Manusia Bebas

>> Minggu, 08 Februari 2009



Ingin menjadi manusia yang bebas. Kalimat itu yang selalu diucapkan oleh Anissa (tokoh utama). Anissa adalah tokoh perempuan pejuang dalam film Perempuan Berkalung Sorban. Film ini diangkat dari novel karya Abidah El Khaleiqy banyak bicara soal perjuangan perempuan.


Perjuangan mendobrak sistem budaya partriaki yang terjadi di Pesantren Salafiah di Jombang Jawa Timur. Pesantren yang menerapkan sistem "traditional" dalam sistem pendidikannya. Latar belakang cerita film ini pada tahun 90 an. Dimana saat kekuatan militer dalam pemerintah Orde Baru (Suharto) yang sangat kuat.

Dalam cerita itu bagaimana perempuan dalam tafsir agama (dalam hal ini Islam) ditempatkan pada posisi sub ordinat (rendah).
Bagaimana Anissa maupun santri perempuan yang lain menjadi manusia nomor dua. Dari mulai dilarang perempuan untuk menjadi pemimpin, perempuan harus bersedia di poligami, dilarang meminta cerai. Sampai yang paling Ironis perempuan dilarang untuk mengetahui pelajaran dari ilmu "diluar" Islam.

Para santri perempuan harus sembunyi - sembunyi untuk dapat membaca pemikiran dari tokoh - tokoh sastra besar Indonesia. Seperti buku - buku tulisan dari Pramoedya Ananta Toer (Bumi Manusia). Karena dinilai buku itu ditulis oleh seorang komunis yang anti Tuhan. Tidak segan sampai harus dibakar buku - buku tersebut karena ketahuan membacanya.

Pada saat menonton film itu mungkin kita berpikir. Apakah seburuk itu kondisi perempuan di dalam pesantren? Sehingga tidak heran ketika Tifatul Sembiring Presiden Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Tifatul Sembiring ikut bersuara. Ia mendukung seruan Imam Besar Masjid Istiqlal Ali Mustafa Yakub agar film itu diboikot.
Ia pun meminta film itu dikoreksi. Menurut nya film itu menampilkan diskriminasi terhadap perempuan yang dilakukan ulama dengan dalih agama, seperti perempuan tidak boleh jadi pemimpin, perempuan tidak boleh naik kuda, perempuan tidak perlu berpendapat dan perempuan tidak boleh keluar rumah tanpa disertai muhrimnya. Sehingga Presiden PKS itu lantas mengimbau agar para pekerja kreatif seperti film lebih berhati-hati dalam melahirkan karyanya bila bersentuhan dengan SARA. "Kalau menurut saya, hal-hal yang berkaitan dengan SARA itu harus hati-hati," pungkas Tifatul..

(http://www.detiknew s.com/read/ 2009/02/06/ 120535/1080533/ 10/tifatul- desak-film- perempuan- berkalung- sorban-dikoreksi)

Sayangnya dalam memberikan komentar film itu. Tifatul belum menonton filmnya. Sehingga Tifatul tidak melihat hal - hal yang lain. Seperti bagaimana pandangannya terhadap Islam yang membolehkan poligami. Bagaimana kondisi perempuan yang mengalami pemerkosaan dalam rumah tangga. Apa komentar Tifatul untuk yang ini? Karena sampai sekarang kalangan PKS "menjunjung" tinggi nilai - nilai itu. Yang meyakini bahwa itu adalah perintah Allah SWT.

Sebenarnya kalau boleh jujur ini lah wajah perempuan Indonesia umumnya. Memang penindasan terhadap perempuan bukan hanya terjadi pada tafsir agama Islam saja. Tetapi diagama - agama yang lain juga perempuan masih ditempatkan sebagai manusia kelas dua. Dibandingkan dengan laki - laki. Walau bentuk - bentuk ketidakadilan nya berbeda - beda.

Film telah membuka mata publik bahwa ini lah yang dihadapi oleh banyak perempuan. Sehingga itu lah yang mendasari lahirnya UU PKDRT di Indonesia salah satunya. Perempuan lebih berani untuk menyatakan hak hidupnya. Tapi lagi -lagi perempuan terjerat dalam lingkup tafsir agama yang sangat kuat dalam lingkup partriaki.
Ironisnya bukan hanya laki - laki tetapi perempuan sendiri juga masih "dirasuki" oleh budaya partriaki tersebut. Seperti yang jelas digambar dalam film itu bahwa masih ada laki - laki yang sangat feminis (suami Anissa yang kedua) dan perempuan yang sangat partriaki (Guru pesantren).

Kita berharap film ini akan membuka dan membangun kesadaran banyak perempuan Indonesia. Untuk lebih berani bersuara dan melakukan tafsir - tafsir ulang teks Alkitab yang misoginis. Seperti yang sudah dilakukan oleh Prof Musdah Mulia, Ciciek Farha, Lies Marcos.
Pengalaman film ini kita berharap dapat mendorong munculnya militansi para perempuan korban kekerasan rumah atas nama agama. Dimana pun berada. Katakan bahwa tidak ada toleransi terhadap kekerasan atas dasar apapun, termasuk tafsir agama.

Dalam hal ini kita minta bukti kepada orang - orang seperti Presiden PKS bahwa Islam itu Ramah terhadap perempuan. Tunjukkan tafsir yang berpihak dan dibaca oleh kaca perempuan. Untuk kepentingan perempuan. Bukan keadilan yang ditafsirkan dengan kaca mata Laki - laki (partriaki). Dan untuk kepentingan laki - laki.

Karena perempuan juga membutuhkan hidup bebas sama dengan laki - laki. Bukan kah ini adalah esensi ajaran agama untuk manusia yang diciptakan oleh Allah SWT.



Salam Pembebasan



Toyo


Mampang, 9 Februari 09




0 komentar: