Waria Dan Rahmat Allah SWT

>> Rabu, 11 Maret 2009

















Perayaan Hari Perempuan International yang jatuh pada tanggal 8 Maret 2009. Para aktivis perempuan di kota Banda Aceh yang tergabung dalam satu jaringan Gender Working Groups (GWG) merayakan hari tersebut. Sebuah jaringan yang dibangun melalui millis GWG. GWG sendiri selama ini fokus untuk mendiskusikan dan memperjuangkan hak – hak perempuan dan anak pasca bencana tsunami. Pada saat itu perayaan itu bukan hanya dirayakan oleh kelompok perempuan di Banda Aceh saja, tetapi perempuan yang ada diseluruh Indonesia. Ini sebagai upaya untuk melakukan perjuangan keadilan bagi perempuan/anak dan kelompok marginal lainnya.

Perkembangan gerakan perempuan ternyata bukan hanya persoalan perempuan saja yang harus diperjuangkan. Tetapi sudah memperjuangkan kelompok marginal lainnya. Kelompok feminis gerakan "baru" secara sistematis bersama kelompok marginal memperebutkan hak – haknya. Baik hak Sipil politik maupun ekonomi, sosial dan budaya. Tidak terkecuali gerakan perempuan bersama dengan kelompok marginal yang ada di Banda Aceh.

Dalam perayaan kali ini, yang menjadi ketua panitia berasal dari salah satu LSM gerakan hak – hak waria dan homoseksual di Banda Aceh. Kelompok yang aku ini merupakan salah satu kelompok marginal. Walau kita tahu masih banyak kelompok marginal lainnya, seperti penyandang cacat, buruh migran, masyarakat adat, agama minoritas. Waria ada homoseksual adalah kelompok yang mempunyai perbedaan orientasi seksual dan identitas gender. Kelompok ini memang menjadi kelompok yang “paling” terpinggirkan dalam konteks budaya masyarakat yang sangat dogmatis dalam memahami agama. Bukan hanya kelompok sendiri, orang yang peduli dan mau berjuang untuk kelompok harus siap dicap sebagai orang “sesat”.

Memang membicarakan persoalan waria dan homoseksual di Aceh sebenarnya kalau boleh jujur bukanlah hal yang baru. Minimal masyarakat Aceh punya banyak cerita soal persoalan identitas gender seperti seni pertunjukkan salah satunya Biola Aceh (mob-mob). Budaya Seni Mob-Mob menurut T Almusri Ali Bayuna, seorang pencipta lagu Aceh adalah budaya orang tua Aceh zaman dulu saat menang melawan peperangan dengan Belanda. (http://www.acehrecoveryforum.org/id/index.php?action=ARFNews&no=623). Dalam budaya seni diantara pemainnya seorang laki - laki yang mengubah identitas gendernya sebagai seorang “perempuan”. Artinya laki - laki tersebut berpenampilan layaknya "perempuan" umumnya. Berdandan dan mengenakan simbol – simbol perempuan.

Apakah tindakan itu sebagian bagian dari penyingkiran peran perempuan dalam seni ataupun ada alasan lainnya. Mengapa sampai laki – laki harus mengubah identitas gendernya. Informasi ini tidak banyak didapat mengapa itu bisa terjadi. Tapi apapun alasannya bahwa ini menjadi bukti bahwa laki - laki ada budaya di Aceh yang mengubah identitas gendernya. Walau hanya sebatas dalam penampilan dalam panggung seni.

Tapi sayangnya seni musik ini kurang begitu populer dimasyarakat Aceh sebagai sebuah keberagaman musik dan bukti adanya identitas gender lainnya.

Budaya seni mob-mob kembali lagi ditunjukkan dalam penampilan budaya Aceh lainnya pada malam ini. Kelompok yang tergabung dalam komunitas waria dan gay di kota Banda Aceh ikut menampilkan sebuah tarian malam ini. Tarian yang disebut dengan Laweut yang berasal dari kata Selawat. Tarian ini berisi puji-pujian kepada junjungan Nabi Muhammad SAW. Tarian ini umumnya dibawahkan oleh perempuan, sehingga tarian ini biasa sebut tarian Seudati Inong (perempuan).

Malam itu tarian Laweut itu berbeda daripada umumnya karena dibawahkan oleh seorang laki-laki yang berpenampilan perempuan. Kita tidak sedang memperdebatkan soal identitas gender dan homoseksualnya para penarinya. Karena itu dua hal yang berbeda antara menari dengan politik identitas seseorang. Tapi bahwa tarian itu tidak selalu dibawahkan oleh perempuan, itu sebuah bukti dan fakta adanya.

Pada malam itu acara dilaksanakan di pelataran Cafe de Helsinsky dengan dihadiri sekitar 300 orang. Pennampilan itu pada umumnya mendapatkan sambutan yang meria dari para pengunjung. Minimal dari beberapa pengakuan dari aktivis perempuan yang aku kontak via telpon. Bahwkan ada beberapa anggota millis GWG khusus mengirimkan photo-photo dimana para waria menari. Kalau tidak berlebihan bahwa ini ini bukan hanya tariannya, tetapi karena siapa yang membawahkannya. Seseorang laki – laki yang berpenampilan perempuan. Selain itu setelah acara usai menurut keterangan penarinya banyak mendapatkan apresiasi dari para pengunjung malam itu.

Berita ini menjadi sejarah baru tersendiri di Aceh pada malam itu. Panitia dalam hal ini GWG telah memberikan waktu dan ruang pada kelompok waria dan gay sebuah apresiasi yang sangat besar. Kelompok perempuan di Aceh malam itu telah berhasil menunjukkan bahwa gerakan sosial tidak hanya untuk perempuan saja. Tetapi juga untuk kelompok marginal lainnya, dalam hal ini kelompok homoseksual maupun waria. Sekaligus kelompok perempuan Aceh menunjukkan kepada publik bahwa keberpihakan dan keadilan harus didapat oleh setiap orang, tanpa terkecuali untuk seorang waria.

Malam itu juga akhirnya menjadi berita "khusus" di beberapa media Aceh. Terlepas dari kualitas berita yang masih menempatkan waria streotipe di media Aceh. Berita yang lebih mengedankan stigma buruk pada waria. Ini memang kelakuan para media yang sama sekali tidak memiliki rasa keberpihakan pada kelompok marginal. Tapi minimal berita itu dapat menjadi pembelajaran bagi kita semua. Bahwa mereka (waria) itu adalah manusia yang juga berhak berpartisipasi untuk pembangunan di bumi Aceh. Mereka (para penari) adalah para putra Aceh. Lahir dan besar di bumi tanah rencong. Fakta yang tidak dapat diingkari oleh semua orang. Bahkan sebagian penarinya juga adalah orang Aceh yang sama sekali tidak pernah “tersentuh” dengan budaya luar. Kecuali melalui televisi.

Memang kita tahu bahwa keberadaan kelompok homoseksual dan waria pra/ pasca bencana tsunami masih mendapatkan diskriminasi di segala aspek kehidupan. Bahkan mungkin sekali waria dan homoseksual sudah ada sebelum Islam masuk di bumi Aceh.

Memang selama ini diskriminasi yang dialami oleh kelompok ini bukan hanya terjadi di bumi Aceh, tetapi diwilayah Indonesia umumnya. Bahkan diseluruh wilayah dunia. Misalnya masih adanya kelompok waria dan homoseksual dikriminalkan sebagai manusia yang salah. Terutama di negara – negara yang berbasis Islam, seperti Iran misalnya. Label tidak bermoral dan dosa selalu dilekatkan oleh kelompok ini. Tidak terkecuali juga terjadi di bumi Aceh.

Setelah penerapan formalisasi syariat Islam Aceh tidak menjadikan kelompok ini mendapatkan perlindungan khusus dari ketidakadilan. Seperti nilai - nilai ajaran Islam yang rahmat bagi sekalian alam, tanpa terkecuali. Islam yang sangat ramah dan penuh dengan kasih sayang masih belum tergambarkan dalam penerapan kebijakan di bumi Aceh. Khususnya pada kelompok ini. Setelah ada kebijakan - kebijakan yang ada di bumi Aceh, waria adalah salah satu kelompok yang selalu dirugikan dalam hal ini. Selain kelompok perempuan yang mendapatkan dampak ketidakadilan bagi kebijakan tersebut. Masih ada kelompok lain misalnya kelompok penganut agama non muslim. Contohnya “tidak ada akes” sama sekali bagi kelompok non muslim untuk keterlibatan politik praktis di bumi Aceh.

Dalam hal ini penulis meyakini bahwa ini bukan salah pada ajaran Islamnya. Tetapi nilai - nilai Islam masih belum terinternalisasi oleh orang - orang yang membuat kebijakan di bumi Aceh. Agama masih dijadikan alat untuk melanggengkan kekuasaan dengan membangun politik pencitraan yang sangat kokoh bagi penguasa. Lagi - lagi kelompok marginal dan perempuan lah yang menjadi korbannya.

Misalnya adanya larangan pengusaha salon untuk memotong rambut yang bukan muhrimnya. Ini yang terjadi di kota Banda Aceh. Padahal kita tahu bahwa sebagian teman - teman waria mempunyai usaha salon untuk mencukupi kebutuhan hidupnya. Waria secara jenis kelamin biologis adalah laki-laki sehingga dampaknya tidak dapat melayani perempuan sebagai pelanggannya. Dalam hal ini usaha salon sudah dilabelkan sebagai tempat prostitusi. Padahal bekerja adalah hak setiap orang yang sudah diatur dalam UUD 45. Dan juga merupakan perintah dalam ajaran Islam. Penguasa dalam hal ini di Banda Aceh selain menghilangkan hak kerja waria juga telah melakukan prasangka buruk (pelabelan) kepada pekerja salon di Banda Aceh. Bukankah ini dilarang oleh Allah SWT.

Bukankah kegiatan prostitusi itu bisa terjadi dimana saja, termasuk digedung institusi pemerintah dan lembaga keagamaan yang kata suci. Belum lagi teknologi semakin tinggi prostitusi bisa terjadi dalam ruang dan waktu yang sangat luas. Artinya kalau memang prostitusi itu terjadi pada satu tempat, bukan lantas menyamakan yang akhirnya menghilangkan hak kerja sekelompok orang, dalam hal ini waria. Selain tindakan larangan itu tidak sesuai dengan nilai - nilai hak asasi manusia, juga tidak sesuai dengan ajaran Islam.

Padahal selama ini kita tahu waria juga warga negara yang memberikan kontribusi pada masyarakat maupun negara. Minimal usaha salon itu membayar pajak atau zakat dibumi Aceh. Waria selama hanya ditempatkan pada ruang - ruang non formal saja, misalnya salon. Ini membuat akses kerja waria semakin kecil. Padahal kita tahu bahwa waria juga mempunyai keahlian lain. Setelah bekerja di salon pun tetap distigma sebagai tempat prostitusi. Kejahatan negara yang sistematis pada kelompok ini. Ruang kerja warga negara yang telah ditutup oleh negara dan masyarakat yang katanya menunjung tinggi nilai - nilai agama.

Momen hari perempuan ini menjadi sebuah proses belajar bersama untuk dapat saling menghargai perbedaan antar sesama manusia. Karena itu adalah bagian dari rahmat Allah SWT. Mudah-mudahan ini menjadi angin segar bagi gerakan HAM di Aceh untuk menjadi lebih baik. Dengan mengakui dan mau bersama berjuang bagi kelompok waria dan homoseksual sebagai satu kesatuan perjuangan penegakan HAM. Bukan perjuangan hak asasi manusia yang parsial. Bukankah ini esensi dari perintah Allah SWT.

Wasalam


Toyo

Menara Eksekutif, 4 Mei 2009




0 komentar: