Namaku, Tamie
>> Sabtu, 21 November 2009
Adliana. Namaku, tetapi aku lebih suka dipanggil dengan panggilan Tamie. Aku anak tunggal. Selain berstatus mahasiswi di salah satu universitas swasta di Medan, pekerjaan sampingan lain adalah credit marketer di bank swasta.
Nur, nama ibuku, bagiku ia mewakili sosok ayah yang tidak pernah kutemui di sepanjang hidupku. Ia juga teman, sahabat saat aku masih kecil. Anehnya aku terbiasa hidup tanpa ayah, dan aku tidak pernah menanyakan dimana ayahku atau siapa ayahku.
Perihal ayahku, suatu hari ibu pernah bercerita. Menurutnya, lelaki yang bernama Arif itu telah berbohong padanya dengan mengaku single, ternyata setelah berbadan dua, tahulah ibuku bahwa ia sudah berkeluarga. Saat itu juga, kata ibuku, ia pulang ke kampung meninggalkan lelaki itu selamanya. Ahirnya aku dititipkan pada nenek bersama kakek, keponakan dan bibi di kampung sedang ibu pergi merantau ke Medan sebagai PRT.
Saat aku berusia 4 tahun, aku dibawa oleh ibu ke Bandung hingga tamat SD. Di kota kembang ini aku bersekolah di TK Al Azhar, di sana aku banyak mengenal anak-anak sebayaku namun aku merasakan berbeda dengan teman-teman perempuan sebayaku. Mereka kebanyakan senang bermain masak-masakan, main boneka, lompat tali, ayun-ayunan, aku lebih suka mengamati kegiatan mereka. Aku tidak suka dengan apa yang mereka mainkan, karena bagiku permainan itu tidak mewakili diriku.
Setiap aku mengamati mereka yang sedang bermain, mereka merasa aman dan nyaman. Seringkali anak laki-laki mengganggu teman-teman perempuanku, kalau mereka datang membuat keributan, aku pun datang bagaikana pahlawan membela mereka. Teman-teman perempuan ini suka bersembunyi di balik badanku untuk meminta perlindungan, dan yang lucunya anak laki-laki itu pun takut ketika aku berusaha menghadang mereka yang ingin mengganggu.
Lebih jauh dari itu aku pernah bergulat dengan anak laki-laki hingga harus berurusan dengan orang tua. Terang saja, sejak kecil aku memang tidak suka melihat perempuan diganggu apalagi dibuat sampai menangis. Karena kejadian itu, aku dimarahi ibu. Katanya anak perempuan tidak boleh berantam, kayak laki-kali saja.
Dari kecil banyak orang menjulukiku anak tomboy. Aku tidak tahu mengapa. Setelah pulang kampung lagi, ibu sering mengajakku ke sawah. Disanalah aku meluapkan rasa gembira hatiku dengan mandi-mandi di sungai dan memancing. Aku senang sekali kalau bermain dengan anak laki-laki, dengan Dani, Bayu, Edi, Yudi, Wanto, dengan mereka aku sering bermain, mencari ikan laga, membuat mobil-mobilan dari batang rumbia.
Terus terang aku tidak pernah mau kalau disuruh ibu memakai baju perempuan. Aku sangat senang bercelana pendek, mengenakan kaos singlet. Semua berlangsung sampai masa pertumbuhan payu daraku, barulah aku mau memakai kaos. Setiap aku berulang tahun aku juga dipaksa untuk mengenakan baju berenda-renda, jelas aku tidak bahagia di hari ulang tahunku itu, kesedihan dan rasa malu yang mendalam di dalam hati sangat menggores. “Kan cantik Amee kalau pakai rok gini,” kata teman-teman yang sebenarnya bagiku adalah ejekan. Aku juga sering kali dibelikan boneka oleh adik ibuku, tapi maaf, aku tak pernah senang, aku tetap bermain mau dengan mobil-mobilan yang dari gabus.
Di SD tak jauh beda dengan TK. Banyak teman-teman perempuan menganggap aku adalah pelindung mereka. Kalau mereka bermain lompat tali aku sering disuruh menjaga supaya anak laki-laki tidak mengintip rok mereka yang terbuka, tapi aku menikmati pemandangan indah dari kibaran rok teman-temanku itu. Untungnya kegiatanku itu tidak diketahui oleh teman-temanku.
Saat di kelas 3, aku menyukai kakak kelasku. Aku mendekatinya, ternyata dia meresponnya walau mungkin dia menganggapku sebagai adik, tapi aku menganggap dia lain. Makin hari kami pun makin dekat, walau kami sama-sama tidak tau ada apa dengan kedekatan kami. Ketika aku dekat dengan teman lain, dia merasa cemburu, begitu juga sebaliknya aku.
Tiap kali kami main rumah-rumahan, aku yang selalu membuat skenarionya. Aku berperan sebagai kepala rumah tangga, dia ibunya, dan Juni teman kami sebagai anak nya. Akulah yang mengatur jalannya cerita permainan kami. Sebagai bapak, aku harus tidur dengan ibu. Dan sampai hal yang aku inginkan pun terjadi. Aku menciumnya, memeluknya, eh..dia juga membalasnya, aku sangat senang kalau mengingat itu, dan permainan itu jadi sering aku lakukan kalau ibuku tidak di rumah. Aktifitas seperti itu berlanjut hingga akhirnya dia melanjutkan ke sekolah menengah pertama.
Ketika sekolah di pesantren aku kembali menyukai kakak kelasku. Sepertinya memang aku tipe wanita yang suka dengan wanita yang lebih tua dariku. Walau hanya 9 bulan aku di sana, dan terpaksa keluar karena sakit-sakitan. Bayangkanlah, aku sama sekali tidak merasa nyaman dengan lingkungan yang mengharuskan aku berjilbab, memakai rok. Pulang dari pesantren, kakekku marah-marah dan menuntutku jadi perempuan feminim, taat agama dan menurut apa kata orang tua. Pada intinya semua keluarga menuntutku begitu, mungkin mereka mencapku sebagai anak durhaka.
Hingga kini, mereka selalu bertanya, mana cowokku. Aku mencoba berhubungan dengan cowok, tapi tidak ada getaran sama sekali, bahkan geli. Di SMA, Sintya teman sekelasku adalah wanita yang pertama kali kucintai. Darinya aku tahu siapa aku ini, seorang perempuan yang memiliki orientasi seksual yang berbeda dari perempuan kebanyakan.
Kedekatanku tercium oleh ibuku, aku pun dilarang habis-habisan dekat dengan Sintya, sampai aku pernah diisolasi di dalam kamar supaya aku tidak lagi bisa menjumpainya. Aku tidak terima dengan sikap keluarga, dan akhirnya kuputuskan pergi dari rumah, aku tinggal dengan Sintya, sampai Idul Fitri tiba aku baru pulang.
Kepulanganku ternyata awal dari penderitaanku. Aku dikirim sekolah ke Aceh tapi aku tak sanggup meninggalkan Sintya, tapi itulah kenyataan yang mesti aku jalani. hanya ada dua pilihan kalau aku tidak pergi ke Aceh aku tak boleh tinggal di rumah dan tidak akan disekolahkan. Sintya berusaha bicara dengan ibu tapi tidak ada hasil. Enam bulan kemudian aku pulang kampung, kulihat Sintya sudah berubah, dia sudah menikah dan katanya dia bahagia. Aku mencoba untuk mengerti dan akhirnya aku kembali ke Aceh.
Di Aceh aku mulai jatuh hati dengan Nisa selama hampir 6 tahun. Sayangnya hubungan kami hancur karena teman yang kuperkenalkan dengannya mencuri perhatian Nisa dariku. Hatiku hancur sekali, dan aku sempat menjadi pelacur, gonta- ganti pasangan tanpa cinta. Semua itu menurutku sebagai bentuk balas dendam atas penghianatan temanku itu, sebagai reaksi kekecewaanku pada Nisa yang kucintai sepenuh hati. Kegilaan yang kulakukan itu sangat merusak fisik dan jiwaku selama beberapa waktu.
Akhirnya aku sadari bahwa itu tak benar,aku pun tidak melakukan kegiatan itu lagi . Tak lama setelah itu aku bertemu dengan beberapa orang yang menurutku bisa membawaku menuju cahaya pencerahan. Bersama dengan beberapa orang itu kami membangun organisasi perempuan, sebuah organisasi yang fokus pada pemberdayaan perempuan, khususnya untuk teman-teman yang sama denganku.
Hingga suatu hari, aku diundang oleh sebuah LSM untuk mengisi sebuah pelatihan seksualitas dan aku diminta untuk Testimoni,dipelatihan itu pertama kalinya aku coming out dihadapan orang banyak, sejak itu aku sedikit merasa nyaman dengan diriku. Hingga sampai sekarang aku sudah nyaman dengan pilihan orientasi seksual untuk menjadi Lesbian.
Medan,Nov 2009, By: Tamie
2 komentar:
kejar dan raih apa yang menjadi impianmu. jangan pedulikan omongan orang. hiduplah menjadi diri sendiri, jangan pernah mau hidup menjadi 'figur' yang orang lain ingini.
Sedih juga baca kisahnya. Tapi, kalau kita sudah dewasa gini, semua-mua tanggung-jawab kita sndiri. Biar masalalu terjadi, yang penting jangan biarkan diri terprovokasi kesalahan. Tuhan memang sayang sama semua ciptaan. Binatang saja disayang, apalagi manuisa. Tapi Tuhan juga tidak membiarkan manusia melanggar larangannya. Tentang kisah negeri Luth, Kaum Sodom dan Gomora, dan lain-lain dicontohkan bentuk murka Tuhan.
Tanaman juga ditumbuhkan. Makan apa saja boleh, kecuali yang merusak. Ganja dilarang, merokok merusak, dan sesama jenis dilarang. Karena pasti ada yang tidak sejalan dengan hukum Tuhan. Kalau berani melanggar, yaa.. rasakan sendiri akibatnya.
Posting Komentar