Biarkan Kami Menari

>> Jumat, 10 April 2009



Baru - baru teman kelompok gay dan transgender yang ada di Banyumas batal tampil untuk menari tari Lengger pada acara HUT kota Banyumas. Menurut info yang diterima bahwa pihak Bupati menolak adanya penari Lengger yang ditarikan oleh laki - laki. Laki - laki yang berpakaian "perempuan". Sengaja aku buat tanda kutip kata perempuan. Karena aku berpikir bahwa pakaian itu tidak pernah berjenis kelamin. Masyarakat dan sistem sosialah yang membentuk dan menjenis kelaminkan pakaian tersebut. padahal pakaian bersifat netral. Dampaknya yang terjadi seperti yang dialami oleh teman - teman gay di Banyuwangi.

Kemudian kasus ini sempat menjadi perdebatan dibeberapa millis aids dan millis khusus gay. Tapi sayangnya sebagian teman - teman keomunitas gay di Indonesia malah lebih melihatnya dari sisi uang. Meyarankan bahwa lain kali kita semua untuk lebih berhati - hati sebelum ada kontrak yang jelas. Artinya bahwa kalau sudah ada kontrak maka akan semakin menguatkan bagi kelompok tari tersebut. Apakah akan dibatalkan atau tidak, tidak menjadi persoalan. Karena intinya uang sudah dibayarkan dan sudah ada kontrak yang jelas.

Mungkin kalau kita lihat dari sisi ekonomis, alasanya itu benar adanya. Tapi setelah aku konfirmasi dengan teman - teman Banyumas persoalannya bukan hanya uang. Tapi ada banyak persoalan termasuk soal kekecewaan yang dalam termasuk menyangkut persiapan yang sangat lama untuk tari Lengger. Semua pihak berusaha untuk mengklarifikasi persoalan itu, termasuk salah satu jaringan kelompok gay dan waria yang ada di Indonesia.

Tapi sayangnya tidak ada sama sekali melihat bahwa ini persoalan dari sisi bahwa tidak diakuinya sebuah indentitas diri.
Tidak ada yang membahas bahwa ini bukan persoalan uang, tetapi persoalan hak setiap untuk menari, baik itu laki - laki maupun perempuan. Bahwa larangan itu secara langsung telah melarang teman - teman Transgender maupun komunitas gay untuk tampil di Banyumas. Untuk merayakan bersama hari ulang kota Banyumas.

Bupati telah merampas hak - hak sekelompok orang untuk berekpresi dan berkarya. Padahal hukum kita sudah sangat jelas melindungi hak itu. Dan tidak ada larangan dalam bentuk apapun bahwa tari Lengger itu itu harus ditarikan oleh laki - laki maupun perempuan. Bentuk - bentuk dan sikap Bupati Banyumas itu menunjukkan satu arah yaitu yang dinamakan dengan Homophobia. Tapi lagi - lagi tidak ada satupun kelompok yang menjadikan isu ini sebagai isu pembahasan yang serius.

Bagaimanapun larangan Bupati itu adalah sebuah kebijakan yang akhirnya menjadi mengikat. Karena kedudukan dan jabatannya lah Bupati dapat memerintahkan itu. Kasus ini sebenarnya bukan kasus yang pertama tetapi sudah ada beberapa kepala daerah yang melakukan hal yang sama. Dan kelompok gay dan trasngender memilih untuk diam saja. Karena lagi - lagi memang "kami" kelompok yang selalu mendapatkan diskriminasi itu. Tapi ironisnya ada salah seorang kepala daerah di Jawa Barat yang juga melarang untuk gay dan Transgender tampil di publik. Alasannya hanya karena kepala daerah itu bagian dari kelompok gay tersebut. Jadi berusaha untuk menutupi identitasnya. Jadi homoseksual yang Homophobia.

Dalam hal ini bukan kah pemerintah seharusnya menanguni semua warga tanpa terkecuali. Bukan kah gay dan Transgender juga warga kota Banyumas. Yang dalam hal ini punya hak yang sama untuk menarikan Lengger sebagai bagian dari peninggalan budaya kota Banyumas.

Sayang sekali sikap Bupati ini sampai sekarang ini tidak pernah dibahas serius untuk melakukan tindakan protes tegas. Misalnya melayangkan surat protes keras dan melaporkan kepada KOMNAS HAM, misalnya. Tapi sayangnya upaya itu tidak sama sekali dilakukan oleh teman - teman gay. Saya sebagai bagian dari komunitas gay, hanya menulisa yang bisa saya lakukan. Tapi saya berharap tulisan ini memprovokasi kita semua untuk peduli terhadap perjuangan hak asasi manusia. Dalam hal ini kelompok homoseksual di Indonesia.

Wasalam


Toyo
Kalibata, 10 April 2009

0 komentar: