Manjam

>> Selasa, 27 Oktober 2009


Tentu saja artikel seperti ini tak laku di koran. Semoga teman-teman facebook berkenan membacanya.

Saat ini, http://manjam.com sangat popular di kalangan gay. Situs ini membuka peluang seorang gay kenal gay lain dari seluruh dunia. Tentu saja harus jadi member dulu (free). Sebagai pendukung, setiap member diberi fasilitas upload foto, video, profile, desire, appearance, lifestyle, partner ideal, adult interest, dan preference sexual (top, bottom, versatile). Apabila suka cowok berbulu, tinggal cari foto cowok yang banyak bulunya. Apabila gay top, tinggal cari pasangan gay bottom. Atau ingin cari gay dekat-dekat rumah, tinggal cari gay satu kota. Setelah sreg di hati, lalu saling kirim pesan, tukar nomor handphone, bikin janji, dan menjalani saat-saat mendebarkan bertemu cowok idaman. Cocok atau nggak cocok itu urusan belakangan. Yang penting bertemu duluan. Mau berlanjut ke ranjang atau main cinta-cintaan itu bisa diatur kemudian. Gampang sekali, bukan?

Internet memang menakjubkan. Menerabas segala sekat dan pembatas, sekaligus menciptakan ruang-ruang privat. Di tengah stigma negatif dan diskriminasi, internet menjadi pilihan gay, terutama yang belum coming out, malas ke tempat ngeber, atau sibuk membangun citra laki-laki sejati di mata orang lain. Tak akan ada yang tahu kalau seorang cowok yang khusyuk di depan komputer sedang mencari cowok lain. Pun tak ada yang peduli kalau dua cowok berjumpa di sebuah café sedang dirundung geletar asmara. Internet menjadi media alternatif dari realitas hidup yang sumpek. Keinginan dapat tersalurkan, sekaligus identitas gay tidak terbongkar. Manjam dan media lain, seperti: YM, Mirc, milis-milis, facebook, dan friendster, seolah jejaring surga tempat gay merayakan bahagia. Hidup lebih mudah. Terkenang betapa repotnya kala belum ada internet. Harus sewa kotak pos, menulis berlembar-lembar surat cinta, menempel perangko, lari ke kantor pos, dan sabar menanti penuh debar sepucuk surat balasan. Ah, sungguh melelahkan. Tapi, keinginan tetaplah keinginan dan jalan selalu terbuka bagi yang mau berusaha. Persis pepatah klasik: tak ada jalan raya, jalan setapak pun jadi (pepatah asli bikinan AS—Antok Serean—).

Tetapi, bagi saya pribadi, eksistensi manjam sebuah ironi. Kenapa harus lewat jalan setapak kalau jalan raya terbuka lebar? Rupanya jalan raya yang tampak lebar itu penuh ular berbisa. Bisa itu dapat berbentuk caci-maki, hinaan, tamparan, pengasingan, pemukulan, atau pemaksaan. Ada gay yang berani melangkah di jalan raya, tentu saja resiko dipatuki ular. Tapi, mayoritas gay memilih jalan setapak demi rasa aman. Tidak ada yang salah di sini, sekedar strategi pertahanan diri. Yang salah ular-ular itu, sok punya hak mengadili gay yang tak melakukan kesalahan apa-apa. Entah apa yang ada di pikiran ular-ular itu. Sulit diterima akal tindak diskriminasi dianggap satu kewajaran. Gay digampar, lesbian dipaksa kawin, waria diusir dari rumah. Duh, sungguh menyedihkan—persis cerpen Kartu Nama karya Antok Serean yang tak laku itu—. Logika yang bisa diterima adalah ular-ular itu tak punya pikiran.

Jangan tersinggung. Gay yang pantas tersinggung. Sebab di tengah gegap-gempita dunia, gay teralienasi di dalamnya. Ular-ular itu dengan bangga umbar katrisnan di muka umum, gandengan tangan, pelukan, ciuman, tanpa rasa sungkan. Giliran gay yang melakukan semua itu, ular-ular pada ribut, ngamuk, bikin skandal, dan terus-menerus mematuk dengan bisa yang menyakitkan. Pun ketika ular jatuh cinta, dengan mudah bilang “aku cinta padamu”. Tidak bagi gay. Berhadapan dengan cowok yang disukai, tapi belum jelas orientasi seksualnya, merupakan siksaan. Harus melakukan pendekatan berlapis-lapis, itu pun belum tentu berhasil, sembari menahan gelora di dada, hanya bisa menatap wajah idaman yang tampan, mencermati indah bulu dada, dan geregetan pada misteri di balik celana.

Gay yang saya kenal dari manjam—datang dan pergi—meninggalkan kesan menyesakkan. Cerita-cerita tertutup kabut, pergulatan batin tak tuntas, sekaligus keinginan-keinginan tak tertebus. Laki-laki beristri dengan satu anak cantik terjebak biduk rumah tangga, brondong usia 20-an menangis saking takutnya diketahui orangtua, pemuda ganteng pasang harga atas tubuhnya demi perut terganjal makanan, laki-laki mapan blingsatan setiap kali berhadapan dengan pertanyaan,”Kapan kawin?”, cowok bertubuh atletis bekerja keras mengolah tubuh di gym agar orang lain tak tahu dia gay. Cerita-cerita itu menjadi daftar panjang tak berkesudahan, hadir terus-menerus bagai lingkaran tak terputus.

Hak atas tubuh, hak merasakan bahagia, dan hak menyampaikan pemikiran selalu terbentur tembok-tembok kenyataan. Kenyataan yang tak berpihak pada gay. Sekali lagi, persoalan tidak terletak pada gay, tapi pada ular-ular itu. Ular-ular itu butuh pencerahan agar tak seenak udelnya menunjuk sana-sini sok paling benar sendiri. Homophobia harus dihapuskan. Jangan pula menuntut gay untuk menghancurkan tembok-tembok kenyataan bila tak ada jaminan keamanan. Pemakluman iya, sebab manjam setidaknya bikin gay sejenak bernafas lega.

Kasus yang terjadi pada Hartoyo, seperti tertuang dalam buku Biarkan Aku Memilih (Penerbit Elex Media Komputindo, 2009) jangan sampai terulang lagi. Itu tamparan keras yang mengoyak harga diri gay dan melukai hak asasi manusia. Kebrutalan ular-ular melampaui batas yang diterima nalar. Betapa siksaan dipandang sebagai sesuatu yang layak diterima gay. Cih! Dan ular-ular itu dengan naïfnya terus mereproduksi alat-alat pembenar untuk mencederai nilai kemanusiaan. Buta pada dunia yang meneriakkan International Day Againts Homophobia (IDAHO) setiap tanggal 17 Mei, kajian psikiatri terkini yang menempatkan gay sederajat dengan heteroseksual, dan memalingkan muka dari sejarah yang mengakui tokoh-tokoh besar, seperti Iskandar Agung, Oscar Wilde, dan Leonardo Da Vinci tergila-gila molek tubuh laki-laki.

Pada akhirnya, semua ini terkait dengan pilihan. Persis pilihan saya keluar dari zona aman dan nyaman kerja di industri, nekat terjun bebas jadi penulis (amatir) yang ambivalen dengan perut lapar. Saya memilih menyibak kabut, melangkah di jalan raya, dan tak peduli dipatuki ular. Bukan saatnya mengabadikan nelangsa, saatnya menantang realita. Maka, saya putuskan menutup account manjam.

Antok Serean, penulis biseksual.

Surabaya, 28.10.2009, 10.25 PM

2 komentar:

sayahaha 4 Juli 2010 pukul 04.40  

Wah, asik, saya suka gaya penulisannya... isinya juga oke, emang harus memilih. dan seandainya saya disuruh memilih, saya akan memilih untuk tidak disuruh memilih.

dady 20 Maret 2012 pukul 18.32  

aku gay baik. suka menolong. tapi aku disumatera. x aja kamu ada yg msh nganggur? kesini aja. slama kamu lum dapat kerja aku backing kamu... asalkan kamu bukan gay feminim/manja... soale aku risih dg gay lemot! ketemu dg kwn2ku pasti keliatan! keliatan banci jadi dak minat orang ngajak kerja... kenali aku dulu bro... nol lapan lima enam enam empat enam nol nol tujuh lapan lima