Serat Centhini Abad 21

>> Selasa, 07 April 2009



Pada tanggal 4 April 2009 pukul 16.00 Wib. Di Komunitas Salihara Pasar Minggu dilakukan diskusi umum membahas soal Serat Centhini.

Pembicaranya Elizabeth D.Inandiak, dia adalah seorang penulis buku yang judulnya Centhini, kekasih yang tersembunyi. Buku nya ada dijual dipasaran. Jika ada yang minat bukunya mungkin bisa dipesan di penerbitnya langsung dengan email babadalas@gmail.com. Elizabeth ini adalah seorang perempuan berkewargaan Perancis yang hampir 4 tahun melakukan riset soal naskah kuno serat Centhini di Jawa.

Pembicara yang kedua adalah Ibu Junanah, perempuan ini adalah seorang dosen bahasa Arab di UII Yogyakarta. Selama ini beliau banyak mempelajari soal kesastraan Aran dalam serat Centhini. Acara ini dimoderatori oleh Nong Darol Mahmada, aktivis AKKBB.
Acara diskusi kali ini adalah bagia
n dari kegiatan sepekan perempuan bulan April yang diadakan oleh Salihara dan lembaga - lembaga lain. Salah satunya dengan Jurnal Perempuan, Kalyanashira Foundation dan Kartini Asia untuk kegiatan V-festival. Semua kegiatan itu adalah untuk menyambut hari Perempuan International pada bulan Maret dan Hari Kartini pada bulan April.

Sebelum dimulai acara sudah ramai pengunjung yang datang. Apakah kedatangan pengunjung sekaligus mengikuti acara malam harinya. Pembacaan sastra perempuan. Tapi minimal pada saat acara dibuka sangat ramai sekali pengunjung yang hadir. Sepertinya tema serat Centhini ini memang menjadi isu yang banyak ditunggu oleh banyak orang. Sehingga peserta diskusi sampai harus mendengarkan diluar ruangan, karena tidak cukup menampung ruanga
n. Mungkin peserta diskusi yang paling banyak selama aku ikuti diskusi di Salihara.


Artinya bahwa isu seksualitas memang masih menjadi isu yang menarik dibahas. Karena kita tahu apabila kita mendengar kata serat Centhini maka bayangan kita adalah soal 'kamasutra" ala Jawa. Atau mungkin juga diperngaruhi karena sekarang adanya UU Pornografi di Indonesia.

Atau mungkin karena memang serat Centhini dianggap sebuah naskah yang jarang dibahas secara mendalam. Sehingga acara ini memang ditunggu oleh banyak orang. Sebelum teman – teman bosan, aku akan mulai berbagi apa yang dapat bagi dari substansi diskusi pada saat

itu.

Ibu Elizabeth D.Inandia menulis buku ini awalnya mendapatkan mandat dari duta besar Prancis Thierry de Beauce’ untuk mengkaji Serat Centhini ini. Sejak itu lah petualangan Elizabeth dimulai.

Buku yang ditulis oleh Elizabeth D.Inandia dengan judul CENTHINI, kekasih yang tersumbunyi. Merupakan hasil “serapan” dari serat Centhini yang “asli” dan ditambah dengan literatur yang lainya. Jadi penulis dalam hal ini tidak sepenuhnya mengambil naskah asli. Tapi meramunya dengan teori – teori ilmu lain. Baik dari buku – buku kebudayaan Jawa, bahkan sampai pemikiran dari Victor Hugo yang dijadikan jendelanya penulis. Buku ini kerjakan selama 4 tahun lamanya oleh penulis. Selain mengacu pada teks – teks tertulis juga didukung oleh literatur non tertulis (lisan). Dari mulai petani, nelayan, kyai, penjaga makam Giri sampai tokoh besar Gus Dur ditanya untuk dimintai keterangan. Sehingga kekuatan dari buku ini adalah penulis berhasil menafsirkan serat Centhini versi baru. Sehingga penulis menamakan bukunya ini adalah “Serat Centhini Abad 21”.


Penulis yakin bahwa penulis serat Centhini yang asli juga berdasarkan literatur dari lainnya. Artinya naskah aslinya juga tidak pernah berdiri sendiri. Sehingga ada hal – hal yang banyak diputar balikan ceritanya dalam buku versi ini. Misalnya hubungan Sultan Agung dengan Nyi Roro Kidul. Yang dalam naskah asli Nyi Roro Kidul yang tergila – gila dengan Sultan Agung, tetapi dalam buku ini justru situasinya dibalik.


Dengan alasan salah satunya menurut penegtahuan penulis bahwa Nyi Roro Kidul adalah mahluk “halus” dan hebat sehingga tidak akan mungkin mencintai Sultan Agung. Dan ini juga ada muatan politik kepada rakyat yang dilakukan oleh Sultan Agung, bahwa kalau ingin menguasai Nusantara maka harus dapat menguasai laut. Karena wilayah Nusantara itu lebih luas wilayah lau

tnya daripada daratan. Sehingga penguasaan Nyi Roro Kidul sebagai simbol untuk menguasai nusantara. Logika itu yang digunakan oleh Sultan Agung untuk meyakinkan rakyatnya. Menurut penulis menjelaskan kepada seseorang penannya.


Serat Centhini yang asli adalah cerita dengan latar belakang abad 17

(tahun 1646 – 77 M). Masa pemerintahan raja Amangkurat di kerajaan Mataram (Sultan Agung ) di Jawa Tengah dengan Sunan Giri di Jawa Timur (masa kerajaan Blambangan). Kemudian baru dibukukan pada masa raja Pakubuwono V ( tahun 1820 – 1823 M) keturanan Sultan dan titisan

dari Amongraga (tokoh dalam serat Centhini). Sehingga masa itu adalah masa dengan latar belakang Islam yang “kuat”. Nanti kita bisa memahami suasana dengan latar belakang masyarakat dan raja – raja penganut Islam yang “taat” pada saat itu. Untuk menuliskan naskah kuno ini, Pakubuwono meminta tiga pujangga (Sastranagara, Ranggasutrasna dan Sastradipura). Dalam naskah asli hanya dituliskan satu pujangga saja.


Proses penulisan buku ini, dimulai dengan melakukan peterjemahan buku asli serat Centhini dari naskah Jawa dituliskan kembali menjadi tulisan Jawa latin. Yang dilakukan oleh H. Karkono Kamajaya diterbitkan pada tahun 1992. Kemudian naskah latin Jawa itu diterjemahkan dalam bahasa Indonesia yang selesai pada tahun 2008. Dan naskah asli Serat Centhini sudah ada dalam bahasa Indonesia sebanyak 12 jilid yang diterbitkan oleh Gadjah Mada University Press. Peterjemah jilid 5 – 12 adalah Prof Dr Marsono. Sedangkan untuk jilid 1 – 4 diterjemahkan dalam bahasa Indonesia oleh Tim Penyadur Darusuprapta pada tahun 1991 diterbitkan oleh Balai Pustaka.


Setelah naskah 12 jilid ada, baru diterjemahkan kembali ke bahasa Perancis. Mulai Elizabeth bekerja. Walau penulis juga akhirnya belajar banyak soal sastra Jawa selama bertahun – tahun tinggal di Yogykarta. Kerja yang sangat luar biasa sekali. Serat Centhini yang asli terdiri dari 4.000 halaman dengan ratusan tembang. Sehingga memang diakui oleh banyak orang bahwa serat Centhini adalah maha karya sastra Jawa kuno yang paling luar biasa karena menyangkut banyak kehidupan manusia.


Walaupun penulis mempunyai kebebasan untuk membaca kembali serat Centhini asli. Tetapi sayangnya penulis sudah menjaga “jarak” dengan persoalan gender, identitas gender. Terutama untuk persoalan seksualitas. Padahal serat Centhini banyak bicara soal perjuangan dan cerita soal perempuan pada masa itu. Dari mulai soal seksualitas, keadilan gender dan identitas gender. Penulis sama sekali “membiarkan” kejadian – kejadian secara natural saja. Tetapi tidak untuk persolan politik lainnya. Padahal jika penulis kuat dan tertarik untuk isu feminis dan seksualitas. Menurut aku akan lebih menarik karya buku ini. Karena kekuatan serat Centhini pada persoalan perjuangan perempuan dan soal “kebebasan” seksualitas. Termasuk menyangkut soal homoseksual dan biseksual.


Serat Centhini sendiri adalah cerita perjalanan dua orang manusia Amongraga (laki – laki) dan Tambangraras (perempuan). Keduanya adalah suatu istri. Kemudian mereka berpisah pada saat malam malam ke 40. Setelah suaminya menyetubui istrinya pada malam 40 hari perkawinannya. Sejak itu lah petualangan dimulai. Tambangraras mencari suaminya ditemani dengan perempuan yang namanya Centhini. Tambangraras adalah seorang perempuan yang cerdas. Sedangkan Centhini adalah seorang pembantu Tambangraras yang sangat patuh sekali.

Menurut penulis dan pembicara yang lain (Ibu Junanah) mengapa justru Centhini yang menjadi ikon / judul buku dalam naskah itu? Kemungkinan pesan dari naskah itu adalah ingin menampilkan sosok Centhini yang sangat abdi kepada majikannya yang sangat taat. Sehingga kalau dikaitkan dengan ajaran Islam bahwa kalau ingin menjadi Sufi, penganut Islam mistik maka harus tambah dan ikhlas atas kehendak pemimpinnya. Itu yang digambarkan oleh tokoh Centhini. Memang serat Centhini ini menurut ibu Junanah menggambarkan bagaimana kalau cara mencapai Manunggaling Kawula Gusti (ajaran Syeh Siti Jenar). Pasra pada tuhan dan harus patuh kepada pemimpinanya. Gambaran kepatuhan itu sangat ditampilkan oleh tokoh Centhini dalam naskah itu.


Menurut aku (Toyo), bahwa serat Centhini juga punya kepentingan politik pada saat dibukukan oleh raja Pakubuwono V. Kita tahu bahwa ini adalah ide dari raja Pakubuwono V. Sehingga isi serat Centhini asli atas “restu” dari raja. Malah beberapa jilid yang kononya dituliskan langsung oleh Pakuwono V terutama untuk persoalan seksualitasnya. Karena sastarawan kurang nyaman dengan isi ceritanya.

Sehingga menurut ibu Junanah nilai sastra Arab dalam serat Centhini banyak yang sudah “salah”. Malah sebagaian ulama bahwa ajaran Islam dalam sastra serat Centhini sudah banyak yang “menyimpang”. Tapi argumentasi Ibu Junanah menurutku hanya karena saja tidak terbiasa melihat perbedaan tafsir dalam Islam. Itu sangat terasa sekali ketika ibu Junanah menjelaskan beberapa hal berkaitan dengan isi serat Centhini dalam konteks ajaran Islam.

Sehingga dalam hal ini sangat mungkin sekali kepentingan Pakubowono V untuk meneguhkan kekuasaan dan kepatuhan rakyatnya kepada raja. Mungkin ini juga mengapa orang Jawa, misalnya di Solo dan Yogya sangat patuh dengan raja. Ini asumsi Toyo saja. Mungkin saja asumsi ini juga salah. Sehingga masih perlu dikaji lebih jauh lagi soal ini.


Gambaran sangat “vulgar” soal sex memang banyak digambarkan dalam serat Centhini dalam buku ini. Misalnya penggunaan kata kontol, penis, minum mani atau hal – hal selama ini yang dianggap tabu oleh masyarakat. Memang kalau dikaitkan dengan UU Pornografi serat Centhini akan mendapatkan larangan terbit dalam konteks sekarang. Karena memang ada secara eksplisit menyebutkan payudara dan alat kelamin laki – laki perempuan. Selain hubungan heteroseksual juga disebutkan soal hubungan homoseksual.


Jadi sering dalam tembang – tembangnya disebutkan kalau misalnya laki – laki minum sesuatu ramuan maka bisa dapat cintia oleh perempuan dan laki – laki. Kalimat – kalimat itu beberapa kali muncul. Ini artinya dalam serat Centhini hubungan seksual manusia menjadi tidak berjenis kelamin. Walau juga ada larangan yang disampaikan karena latar belakang Islam itu. Tapi lagi – lagii penulis tidak banyak membongkar seksualitas dari konteks kekinian. Sehingga sangat kurang dalam. Bagaimana Adipati (laki – laki) begitu menikmati hubungan dengan Cebolang (laki – laki ) dan Nurwitri (laki – laki). Bahkan pada isi tembang 51 dan 52 digambarkan sampai melakukan anal sex sang Adipati bersama Cebolang dan Nurwitri. Serat Centhini ini menjadi bukti lagi bahwa persoalan homoseksual sudah ada sejak dulu bahkan mungkin sejak adanya adanya peradaban manusia.


Cerita dari serat Centhini kalau mau dikupas lagi soal gerakan perempuan banyak sekali. Karena pada umumnya ceritanya banyak melibatkan sosok perempuan yang pemberani dalam Medan Perang. Sampai ada seorang tokoh Kasanah yang menjadi korban pemerkosaan dan pelecehan seksual. Kemudian dia berjuang untuk hidupnya sampai dia berhasil menjadi raja. Tetapi memang Kasanah digambarkan dengan berubah identitas gendernya. Artinya Kasanah menggunakan atribut laki – laki. Walau akhirnya Kasanah menyebutkan dirinya bukan laki – laki dan juga bukan perempuan. Kalau penulis mau membongkarnya ini bagus sekali. Karena ini seperti simbol patung Ardhanary, bahwa tubuh manusia ada unsur maskulin dan feminin. Menurut Kasanah dirinya sekarang sudah menuju kepada pengabdian kepada Tuhan. Sehingga tidak lagi berjenis kelamin. Ini menarik sekali kalau penulis dapat mengkajinya dari teori seksualitas dalam konteks teori postmodernisme.


Belum lagi soal perjalanan Centhini dengan majikannya Tambangraras, karena keamanan. Kedua perempuan menggunakan simbol dan pakaian perempuan. Dalam proses perjalanan mencari suaminya, Amongraga. Selain itu ada juga cerita hancurnya kerajaan Giri dikalahkan oleh istri dari panglima perang Sultan Agung. Yaitu panglima Pekik. Ada banyak cerita dalam serat Centhini yang menggambarkan sosok perempuan yang pemberani. Termasuk dengan Centhini sendiri yang sangat kuat dan taat. Kemudian kalau untuk transgender, dalam buku ini digambarkan kalau Adipati ingin melakukan hubungan dengan laki – laki. Adipati meminta laki – laki itu berdandan layaknya perempuan. Baru kemudian mereka berhubungan badan. Tapi pada satu saat Adipati minta untuk difuck (dianal) dengan pasangan laki - laki yang didandani layaknya perempuan. Ini menunjukkan bahwa relasi hubungan seksual itu sangat cair sekali. Sama seperti yang terjadi sekarang ini bahwa seorang waria tidak selalu menjadi objek penetrasi, tetapi bisa menjadi subjec penetrasi. Menarik menurut aku. Sayangnya Elizabeth kurang peka terhadap isu ini, sehingga tidak dibahas dan dikaji lebih dalam.


Selain soal seksualitas dan feminisme, ada kritikan ku lagi untuk penulis. Menyangkut inkonsisten dalam membuat buku ini. Dalam buku Elizabeth digambarkan seorang raja yang mempunyai istri 12 orang. Padahal isinya digambarkan raja itu adalah seorang muslim yang taat dalam Islam. Saya berpikir apakah mungkin seorang yang taat dalam Islam tetapi memunyai istri sampai 12 orang. Bukan kah itu artinya dia tidak taat lagi kepada ajaran Islam?

Karena Islam dengan tegas hanya “membolehkan” sebanyak 4 orang. Aku kurang senang sebenarnya membahas soal poligami yang ini.

Walau aku tahu bahwa raja – raja dahulu banyak mempunyai selir. Atau memang pada saat itu persoalan ketaatan tidak menyangkut persoalan seksualitas. Artinya laki – laki atau raja bebas mempunyai berapa saja istri. Tetapi asal menunaikan syariat yang lainya masih digolongkan taat. Jadi ketaatan terganggantung bagaimana raja mendefinisikannya. Sayang unsur – unsur itu juga luput menjadi kajian penulis (baca Elizabeth).


Jadi dalam proses perjalanan itu ada cerita tokoh – tokoh lain. Dalam tokoh2 itu dibahas soal hubungan seksualitas. Hanya menurut saya walaupun serat Centhini menggambarkan begitu bebas soal seksualitas. Tetapi tetap saja frame/kerangkanya adalah moral. Artinya beberapa cerita yang menggambarkan bebasnya sex diperankan oleh tokoh – tokoh yang “bejat” atau tidak bermoral dalam pandangan Islam mainstream pada saat itu. Yang akhirnya sebagian tokoh menjadi tobat. Begitu lah umumnya cerita dalam serat Centhini tersebut. Mudah aku salah melihatnya.


Diakhir cerita walau Amongraga dan istrinya (Tambangraras) ketemu. Tetapi kemudian mereka berpisah kembali. Amongraga akhirnya dibuang ke laut, sama nasibnya seperti cerita Syeh Siti Jenar. Dan akhirnya mereka berubah menjadi gendon (sejenis ulat besar) yang dimakan oleh Sultan Agung. Yang gendon jantan dimakan oleh Sultan Agung sedangkan yang cewek dimakan oleh pangeran Pekik. Setelah gendon masuk dalam perut Sultan Agung, maka kemudian berubah menjadi Amangkurat I. Sehingga ada kepercayaan Amangkurat I sebagai jelmaan dari Amongraga. Karena Amongraga memang bernafsu ingin mengalahkan Sultan Agung. Dan akhirnya Amungkarat I kemudian turun temurun menjadi Pakubuwono sekarang ini.

Ini adalah hasil diskusi dan hasil bacaan dari makalah dan buku Serat Centhini abad 21. Ini menjadi peluang untuk dapat mengkaji serat Centhini asli dari perspektif perempuan, seksualitas maupun kajian Islam progresifnya. Akan menjadi lebih menarik sekali kalau dapat dikontekskan kekinian. Seperti yang dilakukan oleh Elizabeth.


Akhir kata, aku tetap memberikan apresiasi yang luar biasa kepada penulis (baca Elizabeth) yang sudah membuka jendela bagi setiap orang. Untuk dapat mempelajari isi serat Centhini dari berbagai aspek kehidupan manusia. Sehingga serat Centhini akan benar – benar menjadi naskah kuno yang bersejarah dan selalu terkontekskan. Sehingga sampai kapan pun naskah itu akan menjadi kajian menarik oleh siapapun. Mari mulai kita membaca kembali serat Centhini itu sebagai warisan budaya bangsa. Mudah – mudahan kedepannya akan banyak ditemukan serat Centhini2 lain yang bukan hanya soal sejarah Jawa. Tetapi juga meyangkut budaya Melayu, Aceh, Batak, Dayak, Papua, Sulawesi dan sebagainya. Sehingga akan semakin menarik untuk memperkaya kebudayaan bumi pertiwi ini. Yang sudah tergantikan dengan adanya UU PORNOGRAFI.


Salam Keberagaman


Toyo


Mampang, 7 April 2009






0 komentar: