Kemerdekaan Tubuh

>> Sabtu, 25 April 2009


Resensi Film Mereka Bilang, Saya Monyet!


“Kamu mau ke mana?” tanya laki-laki itu.
“Mau ke kamar mandi,” jawab Adjeng sambil beranjak dari tempat tidur. “Tapi, aku kan belum keluar,” sambung laki-laki itu.
“Aku kan sudah keluar,” sahut Adjeng lugas. Adjeng bergegas meninggalkan ranjang tempat mereka berdua melakukan hubungan seksual menuju kamar mandi.



Dialog di atas merupakan nukilan tokoh Adjeng (diperankan Titi Sjuman) dan Asmoro (diperankan Ray Sahetapy) dalam film Mereka Bilang, Saya Monyet! karya sutradara Djenar Maesa Ayu. Ide dasar film ini dari cerpen Lintah (The Leech) dan Melukis Jendela (Painting The Window), yang termuat dalam buku kumpulan cerpen Mereka Bilang, Saya Monyet! karya sang sutradara sendiri. Sekarang film ini sudah dapat diakses dalam bentuk DVD dan VCD di pasaran. Film ini kembali diputar dalam Vfestival Film yang digelar di Komunitas Salihara, tanggal 22 April 2009 lalu.

Film Mereka Bilang, Saya Monyet! bercerita tentang pengalaman hidup seorang perempuan muda yang sangat kompleks. Mulai soal kekerasan terhadap anak, pemerkosaan pada anak yang dilakukan ayah tirinya sendiri, Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (PKDRT), sampai kehidupan perempuan malam. Film ini juga menampilkan sosok laki-laki biadab dari berbagai latar belakang, seperti laki-laki dengan penampilan luar baik, tetapi sebenarnya seorang pelaku pedofilia (diperankan Bucek Depp), dan laki-laki yang hanya berpindah dari satu tubuh perempuan ke tubuh perempuan lainnya (diperankan Agus Melaz)

Djenar Maesa Ayu yang bertindak sebagai penulis skenario, sekaligus sutradara film ini berhasil menampilkan cerita dan sosok perempuan muda dengan beragam persoalan hidup. Biasanya, film-film Indonesia yang mengangkat isu perempuan hanya menampilkan satu persoalan saja. Satu contoh, film yang ingin menunjukkan tokoh perempuan sebagai korban, penonton selalu menyaksikan perempuan dengan peran lemah-lunglai dan tidak berdaya. Dalam cerita film ini, Djenar Maesa Ayu berhasil menampilkan sosok ibu (diperankan Henidar Amroe) yang kejam dan keras terhadap anaknya sendiri, Adjeng. Tetapi, di sisi lain, penonton dibawa berpikir tentang sosok ibu yang berjuang keras membesarkan anaknya dengan bekerja sebagai penyanyi klub malam sampai menjadi “pelacur”. Segala usaha dilakukan oleh satu sosok ibu. Sebagai anak, Adjeng tahu persis perjuangan ibunya sebagai orangtua tunggal (single parent). Hal ini yang menjadi alasan Adjeng bersikap sangat patuh, bahkan cenderung diam terhadap segala ucapan ibunya, termasuk menerima sanksi-sanksi berat tanpa perlawanan sedikitpun.

Tetapi, di sisi lain, Adjeng adalah sosok yang sangat keras dan bebas dalam menentukan hidupnya sendiri. Sehari-hari dia bekerja sebagai penulis di media cetak. Dia senang dugem dan mabuk-mabukan di nightclub bersama teman-temannya hampir tiap malam. Dia juga tidur dengan satu laki-laki ke laki-laki lain. Tidak ada kata tabu bagi Adjeng dalam mengekspresikan seksualitas dan kebebasan dirinya. Mulai menjual tubuhnya untuk mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari, sampai mencari kepuasan seksual dari laki-laki tua tanpa imbalan apapun.
Adjeng adalah sosok perempuan muda yang pernah menjadi korban pelecehan seksual dari ayah tirinya sendiri. Apakah sikap Adjeng ini merupakan dampak trauma masa lalunya atau sebagai bagian "kemerdekaan" atas tubuhnya sendiri? Hanya penonton yang layak menilainya.

Walaupun dalam film ini sosok Adjeng ditampilkan melakukan perselingkuhan dengan laki-laki beristri, tetapi dialog-dialog Adjeng tidak menyalahkan istri laki-laki tersebut. Adjeng justru memberikan gambaran kepada penonton bahwa dirinya dan istri laki-laki itu sebagai korban keserahan laki-laki.

Film ini jauh dari kategori film porno atau erotis, meskipun tokoh-tokoh ditampilkan dengan kadar “sensualitas” yang tinggi (berpakaian seksi). Justru sebaliknya, film ini berhasil menunjukkan bahwa mendefinisikan kata “porno” itu sangat sulit, termasuk persoalan seksualitas di dalamnya. Film ini layak ditonton oleh orang-orang yang mau menghargai tubuh perempuan. Terutama untuk gerakan advokasi hak-hak seksualitas perempuan, termasuk kekerasan seksual diranah domestik (rumah tangga).

Film Mereka Bilang, Saya Monyet! telah mendapatkan banyak penghargaan dari berbagai festival film dalam negeri maupun luar negeri:
-Pada tahun 2008, kompetisi Singapore International Film Festival.
-Pada tahun 2008, artis pemeran pendatang baru terbaik di Indonesian Movie Awards (Titi Sjuman).
-Pada tahun 2008, artis pemeran pembantu terbaik di Indonesian Movie Awards (Henidar Amroe)
-Pada tahun 2008, kategori First Feature di kompetisi Osian's Cinefan International Film Festival.

Selamat untuk Djenar Maesa Ayu dan tim film Mereka Bilang, Saya Monyet! karena telah memberikan kontribusi bagi perjuangan hak-hak perempuan.

Wasalam

Kalibata, 24 April 2009


Hartoyo

0 komentar: