Transgender

>> Senin, 06 Juli 2009

Setelah menghadiri satu acara bedah buku tentang "HASRAT PEREMPUAN: Relasi Seksual Sesama Perempuan dan Praktek Perempuan Transgender di Indonesia" yang ditulis oleh Prof. DR. Saskia E. Wieringa dan DR. Evelyn Blackwood, pada hari Sabtu, 27 Juni 2009 ada hal yang masih terus mengganjal. Sebenarnya kebingungan ini sejak beberapa bulan lalu. Ini diawali dari penggunaan istilah "TRANSGENDER". Awalnya aku berpikir bahwa istilah itu digunakan untuk seseorang seperti waria atau tomboi. Tapi kemudian transgender dilekatkan spesifik pada waria (untuk laki-laki) dan butch (perempuan). Tidak termasuk cross dressing. Dalam konteks ini saya mendefiniskan perempuan dengan simbol vagina dan laki2 dgan simbol penis.

Istilah waria sendiri juga mesti dipertanyakan dan bagaimana kita dapat mengukur seseorang itu waria atau bukan? Disamping istilah itu juga meneguhkan ketidakadilan dan ketidaknormalan seseorang.

Kembali ke istilah Transgender, menurut saya menjadi rancu dan kurang tepat digunakan istilah tersebut. Alasannya :

Pertama,secara harfiah arti dari transgender adalah gender yang berpindah. Miisalnya ada seorang laki-laki yang gendernya macho, kuat, gagah, menggunakan jeans, rambut pendek dsb. Kemudian berubah/berpindah dengan gender lawannya. Menjadi feminin dan menggunakan rok misalnya. Maka itu lah yang biasa disebut dengan waria (wanita pria). Ini salah satu yang disebut dengan transgender.

Padahal banyak aktifis perempuan membongkar wacana keadilan gender. Karena dinilai sebagai salah satu faktor ketidakadilan. Dimana manusia sudah di "genderkan" dengan tegas antara laki-laki dan perempuan. Karena pemisahan itu lah salah satu sumbangsih ketidakadilan bagi perempuan dan laki-laki. Sehingga kesimpulannya bahwa peran gender itu cair, dapat dilakukan dan dipertukarkan oleh siapapun tanpa melihat jenis kelaminnya. Jadi gender itu sendiri sebenarnya sudah TRANS.

So sekarang ada seorang laki-laki yang begitu berani "mencairkan" peran gender tersebut. Dari mulai pakaian sampai sikapnya sendiri. Kemudian masyarakat memberikan label dengan sebutan waria. Padahal kalau boleh jujur ini lah bukti bahwa gender memang tidak permanen dan dapat dipertukarkan. Walau aku sadar seorang waria itu mungkin melakukannya bukan karena faktor kesadaran gender yang tinggi. Tapi ada faktor lainnya yang mungkin dapat kita kaji lebih dalam. Tapi karena masyarakat sangat awam maka kelompok ini disebut dengan istilah Transgender...Kita tahu lah dampak ketidakadilan yang dialami oleh kelompok ini (baca waria).

Saya kemudian bertanya, apanya yang Trans dari waria itu?? Bukankah gender sendiri memang sudah trans?, artinya peran2 itu tidak berjenis kelamin? Mengapa pada saat ada seseorang menghancurkan sekat2 gender tersebut dengan sebuah bukti nyata, kok malah kita dikelompokkan sebagai transgender? Yang dimaknai sebagai sebuah kelompok yang "aneh/menyimpang" dan sebagainya.
Tapi ironisnya simbol gender laki-laki yang diperankan oleh seorang perempuan (misalnya soal pakaian) menjadi tidak begitu aneh? Apabila diperankan oleh seorang perempuan misalnya, walau kadang masih juga didapat diskriminatif. Sehingga menurut saya istilah transgender mesti dilihat kembali dalam konteks perjuangan keadilan gender bagi setiap orang.
Kalau kita memang mengakui bahwa gender itu sebuah peran yang sangat cair. Dapat berpindah-pindah. Yang sangat Trans.......



Salam


Buncit, 6 Juli 2009


Toyo

0 komentar: