PERNYATAAN SIKAP

>> Kamis, 27 Agustus 2009


Jaga Kesucian Bulan Ramadhan,

Hentikan Kekerasan Terhadap Pekerja Seks”


Bulan Suci Ramadhan adalah bulan yang ditunggu-tunggu umat muslim di seluruh dunia termasuk Indonesia,. Bulan Suci Ramadhan merupakan bulan penuh berkah, di mana setiap umat muslim berlomba-lomba melakukan kebaikan. Ironisnya bulan Suci Ramadhan dinodai dengan tindakan kekerasan yang dialami oleh masyarakat marginal. Beberapa tayangan televisi di Indonesia (RCTI, Sergap, 22 Agustus 2009) menunjukkan, bagaimana masyarakat yang dinyatakan sebagai pekerja seks di Provinsi Riau dan beberapa daerah lainnya diserbu oleh sekelompok masyarakat dan lembaga organisasi muslim (seperti MUI – Majelis Ulama Indonesia). Begitu juga Satpol PP sebagai aparat yang digaji oleh rakyat, justru terlibat langsung dalam melakukan kekerasan terhadap masyarakat marginal tersebut.

Masyarakat yang terdiri dari perempuan dan anak-anak menjerit-jerit ketakutan, menangis histeris dan kemungkinan besar mengalami trauma yang cukup mendalam. Aksi penyerbuan tersebut dilakukan oleh para pelaku dengan dasar pikiran untuk mejaga kesucian bulan Ramadhan sama sekali tidak mendasar. Bahwa pekerja seks juga menjadi bagian dari warga negara Indonesia yang memiliki hak yang sama dengan warga negara lainnya. Pilihan pekerjaan pekerja seks menunjukkan bagaimana kemiskinan struktural belum mampu diatasi oleh pemerintah, sehingga berdampak pada persoalan warga negara yang harus menjual diri sebagai pekerja sex. Sehingga sudah jelas bahwa pekerja sex adalah kelompok yang menjadi korban dari sistem yang tidak adil.

Kelompok masyarakat dan oknum-oknum ulama tidak semestinya menebarkan kebencian terhadap pekerja seks dengan mengaitkan profesi mereka sebagai tindakan yang tidak bermoral. Penyerbuan dan pengkriminal terhadap kelompok pekerja seks menunjukkan moralitas siapa sesungguhnya yang harus dipertanyakan??? Peristiwa ini sangat disayangan oleh semua pihak di Indonesia yang menginginkan terjadinya perdamaian. Pasca peristiwa Bom Ritz Carlton Hotel dan JW. Marriot pada tanggal 17 Juli 2009 yang lalu, masyarakat dan pemerintah bekerja keras menunjukkan kepada dunia bahwa Bangsa Indonesia adalah bangsa yang pro terhadap perdamaian dengan tidak memberikan toleransi terhadap tindakan-tindakan kekerasan. Tindakan penyerbuan dan pengkriminalan terhadap pekerja seks dikhawatirkan akan menghancurkan upaya-upaya perdamaian yang telah dilakukan dan merusak citra Indonesia di mata dunia.

Sehubungan dengan peristiwa ini, kami dari Koalisi NGO Anti Kekerasan (KONTaK) Indonesia menyatakan sikap:

1. Menolak berbagai tindakan kekerasan terhadap masyarakat secara khusus terhadap pekerja seks di bulan Ramadhan maupun di bulan-bulan berikutnya.

2. Mendesak pemerintah secara khusus Kepolisian sebagai bagian dari aparat penegak hukum untuk memberikan perlindungan terhadap seluruh elemen masyarakat secara khusus kelompok-kelompok marginal yang rentan terhadap tindakan kekerasan.

3. Mendesak pemerintah secara khusus Kepolisian untuk berani menindak dengan tegas pelaku kekerasan di tengah masyarakat.

4. Mendorong tokoh-tokoh agama di Indonesia secara gencar mengkampanyekan anti kekerasan dalam setiap mengatasi persoalan masyarakat Indonesia.

5. Mengajak seluruh elemen masyarakat untuk berlomba-lomba menebarkan kebaikan dan mewujudkan perdamaian di negara Republik Indonesia.

6. Mendesak pemerintah untuk mengganti seluruh kerugian para korban akibat tindakan kekerasan yang dialami masyarakat secara khusus pekerja seks.

7. Mendesak pemerintah untuk sesegera mungkin MENGHAPUSKAN KEBIJAKAN DITINGKAT NASIONAL MAUPUN DAERAH YANG MENGRIMINALKAN PEKERJA SEKS.

Demikian pernyataan sikap ini kami sampaikan, dengan harapan semua pihak yang terkait di dalamnya dapat memperhatikan pernyataan sikap ini untuk KEHIDUPAN INDONESIA YANG LEBIH BAIK.

JAGA KESUCIAN BULAN RAMADHAN DENGAN MENGHENTIKAN KEKERASAN DAN MEWUJUDKAN PERDAMAIAN.

Jakarta, 26 Agustus 2009

KOALISI NGO ANTI KEKERASAN (KONTaK) INDONESIA

Our Voice, Aliansi SUMUT Bersatu, Pusat Pendidikan dan Advokasi Masyarakat Indonesia (Perkumpulan PEDULI) Medan, Lembaga Advokasi dan Pemberdayaan Rakyat (LAYAR) Siantar SUMUT, Organisasi Pekerja Seks Indonesia (OPSI), Solidaritas Perempuan Pekerja Seks (SP2S) Serdang Bedagai SUMUT, Pendampingan Perempuan Marginal (NEGACI) Serdang Bedagai, ANBTI, Jurnal Perempuan, Kapal Perempuan, Aliansi Jogja Untuk Indonesia (AJI) Damai, LETARE SUMUT, Lembaga Pengkajian dan Pemberdaryaan Masyarakat (LP2M) Padang, WCC Sopou Damei GKPS, WCC Palembang, Kajian Informasi, Pendidikan dan Penerbitan Sumatera (KIPPAS), Perkumpulan Sada Ahmo, LBH APIK Aceh, Kalyanamitra, Rumpun Tjut Nyak Din Jogjakarta, Kelompok Study dan Pengembangan Prakarsa Masyarakat (KSPPM) SUMUT, Migrant Care, Kartini ASIA, Violet Greey, Aliansi Perempuan Lamongan Jatim, Koalisi Perempuan Gresik Jatim, Imparsial, Koalisi Perempuan Indonesia (KPI) Nasional, JALA PRT.

Kontak Person :

Hartoyo (081376 192516)

Veryanto Sitohang ( 081265 93680)

Read more...

>> Senin, 24 Agustus 2009

JAKARTA, KOMPAS.com — Pemerintah dinilai masih belum serius dalam menangani masalah HIV/AIDS bila dilihat dari kebijakan anggaran yang ada. Kebijakan anggaran dari pemerintah untuk HIV/AIDS masih diskriminatif.

Demikian satu benang merah dalam Diskusi Publik "Komitmen Pemerintah SBY Dalam Kebijakan Anggaran Yang Responsif HIV dan AIDS" yang diselenggarakan Sekretariat Nasional Forum Indonesia Untuk Transparansi Anggaran (Fitra) dan OurVoice, di Jakarta, Kamis (20/8).

Diskusi ini menghadirkan perwakilan DPR RI Eva Sundari, Budi Hermanto dari Komisi Penanggulangan AIDS Nasional, Yenny Sucipto dari Seknas Fitra, dan Hartoyo dari OurVoice.

"Kita coba telusuri anggaran dana itu hanya ada di enam kementerian, yaitu di Departemen Pendidikan Nasional, Departemen Kesehatan, Sosial, BKKBN, Kementerian Pemuda dan Olahraga, dan Badan Narkotika Nasional. Padahal, kewenangan untuk pencegahan dan pengobatan HIV AIDS itu ada di 13 kementerian.” ujar Yenny.

Yenny menambahkan, alokasi dana dari kementerian yang ada diskriminatif karena 82 persen di antaranya dikhususkan untuk program pencegahan. Adapun dana untuk program-program pengobatan serta fasilitas perawatan masih minim. Fokus pemerintah sendiri untuk pencegahan adalah pada bidang narkotika sehingga dana terbesar dimiliki Badan Narkotika Nasional (BNN).

Menanggapi data ini, Politisi PDI-P Eva Sundari mengatakan bahwa advokasi anggaran lebih baik dibawa ke sisi pemerintah, bukan ke DPR. Namun ia menambahkan, ada beberapa peluang bila diskusi ini ingin dilanjutkan ke tingkat yang lebih tinggi. Seperti rencana pembahasan APBN 2012 yang akan dibahas mulai dari bulan Februari 2011 serta persiapan draf alternatif untuk anggaran HIV/AIDS.

Budi Hermanto menekankan betapa sulitnya mengontrol masing-masing departemen karena di bawah kelembagaan. Namun, KPAN tetap melakukan tugasnya dalam mengoordinasi, memimpin, dan mencari sumber-sumber dana untuk pencegahan kasus HIV/AIDS, baik dari dalam, maupun luar negeri.

“Prinsip dari KPA Nasional semakin banyak yang dicegah untuk tidak sakit itu adalah semakin baik karena, begitu sakit, obatnya cukup mahal sekali,” ujar Budi.

Menurut data Seknas Fitra di tahun 2009, jumlah kasus HIV dan AIDS terdeteksi yang ditangani mencapai 16.964 dari sebelumnya 11.141 kasus pada 2008. Ada asumsi bahwa pada 2010 akan ada 400.000 kasus di seluruh Indonesia dengan angka kematian mencapai 100.000 orang.

Dana yang dianggarkan untuk pencegahan HIV/AIDS di tahun 2009 adalah sebesar Rp 366,6 miliar dengan alokasi Rp 196,6 miliar untuk pencegahan dan Rp 8,8 miliar untuk perawatan dan pengobatan.

M12-09

file:///D:/Penelitian/Anggaran%20ODHA/Media/diskriminatif.anggaran.untuk.hiv.dan.aids.htm

file:///D:/Penelitian/Anggaran%20ODHA/Media/anggaran-penanggulangan-hivaids-diklaim-meningkat-kenyataannya-turun.html

file:///D:/Penelitian/Anggaran%20ODHA/Media/jakarta%20globe.htm

file:///D:/Penelitian/Anggaran%20ODHA/Media/langkan%20kompas%20cetak.htm[/color]

Read more...

Deklarasi Argentina

>> Minggu, 09 Agustus 2009



Pada tanggal 18 Desember 2008, sebuah deklarasi PBB mengenai dekriminalisasi LGBTI dibahas di sidang umum PBB. Deklarasi ini disponsori, terutama oleh Perancis dan Belanda. Inisiatif ini diajukan oleh salah seorang aktivis LGBTI dari Perancis, Louis-George Tin, yang juga pertama kali mengagas International Day Against Homophobia (IDAHO) yang dirayakan setiap tanggal 17 Mei.

Negara-negara yang menandatangani resolusi Argentina ini adalah Albania, Andorra, Argentina, Armenia, Australia, Austria, Belgia, Bolivia, Bosnia dan Herzegovina, Brazil, Bulgaria, Canada, Cape Verde, Republik Afrika Tengah Chili, Kolombia, Kroasia, Kuba, Cyprus, Republik Ceko, Denmark, Ekuador, Estonia, Finlandia, Perancis, Gabon, Georgia, Jerman, Yunani, Guinea-Bissau, Hungaria, Iceland, Ireland, Israel, Italy, Japan, Latvia, Liechtenstein, Lithuania, Luxembourg, Malta, Mauritius, Meksiko, Montenegro, Nepal, Belanda, Selandia Baru, Nikaragua, Norwegia, Paraguay, Polandia, Portugis, Romania, San Marino, Sao Tome dan Principe, Serbia, Slowakia, Slovenia, Spanyol, Swedia, Swiaa, the former Yugoslav Republic of Macedonia, Timor-Leste, Inggris, Uruguay, dan Venezuela.

Ada 13 poin dalam deklarasi yang dibacakan oleh perwakilan Argentina, Jorge Argüello:

1.“Kami menegaskan kembali prinsip universal dari Hak Asasi Manusia, seperti yang dituangkan dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia, dimana pada tahun ini merupakan perayaan yang ke 60 semenjak deklarasi tersebut dikumandangkan, artikel 1 dari deklarasi tersebut menyatakan bahwa semua manusia terlahir merdeka dan setara martabat dan haknya.”

2.“Kami menegaskan kembali bahwa setiap orang memiliki kewenangan dalam menjalankan Hak-hak asasinya tanpa dibeda-bedakan dalam hal apapun, seperti ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, pandangan politik atau opini lain, kewarganegaraan atau tempat tinggal, kepemilikan, lahir atau atau status fisik lain, seperti yang dituangkan dalam artikel 2 dari Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia dan artikel 2 dari Perjanjian Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik, Ekonomi, Sosial dan Budaya, seperti dicantumkan dalam artikel 26 dari Perjanjian Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik.”

3.“Kami menegaskan kembali prinsip-prinsip non-diskriminatif hak-hak asasi manusia berlaku sama terhadap seluruh manusia tanpa membedakan orientasi seksual dan identitas gender.”
4.“Kami sangat prihatin terhadap pelanggaran hak-hak asasi manusia serta kebebasan yang didasari pada orientasi seksual atau indentitas gender.”
5.“Kami juga sangat terganggu dengan adanya kekerasan, pelecehan, diskriminasi, pengasingan, stigmatisasi, serta anggapan negatif yang ditujukan kepada perseorangan di seluruh negara di dunia yang didasarkan pada orientasi seksual dan identitas gender, dimana hal-hal seperti ini menghiraukan integritas serta martabat mereka yang terkena dampaknya.”
6.“Kami mengutuk pelanggaran hak-hak asasi manusia berdasarkan orientasi seksual atau identitas gender, dimanapun hal tersebut terjadi, terutama dalam penggunaan hukuman mati, main hakim, eksekusi tanpa sidang, penyiksaan serta berbagai tindakan lain yang keji, tidak manusiawi, serta perlakuan dan hukman yang merendahkan, penangkapan serta penahanan sewenang-wenang serta pembatasan hak-hak ekonomi, sosial dan budaya, termasuk hak yang berhubungan dengan kesehatan.”
7.“Kami mengingat kembali pernyataan di tahun 2006 dalam Komite Hak Asasi Manusia dengan 54 negara meminta presiden dari komite untuk menyediakan kesempatan, di kesempatan lain di masa depan, untuk membahas pelanggaran- pelanngaran ini.”
8.“Kami memuji adanya perhatian mengenai isu ini dengan prosedur spesial dari Komite Hak Asasi Manusia serta badan-badan yang dibawahinya serta mendukung untuk dilanjutkannya integrasi masalah pelanggaran hak asasi manusia berdasarkan orientasi seksual atau identitas gender dalam kemampuan mandat mereka.”
9.“Kami menerima adopsi dari resolusi AG/RES. 2435 (XXXVIII-O/08) mengenai ‘Hak Asasi Manusia, Orientasi Seksual, Serta Identitas Gender’ oleh sidang umum dari Organisasi Negara-Negara Amerika pada sesi ke-38 di 3 Juni 2008.”
10. “Kami meminta seluruh negara dan mekanisme hak-hak asasi manusia untuk berkomitmen untuk melaksanakan serta melindungi hak-hak asasi manusia dari semua orang, tanpa memandang orientasi seksual, dan identitas gender.”
11.“Kami meminta negara-negara untuk mengambil segala cara, terutama legislatif dan administatif, untuk memastikan bahwa orientasi seksual atau identitas gender dalam segala kondisi tidak dijadikan dasar untuk hukuman kriminal, terutama hukuman mati, penangkapan, atau penahanan.”
12.“Kamu meminta negara-negara untuk memastikan bahwa pelanggaran hak asasi manusia yang didasarkan pada orientasi seksual atau identitas gender untuk diselidiki dan pelakunya dihukum serta dibawa ke pengadilan.”
13.“Kami meminta negara-negara untuk memastikan perlindungan yang cukup untuk para pejuang hak-hak asasi manusia, serta segala hal yang menghalangi mereka dalam mengerjakan tugas mereka mengenai isu hak asasi manusia dalam orientasi seksual dan identitas gender.”

Setelah pembacaan resolusi tersebut oleh perwakilan Argentina, perwakilan dari Suriah, Abdullah Hallak, mengajukan perlawanan terhadap resolusi tersebut yang ditandatangani oleh Afganistan, Algeria, Bahrain, Bangladesh, Benin, Brunei, Kamerun, Chad, Comoros, Pantai Gading, Korea Utara, Dijbouti, Mesir, Eritrea, Ethiopia, Fiji, Gambia, Guinea, INDONESIA, Iran, Irak, Yordania, Kazakhstan, Kenya, Kuwait, Libanon, Libya, Malawi, Malaysia, Maldives, Mali, Mauritania, Maroko, Niger, Nigeria, Oman, Pakistan, Qatar, Rwanda, Santa Lusia, Arab Saudi, Senegal, Sierra Leone, Kepulauan Solomon, Somalia, Sudan, Swaziland, Suriah, Tajikistan, Togo, Tunisia, Turkmenistan, Uganda, Uni Emirat Arab, United Republic of Tanzania, Yaman, dan Zimbabwe.

Isi dari resoulusi Suriah ini adalah:

1.“Hak-hak yang didasari pada orientasi seksual dan identitas gender adalah ‘hak baru’ yang tidak memiliki dasar hukum apapun dalam seluruh instrumen hak asasi manusia internasional.”
2.“Masalah utama adalah diskriminasi berdasarkan warna kulit, ras, gender, agama, dan hal lain, dimana resolusi Argentina sama sekali tidak menyinggungnya.”
3.“Masalah-masalah seperti ini pada dasarnya merupakan kewenangan domestik dari setiap negara anggota.”
4.“Menerima hak-hak berdasarkan ‘orientasi seksual’ bisa memicu penerimaan terhadap pedofilia (hubungan sex dengan anak), bestiality (hubungan sex dengan hewan), serta incest (hubungan sex dengan sedarah).”
5.“LGBTI bukanlah ‘kelompok rentan’ yang membutuhkan perlindungan khusus (seperti perempuan, anak-anak, cacat, serta pengungsi).”
6.“Ide yang menyebutkan bahwa ‘ketertarikan seksual tertentu serta perilaku seksual’ adalah genetik, telah berulang kali ditolak secara ilmiah.”
7.“Kita harus melindungi keluarga sebagai ‘unit masyarakat yang alami serta utama’ seperti ditulis dalam artikel 16 dari Deklarasi Universal Hak-Hak Asasi Manusia.”

Kemudian perwakilan dari Suriah tersebut melanjutkan dengan kalimat:

“Kami dengan tegas mengutuk segala macam stereotip, pengasingan, stigmatisasi, prasangka negatif, ketidakadilan, diskriminasi, serta kekerasan yang ditujukan terhadap orang, komunitas, serta individual dalam hal apapun, dimanapun”

Sisa negara yang tidak berada pada kedua resolusi tersebut menyatakan abstain, termasuk Amerika Serikat dan Cina. Akan tetapi, sebulan setelah Obama dilantik pada bulan Februari, ia menyatakan bahwa Amerika Serikat akan menandatangani resolusi dari Argentina. Sedangkan Cina masih abstain, dan Indonesia masih belum merubah keputusannya untuk mencabut dukungannya terhadap resolusi Suriah.

file:///D:/UN/ argentina% 20deklrasi. htm

Read more...

"Ryan" Dan Terorisme

>> Sabtu, 08 Agustus 2009

Para pelaku teroris umumnya beragama Islam, taat beribadah dan mengatasnamakan perintah Allah. Kalau boleh jujur di Alquran sendiri secara tekstual juga ada perintah untuk jihad. Walau tafsir jihad sendiri bermacam2. Kalau kalangan moderat pasti sudah jelas tidak setuju dengan jihad yang bermakna kekerasan pada konteks sekarang. Tapi akan lain bagi kelompok garis keras. Seperti kelompok teroris dan kelompok FPI yang memukuli kelompok ahmadiyah pada saat tragedi juni 08.

Terlepas dari perbedaan tafsir itu semua, aku jadi ingat waktu kejadian pembunuhan yang dilakukan oleh Ryan seorang gay tahun lalu. Banyak ulama,masyarakat sampai akademisi mengkaitkan gay dengan mutilasi yang dilakukan oleh Ryan. Sampai stigma yang buruk terus dilakukan oleh masyarakat.

Kalau kita bisa lihat dari dua kejadian itu. Kelompok teroris melakukan aksinya atas nama agama dan Allah SWT. Walau kalau dilihat secara jauh ada kaitan dengan ketidakadilan ekonomi. Sedangkan Ryan melakukan pembunuhan bukan untuk membela "keagungan" gay di Indonesia. Walau saya juga yakin bahwa Ryan membunuh ada faktor tekanan sosial karena orientasi seksualnya.

Jadi sebenarnya yang bermasalah bagi keadilan manusia itu adalah seorang gay atau ajaran Islam yang ditafsirkan untuk melakukan kekerasan? Lantas pertanyaannya, mengapa pada saat kasus Ryan terjadi begitu banyak orang (terutama ulama) yang mengaitkannya dengan orientasi seksualnya, namun ketika terjadi kasus teroris seperti saat ini mengapa ulama tidak memperbolehkan hal ini dikaitkan dengan ajaran agamanya ??? Yang kita tahu bahwa memang ada teks2 soal Jihad.

Read more...