Orientasi Seksual Bukan Prilaku Seksual

>> Sabtu, 17 Januari 2009

Menanggapi tulisan M.M. Nilam Widyarini, MSi, dosen pada Fakultas Psikologi Universitas Guna Dharma, Jakarta yang berjudul Dari Biseksual Kembali ke Heteroseksual yang dimuat dalam kompas online.

(http://www.kompas.com/read/xml/2009/01/16/09443966/Dari.Biseksual.Kembali.ke.Heteroseksual).


Ada beberapa hal yang membuat saya tertarik untuk dapat memberikan tanggapan dari tulisan tersebut. Saya akan paparkan berkaitan dengan argumentasi penulis Nilam Widyarini yang sekaligus juga seorang dosen psikolog;

1. Bahwa harus dijelaskan dengan dasar teori mengapa biseksual itu dikatakan tidak normal? Penulis (Nilam Widyarini ) tidak menuliskan dasar pijakan/teori yang mendukung sebagai seorang psikolog yang mengatakan bahwa biseksual sesuatu yang tidak normal. Apakah argumentasi ini atas pendapat pribadi atau sebagai seorang psikolog? Menurut Pedoman Penggolongan Diagnosa Gangguan Jiwa (PPDGJ) III pada F66 disebutkan bahwa biseksual bukan lah penyakit.


Biseksual adalah salah satu jenis orientasi seksual manusia yang merupakan bagian dari keberagaman orientasi seksual. Sehingga posisinya setara dengan heteroseksual maupun homoseksual. PPDGJ III sendiri merupakan acuan dasar dari ilmu psikologi dan psikiatri di Indonesia yang dikeluarkan resmi oleh Depkes RI dan WHO pada tahun 1993. Sedangkan WHO sendiri sudah mengeluarkan biseksual dan homoseksual dari gangguan jiwa pada tahun 1975. Dan kemudian diadopsi oleh Indonesia dalam PPDGJ III tersebut.

2. Bicara konteks normal dan tidak normal itu sangat tergantung ruang dan waktu. Perempuan menjadi supir mobil menjadi tidak normal dilingkuangan masyarakat Arab, tetapi tidak berlaku untuk konteks Indonesia. Normal pada waktu sekarang akan sangat mungkin berubah dalam waktu yang akan datang. Tergantung banyak hal termasuk sistem politik yang berkuasa menentukan sesuatu itu normal atau tidak normal. Begitu juga soal orientasi seksual. Masyarakat selama ini sudah dikontruksikan melalui tafsir agama, budaya dan kebijakan Negara yang mengukuhkan bahwa yang normal adalah heteroseksual. Diluar itu maka akan dianggap tidak normal. Padahal seorang biseksual ataupun homoseksual juga dapat mengatakan bahwa heteroseksual juga tidak normal.


Ini menunjukkan ada pikiran heteronormatif (heteroseksual yang normal) yang dibentuk secara sistematis dalam setiap individu. Sehingga jika ada orientasi seksual selain heteroseksual maka akan dianggap tidak normal. Ini lah yang disebut dengan masyarakat kita dalam kukungan heterosentris (berpusat pada heteroseksual).

3. Mengenai pandangan agama itu menyangkut soal tafsir, begitu juga menyangkut soal tafsir homseksual. Memang sampai sekarang pandangan kebanyakan tokoh agama masih menganggap bahwa homoseksual sesuatu yang salah / tidak normal. Tetapi harus disadari bahwa pemahaman tokoh agama itu juga karena budaya heterosentris yang sangat kuat dalam pikiran kita. Sehingga tafsir – tafsir teks yang dihasilkan menganggap homoseksual tidak normal. Ini juga sebenarnya terjadi dalam melihat tafsir – tafsir agama untuk persoalan perempuan. Karena para penafsir adalah laki – laki dan sangat partriaki sehingga tafsir alkitab juga sampai sekarang masih sangat tidak berpihak pada perempuan. Begitu juga sekarang yang terjadi pada kelompok homoseksual dan biseksual dalam tafsir alkitab.


Walau begitu bukan berarti tidak ada tokoh agama yang mendukung keberadaaan homoseksual. Sekarang sudah ada beberapa tokoh - tokoh agama yang mau melakukan tafsir ulang teks alkitab terhadap homoseksual. Ada dua pandangan tokoh agama dari Islam dan Kristen yaitu;

Menurut Prof Musda Mulia seorang cendekiawan muslim mengatakan, bahwa suatu fakta yang terang benderang bahwa tafsir keagamaan sangat dihegemoni oleh heteronormativitas, nilai-nilai patriarkal dan bias gender, yaitu ideologi yang mengharuskan manusia berpasangan secara lawan jenis; dan harus tunduk pada aturan heteroseksualitas yang menggariskan tujuan perkawinan semata-mata untuk prokreasi, menghasilkan keturunan (http://www.icrp-online.org/wmview.php?ArtID=602&page=5)


Kemudian pendapat itu juga dikuatkan oleh pendapat seorang pendeta perempuan yang mengatakan bahwa, setiap manusia punya hak untuk saling mencintai. Dasar inilah yang membuat seorang pendeta wanita siap memberkati pernikahan pasangan sejenis.
Pendeta itu bernama Ester Mariani. Dijelaskan dia, pemberkatan itu secara hukum agama, sedangkan pernikahan itu secara hukum nasional. Lah (
http://www.detiknews.com/read/2007/05/29/151819/786643/10/pendeta-wanita-siap-memberkati-pernikahan-pasangan-homo-di-ri)


Tulisan dan pendapat dua tokoh agama diatas tidak sedang saya katakan bahwa ini adalah pendapat yang paling benar. Tapi ini menunjukkan bahwa ada perbedaan pandangan dalam melihat persoalan homoseksual baik dari agama Islam dan Kristen. Ini menunjukkan bahwa persoalan teks alkitab akan berhadapan pada tafsir yang berbeda – beda. Perbedaan ini sudah terjadi ratusan tahun yang lalu misalnya dalam tafsir persoalan aborsi, sunat perempuan, pemimpin perempuan dan soal KB. Semuanya sampai sekarang masih menjadi perdebatan yang panjang dari kalangan agamawan.

4.Seperti yang saya sampaikan diatas bahwa biseksual itu adalah hanya salah satu orientasi seksual, jadi kalau bicara biseksual jangan disamakan dengan hubungan tiga orang manusia yang bersamaan.

Biseksual sendiri kalau didefinisikan adalah adalah seseorang yang secara seksual maupun emosi menyukai kepada dua jenis kelamin (laki - laki dan perempuan yang dipengaruhi oleh banyak hal.. Dalam ini tidak menyangkut apakah menyukai dalam waktu bersamaan atau tidak. Jadi kalau penulis (Nilam Widyarini) katakan bahwa hubungan biseksual menyangkut hubungan tiga orang secara bersamaan itu adalah kesalahan besar.

Seorang biseksual melakukan hubungan bersamaan dengan dua orang, itu adalah pilihan individu. Karena hubungan tiga orang itu adalah soal tindakan individu (prilaku) bukan menyangkut orientasi seksualnya.


Karena sebenarnya kelompok heteroseksual juga melakukan hubungan lebih dari satu orang secara bersamaan baik secara legal (Poligami) maupun secara ilegal (selingkuh).

Jadi seorang biseksual itu tidak selama nya menjalin hubungan bersamaan begitu juga seorang heteroseksual. Masih banyak seorang biseksual setia pada pasangannya (baik laki – laki maupun perempuan). Dia akan berganti pasangan setelah pasangan yang satu bubar (putus).


Saya termasuk menolak poligami atau hubungan biseksual yang bersamaan. Karena ini cenderung akan melakukan tindakan kekerasan pada seorang yang lebih lemah. Kecuali hubungan lebih dari satu itu dilakukan secara terbuka dan ada keadilan, tapi itu sangat sulit terjadi baik dikelompok biseksual maupun heteroseksual.

Dalam hal ini penulis (Nilam Widyarini) mencampur adukan antara orientasi seksual seseorang dengan prilaku seksual seseorang. Padahal itu dua hal yang sangat berbeda sekali.

4. Penulis (Nilam Widyarini) sebagai seorang psikolog sekaligus dosen, semestinya tidak memaksakan nilai pribadinya kepada orang lain (kliennya). Seharusnya semua terserah pada hak klien nya. Bukankah ini merupakan salah satu kode etik seorang psikolog? Seorang klien apakah akan meninggalkan pasangan heteroseksualnya atau akan memilih pasangan sejenisnya. Semuanya itu adalah hak sepenuh setiap orang. Karena setiap orang tahu mana yang terbaik buat dirinya sendiri tanpa ada interfensi orang lain. Saya juga tidak setuju kalau orang dipaksa untuk memilih biseksual ataupun homoseksual. Apalagi kalau kita meminta pihak lain untuk memilih pilihan kita dengan stigma normal dan tidak normal, dosa dan tidak dosa. Semestinya seorang psikolog tidak pantas untuk melakukan hal seperti ini.

5. Bicara hubungan seksual itu apakah ini sakral atau tidak, tergantung bagaimana individu melihat seksualitas itu sendiri. Tidak bisa disamakan pada setiap orang bahwa seksualitas itu adalah sesuatu yang sakral.

Karena hubungan penetrasi dari pandangan seorang perempuan pekerja sex akan berbeda sekali dengan seorang perempuan yang baru pertama sekali berhubungan badan dengan suaminya.


Kalau menurut psikolog (Nilam Widyarini) menilai bahwa hubungan seksual adalah sakral, biarlah itu pandangan pribadi saja. Tetapi tidak harus dipaksakan seseorang untuk menjadi heteroseksual? Karena bagi orang lain bisa saja memilih biseksual juga menjadi sesuatu yang sakral. Bukan kan setiap individu tahu mana yang terbaik atas kesakralan seksualitasnya? Sehingga setiap orang dapat memilih secara merdeka dengan siapa sesorang harus menikmati erotisme seksualitasnya. Pilihan itu bukan atas tekanan atau paksaan dari norma – norma masyarakat, psikolog, agama ataupun orang lain. Semua ditentukan dengan merdeka oleh setiap orang selagi dilakukan dengan cara yang bertanggung jawab misalnya tidak merugikan pihak lain.

6. bicara bubungan seksual sesama jenis (homoseksual) ini bukan hanya persoalan hubungan seksual yang menyangkut fantasi atau variasi seksual belaka. Tetapi orientasi seksual itu menyangkut banyak aspek, baik biologis, emosi, psikologi, sosial atau hal lainnya. Yang tidak dapat disimpulkan dengan sederhana.

Pendapat psikolog (Nilam Widyarini) menunjukkan biseksual atau homoseksual hanya berkaitan dengan prilaku seksual saja. Ini menunjukkan bahwa dalam pikiran psikolog (Nilam Widyarini) baik sadar maupun tidak sadar telah melakukan stigmanisasi terhadap kelompok biseksual.

Dari pendapat ini saya memohon kepada semua pihak terutama psikolog, jika menggunakan analisa keilmuannya mesti harus tunduk kepada keilmuan sendiri. Artinya jika memberikan argumentasi nilai – nilai pribadi atau keyakinan agama nya tidak harus melabelkan dirinya sebagai seorang ilmuwan (psikolog). Karena ilmu pengetahuan itu sendiri ada kode etik dan aturan ilmiah yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah juga.

Wasalam

Hartoyo

Aktivis Homoseksual dan Biseksual dari LSM Our Voice

Jakarta, 17 Januari 2009

0 komentar: