Diskusi homoseksualitas

>> Minggu, 25 Januari 2009

Dialog ini terbit di milis Indo-Marxis pada tahun 1999.

Dari "Sosialisme di Dunia Moderen":

Kita juga harus melawan penindasan terhadap kaum homoseksual dan lesbian (gay). Kaum gay seringkali dikambing-hitamkan sebagai biang keladi dari masalah-masalah sosial, padahal justru mereka yang menjadi korban.

Penindasan terhadap kaum gay juga berkaitan dengan keperluan sistem kapitalis untuk memproduksi tenaga kerja dan struktur-struktur ideologis lewat keluarga "normal". Orang yang tidak menyesuaikan diri untuk memainkan peranan sebagai laki-laki atau perempuan "normal" dianggap sebagai ancaman terhadap ketertiban sosial. Prasangka ini tercerminkan pula dalam struktur-struktur sosial-budaya, dimana kaum gay dianggap tidak senonoh, dan bisa di-PHK, dipukul, bahkan dibunuh lantaran gaya hidup mereka yang lain.

Sebetulnya kita semua dirugikan oleh situasi ini, karena terpaksa kita harus hidup menurut pola tindak-tanduk yang kelewat sempit (konservatif). Makanya, semestinya kita menyambut dengan antusias munculnya organisasi gay dewasa ini yang memperjuangkan hak-hak mereka.

Surat-menyurat dari milis "Indo-Marxis":

Dari seorang peserta: "Aku tertarik dengan permasalahan gay. Sekarang ini kaum homoseksual sudah banyak keluar', menunjukkan diri mereka sebenarnya, misalnya di salah satu >acara tv swasta (sorry lupa) yang pesertanya banyak gay. Dari penganut agama yang fanatik jelas sulit menerima kehadiran mereka, bahkan di keluarga pun banyak yang dikucilkan. Ini tentu tak lepas dari sistem negara kita yang tidak memberi tempat bagi kaum homoseksual (bahkan cross-dressing pun tidak bisa diterima! Padahal perempuan bebas memakai baju laki-laki, tapi kalau laki-laki memakai rok, atau daster?)."

Julian: Hak perempuan untuk pakai celana juga harus diperjuangkan; saya masih ingat pada tahun 1970 ada seorang cewek kulit hitam yang bekerja di tempat saya juga kerja; dia orang kulit hitam yang pertama yang boleh bekerja di perusahaan tersebut (ini di Amerika). Dan dia muncul dengan celana jeans. Karena masalah ras begitu peka, kaum majikan tidak berani melarang celana jeans itu. Itu pertama kali mereka izinkan perempuan memakai celana.

"Aku kurang paham kaitannya dengan kapitalisme."

Julian: Beberapa pikiran dulu, nanti saya cari data dan referensi. Hal ini sudah menjadi perdebatan yang kompleks. Tapi pada dasarnya saya kira soal ini berkaitan dengan penindasan terhadap perempuan. Peranan laki-laki dan perempuan masing-masing ditentukan secara keras oleh tatanan sosial yang ada (itu kami jelaskan dalam teks tentang masalah gender). Sehingga seseorang yang tidak menerima peranan tersebut dianggap mengancam tatanan sosial. Jadi segala macam pantangan dikembangkan oleh pemerintah, lembaga-lembaga agama dsb dan kemudian menjadi sebagian dari ideologi kapitalisme.

Kiriman tambahan dari Julian:

Saya diminta memberi penjelesan tentang hubungan antara kapitalisme dan penindasan terhadap kaum gay, dengan referensi. Dalam balasan pertama saya tulis bahwa ini berkaitan dengan penindasan terhadap perempuan. Peranan laki-laki dan perempuan masing-masing ditentukan oleh tatanan sosial (melalui mekanisme-mekanisme yang cukup kompleks tentunya) dan fenomena homosekual-lesbian tidak bisa ditolerir karena melanggar batasan antara peranan itu.

Dan saya baru temukan sebuah referensi yang menarik. Komentar yang berikut saya ambil dari Jeffrey Weeks, "Capitalism and the Organisation of Sex", dalam "Homosexuality: Power and Politics", Allison & Busby, London, 1980.

Di Inggeris, homoseksualitas tidak dilarang sebelum tahun 1885. (Setelah tahun itupun, para lesbian tidak dihiraukan sama sekali.) Yang dilarang adalah bersodomi, tetapi itu juga ilegal buat para heteroseksual. Di sini kita sudah melihat satu aspek yang penting: sodomi tentu saja diharamkan karena hubungan seks dianggap sesuatu yang dimadsudkan untuk bikin anak, dalam konteks perkawakinan antara lelaki dan perempuan, supaya harta si lelaki bisa diwariskan dsb.

Meski demikian, homoseksualitas baru menjadi masalah besar setelah timbulnya kapitalisme. Menurut Jeffrey Weeks, seorang ahli di bidang ini yang berhaluan kiri: "sejak pertengahan abad XVIII bentuk keluarga monogami dan heteroseks semakin ditekankan dalam ideologi borjuis sebagai unit dasar dalam masyarakat. Masyarakat beralih dari model keluarga yang menekankan garis silsilah dan reproduksi tradisi keluarga (sehingga yang penting adalah memilih calon istri/suami dari keluarga lain yang sesuai) kepada sebuah model yang menekankan pilihan pribadi berdasarkan keinginan emosional. Sekurang-kurangnya dalam ideologi, yang menyatukan keluarga itu adalah cinta dan seks ... Tekanan ini asal-usulnya bisa ditemukan dalam perkembangan ekonomi (pemisahan kaum perempuan dari kerja sosial), ideologi (tekanan yang lebih besar pada perbedaan antara laki-laki dan perempuan serta konstruksi sosial dari sifat-sifat "kelelakian" dan "kewanitaan") dan politik (karena keluarga selama abad XIX dilihat sebagai faktor pokok bagi menjamin kestabilan serta mengurangi ketegangan sosial, dan sebagai tempat berlindung pribadi yang damai dan tenteram) ..."

Homoseksual(itas) sebagai identitas (dan istilah homoksekual itu sendiri) baru muncul pada saat itu.

Komentar dari Dede Oetomo:

Kw. Julian yang budiman

Secara umum, penindasan terhadap apa yang sekarang kita kenal dengan konsep homoseksualitas, perilaku homoseksual, dan kaum gay, lesbian dan biseksual, dihubungkan dengan institusi keluarga (n.b. heteroseksual) di dalam kapitalisme. Dalam hal ini kita mengikuti pemikiran Marxis yang diuraikan Engels dalam tulisannya "The Origin of the Family, Private Property and the State". Ideologi keluarga, hak milik pribadi dan negara inilah yang mengharamkan homoseksualitas, karena bertentangan dengan asas bahwa keluarga sebagai institusi ekonomi dalam sistem kapitalis bersifat heteroseksual dan monogami.

Perlu juga diingat dalam hubungannya dengan kapitalisme adanya dan dipertahankannya fetisyisme perbedaan homoseksual-heteroseksual itu sendiri, padahal kita tahu bahwa dalam kenyataan keadaannya jauh lebih kompleks daripada dikotomi seperti itu. Fetisyisme ini juga menindas mereka yang sebetulnya tidak patut atau tidak pas dikotakkan dalam satu orientasi seksual atau yang lainnya, melainkan memiliki kompleksitas sendiri.

Kajian yang sedang ditulis mengenai homoseksualitas di Indonesia, oleh Thomas Boellstorff di Universitas Stanford, jelas menunjukkan bahwa penindasan bagi mereka yang telanjur terjebak dalam kekakuan identitas tadi berbentuk heteroseksisme, yakni ideologi dominan bahwa hanya hubungan heteroseksual monogam di dalam keluarga-lah yang sah.

Untuk meninjau masyarakat seperti Indonesia, di mana ada berbagai formasi sosial sekaligus, perlu dibedakan dalam formasi sosial mana seseorang yang berperilaku homoseksual, berorientasi homoseksual ataupun beridentitas homoseksual/gay berada. Dalam hal ini kajian yang komprehensif telah dilakukan dan diterbitkan dalam _New Left Review_ (No. 218, July/August 1996) oleh Peter Drucker, berjudul "'In the Tropics There Is No Sin': Sexuality and Gay-Lesbian Movements in the Third World" (hal. 75-101).

Dengan merujuk pada kajian Drucker itu, dapatlah kita pahami bahwa karena Indonesia lama berada dalam sistem kapitalisme kolonialis dan imperialis, maka banyak aspek homoseksualitas yang terpengaruh, misalnya saja fetisyisme pemujaan terhadap gay putih/barat yang berlebihan. Juga dikesampingkan, ditutup-tutupi atau dilecehkannya bentuk-bentuk homoseksualitas (yang kadang melibatkan transgenderisme) dari formasi-formasi sosial prakapitalis.

Akan halnya penindasan dari berbagai agama besar, perlu dicatat bahwa komunitas agama-agama ini juga tergulung dalam perkembangan kapitalisme, sehingga moralitas seksual modern-nya juga amat kuat menindas apa-apa yang dipandang antiheteroseksisme, antikeluarga. Di pihak lain, masih ada juga moralitas seksual dari formasi sosial prakapitalis, yang menimbulkan penindasan yang berbentuk lain pula.

Keanekaragaman formasi sosial, konstruksi seksualitas dan penindasannya itulah yang acapkali membingungkan orang yang hendak membicarakan homoseksualitas dan kapitalisme di negeri-negeri macam Indonesia.

Tak boleh dilupakan juga berpikir secara dialektis: perlawanan terhadap heteroseksisme, menumpang industri budaya populer a la Hollywood, juga menumpang kapitalisme datang ke sini. Hal ini pulalah yang membuat kondisi, dan tentunya analisis, menjadi makin kompleks.

Salam demokrasi!

Dede Oetomo

0 komentar: