Rokok, Golput dan Homoseksual

>> Rabu, 28 Januari 2009



Bahwa kita tahu MUI baru saja mengeluarkan fatwa Haram Rokok dan Golput. Fatwa rokok haram awalnya untuk semua, tapi kemudian ada "tekanan" dari pihak mana - mana. Salah satunya adalah wapres Jusug Kalla. Maka akhirnya fatwa haram rokok hanya untuk anak, perempuan hamil dan didepan umum.

Begitu untuk fatwa haram golput , setelah ada tekanan dari para pemimpin partai seperti Hidayat Nur Wahid dan beberapa pimpinan partai lainnya. Maka MUI akhirnya mengeluarkan fatwa haram juga kepada orang Islam yang Golput pada Pemilu 2009. Hanya MUI dan penguasa yang tahu ada permainan didalam nya.

Tapi aku pikir tidak terlalu bodoh umat untuk menilai kepentingan apa yang ada dibalik halal - haram yang dikeluarkan oleh MUI sekarang ini. Atau bahkan fatwa - fatwa sebelumnya.
Begitu juga fatwa soal aborsi yang sekarang membolehkan untuk perempuan korban perkosaan. Yang dulu MUI melarang keras.

Saya tidak akan melihat dalam konteks apakah fatwa ini menjadi keuntungan bagi umat atau tidak.Karena kalau itu butuh analisa yang mendalam lagi soal siapa sebenarnya yang dintungkan dalam fatwa tersebut??

Saya akan melihat dari konteks dikeluarkannya Fatwa MUI itu, ada beberapa catatan :

1. Bahwa Fatwa halal dan haram itu adalah hasil pemikiran manusia dalam hal ini ulama yang tergabung dalam MUI. Jadi tidak semua ulama setuju dengan fatwa MUI itu. Apalagi umat, pasti banyak yang tidak setuju. Kita bisa lihat pro dan kontra nya di TV. Misalnya NU tetap tidak setuju bahwa rokok itu haram. Nu menganggap merokok itu makruh.

2. Ternyata persoalan halal - haram itu juga dipengaruhi oleh banyak faktor salah satunya adalah kekuasaan. Siapa yang punya power dapat memberikan pengaruh apakah ini halal atau haram.
Sehingga soal halal - haram terggantung pesanan siapa...
Dalam hal ini saya sedang tidak menghina Islam. Mohon teman - teman pahami maksud pendapat saya. Bahwa aku sedang bicara soal halal dan haram dalam pandangan ulama bukan Tuhan. Itu keyakinan ku, sama MUI juga punya keyakinan lain.

3. Bicara halal - haram itu artinya hanya persoalan tafsir manusia saja (MUI).
Pertanyaannya apakah yang berhak menyatakan halal dan haram itu hanya ulama yang tergabung di MUI?? Atau hanya ulama saja baik yang bergabung MUI atau tidak??
Apakah saya sebagai seorang muslim tidak punya hak menyatakan dan meyakini pendapat sendiri bahwa ini adalah halal dan haram ?? Minimal untuk diri saya sendiri.

Apakah urusan halal dan haram hanya otoritas para ulama, dalam hal ini MUI?
Terus bagaimana konsep ajaran Islam bahwa keyaninan adalah urusan individu dengan Tuhan nya? Kenapa akhirnya harus juga diserahkan kepada ulama dalam hal ini MUI untuk urusan halal - haram?
Bukan kah jadinya halal - haram itu jadi sangat kontekstual bagi setiap orang dan banyak unsur kepentingan ?

So kalau begitu apa bedanya MUI dengan sistem kepausan yang juga sama - sama mengeluarkan "fatwa" bagi umatnya? Seperti larangan aborsi dan soal homoseksual baru - baru ini oleh Paus?
So, dimana kemerdekaan beragama saya dengan Tuhan? Yang katanya sudah diberikan kepada setiap orang. Mengapa ulama merebut hak saya sebagai umat Tuhan?

4. Kalau soal halal dan haram bisa ditawar berdasarkan kepentingan. Berarti semua hal yang menyangkut halal - haram, dosa - pahala bisa ditawar - tawar juga dong.
Ini kan menunjukkan bahwa tafsir itu memang sangat subjektif sekali.
Tetapi mengapa untuk banyak hal, persoalan halal - haram, dosa - pahala seprti sudah tidak pernah bisa didialogkan lagi? Seperti sudah kunci rapat - rapat.
Misalnya untuk persoalan homoseksual ( yang jelas saya punya kepentingan dalam hal ini).
Mengapa ulama - ulama, dalam hal MUI sudah begitu kakunya melihat persoalan homoseksual.
Seperti sudah tidak ada lagi ruang dialog membahas tafsir yang lain menyangkut soal dosa dan tidak dosa terhadap homoseksual??
Dalam konteks homoseksual mengapa MUI tidak bersikap seperti yang terjadi pada fatwa rokok, golput dan aborsi? Yang masih ada tawar menawarnya.

Apakah karena kelompok homoseksual bukan penguasa dan bukan wakil presiden? Apakah kalau misalnya saya menjadi presiden Indonesia suatu saat nanti, urusan fatwa halal - haram soal homoseksual akan mempunyai cerita lain lagi?
Pertanyaan ini terus menggeletik saya pada saat membaca berita soal fatwa halal - haram dari MUI baru - baru ini.


Wasalam


Toyo

3 komentar:

phery 28 Januari 2009 pukul 15.20  

memang saat ini banyak terjadi pedebatan masalah diharamkannya merokok dan yang terbaru diharamkannya bagi yang golput. Menurut saya, merokok tidak pantas ditempatkan sebagai hal yang haram, karena merokok tidak menyebabkan berdosa, tetapi menyebabkan sakit, itu menurut saya loh. Kalo golput, saya rasa orang yang golput itu juga merupakan pilihan. Apapu pilihannya kita harus menghargai akrena emang baru sampai disini pembelajaran negara kita mengenai politik. Kalo homoseksual.... saya gak ikut deh

chrystofel 29 Januari 2009 pukul 12.26  

satu hal yg perlu saya sharing bahwa sebenarnya MUI merupakan perpanjangan tangan HAMAS yang nota bene aliran radikal Islam. yang merupakan satu aliran dengan FPI, PKS dll

so sudah pasti dia ingin menunjukkan kekuatannya. dengan membuat hal spt itu dia ingin mengatur pemerintahan indonesia.

ya dengan kata lain, lg iseng aja keluarin fatwa larangan merokok 'n fatwa larangan golput.

Gay Indonesia 29 Januari 2009 pukul 17.09  

Wah kalau MUI itu panjang tangan HAMAS, FPI dan PKS itu aku belum bisa komentar apa-apa. Takut nanti malah jadi fitnah. :):). Tapi setahu aku FPI itu beda dengan PKS dan HTI. Ada banyak permainan di sana - sini. Setahu aku Hamas itu Syiah sedang kan PKS sendiri di Indonesia banyak bertentangan dengan syiah. Jadi aku benar - benar belum bisa menyimpulkan sesuatu yang kamu sampaikan itu. Takut salah, mungkin mesti belajar lagi aku.

Kalau soal tanggapan Phery, saya cuma mau tanya saja. Kira - kira kenapa kita behitu takut untuk mendiskusikan soal homoseksual dalam Islam. Dari pandangan yang lain. Maksud aku selama ini kita selalu tunduk dengan tafsir tunggal saja. Soal homoseksual itu. Makanya aku pikir perlu dilihat dan dikaji lagi. Karena pengetahuan (dalam hal ini tafsir) itu tidak boleh berhenti. Tapi dia harus dinamis mengikuti perkembangan hidup manusia.


Salam


Toyo