HOMOSEXUAL dan PSIKOPAT BERBEDA!

>> Sabtu, 11 April 2009

Homosexual hanya gangguan orientasi sexual, bukan termasuk gannguan jiwa.
Psikopat adalah gangguan jiwa dimana seseorang suka berbohong tapi
tidak pernah merasa bersalah/berdosa.Psikopat dapat terjadi pada semua
profesi apakah dia seorang pejabat, polisi, dokter, artis dll.
Gangguan jiwa lainnya menurut DSM-III adalah neurosis dan psikosis.
Jadi jelAS HOMOSEXUAL dan PSIKOPAT BERBEDA!

Bias Homoseksual dalam Berita Kriminalitas

“Masalah ini memang lagi banyak banget di bahas baik melalui media
ataupun omongan masyarakat…kemarin aja nyokap tlp dan ngomong "Kamu
hati2 yah.. jangan terlalu dekat ma orang yg baru dikenal, mama liat
kasus ryan di TV, kawatir juga jadinya… bilang juga sama dani (BF ku)
jangan suka keluar2 sendirian… mending kalian jalan berdua biar bisa
saling ngejaga"nyokap aja sampai ngomong gitu.. tapi gw juga bingung
kenapa nyokap ngomong gitu yah, secara gw GAK OPEN banget mengenai
orientasi sex gw ma nyokap !… yah sud lah…

Kondisi ini di tambah dengan FILM THE X FILES yang lagi di puter di
bioskop seluruh indonesia…yang temanya kembali lagi mengangkat kasus
yang mirip2 dengan Ryan… Gay dan Mutilasi… DAMN !!! Masyarakat lagi
nge-judge gay dengan hal2 yang sangat negatif, mending sekarang
bertindak dan berbicara lebih hati2 aja… sedih jadinya….

Pembunuhan berantai yang dilakukan tersangka Very Idam
Henyansyah-biasa dipanggil Ryan- memunculkan kehebohan. Pihak yang
paling dominan berperan menggulirkan kehebohan itu adalah media (TV,
Surat kabar ). Kasus itu dikemas media sebagai berita utama secara kontinu selama
beberapa hari bahkan sampai 2 minggu lebih. Bukan hanya pembunuhan yang
menewaskan 11 korban itu yang mencuatkan kehebohan, tetapi orientasi
seksual Ryan sebagai Homoseksual/gay juga mendapat sorotan negative
secara berlebihan.

Pandangan yang semakin tidak menguntungkan kaum homoseksual meningkat.
Seakan-akan semua kaum homoseksual permisif melakukan kejahatan sadis.
Terlebih lagi salah satu jasad korban ditemukan dalam kondisi
dimutilasi. Perilaku sadistik secara gampang diidentikan dengan
komunitas gay. Ironisnya, media melakukan generalisasi tanpa
menampilkan angka statistik secuilpun. Menjadi sangat terlihat jelas
media mengalami kepanikan moral luar biasa terhadap keberadaan kaum gay.
Mengapa media bertindak demikian? Semua berawal dari kriteria
nilai-nilai berita yang diterapkan para jurnalis dalam mekanisme
kerjanya. Aksioma jurnalisme menyatakan, berita berasal dari fakta.
Tetapi, hanya fakta sosial tertentu saja yang dianggap pantas jadi
berita. Beberapa fakta itu adalah keganjilan (oddity), ketidakbiasaan
(unusual), dan di luar kezaliman (extrordinary).
Dalam kasus Ryan, ketiga faktor itu terpenuhi. Media menyambutnya
dengan antusiasme tinggi. Media memberitakan kasus Ryan denagan tiga
kalkulasi, yaitu

(1) setiap jenis kejahatan, terlebih lagi pembunuhan,
merupakan penyimpangan sosial;

(2) jumlah korban yang besar makin
meneguhkan intensitas penyimpangan perilakunya;

(3) orientasi
seksual pelaku pada domain minoritas adalah amunisi paling gampang
ditembakan media untuk menciptakan generalisasi.


Melalui penerapan nilai berita dan ketiga kalkulasi itu, sebenarnya,
apa yang dilakukan media bukanlah mencerminkan fakta sosial secara
oyektif. Lebih tepat jika dikemukan peran yang dilakukan media adalah
mendefinisikan fakta sosial. Dalam memdefinisikan fakta sosial itu
media tidak bisa bekerja mandiri. Media memerlukan lembaga-lembaga yang
mengontrol kebenaran otoritatif bagi masyarakat. Dalam produksi berita
kriminalitas, pasangan yang pasti dilibatkan media adalah kepolisian,
pakar kriminologi dan ahli psikologi serta dokter psikiater.
Pihak kepolisian otomatis dilibatkan media karena otoritasnya sebagai
penjaga ketertiban sosial. Bukankah setiap penyimpangan yang
menciptakan kekacauan sosial memang harus ditangani polisi? Pakar
kriminologi sengaja diwawancarai media untuk memberikan konfirmasi
tentang jenis kejahatan yang diberitakan, misalnya apakah ragam
kejahatan itu baru atau tidak. Ahli psikologi dan dokter psikiater
mendapat posisi sebagai pihak yang menilai kondisi kejiwaan pelaku
kejahatan, misalnya, apakah pelaku waras atau mengalami gangguan jiwa
(neurosis, psikopat, psikosis).
Karena Ryan berada pada lingkup orientasi seksual minoritas, komentar
berbagai institusi sosial itu cenderung seragam. Di situ hadirlah
amplikasi terhadap perilaku menyimpang, yang berarti kedudukan seksual
minoritas pelaku mendapat pembahasan berlebihan. Konsekuensinya, garis
batas identifikasi antara pihak mayoritas-minoritas, waras-sakit, dan
normal-abnormal makin ditebalkan. Hal yang sulit dihindari adalah
stigma terus berhamburan. Pilihan kata seperti “kisah cinta ala homo,”
penyuka sesama jenis,”gay pembunuh,” dan bahkan,”Jack the Ripper”
dengan begitu saja diarahkan kepada Ryan.

Konsep-konsep itu tepat atau tidak mewakili sosok Ryan bukan dianggap
lagi persoalan sebab stigma merupakan teknik pemberian atribut atau
label bagi pelaku penyimpangan sosial. Sebagai produk kontruksi sosial,
stigma memuat kategorisasi, prasangka, dan penstereotipan yang
memojokan kaum minoritas. Benar apa yang dikatakan Howard S Becker
(Labeling Theory, 1991), penyimpangan bukan terletak pada kualitas
tindakan pelaku, melainkan konsekuensi dari aturan dan sanksi yang
diterapkan bagi pelaku. Semakin minoritas orientasi seksual seseorang,
semakin kuat pelabelan atau stigmatisasi yang dilekatkan kepada dia.
Ketersudutan kaum homoseksual akibat pemberitaan kasus Ryan menegaskan,
bias heteroseksisme diaplikasikan media.

Heteroseksisme, ungkap GM Herek(1990), adalah sistem ideology yang menyangkal, mencemarkan, dan menstigmatisasi semua bentuk perilaku, identitas, hubungan, atau
komunitas nonheteroseksual. Wujud konkretnya adalah sentimen
antigay(homophobia), anti lesbian, dan apa pun yang berada di luar
kualifikasi heteroseksual padahal menurut penelitian Kinsey, gay,
lesbian, biseksual, transeksual/transjender memang ada sekitar 5-10%
dalam masyarakat dimanapun dan buku panduan psikiatri Indonesia memang
sudah mengeluarkan Homoseksualitas dari daftar gangguan kejiwaan.
Heteroseksisme menjalar ke dalam seluruh kebiasaan dan institusi
masyarakat, seperti agama, media, dan ilmu pengetahuan. Pandangan
heteroseksistik hadir pada momentum tertentu, terutama ketika kelompok
non-heteroseksual terlibat dalam kasus yang mendapatkan perhatian besar
sebab komunitas non-heteroseksual (gay, lesbian, biseksual,
transjender) secara kultural tidak terlihat. Serentak dengan itu, aneka
serangan berupa kutukan, prasangka buruk, atau generalisasi negative
diarahkan kepada mereka.

Heteroseksisme menjadi penilaian ideologis karena dalam masyarakat
berlaku apa yang disebut Adrianne Rich sebagai compulsory
heterosexuality, yakni paksaan bagi sukyek-subyek sosial untuk mematuhi
heteroseksualitas sebagai kebenaran abadi yang tidak perlu digugat
legimitasinya. Pemaksaan heterokseksualitas tidak saja terjadi secara
kasar (koersif), tetapi juga secara lembut ( hegemoni melalui
kepemimpinan moral dan intelektual). Siapapun yang ingin diakui waras
dan normal harus mematuhi tatanan heteroseksualitas. Sebaliknya,
pihak-pihak yang tidak tunduk pada aturan ini dianggap tidak waras dan
abnormal. Metode kerja heteroseksisme adalah represi dan ekslusi, yakni
penindasan dan penyingkiran terhadap minoritas kaum
non-heteroseksualitas (gay, lesbian, biseksual, transjender) di
masyarakat.

Bias heteroseksisme gampang ditemukan dalam berita kriminalitas yang
menyoroti tindak kejahatan yang dilakukan seseorang yang
diidentifikasikan berorientasi seksual minoritas. Tragisnya, hal ini
tidak disadari kelompok mayoritas heteroseksualitas sebab kaum
minoritas itu dianggap melakukan kejahatan ganda, yaitu terlibat
pembunuhan dan orientasi seksualnya tidak normal. Media jelas berperan
sangat kuat dalam menanamkan dan menyuburkan bias heteroseksisme dalam
masyarakat.


http://www.itsmylifeclub.com/content/curhat/psikopat-dan-homoseksual

2 komentar:

Ratu Avia Rahimah 11 April 2009 pukul 21.08  

that is what i really hate about the very indonesian bad habit:
argumen tanpa dasar.

semoga stereotipe yang muncul dari pikiran primitif bahwa LGBT are sick people berubah, amin.

toyo 13 April 2009 pukul 14.43  

Itu lah yang ada dihadapan kita, mari kita bangun sebuah peradaban yang lebih baik.

salam

Toyo