Kontes Waria di Bogor Ditolak

>> Senin, 23 November 2009

November 19, 2009 - 15:57
Kategori Berita Terkini, Bogor, Kriminal dan Hukum

BOGOR (Pos Kota) – Kontes waria yang rencananya digelar di GOR Padjajaran, Kota Bogor, Minggu (22/11) ditentang sejumlah ormas Islam Kota Bogor. Mereka menolak kontes tersebut karena tak sesuai dengan norma-norma Islam.

Sejumlah ormas Islam, Kamis (19/11),mendesak pengelola GOR Pajajaran membatalkan sepihak penggunaan tempat
ini. Walau izin keramaian dari Polresta Bogor sudah dikeluarkan.

“Kontes waria itu tidak sesuai motto Kota Bogor sebagai Kota
Beriman,’’ kata Zaenal, Pengurus DKM Masjid Agung Kota Bogor,
didampingi sejumlah ormas Islam lainnya. Katanya, kontes waria di Kota Bogor sudah ditolak di Karawang dan Tangerang, karena dianggap tidak membawa manfaat bagi masyarakat.

“Bila acara itu tetap berlangsung, akan menodai semangat ulama dalam menegakkan amar ma’ruf nahi mungkar. Bukan hanya agama Islam, tapi seluruh agama di dunia,” imbuh Zainal.

Dia minta Polresta Bogor mengkaji kembali izin tersebut, jangan sampai timbul polemik, sehingga menyebabkan masyarakat berbuat anarkis.

Reaksi serupa juga dilontarkan BKPRMI Kota Bogor. Husein, sekretaris BKPRMI, mengatakan, hingga kini belum ada peraturan yang mengakui waria sebagai gender. “Kami tidak menolak kodrat mereka, tapi jangan umbar acaranya di tempat umum’’ jelasnya.

Bila pemkot memaksakan kehendak, ratusan massa dipastikan akan
memenuhi GOR Pajajaran untuk menolak kontes tersebut. “Hari ini kami layangkan surat keberatan ke Polresta Bogor,” pungkasnya.

Panitia kontes waria yang sejak Rabu mempersiapkan segala sesuatunya di GOR Padjajaran gagal ditemui. “Sejak pagi, tak
satu pun panitia yang datang setelah tahu sejumlah perwakilan Ormas
Islam akan datang memprotes kontes waria,” ujar petugas kebersihan GOR Padjajaran. (iwan/ir/B)

Read more...

Namaku, Tamie

>> Sabtu, 21 November 2009


Adliana. Namaku, tetapi aku lebih suka dipanggil dengan panggilan Tamie. Aku anak tunggal. Selain berstatus mahasiswi di salah satu universitas swasta di Medan, pekerjaan sampingan lain adalah credit marketer di bank swasta.

Nur, nama ibuku, bagiku ia mewakili sosok ayah yang tidak pernah kutemui di sepanjang hidupku. Ia juga teman, sahabat saat aku masih kecil. Anehnya aku terbiasa hidup tanpa ayah, dan aku tidak pernah menanyakan dimana ayahku atau siapa ayahku.

Perihal ayahku, suatu hari ibu pernah bercerita. Menurutnya, lelaki yang bernama Arif itu telah berbohong padanya dengan mengaku single, ternyata setelah berbadan dua, tahulah ibuku bahwa ia sudah berkeluarga. Saat itu juga, kata ibuku, ia pulang ke kampung meninggalkan lelaki itu selamanya. Ahirnya aku dititipkan pada nenek bersama kakek, keponakan dan bibi di kampung sedang ibu pergi merantau ke Medan sebagai PRT.

Saat aku berusia 4 tahun, aku dibawa oleh ibu ke Bandung hingga tamat SD. Di kota kembang ini aku bersekolah di TK Al Azhar, di sana aku banyak mengenal anak-anak sebayaku namun aku merasakan berbeda dengan teman-teman perempuan sebayaku. Mereka kebanyakan senang bermain masak-masakan, main boneka, lompat tali, ayun-ayunan, aku lebih suka mengamati kegiatan mereka. Aku tidak suka dengan apa yang mereka mainkan, karena bagiku permainan itu tidak mewakili diriku.

Setiap aku mengamati mereka yang sedang bermain, mereka merasa aman dan nyaman. Seringkali anak laki-laki mengganggu teman-teman perempuanku, kalau mereka datang membuat keributan, aku pun datang bagaikana pahlawan membela mereka. Teman-teman perempuan ini suka bersembunyi di balik badanku untuk meminta perlindungan, dan yang lucunya anak laki-laki itu pun takut ketika aku berusaha menghadang mereka yang ingin mengganggu.

Lebih jauh dari itu aku pernah bergulat dengan anak laki-laki hingga harus berurusan dengan orang tua. Terang saja, sejak kecil aku memang tidak suka melihat perempuan diganggu apalagi dibuat sampai menangis. Karena kejadian itu, aku dimarahi ibu. Katanya anak perempuan tidak boleh berantam, kayak laki-kali saja.

Dari kecil banyak orang menjulukiku anak tomboy. Aku tidak tahu mengapa. Setelah pulang kampung lagi, ibu sering mengajakku ke sawah. Disanalah aku meluapkan rasa gembira hatiku dengan mandi-mandi di sungai dan memancing. Aku senang sekali kalau bermain dengan anak laki-laki, dengan Dani, Bayu, Edi, Yudi, Wanto, dengan mereka aku sering bermain, mencari ikan laga, membuat mobil-mobilan dari batang rumbia.

Terus terang aku tidak pernah mau kalau disuruh ibu memakai baju perempuan. Aku sangat senang bercelana pendek, mengenakan kaos singlet. Semua berlangsung sampai masa pertumbuhan payu daraku, barulah aku mau memakai kaos. Setiap aku berulang tahun aku juga dipaksa untuk mengenakan baju berenda-renda, jelas aku tidak bahagia di hari ulang tahunku itu, kesedihan dan rasa malu yang mendalam di dalam hati sangat menggores. “Kan cantik Amee kalau pakai rok gini,” kata teman-teman yang sebenarnya bagiku adalah ejekan. Aku juga sering kali dibelikan boneka oleh adik ibuku, tapi maaf, aku tak pernah senang, aku tetap bermain mau dengan mobil-mobilan yang dari gabus.

Di SD tak jauh beda dengan TK. Banyak teman-teman perempuan menganggap aku adalah pelindung mereka. Kalau mereka bermain lompat tali aku sering disuruh menjaga supaya anak laki-laki tidak mengintip rok mereka yang terbuka, tapi aku menikmati pemandangan indah dari kibaran rok teman-temanku itu. Untungnya kegiatanku itu tidak diketahui oleh teman-temanku.

Saat di kelas 3, aku menyukai kakak kelasku. Aku mendekatinya, ternyata dia meresponnya walau mungkin dia menganggapku sebagai adik, tapi aku menganggap dia lain. Makin hari kami pun makin dekat, walau kami sama-sama tidak tau ada apa dengan kedekatan kami. Ketika aku dekat dengan teman lain, dia merasa cemburu, begitu juga sebaliknya aku.

Tiap kali kami main rumah-rumahan, aku yang selalu membuat skenarionya. Aku berperan sebagai kepala rumah tangga, dia ibunya, dan Juni teman kami sebagai anak nya. Akulah yang mengatur jalannya cerita permainan kami. Sebagai bapak, aku harus tidur dengan ibu. Dan sampai hal yang aku inginkan pun terjadi. Aku menciumnya, memeluknya, eh..dia juga membalasnya, aku sangat senang kalau mengingat itu, dan permainan itu jadi sering aku lakukan kalau ibuku tidak di rumah. Aktifitas seperti itu berlanjut hingga akhirnya dia melanjutkan ke sekolah menengah pertama.

Ketika sekolah di pesantren aku kembali menyukai kakak kelasku. Sepertinya memang aku tipe wanita yang suka dengan wanita yang lebih tua dariku. Walau hanya 9 bulan aku di sana, dan terpaksa keluar karena sakit-sakitan. Bayangkanlah, aku sama sekali tidak merasa nyaman dengan lingkungan yang mengharuskan aku berjilbab, memakai rok. Pulang dari pesantren, kakekku marah-marah dan menuntutku jadi perempuan feminim, taat agama dan menurut apa kata orang tua. Pada intinya semua keluarga menuntutku begitu, mungkin mereka mencapku sebagai anak durhaka.

Hingga kini, mereka selalu bertanya, mana cowokku. Aku mencoba berhubungan dengan cowok, tapi tidak ada getaran sama sekali, bahkan geli. Di SMA, Sintya teman sekelasku adalah wanita yang pertama kali kucintai. Darinya aku tahu siapa aku ini, seorang perempuan yang memiliki orientasi seksual yang berbeda dari perempuan kebanyakan.

Kedekatanku tercium oleh ibuku, aku pun dilarang habis-habisan dekat dengan Sintya, sampai aku pernah diisolasi di dalam kamar supaya aku tidak lagi bisa menjumpainya. Aku tidak terima dengan sikap keluarga, dan akhirnya kuputuskan pergi dari rumah, aku tinggal dengan Sintya, sampai Idul Fitri tiba aku baru pulang.
Kepulanganku ternyata awal dari penderitaanku. Aku dikirim sekolah ke Aceh tapi aku tak sanggup meninggalkan Sintya, tapi itulah kenyataan yang mesti aku jalani. hanya ada dua pilihan kalau aku tidak pergi ke Aceh aku tak boleh tinggal di rumah dan tidak akan disekolahkan. Sintya berusaha bicara dengan ibu tapi tidak ada hasil. Enam bulan kemudian aku pulang kampung, kulihat Sintya sudah berubah, dia sudah menikah dan katanya dia bahagia. Aku mencoba untuk mengerti dan akhirnya aku kembali ke Aceh.

Di Aceh aku mulai jatuh hati dengan Nisa selama hampir 6 tahun. Sayangnya hubungan kami hancur karena teman yang kuperkenalkan dengannya mencuri perhatian Nisa dariku. Hatiku hancur sekali, dan aku sempat menjadi pelacur, gonta- ganti pasangan tanpa cinta. Semua itu menurutku sebagai bentuk balas dendam atas penghianatan temanku itu, sebagai reaksi kekecewaanku pada Nisa yang kucintai sepenuh hati. Kegilaan yang kulakukan itu sangat merusak fisik dan jiwaku selama beberapa waktu.

Akhirnya aku sadari bahwa itu tak benar,aku pun tidak melakukan kegiatan itu lagi . Tak lama setelah itu aku bertemu dengan beberapa orang yang menurutku bisa membawaku menuju cahaya pencerahan. Bersama dengan beberapa orang itu kami membangun organisasi perempuan, sebuah organisasi yang fokus pada pemberdayaan perempuan, khususnya untuk teman-teman yang sama denganku.

Hingga suatu hari, aku diundang oleh sebuah LSM untuk mengisi sebuah pelatihan seksualitas dan aku diminta untuk Testimoni,dipelatihan itu pertama kalinya aku coming out dihadapan orang banyak, sejak itu aku sedikit merasa nyaman dengan diriku. Hingga sampai sekarang aku sudah nyaman dengan pilihan orientasi seksual untuk menjadi Lesbian.

Medan,Nov 2009, By: Tamie

Read more...

Bonobo

Bonobo adalah makhluk yg memiliki tingkat kecerdasan, emosionalitas, dan sensitivitas yg baik. Secara biologis, Bonobo terlihat lebih mirip manusia daripada kera dan juga menunjukkan banyak kemiripan perilaku (behavior). Bonobo dan manusia memiliki kesamaan DNA sebesar 98,4%.


Bonobo merupakan salah satu jenis kera besar (great apes), termasuk juga simpanse, orangutan, dan gorila. Karena banyak memiliki kemiripan dgn spesies ini, banyak ahli sains bersikukuh memasukkan manusia ke dalam spesies kera juga. Orang asli pedalaman Kongo memiliki banyak legenda tentang kedekatan hubungan antara Bonobo dan manusia.

Bonobo belum dikenal oleh ahli sains hingga tahun 1933. Bonobo baru dipelajari lebih mendalam selama 30 tahun terakhir, yakni sejak tahun 1970-an. Bonobo hanya dapat ditemukan di negara Republik Kongo (tadinya Zaire), tepatnya di hutan tropis basin Kongo sebelah selatan sungai Kongo. Bonobo digambarkan sebagai makhluk panseksual oleh psikolog Frans de Waal. Hubungan seks merupakan hal penting bagi komunitas Bonobo, yg bertujuan untuk mengeratkan komunitas tersebut, menjaga kedamaian, dan hubungan yg kooperatif.

Selain hubungan heterose
ksual, baik Bonobo jantan dan betina melakukan hubungan sesama jenis, bahkan hubungan seks berkelompok (group sex). Banyak masalah antar Bonobo diselesaikan dgn aktivitas seks, menyisir rambut, atau saling berbagi makanan.

Bonobo banyak mengh
abiskan waktu di dahan-dahan perpohonan. Mereka bergelayutan dari satu pohon ke pohon yang lain untuk mencari buah dan makanan lainnya.
Bonobo hidup dalam satu kelompok besar hingga 100 ekor, terpisah-pisah menjadi kelompok-kelompok yang lebih kecil pada siang hari lalu berkumpul kembali pada malam harinya.
Bonobo makan berbagai jenis makanan mulai dari tumbuhan hingga mamalia kecil.

Disarikan : http://www.bonobo.org/whatisabonobo.html

Read more...

Argentina Mengizinkan Pasangan Sejenis

>> Rabu, 18 November 2009

http://news.smh.com.au/breaking-news-world/buenos-aires-okays-gay-marriage-in-latin-america-first-20091114-iffg.html

Seorang hakin di Argentina memberikan jalan untuk pernikahan sejenis setelah ia memberikan izin pada hari jumat kepada sepasang homoseksual menikah untuk pertama kalinya di wilayah Amerika Latin, wilayah berpenduduk katolik terbesar di dunia.

Buenos Aires, yang terkenal dengan gerakan aktifitas gay yang lebih sembunyi-sembunyi, menjadi kota pertama dari wilayah Latin yang menyetujui civil union pada tahnu 2002. hal itu kemudian diikuti oleh Villa Carlos Paz di utara dan proinsi di bagian selatan, Rio Negro.

Civil Union ini hanya memberikan beberapa, tidak semua, hak yang sama seperti pasangan heteroseksual.

Keputusan pada hari jumat oleh hakim Gabriela Seijas memerintahkan badan pencatatan sipil untuk meresmikan pernikahan antara Alejandro Freyre (39), dan Jose Maria Di Bello (41), yang telah ditolak permintaannya karena mereka berdua adalah pria.

Hal ini bisa memberikan tekanan kepada para pembuat hukum untuk mempercepat undang-undang untuk pernikahan sejenis di kongres.

"Kami sangat bahagia, tetapi kami juga merasakan tanggung jawab yang besar ini karena tidak hanya menyangkut diri kita saja. Hal ini sangat mendukung persamaan dalam hukum di Argentina dan wilayah lain di Amerika Latin.", ucap Di Bello kepada AFP.

Pasangan ini awalnya membuat pengaduan pada bulan April.

Di wilayah Amerika Latin lain, Mexico City, negara bagian Mexico Coahuila, dan negara bagian Brazil Rio Grande do sul juga sudah mengizinkan civil union untuk pasangan sejenis.

Uruguay adalah negara pertama di akhir tahun 2007 untuk melgalkan civil union untuk gay. Pada Januari 2009, pengadilan konstitusi Kolombia memberikan beberapa hak untuk pasangan sejenis, termasuk hak sosaialnya.

Tetapi belum ada satupun negara di Ameerika Latin yang mengizinkan pernikahan sejenis.

Seijas, mengatakan bahwa "Hukum harus memperlakukan semuanya dengan kesetaraan hukum yang adil tergantung pada keadaannya" kemudian ia pun menyatakan bahwa dua artikel sipil yang penyatakan bahwa pernikahan hanya antara satu laki-laki dan satu perempuan adalah tidak konstitusional.

"Yang kita bisa lakukan hanyalah mengganti kata 'laki-laki' dan 'wanita' menjadi 'pasangan'", kata Di Bello, yang merupakan HIV positif, bersama dengan pasangannya.

Gereja Katolik sangat berpengaruh sekali di Argentina, negara dengan 91% populasinya adalah Katolik.

Uskup Baldemoro Martini berpendapat bahwa "Hubungan sejenis tidak akan memberikan kebaikan apapun kepada masyarakat; Mereka malah akan memperburuknya"

Keputusan yang besar ini bisa saja dibatalkan jika ada permintaan untuk naik banding. AKan tetapi, walikota Buenos Aires Mauricio Macri, seorang konservatif, mengatakan bahwa pemerintahannya tidak akan melakukannya.

"Dunia sudah begerak ke arah yang seperti ini" katanya kepada wartawan.

Beberapa kelompok homoseksual menyatakan kebahagiaannya terhadap keputusan hakim.

"Saya sangat bahagia dan saya ikut merasakannya bersama para gay di Argentina, yang sudah ditekan selama bertahun-tahun", ucap Marcelo Cerqueira, presiden dari Gay de Bahia, salah satu kelompok aktifis gay di Brazil.

"Kami yang berada di Brazil, tidak bisa mengharapkan apa-apa, di pengadilan manapun, baik itu jangka menengah maupun jangka panjang"

"Keputusan oleh Seijas ini sangatlan berani, kami tidak menyangkanya sama sekali", menurut Di Bello, ketika dia ppingsan setelah mendengarkan keputusannya.

Read more...

Jinayatnya Qanun Jinayat

“Qanun Jinayat” sering disebut sebagai ”Hukum Pidana Islam”. Namun bagi saya ”Qanun Jinayat” yang sedang kita diskusikan ini bukanlah ”Hukum Pidana Islam” tetapi ”Hukum Pidana versi Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA)” yang dikaitkan dengan Islam. Karena kalau kita konsisten membahasnya dari perspektif al-Fiqh al-Jinâ’î al-Islâmî (Fiqh Pidana Islam) maka ”Qanun Jinayat DPRA” ini tidak memenuhi kriteria untuk disebut sebagai ”Qanun Jinayat” atau ”Hukum Pidana Islam”.

Qanun Jinayat adalah hukum atau undang-undang yang menetapkan tindakan, pelaku dan sanksi dari kejahatan (jarîmah) . Sedangkan ”Qanun Jinayat versi DPRA” ini amatlah ngawur mendefinisikan apa itu tindak jarimah (pidana) dan apa uqubatnya (sanksi). Dalam Bab II Pasal 2, disebutkan ”Qanun ini mengatur tentang jarimah dan ‘uqubat khamar, maisir, khalwat, ikhtilath, zina, pelecehan seksual, pemerkosaan, qadzaf, liwath, dan musahaqah.

Qanun ini dengan sangaja menghilangkan pasal pembunuhan (qatl) dan pencurian (sariqah) sebagai tindak kejahatan (jarîmah) —padahal tidak ada perbedaan pendapat dalam seluruh ulama fiqih klasik untuk menyebutkan dua tindak kejahatan tadi sebagai bentuk pidana yang ada sanksinya.

Qanun ini juga menyebut prilaku yang ulama klasik masih berbeda pendapat apakah termasuk pidana atau tidak, bagaimana sanksinya, namun dalam Qanun ini sudah ditetapkan sebagai tindak-pidana. Yaitu: khalwat, ikhthilat, liwath dan musahaqah.

Qanun ini juga yang disandarkan pada syariat Islam namun ingin diberlakukan untuk orang di luar Islam (Bab II Pasal 4 ayat b dan c). Padahal ketentuan syariat Islam hanya berlaku bagi orang Islam saja.

Oleh karena itulah, saya memberi judul tulisan ini dengan ”Jinayatnya Qanun Jinayat” yang berarti kira-kira “kejahatan” dari sebuah Undang-undang tentang Kejahatan. Saya sebut Qanun ini mengandung ”kejahatan” karena tiga alasan tadi, pertama, tidak menyebut tindakan yang seharusnya disebut tindakan kriminal (membunuh dan mencuri, apalagi korupsi), kedua, menetapkan tindakan yang bukan atau masih menjadi bahan perdebatan sebagai kejahatan (khalwath, ikhthilat, dll), ketiga membebankan Qanun ini pada orang di luar Islam, yang seharusnya Qanun ini hanya untuk orang Islam saja.

Untuk itulah dalam pembasan awal ini, saya ingin mengajak anda terlebih dahulu mengulas persoalan ”Qanun Jinayat” ini melalui perspektif ”Fiqh Pidana Islam klasik”—yang seharusnya dilakukan terlebih dahulu oleh para penyusun ”Qanun Jinayat” ini. Meskipun saya pribadi memiliki kecenderungan pada ”pembaruan fiqh” yang tak hanya sekadar taklid pada ”fiqh klasik”, karena bagi saya “fiqh klasik” tidak cukup mumpuni untuk menjawab persoalan-persoalan kontemporer yang benar-benar baru ditemukan (seperti kejahatan perdagangan manusia, KDRT, cybercrime, dll).

Dengan merujuk pada pembahasan ”fiqh pidana klasik” saya ingin menerapkan etika dan kaidah ilmiyah—bahwa ”Qanun Jinayat” ini harus dijelaskan dan diletakkan terlebih dahulu dalam ranah ”fiqh pidana klasik”—dan tidak membenturkannya langsung dengan hukum pidana konvensional atau prinsip-prinsip hak asasi manusia modern (HAM). Saya ingin membangun argumentasi dari “dalam” kajian fiqh: mengapa Qanun Jinayat ini bisa disebut batal (atau malah bertentangan) kalau kita dengan konsisten memakai kriteria ”Fiqh Pidana Islam klasik” yang seharusnya jadi acuan”Qanun Jinayat” ini.

Fiqh Pidana Islam Klasik

Dalam buku al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu karya Dr. Wahbah al-Zuhayli (terbitan Dar al-Fikr, Damaskus, 1997) Juz 7, Bagian 5 tentang ”al-hudud al-syar’iyah” diulas secara panjang lebar tentang ”Pidana Islam” ini yang sering disebut sebagai ”hudud”. Hukum ini mengulas materi-materi pidana yang dibedakan dua macam: ”hudud” dan ”ta’zîr”. Hudud yang secara bahasa berarti ”batas” atau “larangan” dalam istilah kalangan fiqh disebut sebagai ”ketentuan-ketentuan sanksi (hukuman) yang wajib dilakukan baik yang berkaitan dengan hak-Allah atau manusia”. Bagi kalangan madzhab Hanafi membedakan apa yang disebut ”hudud” dan ”qishash”. ”Hudud” adalah ketentuan hukuman dari Allah yang berkaitan dengan hak-Allah, sementara ”qishash” meskipun ia merupakan ketentuan hukumannya berasal dari Allah namun lebih berkaitan dengan hak-manusia, maka hukuman ini bisa dibatalkan dan bisa dimaafkan serta diganti dengan sanksi lain: denda (diyat). Namun bagi kalangan mayoritas ulam fiqh (jumhur al-fuqhaha) tidak membedakan ”hudud” dan ”qishash” karena ketentuan hukuman ini pada dasarnya dari Allah (halaman 5274-5275). Sedangkan ta’zir adalah ketentuan saksi (hukuman) yang dijatuhkan oleh hakim.

Terdapat beberapa perbedaan untuk menentukan tindakan yang masuk dalam tindak pidana. Bagi kalangan madzhab Hanafi ada lima tindakan yang bisa dimasukkan ke ”hudud” yaitu sariqah (pencurian), zina (perzinahan), syurb al-khamr (meminum yang mengandung ”khamr”), sukr (meminum yang berakibat mabuk meskipun tidak mengandung ”khamr”) , dan qadzf (pembunuhan karakter dengan menuduh orang lain berbuat zina). Sedangkan qatl (pembunuhan) yang termasuk dalam tindak pidana disebut ”qishash” bukan ”hudud”. Berarti tindak pindana menurut kalangan madzhab Hanafi ada enam: lima dari hudud, satu dari qishash.

Sedangkan tindak pidana bagi mayoritas ulama fiqh yang disebut Dr Wahbah Zuhayli ada delapan: zina, pembunuhan karakter (qadzf), minum khamr, pencurian, membuat kekacauan (al-hirabah), pemberontakan (al-baghy), murtad, pembunuhan dengan sengaja. Wahbah Zuhayli juga mengutip pendapat ahli fiqh dari madzhab Maliki Ibn Jazzi al-Maliki yang menyebut tindak pidana ada tiga belas: membunuh, menciderai (al-jarh), zina, qadzf, minum khamar, memberontak, membuat kekacauan, murtad, zindiq, mencela Allah, para Nabi, para Malaikat, mengamalkan sihir, meninggalkan shalat dan puasa (halaman 5276).

Ibn Rusyd dalam kitabnya Bidayatul Mujtahid (terbitan Dar al-Salam, Cairo, 1995, syarah dan tahqiq: Abdullah al-’Abadi, di Bagian ”Kitab al-Jinayat” (juz 4) menerangkan empat jenis tindak pidana terhadap hak-manusia—tidak mengaitkan pada “hak Allah” atau “hukum Allah”. Pertama, tindak pidana terhadap tubuh, jiwa dan anggota badan yang disebut qatl (pembunuhan) dan jarh (pencideraan), kedua tindak pidana atas kelamin (al-furuj) disebut zina, ketiga tindak pidana terhadap hak milik disebut pencurian (sariqah), atau yang disebut jenis-jenis perampasan, perampokan, (al-hirabah, al-baghy, al-ghashab) , keempat tindak pidana terhadap kemulian-diri (al-a’râdl) melalui tindakan qadzf. Ibn Rusyd menambahkan tindak pidana lain yang berasal dari pelanggaran terhadap makanan dan minuman yang dilarang oleh syariat Islam, yaitu dalam soal khamar (halaman 2161). Namun yang perlu digarisbawahi dari klasifikasi Ibn Rusyd ini yang disebut tindak pidana “murni” adalah empat jenis tindak pidana sebelumnya. Di akhir bagian”Kitab Pidana” ini Ibn Rusyd menambahkan pasal tentang sanksi bagi orang murtad dan orang yang mengamalkan sihir yang terdapat perbedaan pendapat antara para ulama fiqh untuk menentukan sanksinya (halaman 2289).

Dalam buku Madkhal al-Fiqh al-Jinâ’î al-Islâmî (Pengantar Fiqh Pidana Islam) karya Dr Ahmad Fathi Bahnisi (terbitan Dar al-Syuruq, Cairo, 1989) menyebut beberapa tindakan yang disebut kriminal (al-jarimah), pertama, pencurian, perampokan (qath’ al-thariq, al-hirabah), zina, qadzf, minum khamr, pemberontakan (al-baghy), murtad, dan tindakan yang diancam dengan “qishash” (membunuh dan melukai).

Melalui pembahasan di atas kita mendapatkan perbedaan para ulama dalam mengklasifikasi tindak pidana. Namun dalam soal pencurian dan pembunuhan (yang tidak disebut dalam “Qanun Jinayat Aceh”) disebut sebagai tindak pidana dan tak ada perbedaan pendapat soal ini.

Meskipun para ulama menjabarkan beberapa bentuk tindak pidana saya tak menemukan khalwath dan ikhthilath disebut sebagai tindak pidana. Demikian juga soal “liwath” (sodomi) dan “musahaqah” (tribadisme) yang sering dialamatkan pada kalangan homoseksual (gay dan lesbian) diletakkan dalam tambahan-tambahan pembahasan dalam tindak pidana. Misalnya Dr Wahbah Zuhayli tidak menyebut soal “liwath” dan “musahaqah” dalam klasifikasi tindak pidana Islam sebelumnya, namun dalam pembahasan tentang zina memasukkan “liwath” dan “musahaqah” ini. Wahbab Zuhayli cenderung pada pendapat yang menyamakan “liwath” dan “musahaqah” dengan tindak pidana perzinahan: kalau belum menikah dicambuk dan kalau sudah menikah dirajam (halaman 5346, dan 5393). Demikian juga Ahmad Fathi Bahnisi yang memasukkan pembahasan “liwath” dan “musahaqah” ini dalam bab perzinahan meskipun hukumannya bukan dengan “hudud” (seperti perzinahan) tapi ta’zir (sanksi dari hakim).

Kalau ingin konsisten bahwa “qishash” dan “hudud” adalah hukuman yang ditentukan oleh Allah maka dalam al-Quran hanya menegaskan bentuk sanksi “qishash” bagi pembunuhan dan pencideraan (jiwa dibalas dengan jiwa, mata dibalas mata, dll), sanksi bagi zina adalah cambuk 100 kali (rajam hanya disebut dalam “hadis ahad” yang para ulama memiliki perbedaan pendapat tentang hujjiyahnya: apakah bisa dijadikan dalil atau tidak untuk hukuman rajam), qadzf (cambuk 80 kali) dan pencurian dengan potong tangan.

Inilah empat tindak pidana “murni” yang disebutkan Ibn Rusyd tadi. Sedangkan sanksi bagi minum khamar, maisir (judi), murtad, dll meskipun disebut dalam Quran sebagai pelanggaran, tidak ada teks yang jelas dalam Quran mengenai bentuk hukumannya. Di sini lah para ahli fiqh mengeluarkan ijtihad dan kreativitasnya untuk menentukan sanksi yang masuk dalam ranah “ta’zir”.

Dalam soal pembuktian tindak pidana juga, “Fiqh Pidana Islam” klasik mengaturnya secara ketat, tidak seperti “Hukum Acara Jinayat” yang asal “copy-paste” dari Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)—yang membuktikan lagi soal inkosistensi. Syarat pembuktian zina dalam “Fiqh Pidana Islam” dengan kesaksian empat orang laki-laki yang beragama Islam, merdeka, dewasa dan sadar, melihat dengan mata telanjang “kontak antar-kelamin” yang dikiaskan seperti “pedang yang masuk ke sarungnya”, secara bersama-sama berada di tempat perkara dan di waktu yang bersama pula. Dalam “Hukum Acara Jinayat” hanya disebut empat orang saksi saja.

Bagi hemat saya para ulama berbeda pendapat tentang kategori kejahatan dan tindak pidananya karena perbedaan dan perkembangan zaman. Bentuk kejahatan baru memang bisa muncul sehingga dibutuhkan kajian baru mengenai “fiqh pidana Islam”. Sedangkan kajian “fiqh pidana Islam klasik” pun tidak mencukupi untuk memberikan jawaban, karena fiqh adalah pemahaman terhadap suatu persoalan yang berdasarkan pandangan syariat Islam yang memiliki konteks sejarahnya.

Keterbatasan “fiqh pidana Islam klasik” ini saya temukan di “Qanun Jinayat” versi DPRAceh itu yang menyebut “pelecehan seksual” dan pemerkosaan” sebagai jarimah yang tidak pernah disebut dalam “fiqh pidana Islam klasik”. Namun bukan berarti dengan dalih ini memasukkan perkara “ikhthilath” dan “khalwat” sebagai versi jarimah yang baru.

Demikian juga dengan isu homoseksualitas yang menurut hemat saya tidak bisa dibahas dari perspektif ”fiqh klasik”—apalagi hanya ”fiqh pidana klasik” yang merupakan cabang dari fiqh. Ketika kita akan membahas persoalan ini maka akan pertanyaannya adalah “seberapa banyak kekayaan dari khazanah Islam-mu jika akan berbicara soal homoseksualitas?” Saya berani menjamin kalau khazanah keislaman yang dimiliki berasal dari ideologi tertentu: apakah hanya dari fiqh, kalam, hadis, atau ideologi “salafi”, atau “Islam modernis”, “Islam progresif” hingga “Islam liberal” akan mengalami keterbatasan kalau ingin mengkaji persoalan ini.

Dan sering juga kalau kita diminta untuk pembahas persoalan dari perspektif ”Islam”, maka yang asumsinya adalah apa ”pandangan” Islam terhadap persoalan ini? ”Pandangan” yang dimaksud di sini adalah ”hukum”, dan ”hukum” di sini menyempit pada arti fiqh, apakah ini haram, atau halal, berdosa atau tidak dst.

Saya melihat ada kecenderungan untuk mengkaji “Islam” di sini hanya sebagai alat “justifikasi” saja. Di sini tak ubahnya menjadikan “Islam” sebagai Qanun yang sesuai dengan kepentingan kelompoknya, sesuai dengan para salaf-shalih, atau dengan nilai-nilai modernitas, kemajuan, atau dengan prinsip-prinsip liberalisme. Ini yang saya sebut “pendekatan ideologis” terhadap Islam.

Lantas, bagaimana memperbincangkan isu homoseksualitas dalam Islam?

Homoseksualitas dalam Ranah ”Islam”**

Dalam diskusi dunia maya (mailing-list) tentang isu homoseksualitas yang kemudian meluas ke area agama, seorang kawan saya telah mematok “batas” yang menurutnya tidak ada “justifikasi tekstual” untuk perkara ini. Baginya mencari “justifikasi tekstual” untuk homoseksualitas: LGBTIQ (Lesbian, Gay, Bisexual, Transgender, Intersex and Queer) sama halnya mencari “justifikasi tekstual” untuk perzinahan dan “kumpul kebo”. Seorang kawan yang lain juga berujar, penafsiran terhadap teks agama untuk menelisik “justifikasi” terhadap perkara ini merupakan “pemerkosaan teks”.

Saya pribadi sangat terkejut karena menemukan lompatan pemikiran yang terlalu jauh, dari percakapan homoseksualitas—yang menurut amatan saya—belum dipahami secara seksama, tiba-tiba “dipaksakan” meloncat pada “justifikasi tekstual”. Mungkin ini kebiasaan orang yang sering melakukan “akrobat pemikiran”.

Saya tidak setuju dengan istilah “pemerkosaan teks” karena istilah ini terlalu kasar dan tidak benar, apalagi bagi kita yang selama ini meyakini pentingnya membuka penafsiran seluas-luasnya. Penafsiran adalah “mukjizat” yang menjadikan teks yang hakikatnya historis: dipenjara oleh ruang dan waktu, penafsiran adalah “mukjizat” pembebasan, menjadikan teks itu mampu melintasi ruang dan waktu.
Apabila mumgkin ada sedikit perbedaan dalam diskusi itu, telah dipatok sebuah “batas”. Saya hanya percaya bahwa “batas” itu dibuat oleh penafsir bukan teks itu sendiri. Sejatinya “justifikasi tekstual” juga tidak ada.

Justifikasi dibangun dan disahkan oleh penafsir. Siapa pun, di hadapan teks, yang berikhtiar untuk membaca dan memahami teks, menemukan atau belum menemukan kesimpulan, maka ia telah melakukan penafsiran. Teks juga selalu terbuka dan bergairah untuk “disetubuhi” oleh penafsir. Tak ada “pemerkosaan” teks. Bagi saya “pemerkosaan” adalah pemaksaan penafsiran. Inilah yang sering terjadi: “memperkosa” penafsiran orang lain dengan penafsirannya sendiri.

Problem Penafsiran

Dalam ranah penafsiran ini pula, sekali lagi, kutipan dari Imam Ali Ra. menemukan ranahnya. Bahwa Quran itu bisu (tidak bisa bicara) namun ia diberi suara oleh penafsir, “al-mush-haf bayna daftay al-kitab la yanthiq, wa innama yanthiqu bihi al-rijal”. Penafsiran berarti sebuah proses “pemberian suara” pada “sesuatu yang bisu”.

Namun bukan berarti saya tidak menyadari dampak dari kebebasan penafsiran ini. Penafsiran yang berarti “pemelaran” teks. Saya ingin mengutip keluhan Abid al-Jabiri, seorang pemikir dari Maroko, yang menurutnya penafsiran adalah proses “istitsmar al-lafdz” yakni “pembuahan kata”. Penafsiran adalah—ini kalimat saya—proses “penyerbukan” dari penafsir terhadap teks yang bisa menjadikan teks itu “berbuah”. Namun Abid Al-Jabiri yang cemerlang itu tidak menggunakan “pemerkosaan teks”.
Al-Jabiri melakukan kritik terhadap metode “qiyas” (analogi) yang dilakukan oleh Imam Syafi’i dalam bidang pengambilan hukum Islam. Menurutnya “pembuahan kata” ini tidak selalu bisa menyelesaikan krisis pengambilan hukum, bagaimana teks yang jumlahnya sangat terbatas bisa memberikan hukum pada gerak-laju kehidupan manusia yang tanpa batas?

Saya sangat setuju pada pandangan Abid Al-Jabiri ini, kita tidak boleh berhenti pada “pembuahan kata” saja. Namun sepajang pengamatan saya, kaum Liberal atau Progresif Islam di Indonesia tidak bisa keluar dari wilayah ini: terus merambah dan membuka lahan baru untuk melakukan “penafsiran yang bebas”. Dan di seberang sana, kaum Fundamentalis menyebut proses ini sebagai “pemerkosaan teks” juga.

Jebakan “Justifikasi Tekstual”

Saya mengamati sejak isu LGBTIQ ini dilemparkan dalam ruang diskusi ini, telah terjebak pada “justifikasi tekstual”. Saya sungguh heran, sejak kapan kita begitu yakin pada “justifikasi tekstual” semacam ini. Sepanjang pergulatan saya dalam ide-ide Islam yang progresif atau liberal, tidak ada pretensi memberikan “justifikasi tekstual” karena hal ini sama saja dengan “kerjaan” MUI dan kalangan fundamentalis yang mengklaim diri mereka sebagai sumber otoritas untuk menetapkan “justifikasi tekstual”.

Secara vulgar, “justifikasi tekstual” adalah “pelabelan” yang halal atau haram, yang sah atau batil terhadap perbuatan—mungkin nantinya juga pemikiran yang dipandang tidak bisa memiliki “justifikasi tekstualnya”. Terlampu terburu-buru apabila memperbincangkan soal LGBTIQ ini dengan“justifikasi tekstual”. Mungkin ini bisa disebut “ejakulasi dini” dari pemikiran.

Mempercayai adanya “justifikasi tekstual” bagi saya memiliki dampak yang berbahaya. Pertama, kita akan mengakui adanya sumber justifikasi itu di luar sang penafsir: baik individu atau lembaga yang bisa mengatasnamakan “justifikasi” dari teks. Kedua, kita juga akan percaya bahwa teks dari azalinya bukan hanya mengandung makna saja, lebih dari itu, teks itu telah mampu memilah-milah makna: yang terjustifikasi dan yang tidak terjustifikasi.

Pengalaman saya pribadi, dan amatan saya selama ini, manusia hidup tidak butuh “justifikasi tekstual”. Dari saya bangun tidur hingga saya tidur lagi—kalau saya ingin mengambil contoh yang sangat sederhana—saya tidak butuh “justifikasi tekstual”. Saya mandi, pergi ke kantor, menyebrang jalan, di depan komputer, dst. tidak memerlukan justifikasi tekstual sama sekali. Pun dalam tingkat yang lebih “tinggi” berinteraksi dengan orang lain. “Justifikasi” yang dipakai adalah “justifikasi hati-nurani”. Kalau saya sungguh-sungguh menggunakan “justifikasi” yang diambil dari teks, maka saya bisa meminggirkan terhadap orang-orang yang berbeda agama dan keyakinan.

Teks bagi saya hanyalah penegasan terhadap capaian-capaian akal-budi dan hati-nurani manusia. Sabda Nabi Muhammad menemukan ranahnya di sini, “sal dlamirak” (bertanyalah pada hati-nuranimu) atau “istafti qalbak” (mintalah fatwa pada hati-nuranimu).

Memperkaya Khazanah Literatur Islam

Saya ingin melakukan otokritik pada kaum Liberal atau Progresif Islam di Indonesia yang selama ini terlalu percaya pada penafsiran yang bebas tanpa mau mencari teks-teks lain yang dengan sengaja dikubur. Teks yang saya maksud, teks di luar “teks agama”: fikih, tafsir, dan hadis.

Saya maklum ada keterbatasan mengakses naskah dan kitab klasik, khususnya kitab-kitab sejarah dan sastra yang bisa memunculkan teks-teks dan informasi lain. Kita, mungkin, terlalu mengandalkan pada satu kategori, kitab-kitab yang dipahami sebagai “kitab agama” karena kebutuhan mencari “justifikasi” itu. Lebih dari itu ada tendensi dari setiap pembacaan dan penafsiran itu untuk mencari “justifikasi”. Justifikasi terhadap Islam yang Progresif, Islam yang Moderat, Islam yang Liberal, Islam yang Modern, dll. Dan kita menyaksikan “pasar bebas-tafsir” di sini.

Saya sebenarnya ingin keluar dari hiruk-pikuk penafsiran itu. Bagi saya, penafsiran akan sia-sia kalau kita tidak memiliki ikhtiar memunculkan kembali teks-teks yang dikubur. Teks yang disepelekan karena ia tidak berlabel agama, teks yang tidak disahihkan oleh kategori ilmu hadis yang menentukan valid dan tidaknya sebuah mata-rantai riwayat. Meskipun setelah diteliti, metodologi ahli hadis pun kalau dilihat dari metodologi sejarah, sangat bermasalah. Penelitian sejarah sangat tergantung pada bukti-bukti material: dokumen, tulisan, dll.

Ahli hadis pun mafhum dengan syarat ini, mereka juga memberikan lima syarat pada periwayatan hadis, salah satunya seorang periwayat haruslah memiliki kategori, “dlabth” yang berarti ia harus memiliki hafalan yang kuat “dlabth al-shadr” dan tulisan yang akurat “dlabth al-kitabah”. Namun kategori tulisan ini tidak bisa dibuktikan oleh ahli hadis itu, mereka hanya percaya pada tradisi lisan. Mayoritas perawi hadis adalah buta huruf. Abu Hurayrah yang menyumbangkan paling banyak hadis-hadis dalam kalangan Sunni, ternyata seorang buta huruf!

Oleh karena itu, kategori hadis-hadis yang sahih, daif (lemah) dan “mawdlu’” (palsu) dalam periwayatan teks, tergantung siapa yang menggunakan label itu. Saya melihatnya lebih pada produk kekuasaan daripada produk pengetahuan. Namun metodologi ilmu hadis merupakan pengetahuan yang bekerjasama dengan kekuasaan untuk menentukan sahih dan tidaknya riwayat teks agama.

Bagi saya inilah kesempatan untuk menemukan kembali teks-teks yang dikubur itu yang dimasukkan dalam kategori: tidak sahih, daif, mawdlu’, teks sekunder, teks kelompok mulhid, murtad, legenda, mitos, kisah dll yang pada dasarnya agama lahir dari rahim ini.

Agama bukan Hanya Untuk “Justifikasi”

Dan dalam konteks ini pula bagi saya belajar agama bukan hanya soal mencari “justifikasi”. Tujuan ini terlalu menyempitkan pengetahuan. Malah ini merupakan tujuan yang naif. Sejak berabad-abad lalu fungsi agama sebagai justifikasi telah banyak diambil alih oleh disiplin ilmu yang lain. Saya yakin orang Liberal sangat paham ini. Sekonyong-konyong kita ingin mencari “justifikasi” dari agama?
Tidak percaya pada “justifikasi agama” bukan berarti tidak tergerak untuk mempelajari agama. Sikap inilah yang dikiritik oleh Mohamed Arkoun di Prancis, ketika ia menemukan paham “sekularisme” di Prancis merupakan sikap “diam” dan “tabu” terhadap agama. Bagi Arkoun ini bukan sekularisme, tapi “sekularianisme” = sekularisme “jadi-jadian”, “sekularisme radikal” atau apa lah istilahnya. Dalam istilah Arkoun bukan “al-‘almaniyah” tapi “al-alamanawiyah”.

Dalam konteks Prancis tidak bisa dijadikan sumber justifikasi, dan yang terjadi dalam sejarah Prancis: agama justeru menjadi justifikasi kekerasan. Oleh karena itu, agama harus dienyahkan dan tidak perlu dipelajari.

Bagi Arkoun sikap ini jelas-jelas keliru, baginya agama tetap penting dipelajari, tentu saja bukan untuk dicari justifikasinya, tapi melakukan studi-kritis terhadap agama. Bukan agama sebagai dogma namun lebih pada materi sosiologi agama, antropologi agama, sejarah agama. Materi-materi agama inilah yang dianjutkan oleh Arkoun agar dipelajari di sekolah-sekolah umum milik Pemerintah Prancis.

Agama sebagai sumber justifikasi bagi saya telah berakhir. Namun manusia yang menjadikan agama sebagai sumber justifikasi, mungkin tidak pernah berakhir, terus bermunculan, ia bisa lahir dari rahim modernisme—yang hakikatnya ingin “mengakhiri” agama sebagai sumber justifikasi—dan ia juga bisa muncul di kalangan Liberal. Ingat, kebangkitan fundamentalisme bukan hanya karena mereka semakin menguasai pusat-pusat kebijakan, namun juga kalangan Progresif dan Liberal pun mulai bergerak ke kanan.

Dalam konteks ini, isu LGBTIQ bisa dibicarakan dalam Islam. Sikap “diam” dan “nyerah” bagi saya karena kita telah menjerumuskan diri kita pada “justifikasi tekstual”. Saya kira, kita telah memulai langkah yang salah. Bukan hal yang mustahil kita bicarakan soal LGBTIQ ini apabila kita memutar kembali haluan ini, yakni bukan haluan “justifikasi tekstual”.

Seorang kawan saya bernama Aquino menyatakan ketika kita memperbicangkan homoseksualitas dengan agama ialah: dialog agama dan LGBTIQ. Irshad Manji, seorang lesbian muslimah, juga menyatakan hal itu dalam bukunya The Trouble with Islam Today. Bukan untuk mencari justifikasi teks, tapi mencoba merekonsialiasikan teks agama dengan persoalan LGBTIQ. Manji melakukan lakukan hak itu saat ia mengasuh acara QueerTV. Bagi saya, Manji percaya bahwa banyak sumber justifikasi. Termasuk pendapat pemirsa TV dan opini publik pun bisa adalah justifikasi.

Selama ini kita menerima informasi bahwa sikap Islam sangat kasar kelompok LGBTIQ, benarkah? Bagaimana kalau kita dialogkan dua pihak ini? Yang kasar itu, teksnya atau penafsirnya? Kalau teksnya ternyata kasar, mengapa? Bukankah Islam dulu juga memerintahkan peperangan, mengakui perbudakan, pro-kekerasan, kesewenang-wenangan terhadap perempuan? Apakah kita tidak bisa mendialogkan LGBTIQ dengan Islam dalam ranah ini? Kalau kita masih percaya pada “mukjizat” penafsiran, pasti akan melalukan hal ini.

Pun LGBTIQ masih dalam konteks kemanusiaan, ia perkara seksualitas, soal syahwat, orientasi dan identitas seksual yang hanya saja dicap “tidak normal” “tidak alamiah” “tidak kodrati” dan “menyimpang”. Dan kita tidak sedang terpaksa untuk mencari, misalnya “justifikasi tekstual”: mengapa pesawat yang terbuat dari besi itu bisa terbang? Kapal laut yang juga terbuat dari besi yang beratnya berton-ton bisa mengapung di air? Sungguh, LGBTIQ ini masih soal hakikat manusia.

Kalau saya sendiri akan berikhtiar membaca kembali khazanah klasik Islam soal isu ini, dan jauh-jauh dari tujuan “justifikasi”, karena tujuan ini lebih sah dan layak dilakukan oleh saudara-saudara kita LGBTIQ yang lebih memahami diri mereka sendiri. Kalau boleh saya menamsilkan di sini: kita hanya merambahkan jalan yang banyak aral-merintangnya dari “agama”, dan saya yakin mereka akan sampai.

Saya juga menemukan bahwa kebencian kalangan agama terhadap homoseksualitas karena terdapat dalil-dalil agama yang dianggap memusuhi homoseksual. Untuk itu saya anjurkan anda membaca tulisan saya ”Lesbian dalam Seksualitas Islam” terutama di bagian “Dalil-dalil Homofobia dalam Teks Islam” yang telah terbit di Jurnal Perempuan, edisi 58, Maret 2008. Tulisan itu tersedia di akun facebook saya.

Sekian dan terima kasih.

Jakarta 9 November 2009

Mohamad Guntur Romli

Catatan tulisan:

* Tulisan ini hanya untuk bahan bacaan saja dalam acara “One Day, One Struggle” dengan tema “Qanun Jinayat: Masihkah Relevan untuk Indonesia?” Senin 9 November 2009. Kegiatan ini merupakan rangkaian dari “Kampanye Internasional untuk Mempromosikan HAM dalam Masyarakat Muslim” Kerja bareng Center for Marginalize People (CMARs), GAYa NUSANTARA dan BEM IAIN Sunan Ampel Surabaya.

Read more...

Sepasang Lelaki Dimabuk Cinta

>> Minggu, 15 November 2009


: buat kekasihku

Di kamar ini hanya ada kita berdua. Kau dan aku. Sepasang lelaki dimabuk cinta menantang dunia. Kau tatap langit-langit yang retak, aku menyusup di semak lebat ketiak. Kau rengkuh tubuhku lebih dekat, aku peluk tubuhmu lebih erat. Kita tak saling bicara. Hanya rasa yang berkata-kata. Degup jantungmu penuh aksara cinta, hembusan nafasku merangkainya dalam kalimat cinta. Kamar ini menjelma surga. Pijar bahagia memancar di setiap sudutnya. Indah. Seindah embun pertama di pucuk bunga. Bungah hati tak terkira. Lalu kau kecup bibirku dengan mesra, aku balas dengan lumatan penuh gelora.

Jangan dengar mereka yang mencerca. Kau cinta aku cinta kau. Cukup. Mereka hanyalah makhluk-makhluk alpa yang tak menemu cinta di dunia. Selalu sibuk dengan mimpi kosong tentang dosa dan pahala, surga dan neraka, akhirat dan dunia. Kekasihku, kasihanilah mereka. Ajarkan cara mengeja rasa dan menggubah makna. Terlampau lama mereka buta. Tersesat dendam penuh praduga. Terjebak sejarah penuh luka. Lihatlah, mereka menyiram api, diri mereka sendiri yang terbakar. Ayo, kita beri pencerahan. Tak mungkin menggapai langit bila kaki menjejak bumi. Padahal semua yang mereka pahami ada di sini. Ah, terkadang sulit membangunkan makhluk yang lupa diri sendiri.

Kekasihku, aku melihat tuhan. Dia tersenyum penuh ketakjuban. Dua tangannya merengkuh jiwa kita. Hangat. Dekapan tuhan begitu hangat. Dia membebaskan tubuh yang memenjara. Dia mengikhlaskan jiwa yang penuh cinta. Ah, aku tergelitik bisikan tuhan yang menggoda. Dia menyuruh kita kembali bercinta. Baginya, kejujuran bukan dosa. Kejujuran gerbang mengenalnya lebih dalam. Seperti kau dan aku yang menjumpainya di semesta. Tidak seperti mereka yang memperalatnya untuk menghina. Ah, andai mereka bisa melihat tuhan seperti yang kita lihat sekarang.

Kekasihku, ayo kita bercinta, biar tuhan jadi saksinya, jangan pedulikan mereka.

By: Antok Serean
Kertajaya Surabaya, 12.11.2009, 10.58 PM

Read more...

Waria Pekerja Salon Di Siksa 20 Polisi

>> Rabu, 04 November 2009


Setiap tanggal 31 Oktober mungkin sebagian besar penduduk dunia khususnya wilayah barat adalah malam dimana perayaan Hallowen berlangsung. Para warga memakai kostum hantu mengukir labu dan berbagi keceriaan dengan permen. Namun kebahagiaan itu tidak berlaku bagi Rico Saputra, pria berusia 19 tahun yang di tangkap dan dipaksa mengaku kalau dia pencuri handphone saat ia berakhir pekan dengan teman-temannya di Taman area Blok-M Jakarta Selatan.

Karena Rico yang merupakan pekerja salon tidak mau mengaku kalau ia adalah sang pencuri, lalu sekitar 20 orang polisi mulai menghakimi dengan memukuli, menendang, menyundut rokok, menabok dengan sepatu, lukanya disiram beer dan dikencingi. Setelah penyiksaan itu Rico dibawa ke kantor polisi Blok-m untuk di tahan. Rico adalah seorang transgender pada saat kejadian menggunakan atribut sebagai sebagai seorang waria.

Mengetahui penyiksaan tersebut pada hari minggu, 1 september 2009 organisasi Arus Pelangi yang kerja untuk hak-hak kelompok waria dan homoseksual bekerjasama dengan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta membantu mendampingin Rico untuk menuntut tanggung jawab para pelaku penyiksaan. Yang diduga dilakukan oleh anggota 20 orang polisi.

Sepertinya tindakan penyiksaan dan main hakim sendiri masih terus menjadi wajah sehari-hari di bangsa ini. Walaupun Indonesia sudah meratifikasi konvensi anti penyiksaan dan hukuman kejam yang tidak manusia. Tapi konvensi itu tidak membuat Rico terbebaskan dari penyiksaan yang diduga dilakukan oleh anggota polisi. Bagaimana dengan azaz praduga tak bersalah korban? Sampai harus di kencingi dan mendapatkan penyiksaan??
Rikky (Jurnalis Ourvoice)

Read more...