Keberagaman Seksualitas

>> Sabtu, 17 Januari 2009

Detik ini, saat anda membaca tulisan ini, sekelompok yang menyatakan dirinya ’berbeda’ dari kaum heteroseksual merayakan sebuah momen penting yang dinamakan dengan International Day Against Homophobia (IDAHO). Perayaan ini tidak sekedar ’celebration’ yang hanya dipenuhi hingar-bingar kegembiraan yang pada akhirnya tak jauh-jauh dari sikap mengafirmasi sebuah bentuk hedonisme, seperti misalnya hari valentine yang ujung-ujungnya konsep cinta dijadikan selimut bagi kaum kapitalis ’merah jambu’ dan ’coklat’ untuk menyembunyikan konsep tarik-keuntungan-sebanyak-banyaknya dari pasar. Terlebih, sesungguhnya momen yang dirayakan setiap tanggal 17 Mei ini mengacu pada sebuah konsep tatanan simbolis yang mempunyai implikasi baik, secara internal maupun eksternal. Bila berbicara tentang konsep internal, perayaan ini mengacu pada sebuah bentuk pernyataan diri, solidaritas, kebersamaan di antara kelompok LBGTIQ (lesbian, gay, biseksual, transgender, Intersex dan Queer) dalam mengafirmasi eksistensi dirinya, sedangkan secara eksternal, momen ini bisa bermakna sebuah bentuk perlawanan terhadap struktur masyarakat yang terlalu heterosentris, menganggapnya logos, sehingga meminggirkan suara-suara alternatif lainnya alih-alih menghargai keberagaman.

Sikap macam inilah yang akhirnya melahirkan prasangka buruk (prejudice), kekerasan, bahkan diskriminasi terhadap kaum yang dilabelkan LBGTIQ tersebut.

Tidak seperti hari Kartini yang memang dirayakan bertepatan pada hari kelahirannya, masih banyak yang belum mengetahui, mengapa tanggal 17 Mei menjadi waktu yang diperingati setiap tahunnya? Mungkin bisa ditandaskan bahwa ketidaktahuan itu bukanlah sikap tidak tahu yang alami, alias ’dari sononya’, tetapi dilakukan secara terorganisir melalui pembungkaman oleh budaya heterosentris yang tidak ingin menghargai kaum LGBTIQ. Lihat saja, betapa jarang media mau mengulik hari yang satu ini. Betapa sedikit manusia yang mau peduli terhadap hari kemanusiaan ini. Betapa gersangnya aksi-aksi sosial yang dilakukan sebagai bentuk kepedulian dan perayaan keberagaman. Padahal, momen ini bisa digunakan oleh kedua belah kelompok untuk menghancurkan tembok pemisah yang mendikotomi sekaligus meng-’kotak-kotak’-an seksualitas manusia. Manusia dipersamakan dengan komoditas yang dilabelkan dengan kategori tertentu sehingga pada akhirnya malah terasing dari kemanusiaannya sendiri.

Tradisi ini berawal pada World Health Organization (WHO) salah satu badan Perserikatan Bangsa – bangsa (PBB) pada tanggal 17 Mei mengeluarkan homoseksual dan biseksual dari kategori ’penyakit’, tetapi merupakan sebuah pilihan seksualitas yang merupakan hak-hak individu. Peristiwa itu mampu menjadi percik api bersejarah yang mendorong Konferensi International LGBTIQ di Montreal Canada pada tanggal 26 – 29 Juli 2006 merekomendasikan tanggal 17 Mei sebagai Hari International melawan Homophobia yang akan diperingati tahunan di bawah naungan nama ‘IDAHO’.

Bicara soal kekerasan dan diskirminasi yang diterima oleh kelompok LGBTIQ, memang sangat berbeda sekali dengan kelompok marginal yang lainnya. Tulisan ini tidak ingin melempar polemik bahwa kelompok LGBTIQ lebih marginal dibandingkan kelompok lainnya. Hal ini dikarenakan diskriminasi dan marginalisasi suatu kelompok memang sangat berbeda – beda sesuai dengan konteks dan situasi yang ada di masing – masing kelompok tersebut. Perjuangan yang dilakukan oleh kelompok LGBTIQ adalah sebuah perebutan hak otoritas tubuh dan kebebasan pilihan seksualitas. Konteks ini ”hampir” sama dengan apa yang diperjuangkan oleh kelompok feminis radikal terhadap hak – hak perempuan dengan slogan ”Personal Is Political”

Sebelum tulisan ini lebih melangkah lebih jauh membahas soal pentingnya penghapusan diskriminasi terhadap kelompok LGBITQ, ada baiknya kita perlu mencoba membahas apa saja konsep yang tertampung dalam label LGBTIQ ini:

Lesbian :

Lesbian adalah seorang perempuan yang mempunyai “preference” (pilihan) seksual terhadap sesama perempuan. Artinya seorang perempuan memilih untuk mengikatkan dirinya secara personal—mencakup psikis, rasa, dan emosional— dengan seorang perempuan. Tak dapat dipungkiri, budaya partriaki yang memproklamirkan dikotomi antara seksualitas aktif (laki-laki) dan pasif (perempuan) cukup memberikan dampak buruk bagi kelompok lesbian sendiri. Dampaknya, keberadaan lesbian di ranah publik lebih tertutup dibandingkan dengan kelompok gay. Hal ini disebabkan oleh nilai-nilai budaya patriarki tadi sudah diinternalisasi oleh perempuan tersebut ditambah dengan teror dan kecaman dari lingkungan sosial. Situasi ini menyebabkan kebutuhan mendesak terhadap perlakuan khusus bagi gerakan dan pemberdayaan kelompok lesbian. Dalam hubungan berelasi hubungan lesbian ada peran – peran yang umunya sering dinamakan dengan butch (lebih macho) dan femm (feminin). Walaupun juga tidak menjamin bahwa butch akan selalu macho atau sebaliknya. Pada relasi yang seharusnya berbeda dengan heteroseksual ini pun hubungan peran – peran gender masih kadang terlihat besar sekali yang hampir sama dengan relasi dalam heteroseksual (minimal ini dari pengamatan penulis).


Gay :

Gay dan lesbian sebetulnya sama-sama terangkum dalam konsepsi yang hampir sama. Hanya saja bila lesbian dikonsepkan untuk perempuan, gay mengacu pada seorang laki – laki yang mempunyai preference (pilihan) seksual kepada laki - laki.

Sebelumnya penyebutan istilah Gay juga dapat diberikan pada perempuan yang suka dengan perempuan. Tetapi, dalam perkembangannya, konsep gay pun membelah diri (tanpa maksud menyamakannya dengan makhluk bersel satu). Kini, penggunaan istilah gay lebih banyak untuk menyebutkan laki – laki yang suka dengan laki – laki saja. Pola berelasi hubungan seksual dikelompokkan menjadi tiga kategori, yaitu bottom dan top atau versatille. Bottom mengacu pada individu yang memilih sikap seksual pasif, sedangkan top adalah kebalikannya. Namun, pada kelompok versatile, kedua konsep seksualitas aktif dan pasif melebur menjadi satu kesatuan, meskipun dalam praktiknya, tetap saja individu akan memilih salah satu dari pilihan tersebut disesuaikan dengan partnernya.

Biseksual :

Biseksual adalah seorang baik perempuan maupun laki – laki yang mempunyai preference (pilihan) seksual terhadap laki – laki maupun perempuan. Artinya seorang mempunyai kesukaan dalam berhubungan seks dengan seorang laki – laki, sekaligus perempuan baik secara emosional, rasa, jiwa dan psikologis dalam waktu yang bersamaan. Kelompok biseksual biasanya akan selalu nyaman dengan hubungan dua jenis kelamin tersebut. Tidak sedikit seorang laki – laki yang sudah menikah dengan perempuan masih juga menjalin hubungan dengan laki – laki lainnya secara bersamaan. Tetapi masih ada sebagian kelompok gay atau lesbian yang ingin “menutupi” karena tuntutan sosial bahwa dia adalah “normal” kemudian berusaha untuk menikah dengan laki – laki atau perempuan.

Pola relasi hubungan percintaan kelompok biseksual yang secara bersamaan menjalin hubungan dengan dua orang (laki – laki dan perempuan) sebagian ditentang oleh kelompok LGBTIQ yang anti poligami atau poliandri. Karena pola relasi ini melanggengkan kekerasan baik fisik maupun psikologis bagi kedua pasangannya maupun anak yang dilahirkan dari hubungan tersebut.

Perdebatan ini sampai sekarang masih terus berlangsung antara kelompok LGBTIQ sendiri maupun kelompok feminis.

Transgender :

Transgender adalah seseorang yang mengenakan atribut gender berlainan dengan konsepsi gender yang sudah dikonstruksikan secara sosial oleh masyarakat.

Misalnya seorang laki – laki yang nyaman memakai rok, berlipstik, lemah lembut serta melakukan pekerjaan yang banyak dilakukan oleh perempuan selama ini. Sebenarnya kelompok transgender mendobrak sistem partriaki yang selama ini diperjuangkan oleh kelompok feminis, bahwa persoalan penampilan, kegiatan dan aktivitas itu tidak berjenis kelamin. Lebih jauh lagi, dobrakan ini sebetulnya mampu menghancurkan garis pembatas antara ruang domestik dan ruang public yang menghantui konstruksi gender saat ini. Perempuan diakrabkan dengan rumah, sedang laki-laki diasosiasikan dengan belantara pekerjaan di luar rumah.


Sebagai contoh, menyapu, menyalon, perancang mode, memasak itu bukan hanya pekerjaan perempuan. Dalam hal ini kelompok transgender patut diberikan pujian karena sudah mampu menembus batas-batas yang menjengahkan itu dan melahirkan sebuah kesimpulan baru, bahwa semua itu dapat disukai oleh siapapun tanpa melihat jenis kelaminnya.

Kelompok transgender ini tidak bicara soal pada pilihan seksual tetapi lebih kepada sikap dan peran – peran yang berbeda dari umumnya orang, sehingga kelompok transgender ini ada yang disebut dengan crossdressing ( yang suka menggunakan pakaian dari lawan kelaminnya). Jika bicara pilihan sekskual kelompok ini juga sangat beragam sekali, ada yang memilih menjadi gay, lesbian, biseksual, heteroseksual ataupun Queer.

Kelompok ini di Indonesia ada disebut dengan Waria (untuk laki – laki ) dan untuk perempuan tidak ada sebutkan khususnya.

Tetapi karena persoalan informasi banyak juga kelompok ini mendefinisikan dirinya dengan sebutan sebagai seorang Transeksual. Atau pada titik yang paling ekstrem mendefiniskan dirinya adalah seorang perempuan.

Transeksual :

Transeksual adalah seseorang yang merasa dirinya “salah” jenis kelaminya secara biologis. Misalnya seseorang yang memiliki vagina sejak lahir kemudian setelah tumbuh dan berkembang secara jiwa, rasa dan psikologisnya merasa dirinya adalah laki – laki dan kemudian melakukan operasi organ seksualnya secara biologis. Sehingga penekanan pada kelompok transeksual ini pada persoalan biologis.

Tetapi proses seseorang menjadai transeksual bukan sesuatu yang mudah karena harus melalui proses pemeriksaan yang panjang baik secara medis, psikologis maupun ekonomi.


Banyak juga orang – orang yang merasa dirinya transeksual tetapi belum melakukan operasi kelamin secara medis sehingga menyebut dirinya dengan sebutan “Teperangkap Dalam Tubuh Yang Salah” Meski kalau diamati bukan soal teperangkap dalam tubuh yang salah, tetapi lebih pada akar persoalan identitas diri dan konsep gender yang masih belum dipahami dengan jelas. Artinya, bahwa harus ada koherensi yang kuat antara gender dan jenis kelamin secara biologis. Sehingga apabila seorang laki – laki yang suka dengan kegiatan dan aktivitas yang biasa dilakukan oleh perempuan maka dirinya adalah seorang perempuan yang harus punya vagina dan payudara besar. Hal ini disebabkan budaya partriarki dan heteronormativitas masih mengakar kuat di kalangan kelompok LGBTIQ sendiri.

Intersex :

Intersex adalah seseorang yang dikarenakan faktor biologis sehingga dalam tubuhnya memiliki ciri biologis dari laki – laki maupun perempuan. Dalam bahasa biologis biasanya disebut dengan istilah hermaprodit. Persoalan ciri ini juga bermacam – macam bentuknya dan tidak selalu tampak di luar tubuh. Misalnya seseorang yang diluar terindentifikasi laki – laki (ada penis misalnya) tetapi dalam tubuhnya memiliki indung telur atau alat – alat reproduksi perempuan.


Ada juga yang salah satu jenis kelamin lebih nampak dominan dibandingkan jenis lainya, misalnya memiliki vagina dan penis tetapi perkembang penis tidak maksimal dibandingkan dengan vaginanya. Sehingga untuk kasus – kasus ini banyak orang tua melakukan operasi pada saat umur anak masih kecil dengan melihat alat kelamin mana yang lebih dominan. Jika penis yang lebih dominan maka anak tersebut akan dioperasi untuk menjadi seorang laki – laki tanpa ada hak anak untuk memilihnya sendiri.


Karena ironis sekali banyak kejadian seorang anak yang dioperasi malah justru “salah” menentukan jenis kelaminnya. Artinya tidak dapat dijadikan justifikasi bahwa alat kelamin luar menunjukan jenis kelaminnya yang sebenarnya.

Dalam hal ini Intersex tidak bicara pada pilihan seksual, sehingga untuk pilihan seksual kelompok ini sangat beragam sekali.

Queer

Queer jika diartikan secara literal berarti bengkok, aneh, ganjil dan menyimpang. Tanpa harus berpanjang-lebar menjelaskan asal-muasal perkembangannya, kata ini sebetulnya menunjuk pada kelompok yang mempunyai pilihan seksual yang berbeda dari kelompok heterokseksual. Awalnya kata ini diberikan oleh kelompok – kelompok Homopobia (benci kepada homoseksual) untuk menunjukkan ‘ketidaknormalan’ seksual seseorang dari pandangan mainstream. Tetapi kemudian kata Queer sendiri digunakan oleh kelompok / gerakan LGBTIQ justru untuk “menyerang balik” bagi kelompok homophobia tersebut.


Sehingga ada banyak gerakan perjuangan hak – hak kelompok homoseksual terutama di Negara – Negara Barat dengan sebutan kelompok Queer. Kata Queer sendiri sudah mempunyai makna politis dan ideologis bagi gerakan kelompok seksual yang termarginal.


Semakin rumit dan banyaknya varian – varian pilihan seksual seseorang sehingga istilah Queer juga digunakan untuk mengelompokkan pilihan seksual yang sukar didefinisikan. Misalnya ada seorang laki – laki yang mengaku dirinya heteroseksual tetapi suka dan mau melakukan hubungan seks dengan seorang transgender (waria). Ada lagi seorang Lesbian yang macho misalnya suka secara seksual dengan seorang waria. Begitu juga misalnya ada seorang transeksual ke perempuan yang kemudian setelah operasi pilihan seksualnya dengan perempuan. Masih banyak lagi varian – varian yang lain yang kadang sulit untuk didefinisikan dan sangat “membingungkan”. Kelompok – kelompok yang sangat beragam ini dikelompokan menjadi kelompok Queer. Sehingga Queer juga merupakan bagian dari pilihan seksual seseorang. Ini semakin menguatkan bahwa seksualitas itu sangat cair sekali yang tidak mutlak harus heteroseksual saja.

Dari definisi diatas bahwa LGBTIQ bukanlah persoalan moral tetapi ini pada pilihan individu terhadap kenyamanan dirinya sendiri atas tubuh dan identitasnya terlepas dari apakah LGBTIQ karena faktor biologis atau lingkungan. Sama seperti kita tidak akan mempersoalkan heteroseksual itu disebabkan oleh faktor biologis ataupun karena lingkungan. Hal ini memicu munculnya pertanyaan kepada kelompok LGBTIQ “Kapan Anda meenjadi GAY, Lesbian, Biseksual?”. Bagaimana jika pertanyaan juga dilontarkan kepada kelompok heteroseksual: ‘Kapan Anda menjadi Heteroseksual?’

Dalam melakukan perjuangan hak – hak kelompok LGBTIQ ada satu pengalaman yang mungkin bisa ditandaskan bahwa kelompok tidak berjuang hanya untuk urusan seks belaka, artinya cuma soal ”selangkangan” saja. Perjuangan kelompok LGBTIQ adalah sebuah perjuangan hak atas pengakuan identitas diri dan seksual seseorang terlepas dari apapun pilihan seksualitasnya. Hak untuk mendapatkan hak – hak Ekonomi, social, budaya (Ekosob) dan Sipil / Politik (Sipol) yang sama sebagai warga Negara.

Bila menilik situasi sekarang di Indonesia, gerakan LGBTIQ masih terlalu panjang untuk terus diperjuangkan. Meskipun tak sepatah kata lelah untuk meneriakkan suara – suara yang bungkam sehingga mendapat tempat yang ’seharusnya’ dan adil. Perjuangan itu harus terus bergulir demi hidupku, jiwaku, kelompokku dan kemanusiaan.


SELAMAT IDAHO 2008


Mampang, 12 Mei 2008

Toyo

Gay dan Sekretaris Eksekutif Our Voice

0 komentar: