Ibu Yang Ada Di Plaza The Mayo

>> Senin, 20 April 2009



Hari ini tanggal 20 April 2009 di KontraS kedatangan 3 orang perempuan istimewa yang berasal dari Argentina ( Lidya Tati Almeida dan Aurora Morea) dan dari Thailand (Akana namanya). Dua perempuan dari Argentina itu adalah dari gerakan ibu – ibu yang disebut dengan the mother of the plaza de mayo. Satu gerakan untuk meminta tanggungjawab pemerintahan Argentina terhadap 30.000 orang yang menjadi korban penghilangan paksa. Masa rezim otoriter di Argentina pada tahun dari tahun 1975 sampai 1983. Selama 32 tahun ibu - ibu Argentina berjuang terus untuk anak dan saudaranya yang dihilangkan secara paksa oleh rejim otoriter di Argentina.

Perjuangan ini diawali dengan beberapa orang ibu - ibu saja. Mereka melakukan kegiatan aksi setiap hari Kamis didepan plaza tersebut. Yang dikenal dengan Plaza the Mayo. Aksi itu semakin lama mendapat sambutan dan perhatian banyak ibu - ibu diseluruh
Argentina. Sehingga aksi itu disebut dengan gerakan The Mothers of the Plaza the Mayo.


Aksi itu bukan tidak mendapatkan tantangan dari banyak pihak, baik dari internal maupun ekternal. Gerakan tersebut dimulai diawali setelah ibu - ibu yang kehilangan anaknya meminta tanggungjawab Negara atas hilangnya anak – anak mereka. Tetapi pemerintah tidak pernah memberikan jawaban yang jelas dan keadilan pada ibu – ibu tersebut. Malah ada tanggapan dari pihak pemerintah bahwa anak - anak mereka yang hilang mungkin saja karena kabur bersama pacarnya. Hal - hal itu yang membuat ibu - ibu berpikir untuk melakukan aksi tersebut di plaza the Mayo. Mengapa dipilih tempat itu?? karena daerah tersebut sangat ramai dilalui oleh banyak orang. Ibu - ibu berpikir bahwa itu akan mendapat sorotan oleh banyak orang.

Pada saat memulai aksi berdiri diwilayah itu dilarang oleh pihak pemerintah. Kemudian mereka melakukan aksi dengan berlari
– lari kecil melingkar tanpa berhenti setiap hari Kamis selama 2 jam. Itu dilakukan secara terus menerus selama 32 tahun setiap hari Kamis, tanpa satu haripun pernah ditinggalkan oleh ibu - ibu itu.


Bukan hanya diteror oleh pihak pemerintah dan militer. Tetapi tantangan juga datang dari pihak keluarga. Banyak anggota keluarga menjauhi ibu - ibu tersebut yang melakukan aksi ini. Termasuk suami ataupun keluarga yang lainnya menjauhi mereka. Karena tidak sanggup mendapatkan teror terus - menerus dari militer
Argentina.

Ironisnya bukan hanya militer yang melakukan tindakan penghilangan paksa tersebut. Pihak dokter maupun gereja juga punya andil besar terhadap kasus – kasus penghilangan paksa itu. Ada sebagian pastor dan suster yang juga mendukung gerakan ini akhirnya mengalami penghilangan paksa dari militer. Dan pihak gereja pendukung militer dalam hal ini Khatolik semuanya membungkam dan diam.

Tetapi kondisi itu bukan membuat ibu - ibu itu diam, malah semakin terus menyuarakan keadilan bagi korban penculikan sampai ketingkat International. Semangat yang luar biasa sekali dari dua orang perempuan ini. Sehingga gerakan ini akhirnya menjadikan inspirasi oleh banyak orang yang mengalami hal yang sama diseluruh pelosok dunia.



Para korban yang tidak setuju dengan kebijakan pemerintah, dituduh sebagai seorang komunis. Itu alas an yang digunakan oleh pemerintah Argentina untuk membenarkan penghilangan paksa itu.

Ibu Almeida adalah perempuan yang kehilangan anak laki - laki bernama Alejandro pada saat umurnya 20 tahun. Sampai sekarang ini anaknya belum juga ditemukan keberadaanya. Sedangkan Ibu Morea adalah kehilangan 4 orang anggota keluarganya, anak perempuannya, 2 orang menantunya bersama "besannya". Anak perempuannya Susan hilang pada tahun 1976 dan baru ditemukan pada tahun 1999 dan ditemukan tinggal jasadnya saja, melalui hasil otopsi. Sekarang menantunya sudah ditemukan jasadnya. Cucunya sampai sekarang tidak pernah melihat ayahnya, karena pada saat kejadian anak perempuannya sedang hamil. Ketika pemerintah menculik menantunya.

Beberapa kali para pelaku penghilangan paksa disidangkan tetapi selalu dilepaskan lagi. Malah pemerintahan Argentina pernah mengeluarkan dua kebijakan salah satunya adanya impunitas bagi para pelaku. Walau kebijakan itu akhirnya dicabut setelah presiden yang baru, Disitu lah pengadilan dilanjutkan kembali.

Ibu – ibu terus berjuang dan berjuang tanpa lelah. Akhirnya sampai 32 tahun mereka mendapatkan buah hasilnya. Dan sekarang ini para pelakunya ada yang sudah dihukum dengan hukuman seumur hidup. Tetapi ini bukan karena belas kasihan dari pemerintah tetapi ini buah hasil dari perjuangan ibu – ibu selama 32 tahun. Ibu – ibu tidak pernah berhenti berjuang untuk para korban di Argentina. Para ibu itu tidak mau melakukan rekonsiliasi yang dibuat oleh pemerintah Argentina. Karena menurut ibu – ibu itu tidak akan pernah dapat mengampuni para pelakunya. Karena yang berhak mengampuni pelakunya adalah anak – anak mereka yang sudah mati itu. Bukan kami ibu – ibu nya.


Ibu – ibu Argentina ini menggunakan pin dan kain putih yang diikatkan dikepala sebagai sebuh simbol untuk mengingatkan anaknya yang telah hilang. Dalam kain putih dikepala mereka masing – masing dituliskan nama anaknya dan tanggal anaknya hilang. Ibu – ibu mengatakan makna dari kain putih ini adalah pada saat anak kami bayi, anak – anak kami menggunakan kain putih ini untuk membungkus tubuhnya dari rasa dingin. Ini seperti “popok” kalau di Indonesia. Sehingga simbol kain popok ini lah yang menjadi saksi bahwa anak – anak kami punya nama dan mereka adalah manusia yang dibunuh oleh negara. Bukan hantu. Sehingga sekarang ini kami letakan kain putih ini (baca popok) dan nama anak kami. Sehingga kami yakin bahwa anak – anak kami masih dekat dengan setiap ibunya. Anak kami akan tetap ada dalam hati kami. Yang kami letakkan dalam kain diatas kepala kami.


Begitu juga pin yang masing – masing bergambar anak – anak mereka yang hilang. Ditempelkan pada dada para ibu – ibu itu. Kami yakin sekarang ini anak – anak kami sedang ikut bersama kita dalam diskusi ini. Suasana menjadi haru dan kemudian secara bersama mendapatkan tepukan tangan dari para peserta yang hadir.

Semangat ibu – ibu itu sangat luar biasa sehingga memberikan banyak inspirasi pada para korban 65, semanggi dan korban tanjung priok. Yang pada saat itu juga datang dalam kegiatan diskusi itu. Para keluarga korban dari Indonesia memberikan pertanyaan dan saling berbagi soal pengalaman yang hampir sama mereka lakukan di Indonesia. Acara menjadi media saling menguatkan satu sama lain. Berbeda suku, ras, agama, budaya dan lainya bersatu dalam satu perjuangan penegakan keadilan bagi HAM. Para keluarga korban saling berpelukan antara ibu – ibu yang berasal dari Indonesia, Argentina dan Thailand.

Kemudian dilanjutkan dengan berbagi pengalaman dari Ibu Akana yang suaminya hilang pada tanggal 12 Maret 2004. Suaminya adalah seorang pengacara yang selama ini bekerja untuk membantu korban – korban kasus penghilang paksa, penyiksaan dan juga menuntut atas penghapusan UU darurat sipil di
Thailand. Ibu Akana ini adalah seorang muslim yang tinggal di daerah Thailand Selatan. Suaminya karena membantu para korban akhirnya rezim pemerintah melakukan penghilangan paksa untuk suaminya.

Ibu Akana sekarang mendirikan organisasi untuk berjuang terhadap para korban penghilangan paksa di Thailand Selatan lainnya. Tapi sayangnya di Thailand cara penghilangan paksa itu biasanya korban tubuhnya dirusak dan dihancurkan.Kemudian dimakamkan secara massal. Sehingga sulit sekali untuk dapat dideteksi para korban satu persatu. Disamping itu juga adanya tantangan soal kultur masyarakat di Thailand Selatan. Yang mayoritas muslim, masyarakat disana tidak menginginkan mayat keluarganya dibongkar kembali untuk dapat diotopsi. Karena mempunyai keyakinan bahwa itu dilarang oleh agama.

Dari dua negara itu (baca
Argentina dan Thailand), menurut korban – korban di Indonesia bahwa model dan sistem para pelakunya hampir sama. Di Indonesia sampai sekarang para pelakunya masih saja bisa berlenggang tangan dengan santai hidup di Indonesia. Malah sebagian para pelakunya sekarang ini ada yang ingin menjadi pemimpin negeri ini. Tapi walaupun begitu menurut Mbak Suci (Istri Munir) bahwa tidak boleh putus asa perjuangan kita. Walau kita sekarang ini hanya mempunyai sinar lilin saja. Tapi kalau kita bersatu lilin itu dapat menyinari kita juga. Kita tahu perjuangan itu masih panjang sekali untuk dapat kan keadilan bagi suami, anak dan saudara – saudara kita. Kita di Indonesia juga mendapatkan keadilan untuk memperjuangkan itu, seperti stigma dan diskriminasi yang dialami oleh para korban 65, yang sampai sekarang masih terus dilekatkan pada para korban.


Dengan kedatangan ibu – ibu dari Argentina dan Thailand ini memberikan semangat baru untuk kita di Indonesia terus berjuang. Apa yang dilakukan oleh ibu – ibu diArgentina teringat dengan gerakan ibu peduli yang pernah dilakukan di Indonesia. Ibu – ibu yang selama distigma lemah, kita bisa dapat buktikan sekarang bahwa mereka telah melakukan hal yang luar biasa sekali. Memang banyak perempuan menjadi sosok yang efektif melakukan gerakan sosial.


Saya berpikir bagaimana gerakan LGBTIQ di Indonesia juga dapat melibatkan secara aktif keluarga, khususnya ibu – ibu yang telah melahirkan anak – anak dengan orientasi seksual dan identitas berbeda dari umumnya. Bagaimana menyatukan ibu – ibu yang telah menerima anaknya apa adanya tanpa diskriminasi. Ini akan menjadi inspirasi bagi banyak orang maupun Negara. Bahwa seorang perempuan saja yang telah melahirkan dengan sangat berat dapat menerima dengan tulus anaknya yang gay, lesbian maupun transgender. Mengapa saya, anda, masyarakat maupun Negara harus melakukan diskriminasi pada anak – anak kami yang lahir sebagai LGBTIQ? Mereka (baca LGBTIQ) tumbuh dalam rahimku, keluar dari vaginaku dan besar dari air susuku, itu kata ibuku yang telah melahirkan aku. Sebagai seorang gay.


Selain itu, pertemuan hari itu juga diisi dengan pemutaran film dokumenter dari Argentina dan Indonesia. Selamat berjuang Ibu – Ibu. Hari ini kita buktikan bagaimana para perempuan itu sampai puluhan tahun berjuang untuk anaknya, adiknya, suaminya dan semua orang diseluruh dunia…Terus rentangkan tangan mu Ibu, kami anak mu akan terus mendukung dengan jiwaku.…IBU.


Blok M, 20 April 2009


Salam


Toyo

1 komentar:

andreas iswinarto 16 Mei 2009 pukul 02.54  

U2 dan Sting (juga Joan Baez) mendedikasikan satu karyanya untuk ibu-ibu plaza de mayo saya pikir juga semua ibu anak-anak yang dihilangkan di negeri ini


silah kunjung untuk link you tube konser kedua musisi dunia ini di argentina

http://lenteradiatasbukit.blogspot.com/2009/05/ibu-ibu-plaza-de-mayo-ibu-anak-anak.html

lirik dari U2 – Mothers of the Disappeared – Live Popmart Santiago 1998

Midnight, our sons and daughters
Were cut down and taken from us
Hear their heartbeat
We hear their heartbeat

In the wind, we hear their laughter
In the rain, we see their tears
Hear their heartbeat
We hear their heartbeat

Ooooh…

Night hangs like a prisoner
Stretched over black and blue
Hear their heartbeat
We hear their heartbeat

In the trees, our sons stand naked
Through the walls, our daughters cry
See their tears in the rainfall.

Sting w/ Peter Gabriel – They dance alone – Argentina ´88

Why are there women here dancing on their own?
Why is there this sadness in their eyes?
Why are the soldiers here
Their faces fixed like stone?
I can’t see what it is that they dispise
They’re dancing with the missing
They’re dancing with the dead
They dance with the invisible ones
Their anguish is unsaid
They’re dancing with their fathers
They’re dancing with their sons
They’re dancing with their husbands
They dance alone They dance alone

It’s the only form of protest they’re allowed
I’ve seen their silent faces scream so loud
If they were to speak these words they’d go missing too
Another woman on a torture table what else can they do
They’re dancing with the missing
They’re dancing with the dead
They dance with the invisible ones
Their anguish is unsaid
They’re dancing with their fathers
They’re dancing with their sons
They’re dancing with their husbands
They dance alone They dance alone

One day we’ll dance on their graves
One day we’ll sing our freedom
One day we’ll laugh in our joy
And we’ll dance
One day we’ll dance on their graves
One day we’ll sing our freedom
One day we’ll laugh in our joy
And we’ll dance

Ellas danzan con los desaparecidos
Ellas danzan con los muertos
Ellas danzan con amores invisibles
Ellas danzan con silenciosa angustia
Danzan con sus pardres
Danzan con sus hijos
Danzan con sus esposos
Ellas danzan solas
Danzan solas

Hey Mr. Pinochet
You’ve sown a bitter crop
It’s foreign money that supports you
One day the money’s going to stop
No wages for your torturers
No budget for your guns
Can you think of your own mother
Dancin’ with her invisible son
They’re dancing with the missing
They’re dancing with the dead
They dance with the invisible ones
They’re anguish is unsaid
They’re dancing with their fathers
They’re dancing with their sons
They’re dancing with their husbands
They dance alone They dance alone