Jeruk Makan Jeruk, Emang Sulit!!

>> Sabtu, 17 Januari 2009

Belum lama ini, bila anda tidak malas membuka lubang telinga dan pelupuk mata lebar-lebar, tentunya sempat mendengar santernya berita yang telah diekspos berbagai media bahwa kepolisian Jombang telah melakukan kesalahan fatal memproses dan membawa orang yang tidak bersalah ke pengadilan dengan tuduhan keji membunuh. Mereka adalah terdakwa Maman Sugianto alias Sugik (28), serta terpidana Imam Hambali alias Kemat (35) dan Devid Eko Prianto (19). Kemat dan Devid sudah divonis hukuman masing-masing 17 tahun dan 12 tahun penjara pada 8 Mei 2008, sementara Sugik masih berada proses pengadilan. Keduanya ‘didakwa’ telah terlibat dalam tindak pembunuhan Moh. Asrori yang terjadi pada tanggal 29 September 2007. Setelah ditilik berdasarkan tes DNA yang dilakukan kepolisian, diketahui jenazah Moh. Asrori adalah salah satu korban pembunuhan yang dilakukan oleh tersangka Very Idam Henyansyah alias Ryan. Setelah selang beberapa waktu, ironisnya Polisi menyanggah telah salah tangkap dalam kasus pembunuhan Moh.Asrori.

Menuru pengakuan korban, Kemat dan kawannya telah mendapat penyiksaan pada saat penyidikan oleh kepolisian. Meskipun demikan, hingga kini Kepala Divisi Humas Markas Besar Kepolisian RI Irjen Abubakar Nataprawira menyangkal bahwa ada ancaman dan penyiksaan terhadap Kemat dan kawannya.

Sudah menjadi rahasia umum bahwa praktek–praktek penyiksaan dan ancaman sering dilakukan oleh anggota kepolisian dalam menyelidiki dan menyidik suatu kasus. Umumnya penyiksaan yang dilakukan oleh anggota penyidikan biasanya terjadi pada orang-orang yang berasal dari ekonomi lemah atau orang yang tidak mempunyai kekuasaan. Penyiksaan juga dialami oleh orang-orang yang didakwa mengancam keselamatan negara. Namun, penyiksaan tidak berlaku untuk koruptor–koruptor kelas kakap dibumi ini. Sehingga tidak heran seorang tersangka pencuri saja harus mendapatkan penyiksaan dalam proses penyidikan meskipun kadang apa yang dilakukan hanya sekedar karena alasan ’bertahan hidup’ yang tentunya tak sebanding bila dihadapkan langsung dengan kerukan uang yang diserakahi oleh para koruptor.

Dari Laporan Alternatif kepada Pelapor Khusus Sekjen PBB untuk urusan Penyiksaan, sehubungan dengan isu Penyiksaan di Indonesia dari Agustus 2005–Mei 2007 tercatat ada 23 kasus penyiksaan yang dilakukan negara, di antaranya sejumlah 17 kasus dilakukan oleh pihak kepolisian. Kita tahu bahwa kasus–kasus tersebut hanyalah menjadi fenomena gunung es saja.

Pola – pola yang penyiksaan yang dilakukan oleh pihak penyidikan biasanya hampir sama. Misalnya, dilakukan dalam ruang privat yang tertutup, seperti kantor polisi untuk menjaga . Bentuk–bentuknya seperti dilecehkan secara psikologis melalui perkataan atau hardikan, dipukul, ditelanjangi dan ditakut-takutin dengan moncong senjata hanya untuk mendapatkan pengakuan dari tersangka, plus tidak jarang juga dibumbui dengan ancaman. Biasanya ,seorang yang baru menjadi tersangka akan menjadi ajang penyiksaan bagi polisi. Hampir setiap polisi yang melihatnya akan ikut melakukan penyiksaan juga, serupa dengan segerombolan hewan karnivora—yang tentu saja, tak punya pertimbangan etis maupun rasio— yang sudah kelaparan berat. Ini ibarat ”makanan empuk” yang siap disantap oleh setiap polisi yang menemuinya.

Sambil tertawa–tawa anggota polisi menikmati ”tontonan” penyiksaan yang dilakukan kepada tersangka. Sangat sulit sekali kasus–kasus penyiksaan yang dilakukan oleh oknum kepolisian untuk dapat terungkap, kalaupun ada biasanya hanya diberikan sanksi administratif saja. Tuntuntan pidananya akan sangat sulit untuk dibuktikan. Mungkin karena karena sanksi yang sangat ringan para anggota kepolisian tidak pernah jerah melakukan penyiksaan.

Seperti yang telah disinggung sedikit di atas bahwa persoalan yang ada selama ini adalah sulitnya menghadirkan bukti. Sangat sulit sekali bagi seorang korban penyiksaan untuk menunjukkan bukti, sementara kejadiannya dilakukan dalam ruang tertutup, alias kantor polisi. Tidak akan mungkin penyiksaan dilakukan dalam ruang terbuka yang dapat disaksikan oleh orang lain, selain polisi. Karena jikapun ada saksi umumnya saksi itu akan sulit sekali untuk dihadirkan. Oleh karena itu kehadiran Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban diharapkan mampu menjamin rasa aman bagi saksi ataupun korban untuk mengungkapkan tindakan penyiksaan yang dialaminya semasa penyelidikan atau penyidikan polisi.

Pengalaman penulis yang pernah mendapatkan penyiksaan dari anggota kepolisian Polsek Banda Raya Banda Aceh pada tanggal 21–22 Januari 2007 merasakan sungguh benar adanya tindakan main hakim sendiri oleh kepolisian. Saya semula mengharapkan perlindungan dari kepolisian dari kekerasan yang dilakukan oleh masyarakat. Saya berpikir bahwa kepolisian akan melindungi dari kekerasan masyarakat, tetapi justru malah polisi melakukan tindakan lebih keji dan biadab. Yang seharusnya tidak pantas dilakukan oleh lembaga yang katanya pelindung warga rakyatnya.

Bukan hanya hujatan dan makian yang diterima, tetapi pelecehan seksual, seperti dipaksa oral seks di depan anggota polisi, ditelanjangi, dipukuli, disemprot dengan air pada malam hari, dikencingi bagian kepala, sampai mulut senjata diarahkan ke anus. Pelakunya sekitar tujuh orang polisi dan kejadian itu dilakukan di kantor Polsek Banda Raya Propinsi Nangroe Aceh Darusalam. Polisi melakukan semua itu dengan tertawa-tawa seolah menikmatinya adegan tersebut. Penyiksaan dan kekerasan itu tidak hanya terjadi pada malam hari, paginya pun setiap ada polisi yang datang selalu bertanya dan kemudian menghujat dan memukuli saya.

Ironisnya penyiksaan itu terjadi pada saya yang sama sekali tidak melakukan tindakan melawan hukum apapun. Saya disiksa hanya karena polisi tidak senang atas pilihan seksualitas saya sebagai seorang gay. Penyiksaan juga terjadi oleh siapapun tersangka yang tidak memiliki hubungan dengan latar belakang kasus. Seperti yang terjadi pada Kemat dan kawannya. Budaya ini terus dan akan terus terjadi dikepolisian. Seperti sudah mengakar kuat di ranah kepolisian sehingga kepolisian tidak pernah merasa bersalah atas tindak penyiksaan yang dilakukannya. Apakah ini sudah dapat digolongkan sebagai tindakan yang dilakukan oleh seorang psikopat, mungkin mesti diuji!

Kaasus penyiksaan yang dilakukan polisi hanya menjadi selalu dipeti es kan saja. Dalam hal ini polisi tidak ada keinginan untuk menyelesaikan kasus–kasus penyiksaan yang dilakukan oleh anggota kepolisian sendiri, seperti ”jeruk makan jerukt, pelakunya Polisi yang menyelidik juga polisi..

Berpayung pada hukum internasional yang berlaku, penyiksaan merupakan pelanggaran hak asasi manusia dan diakui dalam konvensi Internasional tentang Anti Penyiksaan dan Perlakuan atau Hukuman Yang tidak Manusiawi dan Merendahkan Martabat Lainnya (UN Convention Against Torture And Other Cruel, Inhuman Or Degrading Treatment or Punishment, 10 December , 1984). Dalam situasi apapun baik dalam keadaan perang, penyiksaan tidak dibenarkan dilakukan oleh negara termasuk anggota polisi hanya untuk mendapatkan keterangan tersangka.

Walaupun Indonesia telah meratifikasi Konvensi Menentang Penyiksaan dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1998, sayangnya belum ada komitmen Pemerintah Indonesia dalam memerangi praktik penyiksaan. Komitmen pemerintah hanya pada berhenti pada ratifikasi saja tanpa ada penerapan yang jelas, sehingga praktek–praktek penyiksaan yang dilakukan oleh pihak kepolisian masih terus berlangsung sampai sekarang. Dalam sidang Dewan HAM PBBB bulan Maret 2008 yang lalu, Pelapor Khusus PBB untuk Penyiksaan Manfred Novak, melaporkan hasil kunjungannya di Indonesia bulan November 2007 dan menemukan fakta bahwa penyiksaan masih menjadi metode kepolisian Indonesia untuk memaksa pengakuan saksi ataupun tersangka.

Pernyataan Kapolri Jendral Sutanto pada kasus salah tangkap terhadap Kamet dan teman–teman bahwa bila memang terjadi salah tangkap dan terjadi penyiksaan pada saat penyidikan, Kapolri berjanji akan memprosesnya. Kita berharap ini bukan hanya janji–janji saja tetapi butuh bukti dan kemauan yang serius untuk menindak tegas anak buahnya yang melakukan pelanggaran HAM tersebut. Jika memang Kapolri ingin serius menuntaskan dan menghapuskan praktek–praktek penyiksaan--dalam hal ini, Kapolri bukan hanya mau menjadi ”pemadam kebakaran” untuk kasus penyiksaan saja—mereka seharusnya mengusahakan lebih jauh lagi misalnya dengan membuat sebuah sistem atau mekanisme yang dapat menjamin pengapusan praktek–praktek penyiksaan yang dilakukan oleh anggota kepolisian.

Karena kita tahu bersama bahwa penyiksaan sampai detik ini masih menjadi budaya di dalam proses penyidikan, saya sebagai ”korban” dan masyarakat Indonesia masih berharap besar Kapolri dapat memberikan keadilan dan rasa aman bagi setiap warga negaranya. Saya tunggu tindakan konkret Bapak Kapolri ....

Toyo

Sekum LSM Our Voice / Survivor Penyiksaan Polisi Banda Aceh

0 komentar: