Malam Itu….

>> Sabtu, 25 Juli 2009

Kalau harus menceritakan pengalaman yang pernah aku alami bukan hal yang mudah bagi diriku. Membutuhkan energi dan kembali lagi mengingatkan kejadian biadab itu. Tapi aku harus lakukan itu, terus teriak Toyo !! agar semua orang tahu bahwa penyiksaan adalah sebuah pelanggaran terhadap nilai-nilai asasi manusia. Semangat itulah yang membawaku bersama teman-teman sekarang. Untuk berbagi.

Aku melihat detik-detik bergantinya waktu. Malam yang penuh kenangan pahit sekaligus penuh arti dalam sejarah hidupku. Ada yang baik tapi juga ada yang buruk. Ini menjadi semangat baru dalam perjalananku.

Jarum jam terus berputar di dinding kamarku. Dan mataku terus mengamatinya. Sengaja aku menunggu detik - detik pergantian waktu. Hari ini tanggal 21 Januari 2009. Waktupun tepat menunjukkan pukul 00.00 Wib. Ingatan ku melayang kembali dua tahun yan lalu. Januari 2007.
Malam ini sudah menjadi ritual bagi diriku untuk tidak melupakan kejadian pada tanggal 21-22 Januari 2007 di Banda Aceh. Jika orang merayakan hari ulang tahun, maka aku mengingat hari dimana seksualitasku telah dihancurkan atas nama”moral dan kehormatan”. Ritual yang selalu aku ingat dan ingat terus.

Aku tidak tahu alasan mengapa melakukan ritual ini. Keinginan untuk terus mengingatnya dan tidak akan melupakannya kejadian itu. Ini akan menjadi sejarah dalam perjalanan hidupku. Bukan untuk dendam, tapi dapat “membakar” semangat hidup untuk terus mencari keadilan. Apakah ini bentuk kemarahanku atau justru ini bagian dari titik balik perjuangan hidupku? Aku sendiri sulit untuk menjawabnya. Aku sudah catat dalam buku harianku sebelum malam ini datang. Setiap pergantian tanggal 21 ke 22 Januari akan selalu aku beri tulisan. Ingat Malam Itu Toyo !!

Malam ini adalah hari dimana aku disiksa oleh masyarakat dan polisi Banda Raya Propinsi Banda Aceh. Kamarku diintai oleh seseorang karena aku bercumbu dan memadu kasih dengan orang yang aku cintai. Masyarakat mendobrak pintu kamarku, merusak barang-barangku, memukuliku dan pasanganku. Kami dipaksa turun dari lantai 2 ke lantai dasar. Sambil terus dipukul dan dihujatin sebagai manusia yang tidak bermoral. Melakukan hubungan sesama jenis. Dua manusia berjenis kelamin laki-laki yang menjalin kasih oleh sebab itu kami layak dihina, dihujat dan dihakimi oleh masyarakat di Serambi Mekkah itu.

Kemudian pilihan seksualitasku itu dilaporkan kekantor Polisi Polsek Banda Raya oleh masyarakat. Sengaja masyarakat tidak melaporkan kepada polisi syariah, karena kuatir tercemar dan malu oleh pihak lain atas tindakanku sebagai seorang homoseksual. Malu dan berusaha mengingkari bahwa di Aceh ada laki-laki homoseksual. Minimal itu yang diucapkan mereka kepadaku.

Polisi yang selama ini ‘menjual’ slogan sebagai aparat pelindung dan pengayom masyarakat ternyata hanya omong kosong belaka. Aku tadinya berpikir akan mendapatkan perlindungan dari pihak kepolisian atas hinaan, hujatan dan pukulan dari masyarakat. Tapi apa yang terjadi. Aku dibawah kekantor Polsek Banda Raya sekitar pukul 23.30. Sesampainya dikantor polisi, aku diminta untuk membuka semua bajuku. Iya, aku dan pasanganku diminta telanjang bulat. Yang disaksikan oleh sekitar 7 orang polisi.

Selain itu aku dan pasanganku dipukul terus menerus secara bergantian oleh anggota polisi. Yang menyakitkan sekali aku dipaksa onani dan dipaksa melakukan oral sex didepan para polisi-polisi yang biadab itu. Aku melakukan penolakan dan protes atas tindakan mereka, tapi itu sia-sia belaka. Malah semakin membabi buta pemukulan ditujukan kepadaku. Hujatan dan pemukulan semakin terus diberikan kepadaku sebagai orang yang katanya layak mendapatkan itu semua. Aku berpikir begitu nistakah menjadi seorang gay ??

Tidak puas atas tindakan itu semua, aku juga dipaksa beronani dengan pasanganku. Senjata laras panjangpun dihunuskan tepat dilubang anusku. Perbuatan biadab itu belum juga puas dilakukan, kemudian dalam keadaan yang sangat dingin (tanpa baju), aku disemprot dengan air dihalaman polsek pada malam hari. Kemudian tiba-tiba kepalaku dikencingi oleh pasanganku atas perintah polisi. Aku marah sekali. Pada saat itu aku merasa hancur semua kehormatanku sebagai seorang manusia. Aku diperlakukan seperti binatang yang sedang diburu oleh mangsanya. Habis semua harga diriku, hidupku dan kehormatan yang aku miliki selama ini. Ironisnya anggota polisi yang melakukannya tertawa sambil menyaksikan tindakan biadab tersebut. Aku berpikir, sebegitu hina dan kotorkah cinta sejenis yang aku jalani sehingga aku harus menebus semuanya dengan perlakuan ini ??

Upaya Mendapatkan Keadilan

Setelah saya keluar dari tahanan pada tanggal 22 Januari 2009, atas bantuan teman-teman LSM di Banda Aceh dan Jakarta. Dalam hal ini mungkin aku lebih beruntung karena punya banyak teman di LSM. Sehingga aku keluar tanpa harus membayar uang jaminan yang besar. Walau aku juga diminta uang dari dompetku sebesar Rp 150.000,-, yang katanya sebagai bentuk rasa terima kasihku kepada pihak polisi. Karena aku percaya bahwa ada banyak orang yang bungkam menjadi korban penyiksaan polisi. Apalagi korban biasanya orang-orang dipinggirkan secara social, seperti kelompok homoseksual, pecandu, pekerja sex atau kelompok marginal lainnya.

Setelah keluar dari tahanan dengan bantuan teman – teman LSM saya melapor ke kepolisian di Jakarta, tapi kemudian saya harus melapor lagi tempat kejadian (baca : Nanggroe Aceh Darussalam) pada bulan Maret 2007. Karena ada aturan internal kepolisian, bagi pelaku yang pangkat/jabatannya masih rendah maka korban harus melaporkan ditempat kejadian.

Aku kemudian pergi ke Banda Aceh dari Jakarta dengan biaya bantuan teman-teman LSM. Pada saat melapor ke Polda NAD saya didampingi oleh pengacara LBH Banda Aceh dan YLBHI Jakarta. Termasuk LSM lain juga terlibat seperti KontraS, Kapal Perempuan, Arus Pelangi dsb. Proses penyidikannya lancar karena ada pendampingan dari LSM lokal maupun International. Selain juga kasus ini banyak mendapatkan tekanan dari pihak luar (LSM nasional dan international). Aku melaporkan kasus penyiksaan dan pelecehan seksual yang aku alami, tidak bersama dengan pasanganku. Karena sejak keluar dari tahanan aku sudah kehilangan kontak dengan dia (pasanganku). Dari informasinya bahwa pasanganku sangat takut sekali atas kejadian itu.

Disini lah mulai sulitnya mengungkapkan pelaku untuk diadili. Aku melapor bulan Maret 2009, baru diadili para pelakunya bulan 8 Oktober 2008. Alasannya sangat ‘ klise ‘ tidak cukup bukti bahwa pelaku melakukan tindak penyiksaan terhadap diriku. Hanya karena pasanganku sulit ditemukan dan tidak bersedia menjadi saksi. Akhirnya karena banyaknya tekanan dari organisasi nasional maupun international hasil persidangan tindakan penyiksaan terhadapku putusannya hanya Tindak Pidana Ringan (Tipiring). Yang dijatuhkan kepada 4 orang anggota polisi. Para pelaku tidak dihukum dalam tahanan dan hanya mengganti biaya Rp 1.000. Proses persidangannya kasus penyiksaan dilakukan dengan hakim tunggal (Sugeng Budianto, SH). Penyidik sekaligus menjadi jaksa penuntut berasal dari pihak kepolisian (Sujono, S.sos). Sebuah tindakan penyiksaan yang dilakukan oleh 7 orang anggota polisi dengan proses persidangan singkat (baca 1 kali persidangan saja).

Belum lagi sikap hakim sama sekali tidak mencerminkan rasa keadilan bagi korban dan professionalismenya. Misalnya pada proses pengadilan justru aku yang sebagai saksi/korban malah oleh hakim diperlakukan sangat tidak adil. Hakim malah menasehati diriku karena memilih sebagai gay. Hakim sudah seperti layaknya ulama yang bicara soal otoritas halal-haram. Sejak kapan seorang hakim di Indonesia masuk ke ranah surga – neraka?

Misalnya hakim menjelaskan kepadaku bahwa apa yang aku lakukan merupakan perbuatan dosa besar. Jadi Hakim malah masuk kepersoalan pribadi saya sebagai seorang gay. Bukan pada persoalan yang sedang diperkarakan (baca penyiksaan dan pelecehan seksual). Misalnya hakim memintaku untuk bertobat dan mendekati diri dengan Allah SWT (sebagai seorang muslim). Saat itu aku seperti sedang berhadapan dengan ulama penjaga moral umat. Ucapan hakim seperti membenarkan perlakuan penyiksaan tersebut. Hakim mengatakan bahwa kalau tidak dilakukan pencegahan ( baca penyiksaan dan pelecehan seksual tersebut) maka akan terjadi lagi Tsunami dibumi Serambi Mekkah. Homoseksual menyebabkan Tsunami??

Sejak putusan itu aku terus melakukan advokasi dan kampanye dengan bantuan teman-teman LSM. Mulai lapor ke Amnesty International, Komisi Yudiasial, Komnas HAM, Kapolri sampai ke PBB. Semuanya dukungan materi dan non materi berasal dari teman-teman LSM. Pemerintah sama sekali tidak pernah memberikan perlindungan bagi diriku sebagai seorang korban penyiksaan.

Semangat untuk melakukan itu semua sudah tidak lagi berpikir untuk kepentingan diriku saja. Tapi aku berpikir dapat memberikan dampak bagi kelompok homoseksual dan penegakan HAM secara umum. Bahwa penyiksaan atas dasar apapun tidak boleh dilakukan oleh siapapun. Aku tahu bahwa sangat kecil sekali tindakanku ini berdampak untuk kemajuan HAM di Indonesia. Tapi minimal aku sedikit membangun sejarah baru bagi keadilan korban. Minimal aku berani sebagai seorang gay bersuara atas nama korban untuk merebut keadilan itu. Alasan itu yang membuat aku tetap semangat sampai detik ini.

Gay Pilihan Politisku.
Sejak kejadian itu aku memutuskan untuk berjuang bersama teman – teman gay di Indonesia, kemudian aku membuat organisasi gay (baca LSM ourvoice) dan aktif di beberapa forum gay. Gay sebagai orientasi seksual sekarang sudah menjadi pilihan politisku. Bahwa tidak boleh satu orangpun termasuk negara dapat mengintervensi hak seksualitas personal. Dengan siapa aku bersetubuh dan menjalin kasih, itu sepenuhnya hak dasar hidupku. Karena sudah jelas diatur dalam UUD 45. Soal urusan surga-neraka, biarkan masing-masing orang bertanggungjawab dengan dirinya sendiri dan Tuhannya. Aku sebagai warga negara punya hak yang sama dengan orang lain, yaitu hak untuk tidak diskriminasikan apalagi mendapatkan penyiksaan. Hanya karena aku memilih sebagai seorang gay.

Kisah hidupku sudah aku tuliskan dalam buku yang berjudul; Biarkan Aku Memilih, pengakuan seorang gay yang coming Out. Penulis Hartoyo dan Titiana Adinda, yang diterbitkan oleh Elexmedia. Dan sudah ada ditoko-toko buku di Indonesia. Selain itu bagi teman-teman yang ingin tahu informasi soal isu-isu homoseksual dan HAM dapat membuka blog OurVoice dengan alamat : www. gerakan-gay.blogspot.com atau www.ourvoice.or.id

Aku percaya bahwa manusia dilahirkan untuk berbuat baik kepada siapapun tanpa terkecuali. Dan aku sedang belajar untuk dapat memberikan yang terbaik bagi orang lain. Mudah-mudahan kita adalah orang-orang yang terpilih yang selalu dapat memberikan nilai-nilai kasih dan keadilan bagi sesama. Karena aku percaya semakin banyak orang memperjuangkan keadilan maka akan semakin baik penegakan HAM di Indonesia. Termasuk bagi kelompok homoseksual. Itu harapanku.

Salam


Toyo
Mampang, 22 Juli 09


Read more...

Trans-Seksual Hamil? Kok Bisa!

>> Senin, 13 Juli 2009

Madrid, Seorang trans-seksual (ganti kelamin) dari Spanyol Ruben Noe Coronado yang berusia 25 tahun sedang hamil dan diduga bakal memiliki anak kembar. Ruben terlahir sebagai perempuan bernama Estefania namun kemudian memutuskan berganti kelamin.

Saat melakukan operasi ganti kelamin itu, dia tetap mempertahankan organ seks perempuannya. Meski sudah berganti kelamin Coronado mengatakan melakukan treatment untuk memulai siklus menstruasinya kembali.

"Saya hamil 6 setengah minggu," ujar Coronado seperti dikutip dari Health24, Senin (13/7/2009).

Setelah dokter mengatakan bahwa pasangan perempuannya tidak bisa hamil lagi, Coronado memang menghalangi perubahan kelamin seutuhnya untuk bisa hamil dengan melakukan inseminasi buatan.

Inseminasi buatan ini dilakukan di klinik pribadi, dan sebagai tambahan jika semua berjalan dengan baik maka Coronado akan melahirkan pada September 2009 melalui operasi cesar.

Coronado berencana untuk melengkapi prosedur perubahan kelaminnya setelah kelahiran bayi kembar tersebut, tapi saat ini Coronado masih ingin mencoba untuk hamil kembali.

Coronado menjelaskan bahwa ia tetap mempertahankan status perempuannya untuk menjalani pengobatan kesuburan. Namun setelah prosesnya selesai Coronado berniat untuk seutuhnya mengubah jenis kelamin menjadi laki-laki sesuai dengan undang-undang yang baru disahkan.

Hukum di Spanyol memungkinkan seseorang untuk menjalani pengobatan hormonal atau endokrinal untuk mengubah status sosial tanpa melakukan operasi atau perubahan jenis kelamin.

http://health.detik.com/read/2009/07/13/182138/1164295/763/trans-seksual-hamil-kok-bisa

Read more...

Cinta Dan Sayang

>> Minggu, 12 Juli 2009



Waktu sudah menunjukkan pukul 01.00 wib. Aku belum juga bisa memejamkan mata. Pikiranku masih kalut dan sedih. Bahkan terlalu cengeng diriku sampai aku harus menangis. Tindakan yang ditakuti oleh laki-laki umumnya. Tapi malam ini aku melakukannya.

Meneteskan air mata!!

Baru saja aku beranikan diri mengirimkan pesan singkat (SMS) kepada pacar cowokku. Yang baru aku kenal satu bulan lalu. Memang hubungan yang masing terlalu muda. Walau sangat singkat, aku dapat merasakan dekap dan sentuhan kulitnya. Sampai saat ini masih aku rasakan kekuatannya. Begitu juga lumatan bibirnya,bulu-bulu halus yang tumbuh indah pada tangan-tanganya. Ketika jari-jarinya meremas jari-jariku. Adegan yang sangat indah yang selalu aku lakukan ketika kami bercumbu diatas ranjang. Semua itu membuat aku ingin selalu dekat dan sulit untuk melupakannya. Tapi karena itu lah aku memutuskan untuk mengakhiri hubungan kami. Alasannya “sangat sederhana”. Aku tidak mau ada pihak ketiga dalam hubungan kami tanpa keterbukaan. Baik laki-laki maupun perempuan.

Terdengar terlalu melankolis dan sangat kolot, mungkin juga norak. Tapi biarlah.

Dia baru saja bercerita kepadaku. Aku baru mendapatkan pacar perempuan, katanya kepadaku. Ungkapan yang buat aku kaget sekaligus tidak !! Sejak awal perkenalan, dia katakan kalau dia seorang biseksual. Istilah yang dia sendiri tidak begitu memahami itu. Dia katakan kepadaku, bahwa dalam hubungan gay hanya ada sayang bukan cinta! Sedangkan kalau hubungan dengan perempuan(heteroseksual) baru ada cinta, ungkapnya. Dia kemudian mencoba menjelaskan kepadaku ketika aku tanya apa perbedaan dari keduanya itu? Sambil memelukku, dia menjelaskan bahwa makna cinta lebih tinggi daripada sayang. Rasa sayang ada dalam cinta tetapi rasa cinta tidak ada didalam sayang. Artinya hubungan homoseksual hanya memiliki rasa sayang sedangkan heteroseksual mempunyai rasa cinta. Penjelasan yang buat aku sendiri tidak logis untuk dipahami kebenarannya. Tapi biarkan lah karena setiap orang punya pilihan untuk berpendapat.

Sebenarnya dia tidak menginginkan untuk memutuskan hubungan kami. Rencananya dia akan menjalani hubungan berdua. Hubungan dengan perempuan dan laki-laki(aku) secara bersamaan. Walau aku dapat rasakan bahwa ucapannya itu ada beban pada dirinya sendiri. Minimal itu yang aku rasakan ketika dia mengungkapkannya kepadaku. Menurutnya sudah sebuah kewajaran tindakan tersebut, baik bagi dirinya maupun teman-temannya yang katanya biseksual. Mungkin bukan hanya temannya saja yang punya cara pandang seperti itu tetapi hampir setiap biseksual atau gay yang ada di Indonesia. Bahwa seorang gay atau biseksual harus punya pacar cewek dan cowok secara bersamaan. Apakah hanya untuk menutupi dirinya didepan umum atau karena alasan lainnya. Walau aku tidak sedang mengeneralkan tindakan para gay dan biseksual itu. Minimal ini yang aku lihat selama ini. Untuknya aku sangat hargai sekali kejujurannya kepadaku. Minimal aku meyakini selama ini bahwa dia benar-benar sayang dengan aku. Dari apa yang telah dia lakukan kepadaku.

Kemudian, setelah dia pulang kerumahnya dari kos ku. Pukul 22.30 Wib. Aku mulai berpikir lagi untuk meneruskan hubungan ini. Sebenarnya dia bukan laki-laki pertama yang melakukan ini buat diriku. Sehingga sejak awal aku sudah dapat perkirakan peristiwa ini akan terjadi. Cepat atau lambat! Awalnya aku mencoba untuk mengubah pikiranku soal kesetiaan. Mungkin saja aku harus mengkontruksikan kembali soal hubungan gay dalam konteks masyarakat Indonesia. Mungkin saja tidak menjadi persoalan hubungan “mendua” baik dengan laki-laki ataupun perempuan secara bersamaan dalam pasangan homoseksual. Karena homoseksual di Indonesia di Indonesia masih belum mendapatkan tempat yang setara dalam segala aspek kehidupannya. Berbeda dengan pasangan heteroseksual! Pikiran itu mulai ada dalam hatiku. Walau masih menjadi perdebatan sendiri dalam bathinku. Hubungan mendua tanpa keterbukaan! Sesuatu yang tidak masuk akal buat aku.

Jika aku meminta dia untuk jujur dengan pacar perempuannya. Aku berkeyakinan sangat sulit sekali bagaimana pacar perempuannya bisa menerima hubungan sejenis. Karena itu dia hanya berani bercerita dengan aku sebagai pasangan homoseksualnya. Tidak dengan pacar perempuannya. Karena akan menjadi persoalan bagi dirinya maupun pacar perempuannya. Itu ketakutan yang banyak dialami oleh gay dan biseksual.

Kelihatannya dia egois, tapi itu lah faktanya. Karena sangat sedikit ada perempuan yang rela pasangannya berhubungan dengan orang lain. Baik dengan perempuan maupun laki-laki. Apalagi ditambah dengan masyarakat yang sangat homophobia (benci kepada homoseksual). Sehingga akan semakin runyam persoalannya ketika harus jujur dengan pasangan perempuannya, bahwa dia adalah seorang gay atau biseksual yang sedang menjalin hubungan dengan pasangan homoseksualnya. Mungkin dikalangan banyak gay persoalan yang aku hadapi sesuatu hal biasa. Kalau tidak dianggap sesuatu yang memang seharusnya terjadi.

Tapi itu tidak buat aku!!

Bagiku hubungan kasih dan cinta dengan pasangan adalah persoalan perasaan, rasa, jiwa, sex, kesetaraan/keadilan yang juga akan berpikir untuk masa depan. Tidak menjadi persoalan menjalin hubungan cinta “segitiga” jika setara dan adil satu sama lain. Baik buat aku (pasangan gaynya) maupun pacar perempuannya. Kalau keterbukaan hanya dilakukan untuk aku? Sebagai pasangan homoseksualnya?. Tetapi tidak untuk pacar perempuannya? Itu artinya hubungan yang penuh dengan kebohongan dan kekerasan pada pihak lain. Baik kepada diriku maupun pacar perempuannya. Mungkin juga kepada dirinya sendiri. Karena dia melakukan itu ada faktor tekanan sosial masyarakat. Walau mungkin saja dia tidak sadar soal itu semua.

Alasan itu lah yang aku sampaikan kepada dia ketika meminta tanggapanku. Dari alasan yang aku sampai itu, beberapa kali pesan SMSnya mengatakan minta maaf karena tidak dapat memberikan harapan yang aku impikan. Menjalin hubungan untuk selamanya. Tidak ada yang salah diantara kita, jawabku. Aku sedang melawan struktur sosial yang tidak adil buat kelompok homoseksual. Mengapa aku memilih bersikap tegas kepada dirinya. Seperti dia memutuskan tetap menjalin hubungan dengan cewek. Tapi kemudian mengapa selalu pihakku (pasangan homoseksual) yang di korbankan? Jawabnya pasti bukan karena dia tidak sayang aku!! Tapi karena homoseksual sebuah perbuatan dosa, menyimpang,sakit jiwa atau hal buruk lainnya. Tuduhan yang selalu aku dapatkan dari masyarakat. Sehingga homoseksual layak mendapatkan diskriminasi dalam hal apapun. Termasuk apa yang dia lakukan kepadaku sekarang.

Aku selalu menekankan kepadanya bahwa keputusan untuk bubar adalah tindakan yang baik untuk diriku, ceweknya dan dirinya juga. Jika diteruskan akan sulit nantinya kalau tidak ada keterbukaan dalam menjalin hubungan. Pesanku kepadanya, untuk kedepannya selalu tetap setia kepada pacarnya baik laki-laki maupun perempuan. Kalau mau menjalin hubungan dengan orang lain, berani untuk terbuka dengan pasangannya. Baik laki-laki maupun perempuan. Kalau tidak berani terbuka dan adil. Maka jangan pernah berani untuk melakukan hubungan “gelap” dengan pihak lain. Kedengarannya aneh menurut dia sikapku ini. Seorang gay yang tidak mau diduakan dengan seorang perempuan? Menurutku, dia, ceweknya dan aku punya hak yang sama untuk tidak disakiti.

Setelah aku selesai komunikasi dengannya via SMS. Akupun merenung. Busyet, kenapa aku jadi sedih dan menangis pula, pikirku. Karena tidak tahan, akupun mengirimkan lagi SMS kepadanya. Yang isinya “Sayang, mengapa hidup tidak pernah adil buat diriku?

Dia kemudian mendoakanku agar suatu saat akan mendapatkan laki-laki yang sama tujuan hidup denganku. Jawaban yang selalu aku terima dari laki-laki biseksual atau gay yang “dekat” dengan aku selama ini.

Sambil terus merenung. Kemudian aku merefleksikan kehidupan yang terjadi selama ini. Akupun berpikir, ketika budaya partriarki “melanggengkan” poligami dan paedofil sebagai salah satu “perintah” Allah SWT. Tapi disisi lain cinta sejenis yang aku jalani terus “dilaknat” oleh teks-teksNYA. Maka "wajarlah" sebagai seorang gay aku layak untuk dipinggirkan! Dimanakah keadilan itu??


Wasalam


Toyo

02.15 Wib, Kalibata, 12 Juli 2009

Kupersembahan tulisan ini kepada seseorang yang berinisial "I"

Read more...

Transgender

>> Senin, 06 Juli 2009

Setelah menghadiri satu acara bedah buku tentang "HASRAT PEREMPUAN: Relasi Seksual Sesama Perempuan dan Praktek Perempuan Transgender di Indonesia" yang ditulis oleh Prof. DR. Saskia E. Wieringa dan DR. Evelyn Blackwood, pada hari Sabtu, 27 Juni 2009 ada hal yang masih terus mengganjal. Sebenarnya kebingungan ini sejak beberapa bulan lalu. Ini diawali dari penggunaan istilah "TRANSGENDER". Awalnya aku berpikir bahwa istilah itu digunakan untuk seseorang seperti waria atau tomboi. Tapi kemudian transgender dilekatkan spesifik pada waria (untuk laki-laki) dan butch (perempuan). Tidak termasuk cross dressing. Dalam konteks ini saya mendefiniskan perempuan dengan simbol vagina dan laki2 dgan simbol penis.

Istilah waria sendiri juga mesti dipertanyakan dan bagaimana kita dapat mengukur seseorang itu waria atau bukan? Disamping istilah itu juga meneguhkan ketidakadilan dan ketidaknormalan seseorang.

Kembali ke istilah Transgender, menurut saya menjadi rancu dan kurang tepat digunakan istilah tersebut. Alasannya :

Pertama,secara harfiah arti dari transgender adalah gender yang berpindah. Miisalnya ada seorang laki-laki yang gendernya macho, kuat, gagah, menggunakan jeans, rambut pendek dsb. Kemudian berubah/berpindah dengan gender lawannya. Menjadi feminin dan menggunakan rok misalnya. Maka itu lah yang biasa disebut dengan waria (wanita pria). Ini salah satu yang disebut dengan transgender.

Padahal banyak aktifis perempuan membongkar wacana keadilan gender. Karena dinilai sebagai salah satu faktor ketidakadilan. Dimana manusia sudah di "genderkan" dengan tegas antara laki-laki dan perempuan. Karena pemisahan itu lah salah satu sumbangsih ketidakadilan bagi perempuan dan laki-laki. Sehingga kesimpulannya bahwa peran gender itu cair, dapat dilakukan dan dipertukarkan oleh siapapun tanpa melihat jenis kelaminnya. Jadi gender itu sendiri sebenarnya sudah TRANS.

So sekarang ada seorang laki-laki yang begitu berani "mencairkan" peran gender tersebut. Dari mulai pakaian sampai sikapnya sendiri. Kemudian masyarakat memberikan label dengan sebutan waria. Padahal kalau boleh jujur ini lah bukti bahwa gender memang tidak permanen dan dapat dipertukarkan. Walau aku sadar seorang waria itu mungkin melakukannya bukan karena faktor kesadaran gender yang tinggi. Tapi ada faktor lainnya yang mungkin dapat kita kaji lebih dalam. Tapi karena masyarakat sangat awam maka kelompok ini disebut dengan istilah Transgender...Kita tahu lah dampak ketidakadilan yang dialami oleh kelompok ini (baca waria).

Saya kemudian bertanya, apanya yang Trans dari waria itu?? Bukankah gender sendiri memang sudah trans?, artinya peran2 itu tidak berjenis kelamin? Mengapa pada saat ada seseorang menghancurkan sekat2 gender tersebut dengan sebuah bukti nyata, kok malah kita dikelompokkan sebagai transgender? Yang dimaknai sebagai sebuah kelompok yang "aneh/menyimpang" dan sebagainya.
Tapi ironisnya simbol gender laki-laki yang diperankan oleh seorang perempuan (misalnya soal pakaian) menjadi tidak begitu aneh? Apabila diperankan oleh seorang perempuan misalnya, walau kadang masih juga didapat diskriminatif. Sehingga menurut saya istilah transgender mesti dilihat kembali dalam konteks perjuangan keadilan gender bagi setiap orang.
Kalau kita memang mengakui bahwa gender itu sebuah peran yang sangat cair. Dapat berpindah-pindah. Yang sangat Trans.......



Salam


Buncit, 6 Juli 2009


Toyo

Read more...