Homoseksual Bawaan Atau.......

>> Sabtu, 11 April 2009

Sebuah studi mutakhir di Karolinska Institute, Swedia yang menunjukkan adanya kesamaan antara otak orang homoseksual dengan otak orang heteroseksual lawan jenisnya telah mendapat sorotan eksklusif dari media sejak studi tersebut dimulai. Hampir seluruh reportase media, termasuk BBC, menyimpulkan bahwa hasil studi tersebut menjadi bukti, atau paling tidak menguatkan dugaan, bahwa homoseksualitas dapat berasal dari faktor bawaan.

Yang mengkhawatirkan dari cara media meliput hasil studi ini adalah adanya bias yang cenderung mengikuti suatu arahan tertentu.

Studi yang dilaporkan dalam jurnal The Proceedings of the National Academy of Sciences tersebut men-scan otak 90 orang homoseksual dan heteroseksual, laki-laki dan perempuan, dan menganalisis kedua belahan otak dari setiap sampel. Ukuran belahan otak (hemisphere) tiap grup sampel dibandingkan dengan grup yang lain. Hasilnya menunjukkan bahwa belahan otak bagian kanan perempuan homoseksual (lesbian) dan laki-laki heteroseksual lebih besar daripada belahan otak kirinya. Sedangkan pada grup sampel perempuan heteroseksual dan laki-laki homoseksual (gay) sama-sama tidak dijumpai adanya perbedaan ukuran kedua belahan otaknya. Ilmuwan juga menemukan lebih banyak jumlah syaraf penghubung yang keluar dari amygdala kanan (struktur kecil mirip almond di dalam otak) pada lesbian dan laki-laki heteroseksual. Sementara itu, pada gay dan perempuan heteroseksual dijumpai lebih banyak pada amygdala kiri.

Sebuah “pertanyaan terbuka”

Sebenarnya bila dicermati, para ilmuwan yang melakukan penelitian ini sendiri pun mengatakan bahwa meski ada kemungkinan adanya entitas neurobiologis yang terlibat dalam kecenderungan seseorang menjadi homoseks, masih ada suatu pertanyaan terbuka yang tidak terjawab melalui studi mereka: observasi ini tidak dapat begitu saja dihubungkan ke studi persepsi ataupun perilaku. Apakah temuan ini berhubungan dengan proses-proses yang terjadi pada perkembangan janin ataupun pasca lahir masih merupakan pertanyaan terbuka.

Stasiun berita BBC yang meliput studi tersebut mewawancarai Dr. Qazi Rahman, seseorang yang diperkenalkan sebagai pengajar kognitif biologi pada Queen Mary, University of London. Dia berkata, “Sepanjang pengetahuan saya, tidak ada lagi argumen - jika anda seorang gay maka anda adalah gay sejak lahir”. Dia juga berkata, tanpa menghadirkan suatu bukti, bahwa perbedaan struktur otak ini merupakan hasil dari proses awal tumbuh kembang janin.

Semestinya stasiun berita dengan nama besar seperti BBC tidak mengambil bias dalam reportasenya, terutama dalam pemberitaan studi ini yang tidak mengklaim adanya pembuktian apapun. Terlebih studi tersebut baru pertama dilakukan dan belum ada yang mengklaim dapat mereplikasi dan mengkonfirmasi hasil temuan yang sama.

Neil E. Whitehead, Ph.D., seorang ilmuwan periset dan penulis kedua dalam buku My Genes Made Me Do It! menjelaskan bahwa metode mutakhir yang digunakan untuk meneliti perbedaan otak SSA (Same-sex attacted) dan OSA (Opposite-sex attracted) adalah Positron Emission Tomography (PET) dan Magnetic Resonanse Imaging (MRI). Upaya-upaya yang lampau belum terbukti dapat direproduksi.

Maka pertanyaannya adalah, “Seberapa besarkan peluang hasil studi tersebut terbukti dapat direplikasi”, tanya Whitehead. “Dalam bidang ini, pengalaman menunjukkan bahwa amat sangat disarankan untuk berhati-hati dan menunggu adanya replikasi… yang seringnya tidak terjadi”.

Perilaku menyebabkan perubahan?

Argumen terbesar bagi studi ini adalah observasi yang dilakukan pada sampel orang dewasa. Ukuran otak dan hubungan syaraf orang-orang yang dijadikan sampel ini belum pernah diukur sebelumnya. Dengan demikian tidak ada catatan sama sekali tentang keadaan parameter yang sama pada masa kanak-kanak mereka. Tidak ada baseline untuk membandingkan apa yang sekarang ditemukan.

Dalam papernya, tim Karolinska juga menyebutkan bahwa otak terus berkembang setelah masa pubertas, terutama pada laki-laki. Artinya, faktor sosial dan lingkungan kemungkinan berpengaruh pada perkembangan ini. Maka bagaimanakah caranya menyimpulkan apakah perubahan otak seseorang terjadi akibat perilakunya, ataukah perilakunya yang menyebabkan terjadinya perubahan otak, jika tidak ada baseline untuk memperbandingkan? Dengan kata lain, apakah homoseksualitas terjadi akibat perbedaan ukuran otak dan sambungan syaraf ataukah perbedaan ini yang disebabkan oleh homoseksualitas?

Dr. Whitehead mengatakan, “Meski pada orang dewasa, otak mengalami perubahan akibat merespon suatu pengalaman. Sebuah studi yang dipublikasikan dalam Nature beberapa tahun lalu menunjukkan bahwa latihan sulap selama 3 bulan membuahkan perubahan mikrostruktural yang dapat diukur pada otak orang dewasa, dan perubahan ini dapat dibalikkan”.

“Dengan kata lain, bukti yang pasti menunjukkan bahwa pengalaman mengubah struktur dan fungsi otak”.

Dr. Mamdouh El-Adl, seorang konsultan psikiatri di Inggris yang memiliki kekhususan dalam bidang kelainan psikoseksual sependapat. “Study Swedia tidak membuat kita dapat menyimpulkan bahwa perbedaan tersebut tidak disebabkan oleh pola-pola pengalaman dan tingkah laku”.

“Saya berpendapat, untuk dapat menyimpulkan demikian sekumpulan sampel perlu diamati semenjak lahirnya, diekspos pada faktor-faktor lingkungan yang sama, dan dikenai serangkaian test yang tepat”, imbuh Dr. El-Adl.

Whitehead mengatakan bahwa argumen tersebut (bahwa seseorang lahir dengan otak SSA ataupun OSA dan tidak mengalami perubahan meski telah menempuh berbagai pengalaman hidup sesudah lahirnya) sangat bersifat hipotetikal. “Untuk membuktikannya kita perlu men-scan ribuan otak bayi dan kembali melakukannya ketika mereka berumur 25 tahun, guna menyelidiki apakah ada korelasi antara struktur pasca lahir dengan aktivitas seksualnya ketika dewasa. Teori semacam ini secara inheren sulit diterima dan secara eksperimental adalah mimpi buruk”, ungkap Whitehead.

Jurnalisme sains yang baik vs yang buruk

Masalah lain terkait interpretasi media atas hasil studi tersebut adalah tentang pengukuran otak yang dilakukan. Para ahli dalam studi tersebut mengukur kedua belah otak secara keseluruhan. Sedangkan telah diketahui bahwa otak memiliki banyak bagian dengan fungsinya masing-masing. Dengan demikian amat penting bagi suatu studi semacam ini untuk mengetahui bagian mana yang menyebabkan pembesaran ukuran otak. Mengingat hal ini tidak diteliti dalam studi tersebut, maka amat mungkin pembesaran yang terjadi diakibatkan oleh bagian yang tidak berhubungan dengan fungsi yang diteliti. Hal ini tentunya dapat membawa kita pada interpretasi hasil studi yang sangat berbeda dari yang dilaporkan media.

“Tentang studi Swedia, paling jauh kita hanya bisa mengatakan bahwa terdapat perbedaan antara otak gay dan otak heteroseks, namun bukti yang paling kuat menunjukkan bahwa perbedaan ini muncul melalui pembelajaran dan pengalaman, bukan bawaan”, demikian Dr. Whitehead menyimpulkan.

“Peneliti studi tersebut telah menggarisbawahi beberapa point tentang neurobiologi orientasi seksual, dan mereka menyatakan dengan jelas bahwa hasil studinya tidak perlu menjadi batasan bagi berbagai penjelasan potensial lain ataupun bagi pengambilan suatu kesimpulan”, jelas Dr. El-Adl, yang juga anggota Royal College of Psychiatrist.

“Namun demikian, media mengambil studi tersebut sebagai jawaban pasti tentang neurobiologi homoseksual dan orientasi seksual. Jeleknya, hal ini makin menyebabkan kebingungan di kalangan publik, khususnya bagi mereka yang ragu tentang orientasi seksual dirinya. Orang-orang ini boleh jadi lebih terpengaruh pada pemberitaan media dan gaya reportasenya daripada menyadari bahwa ini adalah hasil non-konlusif dari suatu proyek studi kecil yang dimuat pada suatu jurnal ilmiah”, tambah Dr. El-Adl.

Dalam buku A Field Guide of Science Writers, Shanon Brownlee, seorang peneliti senior pada the New American Foundation bertanya pada jurnalis sains, “Apakah kita semestinya hanya melaporkan begitu saja tentang berita-berita medis: temuan-temuan baru, terobosan-terobosan baru yang dimuat dalam jurnal ilmiah? Ataukah kita seharusnya menjadi kritikus bagi dunia medis, menyingkap berbagai korupsi dan perbuatan buruk sebagaimana rekan-rekan kita yang meliput politik, militer, dan bisnis?”

Pertanyaan ini perlu ditanyakan kepada para jurnalis sains yang meliput homoseksualitas. Apakah jurnalisme sains telah kehilangan perspektifnya? Ataukah perkembangan-perkembangan baru perlu dibungkus mengikuti trend begitu saja?

Apakah gerakan hak asasi kaum gay telah sangat berpengaruh sehingga jurnalis sains dan ilmuwan seolah takut untuk mengkritisi sesuatu yang akan membuat mereka dicap sebagai homophobic, sesuatu yang secara politis tidak benar.

————————-

Sumber artikel:

Aisha El-Awady, M.D.

Lecturer of Parasitology, Cairo University

www.islamonline.net

0 komentar: