Perempuan Aceh Bicara, Bicara Tentang Moralis

>> Selasa, 24 Februari 2009


Mungkin tulisan ini kurang "etis" aku tuangkan. Karena aku akan memberikan masukan pada sebuah buku yang baru saja di luncurkan dari bumi Aceh. Buku itu diterbitkan oleh Unifem bersama LSM Flower Aceh dan beberapa teman - teman aktivis di Aceh. Judul buku tersebut Perempuan Aceh Bicara. Buku itu adalah kumpulan tulisan dan pengalaman aktivis perempuan di Aceh. Dari 17 judul tulisan hanya 5 yang sudah selesai aku baca. Diantaranya tulisan Ibu Nurjanah, Suraiya, Sri Lestari Wahyuningroem ,Cut Hindun dan Ibu Rosni Idham.

Tulisan Sri Lestari Wahyuningroem tentang Cerita Tiga Perempuan di Masa Damai dan tulisan Suraiya tentang Gerakan Perempuan di Aceh Pasca Tsunami,
memang sangat kuat pesan feminisnya yang diperjuangkan. Disamping juga tulisan Cut Hindun soal lingkungan hidup. Untuk tulisan Nurjanah Ismail ada beberapa catatan yang akan aku akan sampaikan dalam waktu yang lain. Karena tulisan itu ada kaitan dengan tulisan Ibu Nurjanah lainnya.tentang perkawinan, ada di dalam buku yang diterbitkan oleh GTZ German.


Yang aku kritik tentang tulisan Ibu Rosni Idham
yang berjudul Perempuan Aceh Pasca Tsunami dan Perubahan Identitas Situasi Kultural.

Seperti yang aku sampaikan diawal sebenarnya ada rasa kurang nyaman aku menuliskan ini. Pertama karena aku tahu bahwa maksud dari buku ini diterbitkan untuk membuat sejarah perempuan Aceh. Sejarah yang dibuat dari tangan perempuan Aceh sendiri. Selain itu "proyek" besar ini juga hasil kerja sama antara teman - teman aktivis perempuan yang peduli untuk Aceh. Ini bukan kerja yang mudah.

Sudah beberapa kali membaca lagi tulisan Ibu Rosni Idham. Sampai aku pikir apakah ada yang
salah aku memahaminya? Pikirku. Aku kemudian menanyakan kegelisanku ini dengan mengkontak Suraiya melalui SMS. Dan beliau memberikan apreasiasi atas kritikanku terutama soal isi dari tulisannya. Itu juga lah yang membuat aku lebih berani menulis kritikan ini.

Ditambah semakin sulit lagi setelah aku tahu hasil kerja - kerja penulis untuk bumi Aceh selama ini. Misalnya beliau adalah seorang penyair dan juga "pejuang" untuk perempuan Aceh. Selain itu penulis adalah salah satu perempuan yang mendapatkan ACEH PEACE AWARD 2008 Kategori Promotif dari BRA pada tahun 2008.
[1]

Ini artinya Ibu Rosni Idham bukan perempuan "biasa" dalam gerakan perdamaian di Aceh. Belum lagi dia sosok perempuan yang sudah berumur 56 tahun tetapi masih terus berkarya. Ini luar biasa sekali.

Tetapi kemudian aku berani diri melakukan kritikan atas pikiran dan pandangan penulis
dalam tulisan tersebut. Aku berpikir mungkin ada orang lain yang mempunyai pandangan berbeda dalam melihat persoalan perempuan. Mungkin saja aku berbeda "ideologi" dalam melihat persoalan perempuan dengan penulis. Seperti aku berbeda melihat isu perempuan dari kelompok HTI atau PKS. Yang mungkin sama - sama bekerja untuk hak - hak perempuan. Untuk kali ini aku tidak sedang mengelompokan pemikiran penulis sama dengan PKS atau HTI. Karena aku sendiri tidak ada informasi apapun hubungan penulis dengan dua organisasi tersebut. Minimal apa yang menjadi kegelisahan ku ini dapat dipahami sebagai bagian dari pendidikan kita bersama.


Perempuan Aceh Pasca Tsunami dan Perubahan Identitas Situasi Kultural
By : Rosni Idham


Maksud dari tulisan yang disampaikan penulis ingin menceritakan situasi perempuan Aceh pasca Tsunami. Penulis ini menyampaikan bahwa telah
perubahan status sosial keluarga. Yang sebelumnya sebagai istri pejabat ataupun pengusaha. Tetapi karena bencana Tsunami suaminya menjadi korban yang akhirnya harus bekerja sebagai kepala keluarga pada program Cash for Work. Gambaran itu tergambar pada paragrap awal (hal 15).


Bagaimana perempuan Aceh harus berhadapan pada situasi yang sangat sulit. Yang mungkin tidak terbayangkan oleh perempuan sebelumnya. Harus berjuang memenuhi hidupnya dan anak - anaknya sehari - hari. Beratnya perempuan bekerja “sedikit’ tergambar dalam tulisan penulis.

Sayangnya penulis tidak banyak membahas lebih banyak bahwa ini adalah salah satu dampak dari sistem budaya dan tafsir agama yang menempatkan perempuan sebagai sub ordinat (orang nomor dua dari laki – laki). Ini dampak yang sekarang dapat dilihat dan dirasakan langsung oleh perempuan Aceh dari ketidakadilan yang dialami perempuan selama ini secara sistematis. Dalam budaya maupun tafsir agama yang misoginis (benci terhadap perempuan).


Karena perempuan sudah dibentuk secara budaya dan tafsir agama sebagai Ibu Rumah Tangga dalam keluarga. Tapi kenyataannya sekarang dalam situasi yang digambarkan oleh penulis banyak perempuan di Meulaboh “tidak siap” untuk menjadi kepala rumah tangga. Sayang sekali pembahasan yang mendalam soal ini sama sekali tidak muncul. Apalagi membandingkan kondisi laki - laki yang lebih "siap" bekerja mencari nafkah diluar pasca Tsunami dibandingkan perempuan. Karena memang laki - laki sudah disiapkan bekerja diranah publik secara sosial. Ulasan – ulasan ini sama sekali tidak muncul dalam tulisannya.

Kemudian yang paling menggelisakan pada tulisan itu, melihat persoalan perubahan identitas perempuan Aceh pasca Tsunami. Penulis begitu kuat menggunakan nilai - nilai partriaki dalam melihat tubuh perempuan Aceh. Persoalan tubuh perempuan Aceh dilihat dari pandangan moral partriaki. Misalnya ada beberapa kalimat dalam tulisan tersebut mengungkapkan situasi perempuan Aceh ; khususnya pada paragrap – paragraph terakhir. Ini beberapa potongan tulisan Ibu Rosni Idham dalam buku Perempuan Aceh Bicara.[2]


1. Saat ini telah ditemukan banyak perempuan dan gadis Aceh dalam praktek kehidupan sehari - hari sudah terkontaminasi budaya asing (hal 19). Adat budaya leluhur sudah diremehkan. Hidup dengan rasa sosial sudah diabaikan.

2. Para Gadis dengan pakaian minim (ketat dan singkat), rambut tergurai, jalan bergandengan tangan dengan lawan jenis tanpa sungkan. Dibeberapa lokasi tepi pantai telah menjadi arena percintaan. Tanpa rasa malu di tonton oleh banyak orang muda mudi berpelukan. Gaya hidup materialistis sudah menggejala.(hal 19)

3.Perempuan Aceh Pasca Tsunami banyak yang kurang peduli sesama. Tidak mampu mengadopsi perasaan orang lain (tidak ada rasa empati). (hal 19 - 20).

4. Perampuan sekarang tidak segan - segan mengkhinati teman seprofesi. Bahkan menempu cara - cara yang tidak bermoral, berani bertindak nekat memfitnah dan menyusun berbagai strategi, rekayasa dan menyelesaikan guna menjatuhkan teman kemudian menggantikan posisinya, walaupun tidak berkapasitas untuk posisi itu (hal 20). Kemudian tertawa terbahak - bahak setelah rekayasa itu berhasil dibangun. Berani menebar fitnah yang dapat merugikan orang lain secara moral dan financial.

5. Perilaku semacam itu bukan budaya perempuan Aceh. Sikap tersebut identik dengan pegangkangan adat budaya dan prinsip sosial yang berlaku ditengah – tengah realitas hidup rakyat Aceh yang bermantabat.

6. Bahwa situasi itu harus dipulihkan dengan cara memberikan pelatihan terhadap pengurus organisasi perempuan berbasis kepada konsep diri perempuan Aceh. hal 20.

7. Aceh ku Sayang, Aceh ku Malang, kondisi rakyatnya telah mulai mencabik - cabik akar budaya leluhurnya. Telah menginjak - injak tradisi dan adat istiadat yang berakar dan tetap tumbuh ditengah kehidupan masyarakat.

8. Dengan pemberlakuan Syariat Islam sesungguhnya semakin memperkuat kehidupan adat dan budaya Aceh. Karena adapt Aceh dengan ajaran agama Islam yang dianut rakyatnya tidak saling bertentangan. Berjalan seiring bagai zat dan sifat. Hal 20


9. Agar perempuan Aceh pasca Tsunami tetap konsisten tampil dalam bingkai adat dan budaya yang terawat, maka seluruh masyarakat melakukan…………….ada 7 point.


10. Maka jadilah perempuan yang memiliki jati diri dan kepribadian yang terpuji. Tidak muda diombang – ambing oleh gelombang zaman yang memabukkan dan menyesatkan. (hal 21)


Dari ungkapan dan pandangan penulis ini masih sangat kuat sekali budaya partriakinya. Ibu Rosni menempatkan perempuan sebagai objek yang harus diatur moralnya untuk menyelamatkan budaya Aceh yang katanya agung tersebut. Selain itu penulis mencari “kambing hitam” dengan menyalahkan budaya asing. Budaya diluar Aceh.


Padahal tidak semua budaya asing itu buruk dan tidak semua budaya Aceh juga baik. Kalau boleh jujur Syariat Islam yang kita pahami sekarang juga dipengaruhi oleh budaya diluar Aceh (Asing). Budaya Arab.Karena budaya dimanapun tidak akan mungkin tumbuh sendiri tanpa ada inkulturisasi dari budaya lain nya. Jadi kalau akhirnya menyalahkan budaya asing aku pikir penulis tidak bijaksana melihatnya.


Kecenderungan menyalahkan budaya diluar memang sering kita lakukan apabila ada hal yang kurang baik menurut kita. Sering sekali terjadi. Kita selalu menganggap bahwa budaya kita adalah budaya yang baik dan cocok bagi masyarakat tertentu. Padahal apakah memang benar begitu? Benarkah suatu budaya itu akan pasti tepat dan cocok dalam satu masyarakat yang hidup dengan budaya itu. Mungkin cocok bagi pemangku adat atau penguasa. Tapi belum tentu cocok bagi perempuan, anak dan kelompok minoritas dalam budaya tersebut. Kita bisa lihat bagaimana banyak budaya yang ada dimanapun selalu menempatkan perempuan sebagai mahkluk sub ordinat.


Tidak hanya budaya Barat, Indonesia, Aceh ataupun budaya Arab. Semuanya pada umumnya selalu menempatkan perempuan pada posisi yang marginal. Walau aku tidak napikan masih ada hal yang baiknya. Sehingga gaung pemberdayaan perempuan dengan pendekatan kearifan lokal perlu dilihat kembali. Karena yang lokal tidak selalu arif bagi perempuan, anak dan kelompok minoritas.


Persoalan banyak perempuan Aceh yang menjadi materialitis itu juga terjadi dikalangan budaya mana pun. Baik dimasyarakat Aceh maupun masyarakat di luar Aceh. Bentuk nya bisa macam – macam. Ada yang senang bersolek dengan menggunakan parfum yang harganya sampai jutaan rupiah. Jadi bukan hanya menggunakan baju ketat saja. Tapi “budaya” jilbab dan pakaian tertutup/terbuka bagi perempuan juga ‘sebagian” dari korban neoliberalisme. Dalam hal ini lagi – lagi tubuh perempuan lah yang akan menjadi media komoditinya.


Kita tahu ada banyak jilbab dijual di Aceh dengan harga sampai ratusan ribu rupiah. Hanya untuk 1 lembar jilbab penutup kepala. Hal yang tidak bisa aku pikir dalam kondisi masyarakat Aceh yang miskin. Tetapi sayangnya ini ini jarang sekali dipersoalkan oleh banyak orang apalagi sampai pada kebijakan Qanun, termasuk penulis (Rosni Idham)?


Belum lagi misalnya harga mukenah (kain penutup pada perempuan waktu sholat) yang harganya sampai jutaan rupiah per buah. Padahal kita tahu bahwa ajaran Islam “anti” dengan hal – hal yang berlebihan. Aku tidak sedang mendebatkan soal jilbab dengan pakaian ketat/minim. Bagiku sama saja apabila perempuan dijadikan komiditi baik dengan jilbab maupun pakaian ketat yang super mahal itu. Itu sama buruknya.


Budaya hemat sendiri bukan cuma ada di adat Aceh dan ajaran Islam saja. Tetapi disemua adat dan ajaran agama lainnya juga ada. Kita kadang tertegun dengan orang – orang Barat yang sering kita sebut “Kafir” itu. Mereka adalah individu – individu yang sudah “cerdas” untuk menentukan mana kebutuhan yang harus dibeli nya dan mana tidak perlu. Serangan globalisasi sudah dapat mereka saring mana yang penting bagi diri nya dan mana yang tidak. Walau kita tahu globalisasi menyerang siapapun baik di Aceh diluar Aceh. Termasuk orang Barat sendiri. Sistem pendidikan di Barat membuat mereka lebih bisa kritis untuk dapat menentukan sikap dalam membeli suatu barang.


Jika kita sebagai orang Aceh dan kita sebagai seorang muslim tidak patut mencontohnya? Hanya karena mereka berasal dari Barat??

Kalau kita yakin bahwa Syariat Islam adalah sebuah aturan baik yang datang dari Allah SWT. Mestinya aturan itu menjadi rahmat bagi sekalian alam. Bukan kah itu ajaran Islam yang sebenarnya.


Tapi kalau kita terkulai dan “terbius” dengan kata Syariat Islam sebagai hal yang formal saja tetapi lupa bagaimana Syariat Islam itu dioperasionalkan dalam kehidupan sehari – hari? Misalnya bagaimana Qanun – Qanun yang dihasilkan berdampak terhadap perempuan dan kelompok minoritas di Aceh?? Kalau kita lupa dan tidak kritis akan itu maka kita akan hidup dalam kenistaan. Kita tidak akan peduli pada mereka yang terdiskriminasi dan termarginalkan atas penerapan Qanun – Qanun di bumi Aceh.


Itu mungkin kritikanku atas buku Perempuan Aceh Bicara. Khususnya untuk tulisan Ibu Rosni Idham. Semangat tulisannya menurut ku masih sangat misoginis. Jika tujuan buku ini sebagai pencatat sejarah bagi perempuan Aceh. Seharusnya tulisan seperti ini mesti dilihat kembali. Apakah “layak” untuk ditempatkan sebagai media untuk menorehkan sejarah perjuangan perempuan Aceh kedepan.


Tanpa mengurangi rasa hormat ku kepada Kak Suraiya Kamaruzzaman, Flower Aceh, Kak Sri Lestari Wahyuningroem, Kak Khairani Arifin, Kak Fatimah Syam dan Unifem. Kupersembahkan kritikan ini kepada mereka. Dan kepada Ibu Rosni Idham terus berkarya. Aku tunggu puisinya tentang kehidupan Waria di Aceh.



Wasalam


Hartoyo

Feminis Laki – Laki Alumni FP Unsyiah


[1] http://achehpress.com/www.php/news/id/3079/Siapa-Penerima-Perempuan-Aceh-Peace-Award-2008.jp

[2] Perempuan Aceh Bicara, UNIFEM

0 komentar: