Berjuangan Tanpa Batas (Refleksi Ibu Musda Mulia)
>> Jumat, 18 Desember 2009
Acara kali ini dinamakan Tasyukuran dan Refleksi: Prof.Dr.Siti Musdah Mulia(51 tahun) , yang telah mendapatkan penghargaan sebagai "Women of the year 2009". Penghargaan ini diberikan oleh The International Prize for the women of the year yang dibentuk tahun 1998 oleh Regional of Aosta Velley bekerjasama dengan pemerintahan Italy. Acara syukuran ini dilaksanakan oleh Yayasan Paramadina 17 Desember 2009 di Plaza I Pondok Indah Jakarta Selatan.
Acara syukuran kali ini semuanya atas inisiasi Yayasan Paramadina dengan dukungan kerabat dari Ibu Musda. Mulai dari persiapan sampai susunan acara. Sehingga ibu Musda sendiri tidak banyak memberitahu kepada teman-teman sebagai bentuk maafnya. Acara dimulai dengan makan bersama, pemutaran film tentang Ibu Musda, pemotongan tumpeng, refleksi atau renungan dari Ibu Musda, testimoni dan diakhiri oleh doa.
Sebelumnya Regional of Aosta Velley sejak tahun 1998 telah memberikan penghargaan kepada 11 perempuan diseluruh dunia yang telah mengabdikan hidupnya untuk kemanusiaan. Penghargaan ini diberikan untuk tokoh perempuan yang diakui kiprah dan kompetensi dalam profesinya yang telah memberikan sumbangan nyata dalam upaya pemberdayaan perempuan.
Prof.Siti Musda Mulia juga sebelumnya pernah mendapatkan penghargaan antara lain; GTZ Award (Jerman), Tribute to the women Award, International women of courage Award (USA,2007), Yap Thiam Hien Human Rig(2008). Selama ini kiprah Siti Musda Mulia selain sebagai staff pengajar di Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah, ketua umum International Conference on Religion and Peace(ICRP) juga sebagai aktivis pejuang kemanusiaan digarda depan. Sudah banyak pemikiran-pemikirannya dituangkan dalam bentuk artikel maupun buku-buku. Minimal sampai sekarang sudah ada sekitar 16 buah buku dihasilkan dari pemikiran perempuan ini. Selain juga menulis puluhan ensiklopedia berkaitan dengan Islam.
Kerja-kerja yang dilakukan Ibu Musda Mulia selain sebagai seorang pemikir juga sebagai aktivis yang "getol" mengkampanyekan pendidikan pluralisme dan multikulturalisme bagi masyarakat. Ibu Musda Mulia menikah dengan Prof. Ahmad Thib Raya dan telah dikaruniai dua orang putra, Albar dan Alham.
Seperti yang terdapat dalam buku "kecil" yang dibagikan kepada para tamu, Ibu Musda bekerja untuk kemanusiaan telah melewati batas-batas / sekat kelompok dan primodialisme. Bukan hanya meyuarakan untuk hak-hak kebebasan beragama tetapi juga memperjuangkan penghormatan hak bagi kelompok homoseksual. Isu yang masih sangat kontroversi dikalangan pemuka agama maupun masyarakat. Keberanian Ibu Musda menjadi ulama perempuan yang terus mengkampanyekan bahwa kebebasan orientasi seksual seseorang adalah bagian dari hak asasi manusia. Mendiskriminasikan kelompok homoseksual, biseksual maupun waria justru telah mengingkari ajaran Islam itu sendiri. Pendapat ini banyak mendapatkan tantangan banyak pihak tetapi Ibu Musda Mulia menilai bahwa ini adalah konsekuensi dari sebuah perjuangan.
Ibu Musda menegaskan bahwa inilah tugas saya yang diamanatkan kepada Allah SWT untuk berbuat kebaikan kepada manusia lainnya di muka bumi ini. Baik itu untuk kelompok homoseksual, pekerja sex, ODHA, kelompok Ahmadiyah maupun kelompok marginal lainnya.
Pada acara itu dihadiri oleh ratusan orang dari berbagai kelompok, mulai dari keberagaman agama,suku sampai pada orientasi seksual. Pada acara kali ini yang memberikan testimoni untuk ibu Musda bukan saja suaminya tetapi juga dari pandangan kelompok lain seperti perempuan maupun kelompok homoseksual. Ini menunjukkan bahwa ibu Musda berjuang tanpa pernah melihat latar belakang seseorang. Manusia yang lemah menjadi sebuah kewajiban untuk dibela.
Dari hasil wawancara dengan ibu Musda ada keinginan dan cita-cita kedepan untuk membuat tafsir Alquran yang menggunakan pandangan perempuan. Karena menurut Ibu Musda Mulia tafsir Alquran yang ada sekarang ada masih sangat bercorak partriarki. Perempuan masih dianggap manusia yang tidak setara haknya dengan laki-laki. Sehingga tafsir yang saya cita-citakan adalah tafsir yang menggunakan pengalaman perempuan sebagai basis dalam menafsirkan teks-teks Alquran. Diharapkan kedepannya tafsir tersebut dapat dijadikan bahan kajian bagi setiap orang yang peduli terhadap hak perempuan dan kelompok marginal lainnya.
Tuduhan sebagai orang yang meyimpang dari ajaran Islam sampai tuduhan kafir selalu ibu Musda terima. Tetapi Ibu Musda meyikapinya dengan mengatakan bahwa mungkin orang-orang tersebut tidak memahami dengan apa yang sedang saya perjuangkan, ungkapnya. Menurut suaminya( Prof. Ahmad Thib Raya ) bahwa Ibu Musda adalah orang yang selalu melaksanakan sholat tahajjud setiap malam dan juga melaksanakan sholat duha pada pagi hari sebelum berangkat kantor.
Pada penghargaan ini Ibu Musda mendapatkan hadiah sebesar 50.000 euro yang diberikan dalam bentuk program kegiatan untuk kemanusiaan oleh panitia. Dalam orasinya ibu Musda menceritakan proses peyeleksian. Panitia mencari perempuan diseluruh dunia dari berbagai latar belakang. Dari 127 nominator disaring menjadi 36 orang dari 27 negara. Setelah itu diseleksi lagi menjadi 3 orang yang dihadirkan pada acara puncak di Aosta Italy. Mereka adalah Musda Mulia (Indonesia), Aiche Ech Channa (Maroko) dan Mary Akrami (Afganistan). Ketiga orang tersebut masih mengikuti proses seleksi lagi salah satunya berdiskusi dengan anak-anak pelajar sekolah dasar dan menengah di Italy. Tapi sebelumnya ibu Musda diminta memberikan kuliah umum soal pandangan Islam tentang hukuman mati. Memang menurut ibu Musda bahwa banyak pertanyaan panitia seputar dengan hukuman mati dalam konteks Islam. Menurut Ibu Musda bahwa menjadi tepat bahwa penghargaan ini menjadi sebuah renungan bagi kita semua tentang makna pengabdian kepada kemanusiaan. (Toyo/OV)
0 komentar:
Posting Komentar