Quota 30 % Untuk Siapa

>> Senin, 19 Januari 2009

Selama ini saya ingin bertanya soal hal yang paling dasar adalah apakah caleg perempuan harus selalu aku pilih? Dari latar belakang aku sebagai seorang LGBTIQ ataupun sebagai orang yang peduli dgan hak - hak perempuan.


Selama ini aku kadang ragu dengan kampanye isu quota 30 % bagi perempuan. Apalagi sampai ada kampanye perempuan pilih perempuan... Awalnya aku sempat gak mau tanya dan komplain soal kebijakan ini. Karena ada rasa takut kalau aku mau tanya di forum - forum diskusi. Takut salah dan dianggap partriarki lah..


Tapi kemudian rasa bingung dan takut ini ada moment aku diskusikan dengan seorang aktivis perempuan (Mbak Yanti Muchtar). Diskusi itu lumayan membuat aku lebih percaya diri untuk membahas dalam persoalan ini. Sehingga aku dan teman - teman LGBTIQ di Indonesia harus bersikap bagaimana dalam pemilu nanti. Karena jumlah pemilih kelompok LGBTIQ lumayan besar (bahkan bisa jutaan orang).


Persoalanya begini...Aku melihat sekarang isu perempuan selalu diteriakan dimana - mana. Malah kayak jadi jualannya partai politik, mulai yang paling fundamentalis sampai yang katanya partai moderat (pluralis). So sekarang kita bisa lihat sendiri PKS, PPP, PBB, Hanura, Gerindra, Demokrat, Golkar, PKB dan PDIP semua menempatkan perempuan sebagai jualan partainya.

Baru - baru ini Koalisi Perempuan Indonesia melaporkan kepada publik bahwa ada sekitar 500 perempuan anggota KPI yang masuk menjadi caleg diseluruh Indonesia baik ditingkat DPRD tingkat II sampai pusat. Angka yang sangat luar biasa untuk sebuah perubahan. Begitu juga pada saat ini di millis perempuan sedang dibahas oleh para aktivis perempuan bagaimana mencapai quota 30 %. Dari mulai penggalangan dana sampai penggalangan massa. Semua orang berusaha bergerak agar perempuan dapat duduk di legislatif.
Dan jika benar - benar dimanage dengan baik maka aktivis perempuan akan membawah perubahan yang luar biasa bagi Indonesia.

Tapi kemudian pertanyaan kritis saya adalah? Apakah perempuan yang menjadi anggota KPI itu masuk ke partai yang mana?? Apakah partai yang fundamentalis, partai pelaku pelanggaran HAM atau partai yang katanya moderat?? Aku tidak mendapatkan data itu..

Aku sebagai seorang gay dan teman - teman ku kelompok LGBTIQ akan didorong untuk tidak akan memilih caleg perempuan yang berasal dari partai fundamentalis atau partai pelaku pelanggaran HAM. Kami akan memilih laki - laki atau perempuan yang mau berjuang untuk hak - hak kelompok LGBTIQ dan kelompok marginal lainnya. Orang - orang yang berjuang untuk penegakan pluralisme yang demokratis.
Ada banyak kelompok perempuan yang resisten dengan gerakan pluralisme seperti kebebasan beragama dan isu keberagaman seksualitas. Isu itu dianggap isu yang sensitif dan akan berdosa jika memperjuangkannya.

Aku setuju bahwa quota 30 % untuk mendorong perempuan maju. Sehingga akan banyak pilihan yang masuk mulai dari ideologi A - Z. Tapi LSM atau aktivis perempuan tidak mempunyai flat form yang jelas? Misalnya sebaiknya partai apa yang layak dimasukin dan kita pilih nanti? Begitu juga untuk konteks anggota KPI dan dukungan pendanaan yang dilakukan oleh aktivis perempuan. Sehingga diharapkan para caleg perempuan dapat memperjuangkan hak - hak asasi manusia bagi setiap orang. Bukan gerakan sektarian. Kalau perempuan nya pada masuk ke kelompok partai fundamentalis maka gerakan fundamentalis akan semakin kuat...Dan perempan ikut berkontribusi dalam hal ini.


Dan akhirnya ada kebijakan untuk perempuan yang sangat merendahkan hak perempuan sendiri. Apalagi kelompok LGBTIQ. Contohnya yang paling gampang pada saat advokasi RUU Pornografi. Banyak para perempuan yang dijadikan "alat" oleh kelompok fundamentalis mendesak bahwa UU perlu cepat disyahkan.

Jika diluar negeri bahwa jumlah perempuan di Legislatif akan memberikan pengaruh positif terhadap perempuan. Itu juga disebabkan masyarakat yang lebih pluralis. Tetapi jika di Indonesia saya pikir tidak selalu sama dampaknya. Mungkin untuk beberapa hal akan mengalami perubahan yang lebih baik.
Tapi menurut ku tidak ada "jaminan" bahwa nasib perempuan dapat lebih baik untuk semua aspek apalagi bagi semua orang khususnya kelompok LGBTIQ.



Salam



Toyo
Kalibata, 19 Januari 2009

1 komentar:

Gay Indonesia 20 Januari 2009 pukul 12.32  

Pertanyaan Toyo sangat penting dan menukik pada tiga pertanyaan besar:

Pertama, apa relevansi kuota pada kemajuan demokrasi dan HAM di Indonesia.
Kedua, apakah memilih jenis kelamin perempuan menjamin kemajuan demokrasi
dan HAM di Indonesia. Ketiga, apakah kualitas individu (perempuan) sama sebanding dengan kualitas partainya.

Pada pertanyaan pertama, pemahaman dasar kuota adalah untuk merekrut perempuan untuk masuk dalam posisi politik dan memastikan bahwa perempuan tidak terisolasi dalam kehidupan politik. Kuota dianggap masuk akal sebab di negara Indonesia misalnya hampir di semua bidang, perempuan masih tertinggal. Misalnya dalam hal penididikan, kesehatan, ekonomi, politik,dsb. Sehingga, sangat wajar bila di dalam sistem politik kita, representasi perempuan perlu ditingkatkan agar ketertinggalan tersebut dapat dikejar.

Alasan lain lagi yang juga penting adalah bahwa penduduk Indonesia setengahnya adalah perempuan, maka, sangat masuk akal bila keterwakilanperempuan di parlemen juga sebanyak 50% atau minimal 30%.

Namun, bangunan dasar untuk peningkatan representasi perempuan harus bertumpu pada kualitas. Sebab argumen awal bahwa ketertinggalan pendidikan,kesehatan, ekonomi, politik, dsb, yang diharapkan dapat dirubah atau diperbaiki perempuan, berimplikasi pada pemilihan perempuan yang cerdas, peduli dan memiliki sikap demokratis dan pijakan HAM yang kuat. Karena hanya kualitas individu (perempuan) yang demikian yang akan mampu
memperbaiki nasib perempuan dan perbaikan nasib perempuan akan membawa
kesejahteraan Indonesia. Bukankah menaikkan kesejahteraan perempuan berarti telah mampu untuk mencapai MDG (Milenium Development Goal) yang dicanangkan oleh PBB? Sebab selama ini kesejahteraan Indonesai terpuruk karena separuh dari penduduknya terpuruk kondisi sosial dan ekonominya.

Jadi, kuota dianggap jalan keluar untuk mencapai kemakmuran suatu negara miskin seperti Indonesia. Akan tetapi, bagaimana bila pemilihan caleg perempuan bukan berdasarkan kemampuan/kualitas tingkat intelektual dan kepeduliannya tapi karena kemampuan/kualitas jenis kelaminnya. Jadi, yang dipilih bukan hasil evaluasi hati dan otak tapi hanya semata-mata fokus pada kepemilikian vagina atau penisya?

Memang pada akhirnya, logika seperti ini menentang logika feminisme yang mengatakan bahwa feminisme (ide2 kesetaraan dan keadilan) bukan terletak di jenis kelaminnya tapi terletak di kepalanya. Sehingga seorang laki-laki bisa menjadi feminis bahkan kalau kepala seorang perempuan tidak "beres",
maka, ia bisa menjadi seorang patriarkis.

Oleh sebab itu, pertanyaan nomor 2 menjadi relevan. Bagaimanakah memastikan memilih caleg yang benar2 memiliki perspektif feminis (ide2 kesetaraan dan keadilan)? Kalau hendak menyelamatkan representasi perempuan dan juga
memastikan kualitas yang solid agar kemakmuran Indonesia tercapai, maka, harus memilih perempuan yang sekaligus yang berkualitas.

Kualitas caleg perempuan ini perlu diselidiki sejauh manakah dedikasinya pada isu2 sosial, apakah hasil kerja nyata bagi rakyat yang ia representasikan? Penyeledikan2 seperti ini sebenarnya harus dilakukan oleh organisasi2 masyarakat (LSM) dan media yang menyediakan informasi yang cukup mendalam tentang kandidat perempuan yang akan dipiliha oleh rakyat.

Namun, apakah pekerjaan kita selesai ketika kita memastikan memiliki kandidat caleg perempuan yang berdedikasi, pintar dan memiliki karya? Ternyata ada faktor partai yang ia representasikan. Partai menjadi penting untuk juga diteliti, sebab, caleg perempuan yang ideal belum tentu ada dalam
wadah yang ideal.

Bagaimanapun caleg yang akan terpilih akan menuruti dan menjalani perintah partai. Dengan demikian,penyelidikan dan analisa tentang partai menjadi penting.

Misalnya seorang aktivis perempuan yang
berkualitas (jadi pertanyaan nomor 1 dan 2 selesai) merepresentasikan PDIP, perlu dipertanyakan kiprah partai tersebut.
Juga secara fundamental dipertanyakan apakah demokrasi di dalam partai tersebut berjalan?

Apakah pemilihan ketua partai tersebut transparan dan fair dan semua anggota memiliki kesempatan yang sama dan setara dengan pemimpinnya? Jadi bukan kepemimpinan turun temurun.

Bila ternyata partaiya memiliki "borok" (otoriter dalam kepemimpinan, korup,tidak kompeten ketika berkuasa, fundamentalis, dsb), maka, sekualitas apapun caleg tersebut, tujuannya tidak akan tercapai dengan mengendarai kendaraan yang "rusak".

Banyak hal yang memang perlu dipikirkan secara jernih. Tentu LSM perempuan ingin membantu sepenuhnya caleg2 perempuan karena logikanya caleg perempuan (yang sungguh2 berkualitas) memiliki visi demokrasi dan HAM yang kuat oleh sebab itu akan dapat memajukan Indonesia dan mendongkrak semua keterpurukan
yang ada. Ekonomi dan masalah sosial yang ada hanya dapat dilakukan dengan fondasi demokrasi dan HAM yang kuat berdasarkan konstitusi dan UUD 1945.

Memilih caleg perempuan yang berkualitas sudah tentu akan memerangi ketidakadilan (termasuk keadilan untuk kelompok homoseksual).

Oleh sebab itu, bagi saya LSM perempuan atau LSM pro demokrasi bisa berkontribusi dengan memberikan pelatihan kepada caleg perempuan agar benar2 ia berkualitas dan "jujur" pada perjuangan.

LSM perempuan dan LSM pro demokrasi tidak patut untuk mendukung uang kepada caleg perempuan (agar menang), namun, bisa membantu dalam soal peningkatan kualitas dan strategi individu si caleg.

LSM pun tidak bisa ikut dalam kegiatan politik mendukung partai tertentu karena karakteristik LSM terutama dan hanya untuk rakyat bukan partai politik. Apalagi sekaligus menjadi anggota LSM dan anggota
partai politik. Harus ada pilihan yang jelas agar konsep dan strategi juga jelas dan tidak ada "conflict of interest".

Balik kepada pertanyaan Toyo, apakah yang harus Toyo lakukan?
Kalau saya seorang Toyo, saya akan memilih caleg perempuan yang berkualitas(terbukti dari hasil karyanya dalam bidang demokrasi dan HAM) yang menjadi anggota partai yang bersih dan bertanggung jawab (tidak nepotisme, korupsi, pendukung jenderal2 pelanggar HAM, fundamentalis, anti-gender, dsb).

Adakah caleg dan partai demikian? Inilah soalnya. Dan itu sebabnya beberapa waktu yang lalu beberapa orang teman memperjuangkan Calon
Independen, karena untuk iklim Indonesia sekarang, Calon Independen merupakan jalan keluar dari kegelapan dan keputusasaan sistim demokrasi yang hanya direduksi maknanya menjadi prosedural belaka.

Dan kalau Calon Independen tidak terwujud? Saya usul Toyo berdoa. Kalau tidak bisa berdoa seperti saya maka berpuisi juga boleh.

Salam,
gadis arivia.