Pilihan Atau Genetis

>> Kamis, 22 Januari 2009

Pertama, dunia kedokteran dan psikologi sudah sepakat bahwa dari segi ilmiah
homoseksualitas bukan penyakit. Kesimpulan ini tampaknya didasarkan pada temuan
ilmiah di bidang neurosains yang memperlihatkan bahwa rata-rata kaum homo memiliki nukleus interstisial ketiga yang ukurannya lebih kecil daripada yang dimiliki kaum hetero.
Nukleus interstisial ini letaknya di bagian depan hipotalamus di dalam otak, yang fungsinya menentukan pembedaan seks. Jadi, ukurannya lebih kecil, dan ukuran kecil ini tidak berarti "lebih inferior' hanya karena kecil, tetapi ya sekadar berbeda saja.


Sama seperti otak Einstein yang ukuran lobula parietal dalam otaknya lebih besar dan bentuknya tak lazim dibandingkan rata-rata manusia lain. Lobula parietal ini fungsinya terkait
dengan kemampuan berhitung dan penalaran spasial. Berbeda, tapi tidak lalu disebut sebagai "penyimpangan" , apalagi "penyakit."


Nah, jika demikianlah struktur, ukuran dan bentuk bagian-bagian otak terkait tersebut, maka perilaku manusianya pun digerakkan dan ditentukan oleh bangunan spesifik otaknya itu. Jadi, bisa saja seorang homoseksual mengira dirinya menjadi homo sebagai "pilihan hidup" yang dibuat secara sadar. Namun, sesungguhnya, pilihan itu diarahkan dan ditentukan oleh struktur nukelus interstisial otaknya yang mengatur seksualitas dirinya. Artinya, pilihan lain daripada itu adalah out of the question. Sama halnya seorang heteroseksual yang mengira dia secara sadar memilih jadi heteroseksual. Jika mau pun, belum tentu dia bisa jadi praktisi homoseksualitas dalam artian sesungguhnya, sebab itu tak nyambung dengan otaknya yang mengatur seluruh tubuh serta kesadarannya.


Dengan demikian, homoseksualitas dan juga heteroseksualitas bukanlah sesuatu
yang diperoleh dari proses learning. Dia sudah built-in dalam otak kita. Wacana bahwa homoseksualitas adalah "pilihan hidup" sebetulnya lahir dari upaya untuk melawan stereotipe dan diskiriminasi sebagai akibat dari penyalahgunaan terhadap temuan bahwa seksualitas itu genetik sifatnya. Akibat temuan ini, orang-orang dengan itikad tak baik lalu menjadikannya alasan untuk mengatakan bahwa kaum homo "sakit jiwa" dan "menyimpang" . Maka sebagai suatu sikap politis, sejumlah tokoh aktivis gay/lesbian memproklamirkan bahwa seksualitas
mereka adalah pilihan hidup mereka. Tapi, hingga kini belum ada temuan ilmiah dari ilmu manapun yang bisa membuktikan tesis bahwa (homo)seksualitas adalah "pilihan hidup."


Pilihan hidup kita didikte oleh apa yang mungkin dan tak mungkin dikerjakan
oleh otak kita, dan otak kita itu given alias genetik. Kita saja yang sering lupa bahwa kesadaran kita sesungguhnya dibentuk oleh otak, dan bukan merupakan sesuatu yang terletak di luar otak.



Manneke Budiman
Program Doktoral Canada

Walau teori ini masih juga diperdebatkan (Toyo), ini hanya sebagai wacana terus.

2 komentar:

Levine 12 Februari 2009 pukul 15.15  

kalo mnurut sy yo, menjadi gay bukan pilihan, tapi menjalani hidup sbg gay itulah yg pilihan. krn banyak yg gay tp hidup (pura2) sbg str8, yg berujung merugikan lebih dari skedar diri sndiri.

levine.

Gay Indonesia 22 Februari 2009 pukul 15.52  

Iya gpp itu juga gak salah. Yang lebih penting bukan soal pilihan atau kodrat. Tapi bagaimana menjadi gay yang lebih bertanggung jawab. Seperti yang kamu sampaikan tadi.


salam

Toyo