Ringkasan Diskusi Kartini di Erasmus

>> Minggu, 19 April 2009


Tanggal 18 April 09, pusat kebudayaan Belanda (Erasmus Huis) mengadakan satu kegiatan untuk memperingati Hari Kartini 21 April. Dalam kegiatan tersebut ada dua kegiatan; pertama pemutaran film dokumenter dengan judul Panggil Saja Aku Kartini. Film itu di sutradarai oleh Hans Hulscher. Film ini dibuat berdasarkan surat - surat Kartini yang masih tersimpan dengan baik serta arsip dan foto lamanya. Judulnya diambil dari salah satu surat Kartini. Durasi filmnya 45 menit, dengan menggunakan bahasa Belanda dan subtitle Bahasa Inggris. Jadi film itu menampilkan gambar - gambar Kartini masa dulu dan didukung dengan situasi latar belakang budaya Jawa (Kraton masa abad 19). Kemudian ada yang membacakan surat - surat Kartini pada dalam film itu. Sehingga film itu dapat sedikit membantu penonton untuk menyelami masa dimana Kartini hidup.


Setelah pemutaran Film, kemudian dilanjutkan lagi dengan diskusi bertema soal
Surat - Surat Kartini tersebut. Acara Diskusi dibuka oleh Duta Besar Belanda untuk Indonesia dan kemudian kata sambutan dari Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan RI (Prof Dr Meutia Hatta Swasono). Dalam sambutan nya Ibu Menteri lebih menekankan bagaimana semangat Kartini mendokumentasikan pikiran – pikirannya nya dalam bentuk tulisan. Sehingga budaya menulis menjadi sangat penting dimiliki oleh perempuan Indonesia pada saat ini. Dengan budaya menulis maka akan terdokumentasi dengan baik.

Disamping itu juga Ibu Menteri mengingatkan bagaimana dokumen - dokumen sejarah
Indonesia dapat dijadikan media yang baru sesuai dengan IT yang semakin baik. Karena diharapkan dokumen - dokumen sejarah itu dapat diakses oleh pemuda dan pemudi soal sejarah Indonesia. Karena kemajuan IT memungkin untuk dapat mengubah bentuk dokumentasi itu menjadi lebih modern. Sehingga ini akan memudahkan semua orang dapat mengaksesnya. Setelah itu diskusi dimulai dengan pembicara :
1. Dr. Ir. Irma Alamsyah Djaya Putra.MSc (staf ahli Menteri Bidang Hukum dan Politik Meneg PP).
2. Yuda Irlang (Yayasan Gerakan Pemberdayaan Swara Perem
puan)
Dengan Moderator Debra H. Yatim


Ibu Yuda lebih banyak menyoroti soal gerakan Kartini dalam konteks kebijakan di Indonesia sekarang ini. Seperti persoalan keterwakilan perempuan dalam legislative yang semakin sulit posisi perempuan pada pemilu 2009. Ibu Yuda menjelaskan sedikit soal pentingnya kebijakan afirmative action bagi perempuan. Selain itu juga adanya UU Pornografi yang baru saja disyahkan semakin mengkriminalkan perempuan. Sehingga situasi ini semakin memperparah situasi perempuan di Indonesia. Yang ibu Yuda katakan bahwa banyak kebijakan yang “banci”. Istilah yang sempat dikritik karena menggunakan kata “banci” untuk kebijakan yang tidak baik.


Selain itu bagaimana Kartini pada waktu itu juga menentang poligami dilakukan. Walau Kartini sendiri akhirnya “menjadi” istri keempat dari suaminya. Seperti yang juga digambarkan dalam film documenter. Yang akhirnya Kartini meninggal setelah melahirkan anak pertamanya. Kartini yang menjadi istri keempat menjadi salah satu perdebatkan menanyakan soal “kepahlawanan” Kartini. Dan ada satu peserta mengatakan bahwa menurutnya Kartini bukan seorang pahlawan. Kemudian Ibu Yuda menjelaskan terlepas dari kontroversi kepahlawan Kartini. Tetapi semangat Kartini memberikan kontribusi besar pada perempuan Indonesia saat ini. Walau memang apa yang diperjuangkan oleh Kartini pada abad 19 masih sama apa yang dilakukan oleh perempuan Indonesia sekarang.


Ibu Yuda menampilkan photo wajah – wajah perempuan karena dampak kebijakan yang sama sekali tidak memperhatikan perempuan. Seperti persoalan kenaikan BBM sangat berdampak pada perempuan seperti yang terlihat pada gambaran perempuan yang mengantri untuk mendapatkan minyak tanah. Ibu Yuda menceritakan bagaimana gerakan perempuan sendiri kadang mendapatkan “tantangan” dari perempuan itu sendiri. Pernah kejadian perempuan melakukan aksi protes terhadap poligami, tetapi kemudian dilain waktu ribuan perempuan melakukan aksi mendukung poligami. Ini lah yang banyak terjadi pada perjuangan perempuan. Walau ibu Yuda tidak ingin mengatakan bahwa perempuan seperti itu adalah orang yang “bodoh”. Ini banyak terjadi pada ormas Islam. Artinya ada nya penggunaan perempuan untuk menentang kebijakan yang tidak pro perempuan (soal poligami).


Kemudian dilanjutkan dengan pendapat dari staff kementerian Ibu Irma Alamsyah menampilkan beberapa gambar situasi perempuan pada abad masa Kartini. Selain itu juga menampilkan gambar hasil study banding ke Museum di Belanda. Yang ada museum Kartini. Ibu Irma mengatakan bahwa perjuangan Kartini masih relevan dalam konteks sekarang. Selain itu juga menyoroti sistem feodalisme masa Kolonial. Yang jelas membedakan kelompok penguasa dengan rakyat biasa. Yang katanya sekarang ini sudah tidak terjadi lagi di Indonesia ketidaksetaraan antara penguasa dengan rakyat biasa. Ibu Irma mencontohkan bahwa misalnya sekarang kita dapat sama – sama duduk dikursi. Sedangkan masa dahulu para penguasa duduk dikursi dan rakyat biasa duduk dibawah (lantai). Walau itu disanggah oleh salah seorang peserta bahwa situasi feodalisme juga terjadi sampai sekarang, walau bentuknya berbeda. Tetapi semangat tetap sama, diskriminasi.


Bahan presentasi Ibu Irma memang banyak menampilkan gambar perempuan – perempuan tempo dahulu. Sampai bagaimana ibu Irma menunjukkan perempuan – perempuan pekerja sex yang siap “menunggu” laki – laki untuk melayani. Mungkin maksud Ibu Irma ingin menunjukkan bahwa itu lah kondisi perempuan pada masa itu. Tapi dengan cara pandangan yang misoginis. Sampai tidak tahu membedakan mana itu pelecehan dan mana itu pembelaan. Sampai beliau juga menampilkan perempuan – perempuan tanpa menutup payudara. Dengan santai Ibu Irma menyatakan inilah perempuan – perempuan pekerja sex masa itu. Dengan ikuti suara peserta. Sayangnya yang ditampilkan adalah hanya perempuan tanpa payudara, yang katanya porno itu. Tapi tidak menampilkan gambar – gambar para pelanggannya. Apakah mereka para demang atau laki – laki Belanda. Perempuan yang di”tuduhkan” dengan yang disebut porno itu harus menanggung aib atas tindakan praktek prostitusi yang disampaikan dalam gambar di presentasinya. Ibu Irma adalah seorang staff ahli Meneg PP untuk bidang Hukum dan Politik. Ironis memang.

Ibu Irma adalah orang ketiga yang saya temui setelah Bapak Subagyo (Deputi perlindungan perempuan Meneg PP) dan Dr. Koensatwanto Inspasiharjo (Sekretaris Meneg PP) yang melakukan tindakan kekerasan verbal terhadap perempuan. Tidak dapat membedakan mana itu pelecehan dan mana itu perlindungan terhadap perempuan.


Saat itu adalah moment yang membuat saya marah dan tidak tahu harus berkata apa. Hanya aku berpikir, ibu ini perempuan dan pejabat Meneg PP tapi sama sekali tidak empati pada persoalan tubuh perempuan. Bagaimana mungkin orang – orang yang bekerja untuk pemajuan hak – hak perempuan dalam satu lembaga Negara. Tetapi ironis tidak memahami perempuan sebagai manusia yang utuh atas haknya sama dengan laki – laki. Memang maksud hati ingin membantu perempuan. Tetapi apa daya pemahaman tidak sampai apa yang disedang diperjuangkan oleh perempuan. Rakyat telah mengeluarkan dana yang besar untuk memberikan gaji pada staff Meneg PP yang sama sekali perspektif perempuannya NOL.


Mungkin kedepannya kinerja Meneg PP harus dilihat dan kaji kembali oleh gerakan perempuan di Indonesia. Karena akan semakin sulit kalau para pengambil kebijakan sendiri tidak tahu apa itu hak perempuan.

Mudah-mudahan tulisan dapat dibaca oleh pihak kementerian PP Indonesia. Sehingga para staffnya dapat merefleksikan dan meningkatkan kapasitasnya. Karena mereka adalah orang – orang yang mempunyai peran besar terhadap nasib perempuan di Indonesia. Jika perspektifnya masih seperti sekarang. Maka akan sulit kondisi perempuan Indonesia berubah menjadi lebih baik.

Setelah acara diskusi selesai, dilanjutkan lagi dengan pemutaran film dokumenter berjudul Panggil saja Aku Kartini untuk kedua kalinya.


Salam


Toyo

Kalibata, 19 April 2009

0 komentar: