Saur Matua Buat Ibu

>> Minggu, 18 Januari 2009

Rudi salah satu satu desa wilayah Kabupaten Siantar Propinsi Sumatera Utara. Dari mulai lahir sampai pendidikan SMU dihabiskan dikota kelahirannya.
Rudi dilahirkan dari keluarga Batak yang sangat kuat menjaga ritual adatnya.
Rudi anak ke 7 dari 8 bersaudara. Ayahnya meninggal pada saat Rudi berumur 1,5 tahun pada saat adiknya yang paling kecil masih dalam kandungan. Dan pada saat ayahnya meninggal ibu Rudi melahirkan prematur.


Setelah selesai SMU Rudi memutuskan untuk meninggalkan kota kelahirannya. Untuk mencari pengalaman di luar propinsi. Maka Rudi pun merantau ke Jakarta untuk melanjutkan study disalah satu kampus swasta.

Semenjaka peninggalan ayahnya, semua kebutuhan sekolah Rudi dan kakakknya yang lain dipenuhi ibu sendiri. Ibu harus bekerja keras dengan berdagang dan bertani. Mimpi ibunya agar kelak anak – ankanya menjadi orang yang berhasil. Saat itu lah masa yang paling berat dihadapi oleh ibu nya sebagai seorang janda.
Rudi dan kakaknya pun tidak pernah mengecewakan ibu dengan menunjukkan keberhasilan dan menyelesaikan studynya sampai sarjana termasuk kakak dan adik Rudi.


Sebuah kebanggaan orang tua apabila berhasil membesarkan anak - anaknya dan menjadikan semuanya Sarjana. Apalagi pada etnis batak yang mempunyai semboyan bahwa anak adalah harta ku.
Tetesan keringat dan panas nya matahari menjadi tidak berarti apa – apa bagi seorang perempuan tua yang telah berhasil mendidik anak – anaknya. Begitu juga yang dirasakan oleh Ibu Rudi.

Sehingga penghormatan kepada ibunya sangat diberikan kepada kedelapan anak - anaknya itu, termasuk Rudi dalam hal ini. Rudi sangat bangga dengan perjuangan ibu, bahwa Rudi menganggap ibu tidak lebih buruk dari pejuang perempuan yang paling kuat manapun.
Kebanggaan dan penghormatan Rudi kepada sosok perempuan itu adalah Ibunya.

Dimasa tuanya Ibu Rudi tetap memilih untuk tinggal di Kampung halamannya dan tetap sebagai seorang janda.

Alasanya hanya ingin tetap dikampung dimana dia menghabiskan waktunya dahulu bersama suami dan kedelapan anak – anaknya. Memori yang indah memang.
Selain itu masih terlalu indah untuk dilupakan kenangan manis bersama seorang laki – laki (suami) yang telah lebih dulu meninggalkan terlebih dahulu.
Pilihan ibu nya juga tidak dapat disangkal oleh kedelapan anak - anaknya yang sudah bekerja dan mandiri. Semua anak - anak menyebar tinggal di wilayah Indonesia. Termasuk Rudi setelah selesai kuliah memilih menetap bekerja di Jakarta.

Budaya mengunjungi makam ayah Rudi tetap dilakukan oleh ibunya jika kerinduan.
Untungnya masih ada dua orang saudara kandung Rudi yang tinggal berdekatan dengan ibu Rudi. Dan adiknya yang paling kecil tinggal bersama ibu nya. Kondisi ini membuat ibu Rudi tidak terlalu kesepian hidup dimasa tua nya.

Keberhasilan anak - anaknya membuat Ibu Rudi sangat dihargai oleh saudara - saudara dan tetangga dikampungnya.
Apalagi anak - anaknya sudah sebagian menikah termasuk adik Rudi (anak yang paling bungsu).
Dari kedelapan keluarganya hanya Rudi lah yang belum menikah. Walaupun Rudi sekarang secara ekonomi dan usia (34 tahun) sudah cukup untuk berumah tangga.
Masalah pernikahan ini lah yang membuat Rudi kadang harus memilih sendiri pada saat malam natal dan tahun baru. Sudah beberapa tahun Rudi memutuskan untuk tidak pulang kampung. Karena menghindari desakan keluarga untuk menikah dengan seorang perempuan.

Keluarga Rudi dalam hal ini Ibu dan kakaknya adalah keluarga yang sangat memegang teguh adat istiadat Batak. Selain pendidikan sebagai ukuran keberhasilan orang tua yang lain apabila berhasil mendidik anak - anaknya sampai menjadi Sarjana dan akhirnya berumah tangga.
Ibu Rudi selalu meminta Rudi cepat menikah sebelum dirinya meninggal.
Persoalan ini lah yang selalu mengganjal dalam diri Rudi, Rudi menjadi serba salah harus berbuat bagaimana.

Pilihan untuk tidak akan menikah seorang perempuan sudah diputuskan oleh Rudi.
Karena Rudi merasa sebagai individu yang sudah dewasa dan merdeka atas tubuhnya. Bagi Rudi menikah dengan perempuan adalah sesuatu yang tidak mungkin dilakukan karena itu bukan keinginan dirinya sebagai manusia yang bebas untuk menentukan yang terbaik.

Keputusan Rudi untuk tidak menikah sudah pernah disampaikan kepada salah seorang kakak perempuannya. Tetapi kakaknya tetap menyarakankan untuk merubah keputusannya itu. Karena jika tidak menikah kasihan ibu kalau meninggal nanti, pesan kakak nya kepada Rudi. Kejujuran Rudi terhadap kakak perempuan tidak sanggup untuk diutarakan oleh ibu nya. Rudi tidak mau ibunya kecewa dan terus sedih dengan keputusan dan pilihannya tersebut. Penghormatan Rudi yang sangat luar biasa kepada seorang perempuan tua itu (ibunya) menjadi seperti makan buah Simalakama bagi diri Rudi sendiri.

Ibunya pernah mengatakan kepada kedelapan anaknya bahwa dirinya ingin sekali jika mati anak – anaknya dapat melaksanakan upacara adat yang SAUR MATUA.

Saur Matua adalah upacara adat yang hanya dapat dilaksanakan pada saat semua anak - anak nya sudah menikah. Permintaan itu membuat Rudi bingung dan ini memang ditujukkan kepada dirinya. Karena upacara itu tidak akan dapat dilaksanakan jika Rudi tetap memilih tidak menikah dengan perempuan.


Dalam Ritual adat tersebut tangan orang tua yang meninggal tidak lagi diletakan diatas dada atau perut tetapi kedua tangannya dilepaskan disamping badan. Ini sebagai simbol bahwa orang tua itu telah berhasil mendidik anak - anak sampai akhirnya menikah semua. Secara philosoi bahwa orang tua itu tidak lagi meminta kepada Tuhan karena sudah selesai tanggung jawabnya. Permintaan ibunya itu membuat Rudi bingung dan tidak tahu harus bagaimana.


Selain itu upacara adat Saur Matua juga diyakini oleh sebagian masyarakat Batak sebuah upacara yang sangat sakral dan dihormati sekali. Status keluarga seseorang akan menjadi lebih baik didepan publik. Begitu juga menjadi kebanggaan tersendiri bagi anak - anaknya yang ditinggalkan. Situasi ini yang sering selalu menjadi alat untuk mendesak Rudi untuk segera menikah oleh kakak - kakaknya. Bahkan pernah kakaknya menyampaikan kepada Rudi dengan nada mengancam, bahwa jangan sampai tidak dapat melakukan Upacara Saur Matua pada ibu meninggal hanya karena Rudi belum menikah.

Pada malam natal Desember 2007, Rudi memutuskan untuk kesekian kali nya tidak pulang bersama keluarga merayakan natal. Karena Rudi sudah yakin bahwa keluarganya akan mendesak untuk segera menikah dengan seorang perempuan. Bahkan sangat mungkin sekali Rudi akan dijodohkan dengan seorang perempuan di desa nya nanti. Padahal dalam hati kecil Rudi rindu rasanya dan ingin sekali memanjatkan doa kepada Tuhan Yesus sambil memeluk tubuh perempuan yang telah membesarkannya.

Ingin rasanya Rudi menumpahkan air matanya dalam pelakukan seorang perempuan tua sambil meminta maaf atas dosa – dosanya. Rudi ingin memberikan kado natal yang paling indah buat Ibunya dari jerih payahnya sendiri. Tetapi semua itu tidak mungkin Rudi lakukan. Jika Rudi pulang pada malam natal ini akan terjadi persidangan buat dirinya pasti akan dilaksanakan. Dengan satu pertanyaan , Kapan kamu menikah?
Sehingga indahnya Natal dan Tahun Baru 2008 harus Rudi lalui sendiri di Jakarta dirumah kosnya yang kecil seperti tahun – tahun yang lalu.


Rudi tiba - tiba ditelpon dari adilnya dan harus pulang ke Kampung hari ini juga. Ada rasa bingung dan takut ada apa gerangan. Walau sudah ada dalam pikiran bahwa ada yang terjadi dengan ibunya.
Rudi pun akhirnya sampai dikampung halamannya. Ibu Rudi dalam keadaaan koma karena penyakit jantungnya. Rudi menangis sambil meminta maaf karena malam natal tidak dapat bersama mu.
Dan akhirnya ibu Rudi menghembuskan napas terakhir dalam pelukannya. Rudi ingat bahwa ibunya pernah memberikan sebuah cicin mas untuknya. Sebuah cicin perkawinan ibu nya dan bapak Rudi. Cicin yang penuh arti bagi ibu Rudi. Rudi terus menangis dalam pelukan ibu nya.


Upacara pemakaman pun dilaksanakan. Upacara dan ritual adat pun dilakukan. Rudi berharap agar upacara Saur Matua dapat dilakukan sebagaimana pesan ibunya. Tapi lagi - lagi petua adat tidak mengizinkan. Ada perdebatan antara Rudi dengan petuah adat. Tapi ini lah aturan adat Batak. Saur Matua tidak dapat dilakukan karena masih ada anak yang belum menikah. Rudi terus menangis karena melihat mayat ibu nya yang ada dalam peti dengan tangan terkepal diatas dadanya. Rasa bersalah dan sedih terus menghantui perasaan Rudi. Selama proses ritual adat, Rudi sama sekali tidak dilibatkan walau dia sudah dewasa. Alasannya hanya karena Rudi belum menikah. Seseorang yang belum menikah dalam adat Batak dianggap belum dewasa. Sehingga tidak layak melakukan ritual - ritual adat.


Proses pemakamanpun dilangsungkan. Sambil menangis Rudi mengucapkan...Ibu aku cinta dan sayang kamu, walau saya tidak dapat memberikan hadiah sebuah Upacara Saur Matua dihari kematianmu ini, maafkan aku.. Sambil membacakan sebuah puisi untuk ibu nya yang ditulisnya dalam bahasa Inggris. Ibu nya dahulu pernah mengatakan bahwa ingin sekali anaknya bisa berbahasa Inggris. Dan Rudi hari ini memberikan hadiah itu untuk ibunya.


Dalam kesedihan diatas pusara ibunya Rudi, menangis sambil mengucapkan. Ibu aku tidak dapat memberikanmu sebuah hadiah. Tapi aku bahagia ibu, karena anak mu ini telah mendapatkan seorang laki - laki yang paling baik dan sayang kepada ku Ibu, Menantu laki - laki mu itu juga mengucapkan salam buat mu Ibu....
Dengan berat Rudi pun meninggalkan makam ibunya untuk segara meninggal kota Siantar. Kembali ke Jakarta untuk bertemu sesorang yang Rudi sayangi dan belahan jiwanya, Imam nya.


Wasalam




Toyo

Mampang, 21 Desember 2007


0 komentar: