Ringkasan Diskusi Kartini di Erasmus
>> Minggu, 19 April 2009
Setelah pemutaran Film, kemudian dilanjutkan lagi dengan diskusi bertema soal
Disamping itu juga Ibu Menteri mengingatkan bagaimana dokumen - dokumen sejarah
1. Dr. Ir. Irma Alamsyah Djaya Putra.MSc (staf ahli Menteri Bidang Hukum dan Politik Meneg PP).
2. Yuda Irlang (Yayasan Gerakan Pemberdayaan Swara Perempuan)
Dengan Moderator Debra H. Yatim
Ibu Yuda lebih banyak menyoroti soal gerakan Kartini dalam konteks kebijakan di Indonesia sekarang ini. Seperti persoalan keterwakilan perempuan dalam legislative yang semakin sulit posisi perempuan pada pemilu 2009. Ibu Yuda menjelaskan sedikit soal pentingnya kebijakan afirmative action bagi perempuan. Selain itu juga adanya UU Pornografi yang baru saja disyahkan semakin mengkriminalkan perempuan. Sehingga situasi ini semakin memperparah situasi perempuan di Indonesia. Yang ibu Yuda katakan bahwa banyak kebijakan yang “banci”. Istilah yang sempat dikritik karena menggunakan kata “banci” untuk kebijakan yang tidak baik.
Selain itu bagaimana Kartini pada waktu itu juga menentang poligami dilakukan. Walau Kartini sendiri akhirnya “menjadi” istri keempat dari suaminya. Seperti yang juga digambarkan dalam film documenter. Yang akhirnya Kartini meninggal setelah melahirkan anak pertamanya. Kartini yang menjadi istri keempat menjadi salah satu perdebatkan menanyakan soal “kepahlawanan” Kartini. Dan ada satu peserta mengatakan bahwa menurutnya Kartini bukan seorang pahlawan. Kemudian Ibu Yuda menjelaskan terlepas dari kontroversi kepahlawan Kartini. Tetapi semangat Kartini memberikan kontribusi besar pada perempuan Indonesia saat ini. Walau memang apa yang diperjuangkan oleh Kartini pada abad 19 masih sama apa yang dilakukan oleh perempuan Indonesia sekarang.
Ibu Yuda menampilkan photo wajah – wajah perempuan karena dampak kebijakan yang sama sekali tidak memperhatikan perempuan. Seperti persoalan kenaikan BBM sangat berdampak pada perempuan seperti yang terlihat pada gambaran perempuan yang mengantri untuk mendapatkan minyak tanah. Ibu Yuda menceritakan bagaimana gerakan perempuan sendiri kadang mendapatkan “tantangan” dari perempuan itu sendiri. Pernah kejadian perempuan melakukan aksi protes terhadap poligami, tetapi kemudian dilain waktu ribuan perempuan melakukan aksi mendukung poligami. Ini lah yang banyak terjadi pada perjuangan perempuan. Walau ibu Yuda tidak ingin mengatakan bahwa perempuan seperti itu adalah orang yang “bodoh”. Ini banyak terjadi pada ormas Islam. Artinya ada nya penggunaan perempuan untuk menentang kebijakan yang tidak pro perempuan (soal poligami).
Kemudian dilanjutkan dengan pendapat dari staff kementerian Ibu Irma Alamsyah menampilkan beberapa gambar situasi perempuan pada abad masa Kartini. Selain itu juga menampilkan gambar hasil study banding ke Museum di Belanda. Yang ada museum Kartini. Ibu Irma mengatakan bahwa perjuangan Kartini masih relevan dalam konteks sekarang. Selain itu juga menyoroti sistem feodalisme masa Kolonial. Yang jelas membedakan kelompok penguasa dengan rakyat biasa. Yang katanya sekarang ini sudah tidak terjadi lagi di Indonesia ketidaksetaraan antara penguasa dengan rakyat biasa. Ibu Irma mencontohkan bahwa misalnya sekarang kita dapat sama – sama duduk dikursi. Sedangkan masa dahulu para penguasa duduk dikursi dan rakyat biasa duduk dibawah (lantai). Walau itu disanggah oleh salah seorang peserta bahwa situasi feodalisme juga terjadi sampai sekarang, walau bentuknya berbeda. Tetapi semangat tetap sama, diskriminasi.
Bahan presentasi Ibu Irma memang banyak menampilkan gambar perempuan – perempuan tempo dahulu. Sampai bagaimana ibu Irma menunjukkan perempuan – perempuan pekerja sex yang siap “menunggu” laki – laki untuk melayani. Mungkin maksud Ibu Irma ingin menunjukkan bahwa itu lah kondisi perempuan pada masa itu. Tapi dengan cara pandangan yang misoginis. Sampai tidak tahu membedakan mana itu pelecehan dan mana itu pembelaan. Sampai beliau juga menampilkan perempuan – perempuan tanpa menutup payudara. Dengan santai Ibu Irma menyatakan inilah perempuan – perempuan pekerja sex masa itu. Dengan ikuti suara peserta. Sayangnya yang ditampilkan adalah hanya perempuan tanpa payudara, yang katanya porno itu. Tapi tidak menampilkan gambar – gambar para pelanggannya. Apakah mereka para demang atau laki – laki Belanda. Perempuan yang di”tuduhkan” dengan yang disebut porno itu harus menanggung aib atas tindakan praktek prostitusi yang disampaikan dalam gambar di presentasinya. Ibu Irma adalah seorang staff ahli Meneg PP untuk bidang Hukum dan Politik. Ironis memang.
Ibu Irma adalah orang ketiga yang saya temui setelah Bapak Subagyo (Deputi perlindungan perempuan Meneg PP) dan Dr. Koensatwanto Inspasiharjo (Sekretaris Meneg PP) yang melakukan tindakan kekerasan verbal terhadap perempuan. Tidak dapat membedakan mana itu pelecehan dan mana itu perlindungan terhadap perempuan.
Saat itu adalah moment yang membuat saya marah dan tidak tahu harus berkata apa. Hanya aku berpikir, ibu ini perempuan dan pejabat Meneg PP tapi sama sekali tidak empati pada persoalan tubuh perempuan. Bagaimana mungkin orang – orang yang bekerja untuk pemajuan hak – hak perempuan dalam satu lembaga Negara. Tetapi ironis tidak memahami perempuan sebagai manusia yang utuh atas haknya sama dengan laki – laki. Memang maksud hati ingin membantu perempuan. Tetapi apa daya pemahaman tidak sampai apa yang disedang diperjuangkan oleh perempuan. Rakyat telah mengeluarkan dana yang besar untuk memberikan gaji pada staff Meneg PP yang sama sekali perspektif perempuannya NOL.
Mungkin kedepannya kinerja Meneg PP harus dilihat dan kaji kembali oleh gerakan perempuan di
Mudah-mudahan tulisan dapat dibaca oleh pihak kementerian PP Indonesia. Sehingga para staffnya dapat merefleksikan dan meningkatkan kapasitasnya. Karena mereka adalah orang – orang yang mempunyai peran besar terhadap nasib perempuan di
Setelah acara diskusi selesai, dilanjutkan lagi dengan pemutaran film dokumenter berjudul Panggil saja Aku Kartini untuk kedua kalinya.
Salam
Toyo
Kalibata,
0 komentar:
Posting Komentar