya maupun hal - hal lainnya.
Misalnya bisa saja tidak mesti harus di operasi, sehingga seseorang itu akan menjadi gender ketiga.
Belum lagi kasus - kasus dalam menentukan jenis kelamin jarang sekali melibatkan anak nya sendiri. Karena biasanya dilakukan pada saat masa kecil. Ini menjadi harus dipertimbangkan lagi bagi pemerintah dalam persoalan intersex.

Ada satu orang penanya yang kebetulan kerja di Lembaga untuk isu kesehatan reproduksi. Menurut dia bahwa lembaganya sedang membuat modul soal Kespro. Didalam nya ada gambar perempuan dewasa telanjang dan laki - laki.

Kemudian dari pihak pemerintah gambar itu dilarang untuk ditampilkan khususnya untuk gambar perempuan dewasa. Karena gambar ini akan dapat membangkitkan hasrat seksual laki - laki. Yang pada saat itu semua peserta tertawa.
Tetapi ironis nya dibolehkan untuk gambar telanjang laki - laki dewasa. Kemudian terjadi perdebatan bahwa gambar laki - laki dewasa juga dapat meningkatkan hasrat seksual laki - laki juga. Pihak pemerintah menyakinkan bahwa modul ini melanggar UU Pornografi.
Dan sampai sekarang modul kespro itu masih mengalami kendala penerbitan karena soal isi tersebut.
Kemudian pertanyaan itu dijawab oleh Ifdhal bahwa pemerintah itu sama sekali tidak paham isi UU Porno. Padahal UU Porno itu tidak dapat melarang untuk hal pendidikan.

Demikianlah ringkasan hasil diskusi publik yang bisa saya sharekan. Semoga informasi ini dapat bermanfaat bagi teman - teman semua.
Bagi yang mau bahan presentasi dari semua Narasumber, bisa kirim Japri kepada saya.


Wasalam


Toyo

0 komentar: