http://www.facebook.com/note.php?note_id=78065723515
al-sahq syahwah thabî’iyyah
lesbian merupakan hasrat seksual yang normal
—Syihabuddin Ahmad al-Tifasyi (560 H/1184 M), ulama dari Tunisia
Mohamad Guntur Romli
Ada dua peristiwa yang membuat saya tertarik menulis tema ini. Pertama, ketika Jurnal Perempuan menggelar pelatihan sehari tentang “Seksualitas dan Gender”. Dalam pelatihan itu kami mengundang kawan-kawan dari organisasi LGBT (Lesbian, Gay, Bisexual, Transgender). Pelatihan dimulai menjelang siang hari Jumat. Di tengah presentasi, tiga teman gay meminta izin untuk menunaikan salat Jumat. Saya pun tertegun. Ketika waktu salat Ashar tiba, mereka meminta izin kembali untuk salat Ashar berjemaah. Saat itu terlintas pertanyaan dalam fikiran saya, mengapa mereka sangat taat pada agamanya, tapi di sisi lain agama yang dicintainya—menurut kalangan awam—mengutuk pilihan seksual mereka? Ketika saya ungkapkan pertanyaan tadi kepada mereka, jawabannya “kami tidak memahami Islam yang mengutuk kami.”
Peristiwa kedua, beberapa waktu kemudian, kantor kami didatangi pasangan keluarga muslim dengan anak berusia balita. Busana yang mereka kenakan: suami memakai topi haji, dan istri memakai jilbab. Ketika waktu salat tiba, mereka berjemaah. Awalnya saya tidak mengenal identitas gender mereka. Setelah mereka pulang, saya diberi tahu bahwa mereka pasangan keluarga LBT (Lesbian, Biseksual, Transgender/transeksual). Saya terperanjat. Saya baru tahu ada keluarga LBT muslim yang taat dan mengasuh anak.
Berarti ada yang tidak adil dalam pandangan agama (Islam) tentang homoseksual. Pasangan gay dan lesbian itu sangat taat beribadah, yang menurut perkiraan saya ketaatan mereka karena cinta bukan takut pada agamanya. Ketakutan tidak memungkinkan mereka menjadi pasangan/keluaga lesbian/gay yang muslim atau mereka akan meninggalkan Islam, karena Islam dianggap memusuhi homoseksual demi sebuah pilihan seksual. Saya pun mulai syak dengan timbulnya pertanyaan: benarkah Islam memusuhi homoseksual?
Saya mulai tertarik untuk menggali khazanah seksualitas dalam Islam. Hipotesa saya: perbincangan seksualitas dalam Islam bukan termasuk wilayah tabu. Pun termasuk pilihan seksualnya: heteroseksual, homoseksual dan biseksual. Yang ada hanyalah larangan-larangan untuk memasuki wilayah yang dengan sengaja ditabukan. Dalam konteks tersebut, seks dikurung di ruangan ini. Pembakuan dan penabuan ini tampak absurd apabila merujuk pada khazanah Islam yang mahakaya dengan percakapan seksualitas, dan menjadi pencerahan terhadap ruang yang dengan sengaja dibiarkan gelap-gulita. Kebencian dan kutukan terhadap homoseksual yang acap kali lahir dari pengikut agama, tidak lain keberhasilan dari pelarangan dan penabuan yang memperbincangan isu seksualitas.
Meskipun tulisan ini mengaitkan isu homoseksual—yang di dalamya termasuk lesbian—dengan Islam, tapi saya tidak hendak mencari-cari “justifikasi tekstual”: menerima atau menolak homoseksual. Saya tidak percaya ada “justifikasi tekstual” yang bisa mengartikan justifikasi itu lahir dari rahim teks, karena bagi saya justifikasi dibangun dan disahkan oleh penafsir. Kutipan Imam Ali menemukan konteksnya di sini bahwa Quran itu “bisu” (tidak bisa bicara), ia diberi suara oleh penafsir, al-mush-haf bayna daftay al-kitâb la yanthiq, wa innama yanthiqu bihi al-rijâl.
Penafsiran berarti proses “pemberian suara” pada teks yang “bisu”. Selain itu dalam spektrum justifkasi hukum Islam sendiri (ilmu ushul fiqh) justifikasi tergantung pada “metode pengambilan hukum” (thariqah intinbâth al-ahkâm) yang berarti sah dan tidaknya justifikasi itu berhubungan dengan metode bukan teks itu sendiri. Justikasi ada dalam penafsiran, sementara teks bersifat otonom dan terbuka. Dengan pengakuan dua jarak ini: teks dan penafsiran, modus “penguncian” teks pada satu makna saja—yang berarti praktik otoritarianisme—bisa dihindarkan.(1)
Teks juga tidak bisa lepas dari konteksnya, ia adalah “produk budaya” (muntaj tsaqafî) yang “turun” pada konteks sosio-historis tertentu(2). Teks “ditulis” oleh struktur budaya itu. Maka apabila menjumpai teks sangat bias-gender, berarti ia “ditulis” oleh tangan-tangan patriarkis dan maskulin yang selanjutnya “disembunyikan”.
Tulisan ini berusaha mendialogkan tema homoseksual dengan Islam yang selalu disangka berhadap-hadapan. Juga ingin menguji kembali asumsi: Islam memusuhi homoseksual. Benarkah asumsi itu telah dibangun dengan argumentasi yang kuat? Ataukah permusuhan itu hanya bersumber dari ketidaktahuan saja? Seperti pepatah Arab, al-nâsu a’dâ’ mâ jahilû (manusia cenderung memusuhi yang tidak ia ketahui).
Saya akan memulai pembahasan ini dari pandangan Islam terhadap seksualitas, karena tanpa wacana seksualitas, kita tidak akan pernah bisa memahami hakikat homoseksual. Setelah itu baru berikhtiar mendiskusikan kembali: bagaimana sikap Islam terhadap homoseksual? Dan apakah lesbian telah menjadi pembahasan dalam sejarah seksualitas dalam Islam?
Seksualitas dalam Islam: Prokreasi atau Rekreasi?
Pembahasan pertama saya akan memulai dari “pembongkaran” asumsi bahwa homoseksual dimusuhi oleh Islam karena relasi seksual ini tidak akan pernah menghasilkan keturunan (al-injâb) atau Prokreasi—sebagaimana terjadi pada heteroseksual—tapi hanya “sekadar” memperoleh kenikmatan seksual belaka (al-ladzdzah al-jinsiyah) atau Rekereasi.(3)
Wacana seksualitas Islam dihubungkan dengan lembaga pernikahan yang memiliki dua tujuan: penyaluran hasrat seksual (al-bâ’ah) dan memperoleh keturunan (al-injâb). Namun karena pernikahan dipandang sebagai “proses-kontrak” (akad) yang sakral, sementara tujuan pertama dianggap terlalu profan, maka wacana seksualitas dalam Islam bukan lagi hasrat manusiawi lagi tapi masuk dalam iradah ilahi yang sakral. Seks yang awalnya adalah hasrat harus diikat dengan “tali Allah” (habl Allah) yakni agama(4). Oleh karenanya wacana seksualitas dibatasi pada dua hal yang dianggap sakral: prosesi nikah (syarat, rukun, kewajiban, larangan, dll—perempuan sebagai calon istri tidak terlibat dalam proses-kontrak antara dua laki-laki: wali dan calon suami) dan tujuan memperoleh keturunan (al-injâb), sedangkan kenikmatan seksual (al-ladzdzah al-jinsiyah) dikubur dalam konteks ini.
Konstruksi wacana seksualitas dalam Islam telah diresmikan oleh ilmu fikih dalam “bab nikah”: prilaku yang halal dan haram telah ditegaskan sekaligus hukuman terhadap pelanggaran. Seks tidak lagi sebagai relasi-intim antara manusia dengan tubuh, hasrat, berahi, syahwat dirinya ataupun pasangannya, namun harus direstui oleh al-hâkim (pemerintah). Seks menjadi domain yang sangat menentukan masa depan, kewibawaan, dan otoritas kekuasaan dengan taat pada peraturan dan hukuman.
Seks telah dilemparkan ke ruang pertarungan: yang sakral dan yang profan, yang juga melibatkan kekerasan. Dalam buku al-‘Unf, al-Muqaddas wal Jins fil Mitsûlûjiya al-Islâmiyah (Kekerasan, Sakral, dan Seks dalam Mitologi Islam) karya Turki Ali al-Rabi’u: seks disakralkan melalui sebuah mitos ilahi. Mitos itu berupa hadis: ucapan Nabi Muhammad yang disucikan, “anggota tubuh manusia yang diciptakan pertama kali oleh Allah adalah kelamin, kemudian Allah berfirman pada manusia itu: “Ini (kelamin) adalah amanat dari-Ku, dan dengannya Aku memiliki perjanjian denganmu.”(5)
Mitos ini membuat manusia terasing dari kelaminnya. Kelamin yang ada dan milik tubuhnya. Asing karena disebut sakral, sementara tubuh lainnya profan. Kelamin itu bukan miliknya tapi amanat ilahi yang nantinya manusia itu akan diminta tanggungjawab. Manusia butuh tuntutan Ilahi untuk berdialog dengan kelaminnya. Dari kelamin pula lahir wacana tabu.
Dialektika seks dengan yang profan, sakral, dan melibatkan kekerasan punya cerita dan tokoh yang berasal dari manusia terdahulu: Qabil dan Habil. Qabil adalah tokoh seksual-manusiawi yang memiliki berahi pada kecantikan saudarinya sendiri, namun dilarang berpasangan dengannya karena telah ditetapkan menjadi pasangan Habil. Qabil harus berpasangan dengan saudari Habil yang tidak menimbulkan gairah. Sementara Habil adalah citra Ilahi—kurbannya direstui Allah, sedangkan kurban Qabil ditolak karena ia perlambang seks yang rendah. Qabil dicitrakan “egois” karena ingin memiliki dan mengendalikan kelamin sesuai hasratnya. Kisah ini melibatkan kekerasan: Qabil membunuh Habil. Manusia dengan hasrat seksual bisa membunuh keilahian yang ada dalam dirinya—dan akhirnya Qabil harus bertobat.
Cerita tadi diabadikan melalui tuturan yang turun-temurun yang tampak nyata pada kisah Luth. Pesannya satu: seks yang terlepas dari keilahian akan mengundang kekerasan: pembunuhan dalam kisah dua anak Adam tadi, atau azab dahsyat yang menghancurkan umat Luth. Pun kisah ini dipandang bukan lagi sebagai sembarang cerita tapi kisah suci.
Wacana seksualitas yang dibakukan adalah seks yang tetap pada jalur-jalur Ilahi: pemilik asli kelamin. Tuhan sebagai pencipta, maka kelamin menjadi instrumen ketuhanan yang melestarikan penciptaan dengan memberikan keturunan. Tuhan ada karena ciptaannya ada, Tuhan berkuasa karena ciptaanya taat, dan kelamin menjadi aparatus (alat) yang hanya boleh dikuasai oleh Tuhan, dan tidak boleh dimiliki oleh ciptaannya.
Wacana kelamin dan keturunan diperkuat dengan teks-teks agama yang terus dipopulerkan melalui hadis Nabi: tanâkahû wa takâtsarû fa inni ubâhi bikumul umam (menikah dan perbanyaklah anak, karena aku akan bangga memiliki umat yang banyak), atau tazawwajû al-walûdal wadûd, fa inni mukâtsirun bikum yawmal qiyâmah (menikahlah dengan perempuan subur karena aku akan bangga memiliki umat yang terbanyak di hari perhitungan nanti). Hukum tidak akan berdiri tegak tanpa sanksi. Yang melanggar akan dikenai sanksi fisik. Kelamin yang keluar dari jalur agama dicemooh sebagai perzinahan dan kekejian (al-fâhisyah) yang layak dihukum: cambuk, pengasingan, hingga rajam.
Inilah wacana seksualitas dalam Islam yang populer. Jika wacana ini kita sahkan maka percakapan tentang seksualitas yang beraneka-ragam, yang berkaitan dengan orientasi, identitas, pilihan, hak-hak seksual manusia, tidak akan pernah mendapatkan ruang untuk bercakap-cakap.
Namun ketika kita mencoba membaca kembali sumber-sumber dokrin dan sejarah Islam, khususnya pada konteks sosio-histori-seksualitas kelahiran Islam menunjukkan bahwa asumsi “prokreasi” tadi, tidak benar-benar mewakili keseluruhan pandangan dan pengalaman seksualitas Islam. Justeru kecendrungan “rekreasi” jauh lebih kuat dan jamak.
Saya ingin mengutip sebuah buku al-Hayâh al-Jinsiyah ‘Inda al-‘Arab (Kehidupan Seksual Bangsa Arab) karya Shalahuddin al-Mujid, penulis muslim dari Syria. Menurut al-Munjid sejak era sebelum Islam hingga saat ini, bangsa Arab terkenal sangat menyukai dan hobi seks. Libido seksual mereka sangat kuat, dan mereka pun tenggelam dalam kenikmatan seksual ini. Hasrat seksual yang meledak-ledak ini didorong oleh kondisi geografis: padang pasir yang tandus dan panas sehingga tidak ada hiburan dan kenikmatan kecuali yang didapatkan dari seks. Al-Munjid juga menemukan kosa-kata “nikah” dalam arti “hubungan seksual” sebanyak 1.083 kata, banyaknya kosa-kata “nikah” ini menunjukkan signifikansi dan masyhurnya “hubungan seksual” di bangsa Arab.(6)
Pun Al-Quran sendiri sangat terbuka dengan menampilkan ayat-ayat tentang seksualitas dalam konteks “rekreasi”. Pola “rekreasi-seksual” ini sangat maskulin dan patriarkis, sesuai dengan konteks kehidupan saat itu yang didominasi oleh laki-laki. Al-Quran menggunakan terminologi seperti istimtâ’ (memperoleh kenikmatan seksual), syahwah (berahi), rafats (senggama) yang diperoleh laki-laki dari perempuan. Misalnya “karena kamu mendapatkan kenikmatan seksual dari mereka (perempuan), berilah mereka mas kawinnya.”(7)
Seks adalah salah satu materi utama percakapan publik antara Muhammad dan umatnya serta masyarakat Madinah secara umum, karena masyarakat itu menurut al-Munjid tadi “hobi seks”. Tak jarang ayat-ayat al-Quran perlu turun untuk merespon masalah ini. Seks masuk dalam persaingan agama: Islam dan Yahudi. Ketika prilaku seksual muslim dicemooh oleh orang Yahudi maka ayat al-Quran turun untuk membela. Dalam kasus yang berbeda seperti hinaan orang Yahudi terhadap orang muslim yang salatnya masih berkiblat ke Bait Allah di Yerussalem (kiblat salat orang Yahudi), al-Quran memerintahkan mengubah kiblat salat ke Ka’bah di Makkah.(8)
Simaklah asbâb al-nuzûl (sebab-turun) ayat berikut: “Perempuan-perempuanmu adalah ladang bagimu, maka “datangi” ladangmu darimana dan bilamana saja kamu suka.”(9) Jalaluddin al-Suyuthi dalam tafsir al-Durrul Mantsûr fi Tafsîr bil Ma’tsûr mengulas secara panjang lebar riwayat-riwayat yang menceritakan konteks ayat ini. Satu versi dikaitkan dengan kebiasaan laki-laki Makkah yang hobi menyetubuhi pasangannya dengan “gaya-belakang”, setelah hijrah ada seorang laki-laki Makkah menikah dengan perempuan Madinah yang risih dengan gaya senggama itu, dan ia menolak ajakan suaminya.
Kabar ini tersebar seantero penduduk Madinah termasuk komunitas Yahudi—yang mulai tersaingi dengan kehadiran komunitas muslim—mencela kebiasaan ini seperti “kebiasaan binatang”, dan “membuahkan bayi yang bermata juling”. Kabar ini sampai pada Muhammad. Turunlah ayat tadi untuk menghalalkan persetubuhan gaya belakang serta gaya-gaya lainnya yang disebutkan dalam hadis: qaiman (berdiri), qa’idan (duduk), muqbilan (terlentang), mudbiran (telungkup), muththaji’an (berbaring), gaya-ruku’, sujud, bersimpuh (barikatan).
Sedangkan riwayat lain dikaitkan dengan laporan Umar bin Khaththab kepada Muhammad dengan penuh ketakutan karena menyetubuhi istrinya—dengan perumpamaan: “aku telah memutar haluan” (hawwaltu rahlî). Turunlah ayat di atas untuk menghalalkan dan menepis ketakutan Umat. Kalimat Umar tadi “memutar haluan” ada yang memahami soal gaya senggama seperti penjelasan di atas, namun ada juga yang memahami “memutar haluan” berarti memutar haluan penetrasi: dari vagina ke anal.(10)
Ayat yang dihubungkan seks anal (anal sex) memang dilarang keras oleh mayoritas ulama fikih Islam. Namun sebuah riwayat yang dinisbatkan kepada Ja’far Shadiq, guru Abu Hanifah pendiri madzhab fikih Sunni pertama dan imam suci bagi kalangan Syiah, ketika ditanya pendapatnya tentang laki-laki yang menyutubuhi dubur istrinya, Ja’far Shadiq menjawab, “tidak apa-apa, kalau istrinya rela”, ketika responnya disanggah dengan ayat al-Quran “maka setubuhilah mereka dari arah yang diperintahkan Allah” Ja’far Shadiq menjawab “konteks ayat itu untuk memperoleh anak.”(11) Sementara madzhab fiqh yang diriwayatkan memperbolehkan seks anal adalah madzhab Imam Maliki.(12)
Wacana seksualitas zaman Muhammad lebih menguntungkan syahwat laki-laki, terbukti dengan tersebarnya tradisi poligami dan perseliran (al-tasarrî) yang menghalalkan laki-laki memiliki budak perempuan (milkul yamîn).(13) Meskipun seorang laki-laki dianggap tidak mampu berpoligami karena tidak bisa adil namun ia bisa memiliki hamba perempuan untuk menyalurkan libido seksualnya.(14) Selain poligami, ada tradisi nikah kontrak (nikâh mut’ah) yang tujuannya memperoleh kenikmatan seksual belaka. Apabila poligami dibatasi hanya empat orang perempuan, sedangkan dalam nikah kontrak dan perseliran batasan jumlah perempuan itu tidak ada.(15)
Riwayat yang sangat mencengangkan datang dari al-Bukhari yang derajat kesahihan riwayatnya nomer dua setelah al-Quran. Diberitakan Muhammad pernah menggilir istri-istrinya yang berjumlah sebelas orang dalam tempo semalam. Ketika seorang sahabat heran dan bertanya, “bagaimana Nabi mampu melakukan hal itu?” Sahabat lain menjawab, “kekuatan seksual Nabi setara dengan kekuatan seksual tiga puluh laki-laki”. Riwayat lain menyebutkan “empat puluh laki-laki”.(16)
Dalam masa yang tidak kurang lebih 12 tahun di Madinah, Muhammad memiliki sembilan istri dan dua selir.(17) Kehidupan seksual Nabi di Madinah juga tidak dalam konteks ”prokreasi” karena istri-istri Nabi tidak melahirkan seorang anak, kecuali dari seorang selir bernama Maria dari Koptik-Mesir yang memberinya seorang anak laki-laki yang meninggal di usia balita.
Selain potret seksualitas Islam zaman klasik yang sangat bias pada laki-laki, Khalil Abdul Karim, seorang penulis Mesir berusaha menggali seksualitas Islam yang menampilkan perempuan juga memiliki kebebasan dan hak menikmati seks. Khalil menulis kembali sejarah seksualitas Islam yang fokusnya pada kehidupan seksual di kota Yatsrib (Madinah) zaman Muhammad dalam buku Mujtama’ Yatsrib: al-Alâqah Bayna al-Rajul wal Mar’ah (Masyarakat Yatsrib: Relasi Antara Laki-laki dan Perempuan). Buku ini memuat cuplikan-cuplikan riwayat dari kitab-kitab sejarah klasik. Pun Khalil menemukan seks diperbincangkan secara terbuka dan tanpa ada kesan tabu.
Hasrat seksual tidak hanya milik laki-laki saja, para perempuan memiliki kebebasan untuk menentukan pasangannya. Seorang istri yang tidak memperoleh kepuasan seksual bisa menggugat cerai suaminya. Dikisahkan seorang perempuan bernama Tamimah bin Wahab bekas istri Rifa’ah yang menikah lagi dengan Abdullah bin Zubayr, seorang sahabat senior Nabi yang sangat terkenal. Habibah ingin kembali pada suami lamanya karena “milik” Abdullah bin Zubayr seperti bulu (lemas seperti bulu) seraya ia mengambil sehelai bulu dari kantong pakaiannya. Muhammad tersenyum menghadapi laporan Habibah. Seorang perempuan lain bernama Habibah bin Sahl yang cantik-jelita namun dinikahkan dengan Qays bin Tsabit yang pendek dan buruk sehingga Habibah tidak memiliki ketertarikan seksual pada Qays. Habibah pun melapor ke Muhammad untuk minta khulu’ (gugat-cerai). Peristiwa ini tercatat sebagai kasus pertama gugat-cerai dalam Islam.(18)
Kenikmatan seksual tak hanya dipuja di alam manusia saja, fantasi seksual surgawi di alam akhirat nanti banyak menggunakan amsal-amsal yang sangat sensual. Orang mukmin yang masuk surga akan ditemani bidadari yang: “bermata jeli” (hûrun ‘ayn)(19) “gadis-gadis remaja dengan buah dada yang mekar” (kawâ’iba atrâba)(20) dan dikeliling “perjaka belia yang tak pernah jadi tua” (wildân mukhalladûn)(21). Kalimat “perjaka belia” inilah membuka perdebatan adakah “homoseksualitas” dalam surga nanti?
Tak harus menunggu ke surga untuk membuktikan adanya fantasi seksual pada perjaka-perjaka muda ini (al-shibyân, al-gulâm, al-fatâ), karena tradisi ini telah dikenal dalam masyarakat Arab-Islam yang dibedakan dari konsep “homoseksual”, karena tradisi ini memiliki istilah tersendiri pederasty (penggemblakan).(22) Khaled El-Rouayheb dalam buku Before Homosexuality in The Arab-Islamic World 1500-1800 mengulas secara gamblang praktik ini yang masih tersebar di bangsa Islam-Arab di abad ke-1500 sampai abad ke-18. Praktik ini populer karena relasi yang sangat intim antara guru dan murid dalam pendidikan, termuat dalam sajak-sajak sufi dan sastrawan. Namun bagi Khaled, penggemblakan ini bukan homoseksual , karena baginya “homoseksual” belum eksis hingga di kurun-kurun yang ia amati.(23)
Dalil-dalil Homofobia dalam Teks Islam
Kebencian pada homoseksual (homofobia) dalam masyarakat Islam didasarkan pada dua hal: kisah Luth dalam al-Quran dan hadis-hadis yang dinisbatkan kepada Nabi Muhammad.
Kisah Luth disebut berulang-ulang dalam beberapa surat al-Quran: Hud, al-A’raf, al-Hujarat, al-Hijr, al-Naml, al-Syu’ara, dan al-Ankabut. Melalui kisah ini disimpulkan dua hal, pertama praktik hubungan seksual kaum Luth yang dicela melalui kutipan kata-kata Luth pada kaumnya: “Kamu datangi laki-laki penuh syahwat, bukannya perempuan”(24) dan “...dari semua manusia di dunia ini, mengapa kamu datangi yang laki-laki.”(25)
Kedua, akibat praktik seksual mereka, maka turunnya azab, “Kami hujani mereka dengan hujan (batu)” (al-Araf: 84), “Kami jungkir-balikkan (kota itu) dan Kami turunkan di atasnya hujan batu (Hud: 82). Kesimpulannya: azab yang mengerikan diturunkan akibat praktik seksual kaum Luth.
Di sinilah kita perlu pertanyakan kembali kesimpulan tadi: benarkah azab hanya berkaitan dengan masalah moral dan praktik seksual saja? Dan benarkah kisah itu benar-benar terjadi sebagai fakta sejarah? Pertanyaan ini juga berhubungan dengan kisah-kisah sebelum Luth sendiri: kaum Nuh, Hud, dan Shaleh yang mendahului cerita kaum Luth. Akhir ceritanya juga sama: mereka dihancurkan dengan azab yang sebabnya—menurut asumsi awam: kekafiran.
Saya ingin mengulas kisah-kisah tersebut tidak dari sudut fikih, yang menggunakan petikan kisah sebagai justifikasi hukum, namun saya akan mengulasnya dari sudut studi sastra. Bagi saya, ayat kisah tidak bisa dimasukkan ke dalam konteks ayat hukum. Cara membaca ayat kisah tidak sama dengan cara membaca ayat-ayat hukum: larangan meminum khamar, larangan membunuh, mencuri, perintah salat, zakat, dan lain-lainnya.
Saya mengikuti perspektif yang digunakan oleh Muhammad Ahmad Khalafullah yang menulis al-Fann al-Qashashî fil Qur’ân al-Karîm (Seni Kisah dalam al-Quran). Bagi Khalafullah, dengan banyak mengutip pendapat Syekh Muhammad Abduh (tokoh reformis muslim abad ke-20), kisah-kisah dalam al-Quran bukan “fakta sejarah”. Kisah dalam al-Quran menggunakan narasi sastra yang tidak memperdulikan waktu dan tempat kejadian, nama-nama tokoh, yang menjadi anasir-anasir penting dalam narasi sejarah.
Kisah Luth memiliki dua versi yang dari alur ceritanya bertolak-belakang. Dalam versi surat Hud (ayat 77-83), malaikat yang datang kepada Luth mengaku sebagai utusan Allah setelah kehadiran kaum Luth yang ingin menggangu tamu Luth. Pengakuan yang terlambat ini membuat Luth ketakutan sehingga ia perlu menawarkan putri-putrinya agar kaumnya tidak menyakiti tamunya. Sedangkan kisah Luth versi al-Hijr (ayat 61-75) pengakuan malaikat sebagai utusan Allah kepada Luth dan nasehat mereka kepada Luth terjadi sebelum kaum Luth datang kepadanya dan berdialog dengannya.
Pun cerita azab yang dahsyat itu tidak bisa dipahami secara harfiah, namun secara “majazi” (metaforis). Muhammad ‘Abduh adalah seorang penafsir yang rasional terhadap kisah dan mukjizat yang sering dipahami di luar rasio manusia. Contohnya laporan al-Quran tentang bantuan ribuan malaikat kepada tentara Islam pada Perang Badar sehingga bisa memenangkan peperangan.(26)
Laporan al-Quran itu tidak berdasarkan fakta lapangan, karena kehadiran ribuan malaikat itu tidak terbukti secara nyata. Abduh mengutip pendapat Abu Bakar al-Asham yang menolak bahwa ribuan malaikat ikut membantu tentara Islam dalam pertempuran itu, karena satu malaikat saja bisa menghancurkan banyak musuh. Dan kalau benar orang Islam menang di Perang Badar karena bantuan malaikat, mengapa mereka bisa kalah di Perang Uhud sesudahnya, mengapa Muhammad tidak meminta bantuan malaikat agar terhindar dari kekalahan? (27) Kalau saja al-Quran berani “mengarang” laporannya tentang peristiwa yang disaksikan sendiri oleh Muhammad dan pengikutnya, bagaimana dengan kisah-kisah yang tidak pernah disaksikan oleh Muhammad?
Kisah-kisah di atas tidak merujuk pada peristiwa yang nyata, kisah al-Quran adalah perumpamaan (al-matsal) yang kejadian sebenarnya tengah dialami Muhammad yang menerima siksaan, dan pelakuan kasar dari lawan-lawannya. Melalui kisah-kisah tadi, al-Quran ingin memberikan hiburan pada Muhammad dan menguatkan hatinya bahwa nabi-nabi terdahulu menerima cobaan yang tidak kalah beratnya.
Saya juga menolak apabila “azab” dikaitkan dengan persoalan moral dan keyakinan belaka. Saya memahami sebab-sebab datangnya “azab” berasal dari tindakan-tindakan kasar yang dilakukan umat tersebut pada utusan-utusan Allah: memusuhi, mengusir, dan mengobarkan peperangan, dan hal ini pula yang sedang berlangsung dalam kehidupan Muhammad.
Dalam kisah Luth sendiri, ketika Luth menyampaikan dakwah dan ajakan, umatnya malah merespon dengan pengusiran dan ingin mempermalukan Luth. Ini pula respon orang Quraisy yang mengusir Muhammad ketika disampaikan dakwah dan ajakan Islam.(28)
Dalam konteks Muhammad, tidak ada laporan “azab” dari Allah, yang ada hanyalah peperangan (al-qitâl) yang terjadi antara Muhammad dan orang Quraisy Makkah. Bagi saya peperangan itu bukan karena alasan keyakinan yakni “kekafiran”, namun karena mereka telah mengusir dan memerangi Muhammad.
“Azab” yang disebut dalam kisah-kisah itu yang telah menghancurkan umat-umat sebelum Muhammad bagi saya adalah perumpamaan dari kejadian sesungguhnya: perang yang terjadi zaman Muhammad yang akhirnya mampu mengalahkan lawan-lawannya. Dinyatakan pula keterlibatan malaikat dalam Perang Badar, perang pertama kemenangan umat Islam, sebagaimana para malaikat memainkan perannya dalam cerita-cerita “azab” dulu.
Selain kisah Luth yang ada dalam al-Quran, dalil-dalil homofobis juga terdapat dalam hadis-hadis Nabi yang bunyinya sangat sadis. Saya ingin mengutip sebuah buku, Khawathir Muslim fi Mas’alah Jinsiyah karya Muhammad Galal Kisyk, seorang penulis Mesir.(29) Galal Kisyk membandingkan kehidupan seksual tiga agama: Yahudi, Kristen dan Islam. Kesimpulan dia, Islam lebih bersikap terbuka terhadap masalah-masalah seksual. Seksualitas dalam konteks “rekreasi” sangat diapresiasi oleh Islam, misalnya onani, masturbasi, senggama terputus (‘azl) dan seni erotika lainnya. Galal Kisyk juga menyebut “perjaka remaja” (wildân mukhalladûn) sebagai janji surgawi. Ia mengutip beberapa pendapat ahli tafsir klasik. Buku ini pun sempat ditarik dari pasar karena isinya dituding bertentangan dengan hukum Islam.
Dari penelitian Galal Kisyk ditemukan: tidak adanya sanksi fisik (la hadda) terhadap homoseksual, dan ia melaporkan hadis-hadis yang banyak dikutip untuk mengutuk dan menjatuhkan sanksi fisik pada homoseksual termasuk kategori hadis-hadis yang lemah.
Sebuah hadis yang dinisbatkan pada Muhammad, “Perilaku (seksual) yang paling aku khawatirkan yang bisa terjadi pada umatku adalah prilaku umat Luth, dan terlaknat yang melakukannya,” bagi al-Turmudzi, hadis ini “aneh” (gharîb). Demikian hadis yang menjatuhkan hukuman mati bagi homoseksual, “siapa pun di antara kalian yang menjumpai perilaku umat Luth, maka bunuhlah dua pelakunya,” hadis ini ditolak karena ada seorang periwayat bernama Ikrimah. Hadis lain “perempuan lesbian termasuk perzinahan” disebutkan mata-rantai periwayatannya “terlalu kendor” (layyin). Hadis lain, “apabila seorang laki-laki menunggangi laki-laki lain, maka singgasana Tuhan berguncang-guncang,” hadis ini “palsu” (mawdlu’). Dan hadis lain, “orang yang melakukan liwâth (sodomi) kalau mati, maka mayatnya di kubur akan berubah menjadi celeng,” hadis ini “bohong” (munkar).(30)
Galal Kisyk juga menyajikan perdebatan pendapat ulama fikih klasik tentang wacana homoseksual ini. Ia mengutip pendapat mazhab Hanafi yang menolak menyejajarkan homoseksual dengan perzinahan, sehingga bisa dijatuhkan hukuman seperti orang berzina. Bukti yang sangat kuat kata Galal Kisyk, “tidak ada riwayat satu pun yang mengabarkan Muhammad pernah menjatuhkan sanksi fisik pada homoseksual di zamannya.”
Oleh karena itu, sumber-sumber homofobiayang selama ini diklaim berdasarkan teks-teks agama nyata-nyatanya alasan yang sangat lemah. Kelemahan pertama, berdasarkan pada ayat-cerita umat Luth, bukan pada ayat-hukum. Pun konteks keseluruhan kisah umat Luth tidak dibaca secara utuh. “Homofobia” lebih menggunakan “mata-benci” (ayn al-sukhthi) sehingga yang dipelototi hanyalah kutipan “mendatangai laki-laki” dari kisah tersebut. Sementara sebab-sebab lain yang diulang-ulang dalam konteks keseluruhan kisah itu: kaum Luth yang ingin mengusir Luth, menyamun, berbuat keonaran, hendak melakukan kejahatan terhadap tamu dan ingin mempermalukan Luth—hingga Luth terpaksa menawarkan putri-putri-nya—tidak dijadikan dasar sama sekali. Padahal sebab-sebab yang tidak manusiawi inilah yang lebih masuk akal dibandingkan dengan sebab “norma seksual”. Kelemahan kedua homofobia berdasarkan pada teks yang tidak memiliki otoritas untuk dijadikan landasan hukum: hadis-hadis lemah dan palsu.
Lesbian dalam Seksualitas Islam
Lesbian dalam bahasa Arab disebut al-sihâq atau al-sahq (tribadisme) yang berarti: gesekan dan tekanan yang menggambarkan kegiatan seksual lesbian dari perspektif laki-laki (male perspective).(31) Literatur Islam klasik yang berbicara tentang lesbian amat langka, karena sejarah Islam terlalu bias pada kepentingan laki-laki secara umum. Seks dalam Islam sangat maskulin dan patriarkis. Sementara seks untuk rekreasi dalam non-heteroseksual seperti liwâth (sodomi) dan penggemblakan menunjukkan kejantanan laki-laki (al-fuhûlah) semata. Sedangkan lesbian yang merupakan pilihan homoseksual perempuan terkubur dalam doktrin dan sejarah Islam sebagaimana tema-tema lain tentang perempuan.
Secara samar-samar diberitakan bahwa lesbian juga telah terjadi sebelum Islam, sebagaimana liwâth (sodomi) yang hanya tersebar di kalangan elit: kaum aristokrat Quraisy. Diriwayatkan Hindun putri Nu’man bin Mundzir, seorang bangsawan jatuh cinta pada perempuan bernama Zarqa’ al-Yamamah dan mereka terlibat hubungan seksual di istana.
Ada pula yang berusaha menafsirkan ayat al-Quran “dan mereka di antara perempuan-perempuan yang melakukan kekejian (al-fâhisyah)...”(32) Al-fâhisyah dipahami sebagai hubungan seksual antara perempuan (lesbian) untuk menunjukkan bahwa praktik ini terjadi dalam periode Muhammad dan dijatuhkan sanksi. Namun pemahaman ini tidak mendapat kesaksian riwayat-riwayat lainnya. Disebutkan pula hubungan seksual “lesbian” ini terjadi dalam harem (budak dan selir perempuan para raja) kekhalifahan Islam, namun sayangnya hubungan antara “lesbian” dan harem lebih banyak ditonjolkan daripada diteliti secara cermat.(33) Sehingga pandangan ini menimbulkan kesan yang buruk terhadap “lesbian” dalam masyarakat Islam.
Saya sangat beruntung mendapatkan buku Nuzhatul Albâb Ma la Yûjad fil Kitâb karya Syihabuddin Ahmad al-Tifasyi, ulama kelahiran Tunisia 560 H/1184 M. Buku ini terdiri atas 12 bab tentang erotika dan praktik seksual yang tidak mungkin dibahas di buku-buku lain. Buku ini membahas tema-tema: “seks di luar nikah”, prostitusi, liwâth, mengupah perjaka remaja untuk hasrat seksual, gaya senggama, anal sex, lesbian, dan waria.
Buku al-Tifasyi ini sudah pasti ketinggalan jauh dari wacana lesbian zaman sekarang. Namun yang hendak saya tekankan di sini, buku tentang lesbian ini berasal dari abad ke-7 Hijriyah/12 Masehi, ditulis oleh seorang ulama muslim, dan tujuan penulisannya bukan untuk mengecam praktik-praktik seksual itu. Namun untuk mengenalkan praktik seksual yang beranekaragam dan meletakkannya pada konteks seni-erotika yang telah lahir dalam masyarakat Islam.
Al-Tifasyi mengutip beberapa pendapat yang terdengar di zamannya tentang lesbian (al-sihâq). Lesbian adalah fitrah, penyebabnya beragam: rahim yang sungsang atau ukurannya sangat kecil, dan ada pula faktor makanan. Selain sebab “natural” tadi ada sebab lain: kebiasaan sejak kecil, seorang perempuan yang memiliki hubungan intim dengan budak-budak perempuan. Terlepas dari apapun penyebabnya, kata al-Tifasyhi “lesbian merupakan hasrat seksual yang normal” (al-sahq syahwah thabî’iyah).
Al-Tifasyi juga melaporkan kesaksian seseorang, “pasangan lesbian saling mencintai seperti pasangan laki-laki dan perempuan, bahkan lebih. Salah seorang pasangan lesbian akan memberi nafkah pada pasangannya dengan harta-benda yang tumpah-ruah. Aku pernah menyaksikan seorang perempuan lesbian di Maroko yang memiliki harta melimpah dan rumah yang luas. Ia memberi nafkah pada pasangannya, barang-barang yang terbuat dari emas dan perak, ketika hubungan mereka putus karena jenuh akibat cacian-maki penduduk di sana, ia menyerahkan seluruh rumahnya pada pasangannya yang setara dengan 5000 dinar.”
Al-Tifasyi juga berhasil melakukan identifikasi masing-masing pasangan lesbian itu, yang dalam istilah “butch” dan “femme” .(34) “Butch”—dalam istilah al-Tifasyi: "al-‘âsyiqah" postur tubuhnya kurus dan rata, sedangkan yang “femme”—dalam istilah dia: "al-ma’syûqah" postur tubuhnya montok. Dalam kegiatan seksual, yang kurus posisinya di bawah, sementara yang montok berada di atas agar tekanan dan gesekan menjadi kuat.
Dalam karyanya tersebut, Al-Tifasyi juga menggambarkan bagaimana pasangan lesbian melakukan hubungan seksual, “salah seorang menindih pungguh pasangannya dengan merentangkan paha dan betisnya, sedangkan satu kakinya dilipat, salah satunya menjepit paha pasangannya dan keduanya saling menempelkan dan menggesek-gesekkan bibir vagina dan klitorisnya, atau bibir vagina dan klitorisnya dengan paha. Gesekan dilakukan terus-menerus, ditekan-tekan, turun-naik, dan untuk melumaskan gesekan dan gerakan mereka menggunakan minyak yang beraroma harum.”
Setelan menjelaskan lesbian dan bagaimana mereka melakukan hubungan seksual, al-Tifasyi mengakhiri pembahasannya dengan dua bab yang masing-masing memuat opini yang berimbang: baik yang memuja atau yang mencela lesbian.(35)
Nasib homoseksual di negeri Arab-Islam saat ini sangat buruk. Jangankan mendapat pengakuan hak-hak sosial, justru yang ada stigma sangat kuat yang bersumber dari masyarakat dan agama, serta hukuman dari negara. Di beberapa negara yang mengambil syariat Islam sebagai sumber hukum, homoseksual di masukkan dalam kategori al-fâhisyah (“perbuatan keji” termasuk perzinahan dan homoseksual) yang bisa dihukum berat.
Namun percakapan tentang homoseksual dalam masyarakat tidak bisa dibungkam, apalagi dengan adanya fasilitas internet. Kalangan homoseksual Arab mulai membuka diri dan proaktif dengan menjelaskan pilihan seksual mereka pada masyarakat melalui situs dan blog di internet, seperti yang dilakukan oleh seorang lesbian dari Mesir yang membuat blog: Yawmiyat Imra’ah Mitsliyah (Catatan Harian Seorang Lesbian) yang mengungkapkan suara-suara hatinya: harapan, kegelisahan dan ketakutan sebagai lesbian.(36) Demikian juga organisasi homoseksual Arab yang menamakan situsnya qawsu-quzah (pelangi) memberikan penjelasan dan aktivitas yang dilakukan oleh kalangan homoseksual Arab.(37)
Tahun 2007 lalu, di Saudi Arabia sempat geger dengan terbitnya sebuah novel al-Wâd wal ‘Amm karya jurnalis Saudi Mufid al-Nuwayfir yang mengisahkan kehidupan homoseksual di kampung-kampung dan cafe-cafe Saudi khususnya di kota Jeddah. Desember 2007 di Mesir telah beredar film Agamista yang dituding pro-homoseksual karena menampilkan ciuman hangat antara dua pemeran laki-lakinya.
Penutup
Melalui pemaparan di atas, saya menemukan bahwa seksulitas bukan tema yang tabu diperbincangkan dalam Islam. Ia menjadi tema percakapan yang terbuka sejak zaman Muhammad yang tidak terlalu peduli pada orietansi dan praktik seksualnya. Saya menemukan pula “seks sebagai rekreasi” lebih jamak ditemukan, dan “rekreasi seksual” ini hanya berpihak pada kaum laki-laki. Sedangkan masalah “heteroseksual” dan “homoseksual” dalam Islam saya condong pada pendapat Stephen O. Murray bahwa soal seksualitas Islam tidak terletak pada perbedaan antara “homoseksual” dan “heteroseksual” namun antara kenikmatan seksual seseorang dan bagaimana ia mendapatkannya.(38)
Di sini kita perlu berhati-hati untuk memperbincangkan antara homoseksual saat ini dengan “homoseksual” yang terjadi pada sejarah Islam. Saya mengamati ada pola hubungan seksual yang tidak setara, ada satu pihak yang lebih dominan, yang bisa terjadi pada pasangan “homoseksual” atau “heteroseksual”. Dalam heteroseksual klasik: praktik perseliran, nikah mut’ah, poligami menunjukkan laki-laki lebih dominan, sedangkan dalam “homoseksual” klasik: penggemblakan menunjukkan laki-laki yang senior lebih dominan daripada pasangannya laki-laki belia. Namun dalam relasi seksual “lesbian” masa lalu, kesenjangan antar-pasangan tidak saya dapatkan. Pola seksual “lesbian” ini sering dicitrakan negatif bukan karena pola seksualitasnya namun lebih dihubungkan dengan status sosial perempuan masa itu khususnya pola seksual yang terjadi di kalangan harem.
Relasi dan praktik seksualitas masa lalu berbeda dari konsep seksualitas yang berkembang saat ini, seksualitas yang tidak hanya sekadar orientasi birahi semata, namun lebih pada pilihan seksual seseorang untuk menentukan pasangannya yang berpijak pada prinsip-prinsip kesetaraan, keadilan, kebebasan dan cinta kasih. Seksualitas manusia seutuhnya.
Bandung-Jakarta, Maret 2008
Catataan akhir:
1. Khaled Abou El Fadl, Speaking in God’s Name, Islamic Law, Authority, and Women, (Oxford: Oneworld Publication, 2003), edisi bahasa Indonesia, Atas Nama Tuhan, (Jakarta: Serambi, 2004) saya telah mengkaji pemikiran Khaled Abou El Fadl ini melalui sebuah tulisan, “Membongkar Otoritarianisme Hukum Islam” tersedia di web: www.guntur.name
2. Nashr Hâmid Abu-Zayd, Mafhûm Al-Nash: Dirâsaf Fî ‘Ulum Al-Qur’ân, (Beirut: al-Markaz al-Tsaqâfî al-‘Arabî, cet. 4, th. 1998), hal. 24, bagi saya pewahyuan al-Quran baik proses dan sumber kreatifnya sangat kolektif, hal ini juga ditegaskan sendiri oleh al-Quran ketika berbicara tentang proses itu menggunakan kata “nahnu” (kami), “Kami telah menurunkan... Kami telah mewahyukan al-Quran...” Pewahyuan yang proses dan sumbernya plural ini—melalui kajian sejarah—amat melibatkan konteks masyarakat manakala al-Quran diturunkan. Konteks inilah yang sebenarnya “menulis” al-Quran. Lihat di tulisan saya: “Al-Quran Antara Iman dan Sejarah,” tersedia di web: www.guntur.name
3. Diskusi seksualitas antara fungsi ““prokreasi” dan “rekreasi” menjadi tema yang menarik dalam perdebatan seksualitas secara umum. Lihat juga M. Foucault, History of Sexuality Vol.1, an Introduction, 1978
4. Agama disebut “tali Allah” di QS Ali Imran ayat 103.
5. Turki Ali al-Rabi’u, al-‘Unf, al-Muqaddas wal Jins fi Mitsulujiya al-Islamiyah, (Beirut: al-Markaz al-Tsaqafi al-Arabi, cet II, 1995), hal. 112
6. Shalahuddin al-Mujid, al-Hayâh al-Jinsiyah Inda al-‘Arab, (Beirut: Darul Kitab al-Jadid, 1975), h. 16
7. QS al-Nisa’: 24
8. QS al-Baqarah: 144
9. QS al-Baqarah 223
10. Al-Suyuthi, al-Durrul Mantsur fi Tafsir bil Ma’tsur, (Cairo: Markaz Hajar, 2003, vol. II), h. 589-611
11. Turki Ali al-Rabi’u, op.cit, h. 118-119
12. Syihabuddin Ahmad al-Tifasyi, Nuzhatul Albâb Ma la Yûjad fil Kitâb, (London: Riad el-Rayyes Books, 1992), hal. 223 dalam bab ke-10, Fi Ityânil Inâts Kama fidz Dzukûr (“Mendatangi” Perempuan Seperti Laki-laki: sodomi istri)
13. Abd Salam al-Tirmanini, al-Zawâj ‘inda-l Arab: fil Jahiliyah wal Islam, (Kuwait: Alam al-Ma’rifah, 1984), hal. 213
14. QS al-Nisa’: 3
15. Shahla Haeri, al-Mut’ah: al-Zawâj al-Mu’aqqat ‘Ind Syî’ah (terj. Law of Desire), (Beirut: Syirkah al-Mathbu’ah, 1996) buku ini berasal dari disertasi penulisnya yang melakukan penelitian “nikah mut’ah” di Iran dengan membandingkan dua periode: sebelum dan sesudah Revolusi Islam Iran (1978-1982)
16. Hadis nomer 267, Sahîh al-Bukhâri bi Syarhi al-Karamâni, (Beirut: Darul Ihya’ al-Turats al-Arabi, 1981, Vol 3), hal. 129-130
17. Bassam Muhammad Hamami, Nisâ’ Hawla al-Rasûl, (Damaskus: Dar Daniyah, 1993)
18. Khalil Abdul Karim, Mujtama’ Yatsrib, (Cairo: Sina’ li Nasyr, 1997), hal. 38-40
19. QS al-Waqiah: 22, al-Dukhan: 54
20. QS al-Naba’: 33
21. QS al-Waqi’ah: 17
22. Bandingkan dengan fenomena warok-gemblak di Jawa Timur, yang juga diakui bukan homoseksual, Dede Oetomo, Homoseksulitas di Indonesia, (Prisma 7:84-96, 1991)
23. Khaled El-Rouayheb, Before Homosexuality in The Arab-Islamic World 1500-1800, (London: The University of Chicago, 2005), bandingkan juga dengan Stephen O. Murayy, Islamic Homosexualities: Culture, History, and Literature, (New York: New York University Press, 1997), hal 41, bagi Murray “homoseksualitas” termasuk stratifikasi umur, gender, dan prinsip kesetaraan antara pasangan homoseksual yang menjadi etika. Sedangkan prinsip-prinsip ini tidak ada pada pasangan pederasty, yang tua akan mendominasi yang muda, dan dipakai juga istilah al-fâil (subjek) dan al-maf’ûl (objek)—relasi seksual yang sangat patriarkis.
24. QS al-A’raf: 81 dan al-Naml: 55
25. QS al-Syu’ara’: 165
26. QS Ali Imran: 124-125 jumlah bantuan antara 3,000-5,000 malaikat
27. Muhammad Ahmad Khalafullah, al-Fann al-Qashashî fil Qurân, (Cairo: Sina’ lin Nasyr, 1999), hal. 67
28. QS al-A’raf ayat 82 disebutkan “tiada lain jawaban kaumnya, mereka berkata, “usirlah mereka (keluarga Luth) dari kota mu” dan di surat al-Ankabut ayat 29 disebutkan tiga sebab: “sesungguhnya kamu mendatangi laki-laki, menyamun di jalan raya, dan melakukan keonaran di tempat-tempat umummu?” dan bandingkan dengan sebab perang (qital) di zaman Muhammad, surat al-Hajj ayat 39, telah diizinkan (berperang) bagi orang-orang yang diperangi, surat al-Baqarah ayat 190, dan perangilah orang-orang yang memerangimu. Tentang perdebatan motif-motif peperangan yang terjadi zaman Muhammad yang lebih lengkap silakan rujuk buku saya, Dari Jihad Menuju Ijtihad, (Jakarta: LSIP, 2004)
29. Buku ini kontroversial di Mesir, pernah dibredel atas dasar keputusan Majma’ Buhuts al-Islamiyah (Lembaga Penelitian Islam) al-Azhar, namun akhirnya keputusan pembredelan itu dibatalkan Pengadilan Mesir. Letak kontroversi buku ini karena dipandang terlalu terbuka memperbincangkan seksualitas Islam untuk tujuan kenikmatan.
30. Muhammad Galal Kisyk, Khawâthir Muslim fi Mas’alah Jinsiyah, (Cairo: Maktabah al-Turats al-Islami, 1995), hal. 195-196
31. Everet K. Rowson 1991: 63 dalam Stephen O. Murray, op.cit. hal. 97
32 QS al-Nisa’: 15
33. Stephen O. Murray, op.cit. hal. 97
34. Istilah “butch” merujuk pada peran gender yang mengadopsi maskulinitas laki-laki dan “femme” merujuk pada peran gender yang mengadopsi feminitas betina. Di Indonesia dikenal dengan istilah “Sentul” (Butch) dan “Kantil”. Lihat juga: BJD. Gayatri, Sentul-Kantil, Not Just Antoher Term, (Makalah Tidak Diterbitkan, 1994).
35. Syihabuddin Ahmad al-Tifasyi, Nuzhatul Albâb Ma la Yûjad fil Kitâb, (London: Riad el-Rayyes Books, 1992), hal. 235-247
36. http://emraamethlya.blogspot.com/
37. http://www.alqaws.org
38. Stephen O. Murray, op.cit. hal. 41
Tulisan ini telah dimuat di Jurnal Perempuan edisi 58, Maret 2008, tentang "Seksualitas Lesbian"--tulisan ini tidak untuk disebarluaskan, dan saya muat di sini untuk memperingati Hari Internasional Melawan Homofobia/IDAHO (International Day Against Homophobia) setiap tanggal 17 Mei
Read more...