Kampung Lanang

>> Minggu, 25 Januari 2009

Oleh Antok


Aku tatap tulisan di gapura, Selamat Datang di Kampung Lanang. Sejuk angin pegunungan menyapu tengkuk. Desaunya seolah mengabarkan bahwa aku telah tiba di tempat tujuan. Penat menguap. Aku merasakan harapan hadir secerah mentari di musim semi.

Mataku menangkap dua orang satpam yang berjaga di samping portal. Keduanya asik bercengkrama. Rokok kretek di tangan kanan dan secangkir kopi di tangan kiri. Tawa mereka memburai penuh bahagia.

"Tolong tunjukkan KTP, Anda". Suara berat satpam yang berbadan dempal terdengar tegas. Ekor matanya mencuri pandang ke wajahku. Aku tergugup sambil menyerahkan KTP. Aku mendengar ia bergumam,"Antok…Madiun, 07 Juni 1981."

"Ada keperluan apa?" satpam yang satunya ikut bersuara.

"Aku mencari diri aku," aku menukas singkat.

Sejenak satpam itu menatapku sesaat. Aku melihat ada sebuah pengertian yang dalam di matanya. Dia ambil nafas sejenak, "Kamu berada di tempat yang tepat. Silakan masuk ke laboratorium, " satpam itu mengembalikan KTP dan menyuruhku masuk ke bangunan sederhana di samping pos satpam.

Seorang pemuda tampan berusia dua puluhan menyambutku dengan sesungging senyuman. Jemari tangannya sibuk memilin-milin ujung rambut agar berdiri seperti landak.

"Silakan masuk. Kalau nanti kamu mendengar bunyi alarm, itu berarti proses analisa selesai," ujarnya tenang.

Aku amati jemari tangan pemuda itu yang beralih ke keyboard komputer. Dengan ragu aku masuk ke ruangan yang berlabel Gay Laboratorium.

Gelap menyergap. Aku turunkan ransel hitam dari punggung. Kugerak-gerakkan badan untuk menghilangkan pegal.

Byar! Lampu menyala. Aku terbelalak dalam rasa tak percaya. Ruangan tiga kali empat meter ini dipenuhi gambar laki-laki telanjang. Dinding, atap, bahkan lantai yang kupijak penuh gambar erotis laki-laki dengan berbagai posisi.. Wajah-wajah tampan, tubuh-tubuh kekar dan penis-penis menantang.

Byar! Aku tersentak untuk kedua kalinya. Televisi layar datar yang menyatu dengan dinding berpendar menampakkan adegan blue film. Suara desah nafas yang di produksi memacu degup jantungku. Syaraf-syaraf di tubuhku memekar dan membangkitkan gejolak hasrat diri. Tanpa sadar, penisku sontak ereksi.

Kemudian terdengar alarm berbunyi dan lampu kembali mati. Aku keluar ruangan dengan perasaan lempang. Pemuda itu kembali menyambutku dengan wajah sumringah.

"Aku Leo. Kalau perlu apa-apa, silakan datang ke sini," katanya sambil menjulurkan tangannya.

"Aku Antok," kami berjabat tangan. Leo menyerahkan beberapa brosur. Pintu laboratorium terbuka. Seorang bule masuk dan menghampiri Leo. Aku beranjak dari Gay Laboratorium.

Larik-larik sinar matahari menyusut tergerus senja. Bayang-bayang menjadi lisut. Daun-daun cemara bergerak ringan. Kabut mulai turun dari puncak gunung dan menghadirkan segurat dingin di kulit.

Aku tapakkan kaki menekuri jalan beraspal. Di kanan dan kiri jalan berjajar rumah tradisional bersanding dengan rumah modern bergaya minimalis. Semua orang yang kutemui adalah laki-laki. Kehangatan terpancar pada wajah mereka.. Setiap kali beradu pandang, mereka selalu menyuguhkan senyuman.

Saat melewati rumah joglo, sayup-sayup aku mendengar seseorang nembang Nyidam Sari.

"Umpama sliramu sekar melati, aku kumbang nyidam sari. Umpama sliramu margi, cah manis, aku kang bakal nglewati.".

Penginapan Kukila.

"Menginap berapa hari?"

"Tiga hari dua malam."

"Sendirian?" resepsionis itu menatapku tajam.

"Ya," sahutku singkat.

"Ini selimut untuk menghangatkan tidur Anda," sang resepsionis menyerahkan sebuah album bersampul hitam.

Aku mengernyit. Aku membuka album dengan hati-hati. Aku mengelus dada. Aku lihat wajah-wajah tampan terdokumentasi dalam foto telanjang. Di bawah foto tertulis keterangan jenis permainan ranjang sekaligus ukuran kejantanan.

Padang pasir.

Kedua tangan dan kakiku terikat di tiang kayu. Panas matahari memanggang kulitku hingga matang. Aku telanjang, hanya cawat warna hitam melekat di pinggang. Aku kuyu dalam kepasrahan.

Ratusan orang berjubah dan bersurban putih mengelilingiku dari berbagai penjuru. Suara mereka mendengung bagai sekawanan lebah.

"Rajam! rajam! rajam!"

Masing-masing orang membawa batu di tangan dan siap melempari tubuhku sebagai sasaran.

Hatiku berkecamuk dalam pemberontakan tak berujung, namun bibirku terkatup rapat. Tak ada suara yang keluar. Aku berteriak dalam kebisuan.

Seorang laki-laki tua mengepalkan tangannya, "Raajaaammm! !!"

Batu-batu beterbangan. Hujaman demi hujaman mengenai tubuhku. Wajah, leher, dada, perut, paha dan kakiku banjir darah. Pedih dan perih menyusup hingga ke sukma. Tak ada asa. Aku lunglai tak berdaya.

Tiba-tiba berkelebat empat sinar putih menyelubungi tubuhku. Silau memekatkan mata, ringan menyelimuti badan. Tubuhku terangkat ke angkasa, meninggalkan orang-orang berjubah dan bersurban putih yang kesetanan melempari aku dengan bebatuan. Dalam ketidaksadaran, berulangkali aku menyebut nama Tuhan.

Aku terbaring di atas awan putih. Empat sinar putih itu perlahan memadat dan menghadirkan sosok-sosok yang sangat aku rindukan. Kekasih-kekasih dari masa lalu yang hadir kembali di detik ini. Puteri, Ahmad, Tirtana dan Angga. Air mataku merembes membasahi pipi. Mereka tidak bersuara. Wajah mereka yang penuh cinta telah banyak berbicara. Dengan telaten mereka mengobati lukaku.

"Tak ada yang perlu kamu takutkan, Tok".

Secepat aliran listrik, suara itu menembus gendang telingaku. Perasaanku meledak. Suara yang sangat aku hafal. Suara orang yang aku rindukan pagi, siang dan malam. Aku mendongak. Aku melihat almarhum bapak tersenyum damai.

Aku tergeragap dengan nafas tersengal-sengal. Peluh bercucuran di sekujur badan. Aku lepaskan kaos singlet sambil menatap jam dinding. Pukul setengah dua belas malam. Aku baru saja bermimpi. Aku bangkit dari pembaringan dan mereguk air mineral. Aku hela nafas panjang. Separah itukah ketakutan aku hingga terbawa ke dalam mimpi?

Hening.

Pikiranku berselancar bebas. Aku ingat Pak John. Sahabat pena yang asli Amerika tapi menetap lama di Indoesia. Di puncak kegelisahan kala mencintai laki-laki dan perempuan, Pak John membalas emailku dengan jawaban mengejutkan:

Kamu harus ke Kampung Lanang. Di sana banyak cermin untuk merefleksikan diri. Hatimu harus dibuka. Barangkali di sana kamu menemukan kuncinya.

Kampung Lanang. Aku sama sekali tak tahu bahwa ada kampung khusus gay di Indonesia sebelumnya. Berdasar petunjuk Pak John, lengkap dengan peta perjalanan, aku memutuskan untuk mengambil cuti kerja dan pergi ke Kampung Lanang. Sekarang aku sudah di Kampung Lanang. Tapi mengapa aku tetap merasa terbuang?

Aku membuka jendela. Semilir angin malam berhembus pelan. Dadaku terasa dingin oleh sapuannya. Dari kejauhan aku melihat sebuah keramaian. Obor-obor menyala terang. Irama salsa menghentak di tengah keriuhan.

Aku meninggalkan jendela dan bergegas membuka pintu kamar. Aku panggil office boy yang nampak di ujung barisan kamar.

"Ada yang bisa saya bantu, Pak?".

"Tadi aku lihat ada keramaian. Ada acara apa?"

"Oh, itu pesta lajang. Besok Mas Galuh menikah. Malam ini diadakan pesta lajang. Kalau berminat silakan ke sana. Terbuka untuk umum, kok."

Pintu kamar depanku terbuka. Tampak seorang pemuda seusiaku keluar sambil menenteng sweater. Ia tersenyum ramah.

"Saya permisi dulu Pak," office boy itu tersenyum hangat lalu berjalan ke ruang depan.

"Aku akan ke sana. Mau ikut?" pemuda itu mengulurkan tangannya, "Aku Indra."

"Aku Antok. Kalau tidak keberatan, aku mau ikut. Tapi aku harus ganti baju dulu. Tunggu sebentar, ya" Aku berbalik masuk ke kamar dan berganti pakaian..

Hatiku terbelah. Separuh merasa bahagia dan separuh lainnya merasa hampa. Cinta gemerlap dalam ekspresi kebebasan. Sesama laki-laki saling menyapa, berpegangan tangan, berangkulan dan berciuman. Tidak ada larangan, tapi aku merasa kehadiranku tak lebih sebagai alien yang takjub pada keindahan bumi. Aku tetap teralienasi.

Musik mengalun silih berganti. Go go boys menggoyang-goyangka n badan dalam balutan g-string di panggung terbuka. Makanan dan minuman tumpah ruah di atas meja prasmanan.

Indra sibuk menyapa sahabat-sahabatnya. Calon pengantin duduk manis dengan senyum mengembang. Malam kian larut, aku semakin merasa kalut. Di sudut halaman, berteman pelayan yang berseliweran, aku menjadi penonton dari epos hidup yang melenakan.

"Tak ada yang perlu kamu takutkan, Tok."

Aku menoleh. Seorang laki-laki berusia lima puluhan tahu-tahu sudah berada di sampingku. Ia tersenyum hangat. Aura wajahnya cerah. Sinar matanya memantul jernih layaknya oase di tengah sahara.

"Mengingkari kata hati memang melelahkan. Tapi hidup harus terus berjalan, kan?" Ia menepuk-nepuk pundakku. Barangkali ia seorang avatar yang mampu membaca pikiran seseorang.

"Aku tetap tidak mengerti."

"Kamu tidak harus mengerti. Kamu hanya perlu memahami. Pertanyaan dan jawaban hadir pada saat bersamaan. Kuncinya ada di sini. Tinggal keberanianmu untuk membukanya," telunjuknya menyentuh dadaku. Aku terkesiap. Saat mata kami beradu, aku merasakan hangat merambat memenuhi relung-relung batinku.

"Tok, gabung sini, yuk!" Aku berpaling. Aku lihat Indra berteriak sambil melambaikan tangan. Beberapa sahabatnya menjadi partisipan dengan tertawa riang.

"Aku pergi," kata-kataku menggantung di lidah. Laki-laki itu sudah tidak ada di sampingku. Aku lihat tubuhnya terselip di antara kerumunan orang.

Aku mencoba tersenyum. Bersama Indra dan sahabat-sahabatnya, aku berusaha untuk tertawa. Mereka semua bahagia. Untuk apa aku mesti berduka?

Hampir subuh ketika aku putuskan untuk kembali ke penginapan. Tubuhku terasa ringan. Beban di hatiku hilang. Aku kembali menemukan harapan.

"Indra, kenapa keamanan di kampung ini ketat sekali?" Aku puaskan rasa penasaran aku sebelum masuk ke kamar.

"Dulu sempat ada perusuh yang memporakporandakan kampung ini dengan mengatasnamakan agama. Ceritanya panjang. Kapan-kapan aku ceritakan".

"Terima kasih. Sampai ketemu nanti malam."

"Sama-sama".

Pukul tujuh malam. Suara gamelan mengalun dari kejauhan. Semua orang keluar rumah dan berjalan beriringan menuju alun-alun. Aku tidak berhenti mengagumi. Betapa wajah-wajah yang kutemui begitu ceria nan bahagia.

Janur kuning melambai di sekeliling alun-alun. Di sudut kanan alun-alun berdiri panggung sederhana dengan dekorasi rangkaian bunga. Dua kursi pelaminan telah disiapkan. Di samping panggung nampak pemuda-pemuda sibuk merias diri mereka.

Indra menemui pengantin. Aku menolak saat dia ajak. Aku memilih menikmati suasana sembari membeber makna. Aku bercermin dan berharap menemukan pantulan jernih di dalamnya.

Orang-orang berkerumun membentuk setengah lingkaran. Empat penari jathilan masuk ke dalam lapangan. Tangan mereka gemulai memainkan selendang warna keemasan. Kuda kepang di bawah pinggang bergerak ringan mengikuti goyangan badan. Bibir merah, kumis tipis dan lirikan mata mengerling indah. Orang-orang bertepuk tangan, riuh sorakan menggetarkan lapangan.

Keempat penari melepaskan selendang dari pinggang. Lantas mereka menghampiri dua orang warok yang berdiri di tepi lapangan. Penari itu mengalungkan selendang ke leher warok. Kedua warok itu sejenak mencium kening pasangan gemblaknya lalu bersiap mengangkat dadak merak.

Dua orang warok unjuk kepiawaian memainkan reog. Geliat tubuh tangguh berpadu hentakan dadak merak membuat semua mata terhipnotis dalam rasa kagum. Orang-orang semakin histeris. Tepukan, teriakan dan siulan melebur menjadi satu.

Masing-masing warok lalu berjalan ke kanan dan ke kiri. Iring-iringan pengantin menyambutnya dengan taburan bunga. Kedua warok merunduk. Kedua pengantin yang berpakaian serba putih naik ke atas kepala reog. Kedua warok kembali berdiri dan berjalan ke tengah lapangan. Kedua warok berputar-putar. Senyum bahagia terpancar dari kedua pengantin. Sekian lamanya kedua pengantin menebar pesona di atas geliat reog. Lalu kedua warok berjalan ke bibir panggung dan menurunkan kedua pengantin tepat di depan kursi pelaminan. Empat manggala menjemput kedua pengantin dan menyandingkan di kursi pelaminan.

Ketua Kampung Lanang memberi sambutan, "Malam ini kita menjadi saksi sebuah cinta abadi. Kedua laki-laki telah bertemu. Kedua hati telah menyatu. Sekarang saatnya merayakan indahnya cinta. Kampung Lanang kembali mencatat sejarah baru tentang ketulusan hati dua orang laki-laki. Selamat kepada kedua mempelai."

Tepuk tangan menggebrak alam raya. Aku hanya bisa menganga. Apakah aku masih di dunia? Oh, keindahan ini tampak begitu nyata.

Seorang kiai setengah baya di dampingi pasangan mairilan yang nampak lebih muda, naik ke atas panggung.

Senyap.

Sejenak ia melantunkan sebarit doa. Lalu ia membimbing kedua mempelai mengucapkan janji saling setia. Sesudahnya, kedua mempelai berciuman mesra.

Tepuk tangan dan siutan kembali riuh. Kedua mempelai nampak tersipu malu. Genggaman tangan erat dan senyum hangat menebar ke penjuru alun-alun.

Seorang penyair tampil di panggung. Rambut gondrong, bertelanjang dada dan bercelana komprang hitam. Liat tubuhnya yang kekar terlihat mengkilat oleh pantulan cahaya. Ia mengambil nafas panjang sebelum berdeklamasi.

Wahai sang cinta

Bangkitlah!

Jiwa-jiwa yang alpa

Bangunlah!

Api telah membeku

Salju telah terbakar

Senjakala menggema,"Bebaskan! ".

Kepalkan kedua tangan

Rengkuh gemuruh kemenangan

Di sini, jiwa telah bermuara

Tiba saatnya merayakan cinta

Sang Penyair kemudian turun dari panggung. Orang-orang merapat ke bibir panggung. Seorang bocah laki-laki naik ke panggung sambil mendekap setangkup bunga mawar dan menyerahkan pada kedua mempelai.

Kedua mempelai kembali berciuman lalu membalikkan badan. Orang-orang berteriak histeris. Aku hanya diam di tengah kerumunan orang. Serentak semua orang menghitung mundur.

"Tiga, dua, satu!"

Wajahku terhujam dan dengan reflek aku mencengkeram. Aku tidak percaya, di tanganku tergenggam setangkup bunga mawar merah yang sangat harum.

Orang-orang bertepuk tangan. Semua mata tertuju ke arahku.

"Selamat, ya."

Orang-orang sibuk mengucapkan selamat. Aku tak tahu arti semua ini. Mengapa aku? Bukankah aku tak mengharapkan apa-apa?.

Dari kejauhan tampak Indra tergopoh-gopoh menemuiku.

"Selamat ya, Tok. Semoga kamu segera mendapatkan pasangan yang kamu idamkan". Aku bengong. Tak tahu cara untuk ngomong.

Kedua mempelai kembali duduk di kursi pelaminan. Seorang waria tampil menyanyi lipsyc When you tell me that you love me. Orang-orang menyebar ke barisan meja makan.

"Makan yuk, Tok!"

Aku ikuti langkah Indra yang santai menikmati suasana pesta.Aku tidak tertarik makan nasi. Aku hanya mengambil sepotong roti dan segelas kecil wine.

"Mereka itu siapa?" mataku tertuju pada sekelompok orang di dekat panggung pelaminan.

"Mereka tamu undangan. Emm ... pasangan lesbian, perwakilan waria, bissu, shaman, guru silat dan murid-muridnya. Kamu lihat bule itu. Nah, kalau bule itu datang dari Inggris dan Belanda," Indra sibuk menerangkan sembari menyeruput orange juice.

Malam menebarkan aroma kegembiraan. Bulan sepenggalah menggantung di langit.. Bintang gemintang mengerdip dalam pancaran cahaya terang. Ketulusan mengalir jernih. Tak ada kemunafikan. Kampung Lanang meregang dalam kebahagiaan.

Cermin-cermin memantulkan sosok-sosok nyata. Setiap mata memandang, aku menemukan kejelasan. Kabut suram perlahan tersingkap. Aku adalah mereka. Jiwa-jiwa mungil yang menemukan jalan pulang ke rumah penuh kedamaian.

Tengah malam di penginapan Kukila.

Aku duduk bersila. Kedua tangan melekat di paha membentuk posisi meditasi. Kedua mataku terpejam. Perlahan aku mengatur nafas, bersiap melakukan perjalanan astral. Pikiran dan perasaan aku bebaskan. Masa lalu dan masa depan aku kesampingkan. Aku berkonsentrasi pada kekinian. Aku menjelajah jiwa dan membuka misteri di dalamnya.

Aku sebagai Antok lenyap. Aku sebagai aku hadir. Tubuh tidak lagi memenjara.. Aku menjauh dari gempita dunia. Getar-getar halus merambat pelan. Tak ada beban. Seperti kapas, aku melayang ringan.

Kabut menyusut menjadi embun. Aku menyatu dengan kejernihan. Segala sesuatu hadir dan mengalir apa adanya. Aku adalah angin, hujan, awan, bebatuan dan lautan. Aku adalah hasrat, keinginan, harapan sekaligus tujuan. Aku adalah ketenangan, ketentraman dan kebahagiaan. Aku adalah aku. Aku adalah Cinta.

Labirin kecil bergetar dan menyuarakan sesuatu,

tak ada yang perlu kamu takutkan Tok.

Aku terhenyak. Aku mendengar suara hatiku sendiri.

Aku membuka mata. Kelegaan membanjir dalam perasaan. Cahaya kehidupan menebar penuh gemerlap kebahagiaan. Aku menyadari, aku telah menemukan diriku kembali.

"Antok!". Aku menoleh. Aku lihat Leo berlari-lari kecil keluar dari Gay Laboratorium.

"Ada apa, Leo?".

"Ada bingkisan buat Mas Antok," Leo menyerahkan sebuah bingkisan terbungkus kertas karton coklat.

"Bingkisan dari siapa?".

"Mas Antok pasti tahu. Dia melarang aku untuk memberitahu. Aku pergi dulu, ya". Leo kembali ke Gay Laboratorium. Bahkan aku belum sempat mengucapkan terima kasih.

Dia? Aku berpikir. Tidak mungkin Indra karena tadi pagi aku sudah pamit. Perlahan aku buka bungkus karton. Aku mengeja judul buku yang ada di dalamnya, "Memberi Suara pada yang Bisu".

Aku membatin. Sudah saatnya aku bersuara. Tidak ada alasan bagi aku untuk terus membisu. Sejenak aku menatap gapura. Terima kasih Kampung Lanang. Akhirnya aku menemukan jalan pulang.

Gresik, 01122007, 07.58 AM.

2 komentar:

Anonim 20 November 2009 pukul 10.26  

Wah ceritanya bagus juga, apa boleh saya berkenalan dengan Antok, saya ingin berbagi cerita juga, dan ingin tau apa kampung lanang ada dimana?

www.tagged.com/janoko

Pengobatan Pengencer Darah Kental Secara Alami 3 Oktober 2016 pukul 14.33  

Assalammualaikum, terima kasih info yang bergunanya.!

numpang link Pengobatan Pengencer Darah Kental Secara Alami