Dukungan Stop Homophobia

>> Rabu, 29 April 2009

Kepada Yth
Kapolres Kota Tasikmalaya
Di
Tempat

Berdasarkan informasi yang di media; http://www.rakyatmerdeka.co.id/indexframe.php?url=nusantara/index.php?q=news&id=9833.
Kami LSM OurVoice sebagai lembaga yang fokus untuk hak – hak kelompok homoseksual, menyatakan keberatan dengan tindakan MUI, Polres dan Depag Kota Tasikmalaya yang berencana mengumpulkan 900 gay untuk dilakukan pembinaan.

Homoseksual (gay) bukan lah sebuah penyakit seksual maupun penyakit mental. Ini sudah jelas tertuang pada Pedoman Penggolongan Diagnosa Gangguan Jiwa III Tahun 1993. PPDGJ III dikeluarkan resmi oleh Depkes RI. Yang menjadi acuan ilmu psikologi dan psikiatri diseluruh Indonesia. Bahkan menjadi kesepatan international dikalangan para medis bahwa orientasi seksual termasuk gay bukanlah penyakit.

Selain itu sejak kapan MUI, Polres dan Depag Kota Tasikmalaya tidak berhak menyatakan homoseksual sebagai penyakit seksual. Karena itu tidak sesuai dengan ketentuan ilmiah yang sudah berlaku yang dikeluarkan oleh Depkes RI. Selain itu bahwa selama ini urusan penyakit manusia bukan urusan Depag, MUI dan Polres tapi wewenang Depkes.

Selain itu MUI, Depag dan Polres Kota Tasikmalaya telah melakukan stigma (pelabelan) kepada kelompok gay. Tindakan tiga lembaga itu sangat merendahkan hak asasi manusia khususnya kelompok gay secara umum. Dengan menyatakan gay sebagai penyakit. MUI, Polres dan Depag sudah melampui wewenangnya. Selain itu juga telah melecehkan ilmu kesehatan di Indonesia maupun International.
Untuk itu kami lembaga yang kerja untuk hak – hak dan keadilan kelompok gay di Indonesia. Meminta kepada Kapolres Kota Tasikmalaya AKBP.Y.Ruhiyat.Hidayat, SIK
untuk segera mengambil tindakan dengan menghentikan rencana kegiatan mengumpulkan gay di Kota Tasikmalaya. Karena itu sangat melanggar UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia yang merupakan hak setiap individu.

Demikianlah surat ini kami perbuat atas perhatiannya kami ucapkan banyak terima kasih

Wasalam
a.n LSM OurVoice

Hartoyo
Sekretaris Umum

Telp : 021 – 92138925
Mobile : 081376 192516
Email : ourvoice_ind@yahoo.com

Tembusan :
1. Presiden Republik Indonesia Bapak Susilo Bambang Yudhoyono
2. Kapolri Jenderal Polisi Bambang Hendarso Danuri
3. Menteri Hukum dan HAM RI Bapak Andi Matalata
4. Menteri Agama RI Bapak Muhammad Maftuh Basyuni
5. Ketua KPAN Bapak Aburizal Bakerei
6. Gubernur Jawa Barat Bapak Ahmad Heryawan
7. Wakil Gubernur Jawa Barat Bapak Yusuf M Effendi
8. Kapolda Jawa Barat INSPEKTUR JENDRAL POLISI Drs. Timur Pradopo
9. Walikota Tasikmalaya Bapak Drs. H. Syarif Hidayat, M.Si.


Alamat di Tujukan :

1. Presiden Republik Indonesia (SBY)
http://kontak.presidensby.info:8000/

2. Kapolri
Jenderal Polisi Bambang Hendarso Danuri
Tep : 021 – 7218144
http://www.polri.go.id/index.php?op=content_web&type=00
Email : info@polri.go.id

3. Depkumham RI
http://www.depkumham.go.id/xdepkumhamweb/xunit/xinspektoratjend/pengaduan2.htm
Email : itjen@depkumham.go.id

4. DEPAG RI Bapak
Fax : (021) 381 2306
Telepon: (021) 381 2306 - 34833004 - 3843005 ext 248/531 http://www.depag.go.id/index.php?a=artikel&id2=kontak Email: pikmas@depag.go.id


5. KPAN
Bapak Aburizal Bakerei
Telepon: +62.21.3901758
Fax: +62.21.3902665
http://www.aidsindonesia.or.id/contact_us.php?id_pages=38&id_language=2

6. Pemda Jabar
Gubernur Jabar Ahmad Heryawan
Email : surat@ahmadheryawan.com

Wakil Gubernur Jabar Yusuf M Effendi
http://www.dedeyusuf.com/kontak.php

7. Mapolda Jabar :
Drs. Timur Pradopo
INSPEKTUR JENDRAL POLISI
(022) 7800166, 7805123,
http://www.lodaya.web.id/?page_id=69
Email : polda_jabar@polri.go.id, spripim_polda_jabar@polri.go.id

8. Walikota Tasikmalaya
Drs. H. Syarif Hidayat, M.Si.
0265-541345 (Tel)
0265-7032666 (SMS) http://www.tasikmalayakota.go.id/home.php?show=contact

9. Kapolres Kota Tasikmalaya
AKBP.Y.Ruhiyat.Hidayat, SIK
http://www.polrestasikmalaya.org/bukutamu/index.php?do=add_form




Read more...

Kemerdekaan Tubuh

>> Sabtu, 25 April 2009


Resensi Film Mereka Bilang, Saya Monyet!


“Kamu mau ke mana?” tanya laki-laki itu.
“Mau ke kamar mandi,” jawab Adjeng sambil beranjak dari tempat tidur. “Tapi, aku kan belum keluar,” sambung laki-laki itu.
“Aku kan sudah keluar,” sahut Adjeng lugas. Adjeng bergegas meninggalkan ranjang tempat mereka berdua melakukan hubungan seksual menuju kamar mandi.



Dialog di atas merupakan nukilan tokoh Adjeng (diperankan Titi Sjuman) dan Asmoro (diperankan Ray Sahetapy) dalam film Mereka Bilang, Saya Monyet! karya sutradara Djenar Maesa Ayu. Ide dasar film ini dari cerpen Lintah (The Leech) dan Melukis Jendela (Painting The Window), yang termuat dalam buku kumpulan cerpen Mereka Bilang, Saya Monyet! karya sang sutradara sendiri. Sekarang film ini sudah dapat diakses dalam bentuk DVD dan VCD di pasaran. Film ini kembali diputar dalam Vfestival Film yang digelar di Komunitas Salihara, tanggal 22 April 2009 lalu.

Film Mereka Bilang, Saya Monyet! bercerita tentang pengalaman hidup seorang perempuan muda yang sangat kompleks. Mulai soal kekerasan terhadap anak, pemerkosaan pada anak yang dilakukan ayah tirinya sendiri, Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (PKDRT), sampai kehidupan perempuan malam. Film ini juga menampilkan sosok laki-laki biadab dari berbagai latar belakang, seperti laki-laki dengan penampilan luar baik, tetapi sebenarnya seorang pelaku pedofilia (diperankan Bucek Depp), dan laki-laki yang hanya berpindah dari satu tubuh perempuan ke tubuh perempuan lainnya (diperankan Agus Melaz)

Djenar Maesa Ayu yang bertindak sebagai penulis skenario, sekaligus sutradara film ini berhasil menampilkan cerita dan sosok perempuan muda dengan beragam persoalan hidup. Biasanya, film-film Indonesia yang mengangkat isu perempuan hanya menampilkan satu persoalan saja. Satu contoh, film yang ingin menunjukkan tokoh perempuan sebagai korban, penonton selalu menyaksikan perempuan dengan peran lemah-lunglai dan tidak berdaya. Dalam cerita film ini, Djenar Maesa Ayu berhasil menampilkan sosok ibu (diperankan Henidar Amroe) yang kejam dan keras terhadap anaknya sendiri, Adjeng. Tetapi, di sisi lain, penonton dibawa berpikir tentang sosok ibu yang berjuang keras membesarkan anaknya dengan bekerja sebagai penyanyi klub malam sampai menjadi “pelacur”. Segala usaha dilakukan oleh satu sosok ibu. Sebagai anak, Adjeng tahu persis perjuangan ibunya sebagai orangtua tunggal (single parent). Hal ini yang menjadi alasan Adjeng bersikap sangat patuh, bahkan cenderung diam terhadap segala ucapan ibunya, termasuk menerima sanksi-sanksi berat tanpa perlawanan sedikitpun.

Tetapi, di sisi lain, Adjeng adalah sosok yang sangat keras dan bebas dalam menentukan hidupnya sendiri. Sehari-hari dia bekerja sebagai penulis di media cetak. Dia senang dugem dan mabuk-mabukan di nightclub bersama teman-temannya hampir tiap malam. Dia juga tidur dengan satu laki-laki ke laki-laki lain. Tidak ada kata tabu bagi Adjeng dalam mengekspresikan seksualitas dan kebebasan dirinya. Mulai menjual tubuhnya untuk mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari, sampai mencari kepuasan seksual dari laki-laki tua tanpa imbalan apapun.
Adjeng adalah sosok perempuan muda yang pernah menjadi korban pelecehan seksual dari ayah tirinya sendiri. Apakah sikap Adjeng ini merupakan dampak trauma masa lalunya atau sebagai bagian "kemerdekaan" atas tubuhnya sendiri? Hanya penonton yang layak menilainya.

Walaupun dalam film ini sosok Adjeng ditampilkan melakukan perselingkuhan dengan laki-laki beristri, tetapi dialog-dialog Adjeng tidak menyalahkan istri laki-laki tersebut. Adjeng justru memberikan gambaran kepada penonton bahwa dirinya dan istri laki-laki itu sebagai korban keserahan laki-laki.

Film ini jauh dari kategori film porno atau erotis, meskipun tokoh-tokoh ditampilkan dengan kadar “sensualitas” yang tinggi (berpakaian seksi). Justru sebaliknya, film ini berhasil menunjukkan bahwa mendefinisikan kata “porno” itu sangat sulit, termasuk persoalan seksualitas di dalamnya. Film ini layak ditonton oleh orang-orang yang mau menghargai tubuh perempuan. Terutama untuk gerakan advokasi hak-hak seksualitas perempuan, termasuk kekerasan seksual diranah domestik (rumah tangga).

Film Mereka Bilang, Saya Monyet! telah mendapatkan banyak penghargaan dari berbagai festival film dalam negeri maupun luar negeri:
-Pada tahun 2008, kompetisi Singapore International Film Festival.
-Pada tahun 2008, artis pemeran pendatang baru terbaik di Indonesian Movie Awards (Titi Sjuman).
-Pada tahun 2008, artis pemeran pembantu terbaik di Indonesian Movie Awards (Henidar Amroe)
-Pada tahun 2008, kategori First Feature di kompetisi Osian's Cinefan International Film Festival.

Selamat untuk Djenar Maesa Ayu dan tim film Mereka Bilang, Saya Monyet! karena telah memberikan kontribusi bagi perjuangan hak-hak perempuan.

Wasalam

Kalibata, 24 April 2009


Hartoyo

Read more...

Ibu Yang Ada Di Plaza The Mayo

>> Senin, 20 April 2009



Hari ini tanggal 20 April 2009 di KontraS kedatangan 3 orang perempuan istimewa yang berasal dari Argentina ( Lidya Tati Almeida dan Aurora Morea) dan dari Thailand (Akana namanya). Dua perempuan dari Argentina itu adalah dari gerakan ibu – ibu yang disebut dengan the mother of the plaza de mayo. Satu gerakan untuk meminta tanggungjawab pemerintahan Argentina terhadap 30.000 orang yang menjadi korban penghilangan paksa. Masa rezim otoriter di Argentina pada tahun dari tahun 1975 sampai 1983. Selama 32 tahun ibu - ibu Argentina berjuang terus untuk anak dan saudaranya yang dihilangkan secara paksa oleh rejim otoriter di Argentina.

Perjuangan ini diawali dengan beberapa orang ibu - ibu saja. Mereka melakukan kegiatan aksi setiap hari Kamis didepan plaza tersebut. Yang dikenal dengan Plaza the Mayo. Aksi itu semakin lama mendapat sambutan dan perhatian banyak ibu - ibu diseluruh
Argentina. Sehingga aksi itu disebut dengan gerakan The Mothers of the Plaza the Mayo.


Aksi itu bukan tidak mendapatkan tantangan dari banyak pihak, baik dari internal maupun ekternal. Gerakan tersebut dimulai diawali setelah ibu - ibu yang kehilangan anaknya meminta tanggungjawab Negara atas hilangnya anak – anak mereka. Tetapi pemerintah tidak pernah memberikan jawaban yang jelas dan keadilan pada ibu – ibu tersebut. Malah ada tanggapan dari pihak pemerintah bahwa anak - anak mereka yang hilang mungkin saja karena kabur bersama pacarnya. Hal - hal itu yang membuat ibu - ibu berpikir untuk melakukan aksi tersebut di plaza the Mayo. Mengapa dipilih tempat itu?? karena daerah tersebut sangat ramai dilalui oleh banyak orang. Ibu - ibu berpikir bahwa itu akan mendapat sorotan oleh banyak orang.

Pada saat memulai aksi berdiri diwilayah itu dilarang oleh pihak pemerintah. Kemudian mereka melakukan aksi dengan berlari
– lari kecil melingkar tanpa berhenti setiap hari Kamis selama 2 jam. Itu dilakukan secara terus menerus selama 32 tahun setiap hari Kamis, tanpa satu haripun pernah ditinggalkan oleh ibu - ibu itu.


Bukan hanya diteror oleh pihak pemerintah dan militer. Tetapi tantangan juga datang dari pihak keluarga. Banyak anggota keluarga menjauhi ibu - ibu tersebut yang melakukan aksi ini. Termasuk suami ataupun keluarga yang lainnya menjauhi mereka. Karena tidak sanggup mendapatkan teror terus - menerus dari militer
Argentina.

Ironisnya bukan hanya militer yang melakukan tindakan penghilangan paksa tersebut. Pihak dokter maupun gereja juga punya andil besar terhadap kasus – kasus penghilangan paksa itu. Ada sebagian pastor dan suster yang juga mendukung gerakan ini akhirnya mengalami penghilangan paksa dari militer. Dan pihak gereja pendukung militer dalam hal ini Khatolik semuanya membungkam dan diam.

Tetapi kondisi itu bukan membuat ibu - ibu itu diam, malah semakin terus menyuarakan keadilan bagi korban penculikan sampai ketingkat International. Semangat yang luar biasa sekali dari dua orang perempuan ini. Sehingga gerakan ini akhirnya menjadikan inspirasi oleh banyak orang yang mengalami hal yang sama diseluruh pelosok dunia.



Para korban yang tidak setuju dengan kebijakan pemerintah, dituduh sebagai seorang komunis. Itu alas an yang digunakan oleh pemerintah Argentina untuk membenarkan penghilangan paksa itu.

Ibu Almeida adalah perempuan yang kehilangan anak laki - laki bernama Alejandro pada saat umurnya 20 tahun. Sampai sekarang ini anaknya belum juga ditemukan keberadaanya. Sedangkan Ibu Morea adalah kehilangan 4 orang anggota keluarganya, anak perempuannya, 2 orang menantunya bersama "besannya". Anak perempuannya Susan hilang pada tahun 1976 dan baru ditemukan pada tahun 1999 dan ditemukan tinggal jasadnya saja, melalui hasil otopsi. Sekarang menantunya sudah ditemukan jasadnya. Cucunya sampai sekarang tidak pernah melihat ayahnya, karena pada saat kejadian anak perempuannya sedang hamil. Ketika pemerintah menculik menantunya.

Beberapa kali para pelaku penghilangan paksa disidangkan tetapi selalu dilepaskan lagi. Malah pemerintahan Argentina pernah mengeluarkan dua kebijakan salah satunya adanya impunitas bagi para pelaku. Walau kebijakan itu akhirnya dicabut setelah presiden yang baru, Disitu lah pengadilan dilanjutkan kembali.

Ibu – ibu terus berjuang dan berjuang tanpa lelah. Akhirnya sampai 32 tahun mereka mendapatkan buah hasilnya. Dan sekarang ini para pelakunya ada yang sudah dihukum dengan hukuman seumur hidup. Tetapi ini bukan karena belas kasihan dari pemerintah tetapi ini buah hasil dari perjuangan ibu – ibu selama 32 tahun. Ibu – ibu tidak pernah berhenti berjuang untuk para korban di Argentina. Para ibu itu tidak mau melakukan rekonsiliasi yang dibuat oleh pemerintah Argentina. Karena menurut ibu – ibu itu tidak akan pernah dapat mengampuni para pelakunya. Karena yang berhak mengampuni pelakunya adalah anak – anak mereka yang sudah mati itu. Bukan kami ibu – ibu nya.


Ibu – ibu Argentina ini menggunakan pin dan kain putih yang diikatkan dikepala sebagai sebuh simbol untuk mengingatkan anaknya yang telah hilang. Dalam kain putih dikepala mereka masing – masing dituliskan nama anaknya dan tanggal anaknya hilang. Ibu – ibu mengatakan makna dari kain putih ini adalah pada saat anak kami bayi, anak – anak kami menggunakan kain putih ini untuk membungkus tubuhnya dari rasa dingin. Ini seperti “popok” kalau di Indonesia. Sehingga simbol kain popok ini lah yang menjadi saksi bahwa anak – anak kami punya nama dan mereka adalah manusia yang dibunuh oleh negara. Bukan hantu. Sehingga sekarang ini kami letakan kain putih ini (baca popok) dan nama anak kami. Sehingga kami yakin bahwa anak – anak kami masih dekat dengan setiap ibunya. Anak kami akan tetap ada dalam hati kami. Yang kami letakkan dalam kain diatas kepala kami.


Begitu juga pin yang masing – masing bergambar anak – anak mereka yang hilang. Ditempelkan pada dada para ibu – ibu itu. Kami yakin sekarang ini anak – anak kami sedang ikut bersama kita dalam diskusi ini. Suasana menjadi haru dan kemudian secara bersama mendapatkan tepukan tangan dari para peserta yang hadir.

Semangat ibu – ibu itu sangat luar biasa sehingga memberikan banyak inspirasi pada para korban 65, semanggi dan korban tanjung priok. Yang pada saat itu juga datang dalam kegiatan diskusi itu. Para keluarga korban dari Indonesia memberikan pertanyaan dan saling berbagi soal pengalaman yang hampir sama mereka lakukan di Indonesia. Acara menjadi media saling menguatkan satu sama lain. Berbeda suku, ras, agama, budaya dan lainya bersatu dalam satu perjuangan penegakan keadilan bagi HAM. Para keluarga korban saling berpelukan antara ibu – ibu yang berasal dari Indonesia, Argentina dan Thailand.

Kemudian dilanjutkan dengan berbagi pengalaman dari Ibu Akana yang suaminya hilang pada tanggal 12 Maret 2004. Suaminya adalah seorang pengacara yang selama ini bekerja untuk membantu korban – korban kasus penghilang paksa, penyiksaan dan juga menuntut atas penghapusan UU darurat sipil di
Thailand. Ibu Akana ini adalah seorang muslim yang tinggal di daerah Thailand Selatan. Suaminya karena membantu para korban akhirnya rezim pemerintah melakukan penghilangan paksa untuk suaminya.

Ibu Akana sekarang mendirikan organisasi untuk berjuang terhadap para korban penghilangan paksa di Thailand Selatan lainnya. Tapi sayangnya di Thailand cara penghilangan paksa itu biasanya korban tubuhnya dirusak dan dihancurkan.Kemudian dimakamkan secara massal. Sehingga sulit sekali untuk dapat dideteksi para korban satu persatu. Disamping itu juga adanya tantangan soal kultur masyarakat di Thailand Selatan. Yang mayoritas muslim, masyarakat disana tidak menginginkan mayat keluarganya dibongkar kembali untuk dapat diotopsi. Karena mempunyai keyakinan bahwa itu dilarang oleh agama.

Dari dua negara itu (baca
Argentina dan Thailand), menurut korban – korban di Indonesia bahwa model dan sistem para pelakunya hampir sama. Di Indonesia sampai sekarang para pelakunya masih saja bisa berlenggang tangan dengan santai hidup di Indonesia. Malah sebagian para pelakunya sekarang ini ada yang ingin menjadi pemimpin negeri ini. Tapi walaupun begitu menurut Mbak Suci (Istri Munir) bahwa tidak boleh putus asa perjuangan kita. Walau kita sekarang ini hanya mempunyai sinar lilin saja. Tapi kalau kita bersatu lilin itu dapat menyinari kita juga. Kita tahu perjuangan itu masih panjang sekali untuk dapat kan keadilan bagi suami, anak dan saudara – saudara kita. Kita di Indonesia juga mendapatkan keadilan untuk memperjuangkan itu, seperti stigma dan diskriminasi yang dialami oleh para korban 65, yang sampai sekarang masih terus dilekatkan pada para korban.


Dengan kedatangan ibu – ibu dari Argentina dan Thailand ini memberikan semangat baru untuk kita di Indonesia terus berjuang. Apa yang dilakukan oleh ibu – ibu diArgentina teringat dengan gerakan ibu peduli yang pernah dilakukan di Indonesia. Ibu – ibu yang selama distigma lemah, kita bisa dapat buktikan sekarang bahwa mereka telah melakukan hal yang luar biasa sekali. Memang banyak perempuan menjadi sosok yang efektif melakukan gerakan sosial.


Saya berpikir bagaimana gerakan LGBTIQ di Indonesia juga dapat melibatkan secara aktif keluarga, khususnya ibu – ibu yang telah melahirkan anak – anak dengan orientasi seksual dan identitas berbeda dari umumnya. Bagaimana menyatukan ibu – ibu yang telah menerima anaknya apa adanya tanpa diskriminasi. Ini akan menjadi inspirasi bagi banyak orang maupun Negara. Bahwa seorang perempuan saja yang telah melahirkan dengan sangat berat dapat menerima dengan tulus anaknya yang gay, lesbian maupun transgender. Mengapa saya, anda, masyarakat maupun Negara harus melakukan diskriminasi pada anak – anak kami yang lahir sebagai LGBTIQ? Mereka (baca LGBTIQ) tumbuh dalam rahimku, keluar dari vaginaku dan besar dari air susuku, itu kata ibuku yang telah melahirkan aku. Sebagai seorang gay.


Selain itu, pertemuan hari itu juga diisi dengan pemutaran film dokumenter dari Argentina dan Indonesia. Selamat berjuang Ibu – Ibu. Hari ini kita buktikan bagaimana para perempuan itu sampai puluhan tahun berjuang untuk anaknya, adiknya, suaminya dan semua orang diseluruh dunia…Terus rentangkan tangan mu Ibu, kami anak mu akan terus mendukung dengan jiwaku.…IBU.


Blok M, 20 April 2009


Salam


Toyo

Read more...

Ringkasan Diskusi Kartini di Erasmus

>> Minggu, 19 April 2009


Tanggal 18 April 09, pusat kebudayaan Belanda (Erasmus Huis) mengadakan satu kegiatan untuk memperingati Hari Kartini 21 April. Dalam kegiatan tersebut ada dua kegiatan; pertama pemutaran film dokumenter dengan judul Panggil Saja Aku Kartini. Film itu di sutradarai oleh Hans Hulscher. Film ini dibuat berdasarkan surat - surat Kartini yang masih tersimpan dengan baik serta arsip dan foto lamanya. Judulnya diambil dari salah satu surat Kartini. Durasi filmnya 45 menit, dengan menggunakan bahasa Belanda dan subtitle Bahasa Inggris. Jadi film itu menampilkan gambar - gambar Kartini masa dulu dan didukung dengan situasi latar belakang budaya Jawa (Kraton masa abad 19). Kemudian ada yang membacakan surat - surat Kartini pada dalam film itu. Sehingga film itu dapat sedikit membantu penonton untuk menyelami masa dimana Kartini hidup.


Setelah pemutaran Film, kemudian dilanjutkan lagi dengan diskusi bertema soal
Surat - Surat Kartini tersebut. Acara Diskusi dibuka oleh Duta Besar Belanda untuk Indonesia dan kemudian kata sambutan dari Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan RI (Prof Dr Meutia Hatta Swasono). Dalam sambutan nya Ibu Menteri lebih menekankan bagaimana semangat Kartini mendokumentasikan pikiran – pikirannya nya dalam bentuk tulisan. Sehingga budaya menulis menjadi sangat penting dimiliki oleh perempuan Indonesia pada saat ini. Dengan budaya menulis maka akan terdokumentasi dengan baik.

Disamping itu juga Ibu Menteri mengingatkan bagaimana dokumen - dokumen sejarah
Indonesia dapat dijadikan media yang baru sesuai dengan IT yang semakin baik. Karena diharapkan dokumen - dokumen sejarah itu dapat diakses oleh pemuda dan pemudi soal sejarah Indonesia. Karena kemajuan IT memungkin untuk dapat mengubah bentuk dokumentasi itu menjadi lebih modern. Sehingga ini akan memudahkan semua orang dapat mengaksesnya. Setelah itu diskusi dimulai dengan pembicara :
1. Dr. Ir. Irma Alamsyah Djaya Putra.MSc (staf ahli Menteri Bidang Hukum dan Politik Meneg PP).
2. Yuda Irlang (Yayasan Gerakan Pemberdayaan Swara Perem
puan)
Dengan Moderator Debra H. Yatim


Ibu Yuda lebih banyak menyoroti soal gerakan Kartini dalam konteks kebijakan di Indonesia sekarang ini. Seperti persoalan keterwakilan perempuan dalam legislative yang semakin sulit posisi perempuan pada pemilu 2009. Ibu Yuda menjelaskan sedikit soal pentingnya kebijakan afirmative action bagi perempuan. Selain itu juga adanya UU Pornografi yang baru saja disyahkan semakin mengkriminalkan perempuan. Sehingga situasi ini semakin memperparah situasi perempuan di Indonesia. Yang ibu Yuda katakan bahwa banyak kebijakan yang “banci”. Istilah yang sempat dikritik karena menggunakan kata “banci” untuk kebijakan yang tidak baik.


Selain itu bagaimana Kartini pada waktu itu juga menentang poligami dilakukan. Walau Kartini sendiri akhirnya “menjadi” istri keempat dari suaminya. Seperti yang juga digambarkan dalam film documenter. Yang akhirnya Kartini meninggal setelah melahirkan anak pertamanya. Kartini yang menjadi istri keempat menjadi salah satu perdebatkan menanyakan soal “kepahlawanan” Kartini. Dan ada satu peserta mengatakan bahwa menurutnya Kartini bukan seorang pahlawan. Kemudian Ibu Yuda menjelaskan terlepas dari kontroversi kepahlawan Kartini. Tetapi semangat Kartini memberikan kontribusi besar pada perempuan Indonesia saat ini. Walau memang apa yang diperjuangkan oleh Kartini pada abad 19 masih sama apa yang dilakukan oleh perempuan Indonesia sekarang.


Ibu Yuda menampilkan photo wajah – wajah perempuan karena dampak kebijakan yang sama sekali tidak memperhatikan perempuan. Seperti persoalan kenaikan BBM sangat berdampak pada perempuan seperti yang terlihat pada gambaran perempuan yang mengantri untuk mendapatkan minyak tanah. Ibu Yuda menceritakan bagaimana gerakan perempuan sendiri kadang mendapatkan “tantangan” dari perempuan itu sendiri. Pernah kejadian perempuan melakukan aksi protes terhadap poligami, tetapi kemudian dilain waktu ribuan perempuan melakukan aksi mendukung poligami. Ini lah yang banyak terjadi pada perjuangan perempuan. Walau ibu Yuda tidak ingin mengatakan bahwa perempuan seperti itu adalah orang yang “bodoh”. Ini banyak terjadi pada ormas Islam. Artinya ada nya penggunaan perempuan untuk menentang kebijakan yang tidak pro perempuan (soal poligami).


Kemudian dilanjutkan dengan pendapat dari staff kementerian Ibu Irma Alamsyah menampilkan beberapa gambar situasi perempuan pada abad masa Kartini. Selain itu juga menampilkan gambar hasil study banding ke Museum di Belanda. Yang ada museum Kartini. Ibu Irma mengatakan bahwa perjuangan Kartini masih relevan dalam konteks sekarang. Selain itu juga menyoroti sistem feodalisme masa Kolonial. Yang jelas membedakan kelompok penguasa dengan rakyat biasa. Yang katanya sekarang ini sudah tidak terjadi lagi di Indonesia ketidaksetaraan antara penguasa dengan rakyat biasa. Ibu Irma mencontohkan bahwa misalnya sekarang kita dapat sama – sama duduk dikursi. Sedangkan masa dahulu para penguasa duduk dikursi dan rakyat biasa duduk dibawah (lantai). Walau itu disanggah oleh salah seorang peserta bahwa situasi feodalisme juga terjadi sampai sekarang, walau bentuknya berbeda. Tetapi semangat tetap sama, diskriminasi.


Bahan presentasi Ibu Irma memang banyak menampilkan gambar perempuan – perempuan tempo dahulu. Sampai bagaimana ibu Irma menunjukkan perempuan – perempuan pekerja sex yang siap “menunggu” laki – laki untuk melayani. Mungkin maksud Ibu Irma ingin menunjukkan bahwa itu lah kondisi perempuan pada masa itu. Tapi dengan cara pandangan yang misoginis. Sampai tidak tahu membedakan mana itu pelecehan dan mana itu pembelaan. Sampai beliau juga menampilkan perempuan – perempuan tanpa menutup payudara. Dengan santai Ibu Irma menyatakan inilah perempuan – perempuan pekerja sex masa itu. Dengan ikuti suara peserta. Sayangnya yang ditampilkan adalah hanya perempuan tanpa payudara, yang katanya porno itu. Tapi tidak menampilkan gambar – gambar para pelanggannya. Apakah mereka para demang atau laki – laki Belanda. Perempuan yang di”tuduhkan” dengan yang disebut porno itu harus menanggung aib atas tindakan praktek prostitusi yang disampaikan dalam gambar di presentasinya. Ibu Irma adalah seorang staff ahli Meneg PP untuk bidang Hukum dan Politik. Ironis memang.

Ibu Irma adalah orang ketiga yang saya temui setelah Bapak Subagyo (Deputi perlindungan perempuan Meneg PP) dan Dr. Koensatwanto Inspasiharjo (Sekretaris Meneg PP) yang melakukan tindakan kekerasan verbal terhadap perempuan. Tidak dapat membedakan mana itu pelecehan dan mana itu perlindungan terhadap perempuan.


Saat itu adalah moment yang membuat saya marah dan tidak tahu harus berkata apa. Hanya aku berpikir, ibu ini perempuan dan pejabat Meneg PP tapi sama sekali tidak empati pada persoalan tubuh perempuan. Bagaimana mungkin orang – orang yang bekerja untuk pemajuan hak – hak perempuan dalam satu lembaga Negara. Tetapi ironis tidak memahami perempuan sebagai manusia yang utuh atas haknya sama dengan laki – laki. Memang maksud hati ingin membantu perempuan. Tetapi apa daya pemahaman tidak sampai apa yang disedang diperjuangkan oleh perempuan. Rakyat telah mengeluarkan dana yang besar untuk memberikan gaji pada staff Meneg PP yang sama sekali perspektif perempuannya NOL.


Mungkin kedepannya kinerja Meneg PP harus dilihat dan kaji kembali oleh gerakan perempuan di Indonesia. Karena akan semakin sulit kalau para pengambil kebijakan sendiri tidak tahu apa itu hak perempuan.

Mudah-mudahan tulisan dapat dibaca oleh pihak kementerian PP Indonesia. Sehingga para staffnya dapat merefleksikan dan meningkatkan kapasitasnya. Karena mereka adalah orang – orang yang mempunyai peran besar terhadap nasib perempuan di Indonesia. Jika perspektifnya masih seperti sekarang. Maka akan sulit kondisi perempuan Indonesia berubah menjadi lebih baik.

Setelah acara diskusi selesai, dilanjutkan lagi dengan pemutaran film dokumenter berjudul Panggil saja Aku Kartini untuk kedua kalinya.


Salam


Toyo

Kalibata, 19 April 2009

Read more...

HOMOSEXUAL dan PSIKOPAT BERBEDA!

>> Sabtu, 11 April 2009

Homosexual hanya gangguan orientasi sexual, bukan termasuk gannguan jiwa.
Psikopat adalah gangguan jiwa dimana seseorang suka berbohong tapi
tidak pernah merasa bersalah/berdosa.Psikopat dapat terjadi pada semua
profesi apakah dia seorang pejabat, polisi, dokter, artis dll.
Gangguan jiwa lainnya menurut DSM-III adalah neurosis dan psikosis.
Jadi jelAS HOMOSEXUAL dan PSIKOPAT BERBEDA!

Bias Homoseksual dalam Berita Kriminalitas

“Masalah ini memang lagi banyak banget di bahas baik melalui media
ataupun omongan masyarakat…kemarin aja nyokap tlp dan ngomong "Kamu
hati2 yah.. jangan terlalu dekat ma orang yg baru dikenal, mama liat
kasus ryan di TV, kawatir juga jadinya… bilang juga sama dani (BF ku)
jangan suka keluar2 sendirian… mending kalian jalan berdua biar bisa
saling ngejaga"nyokap aja sampai ngomong gitu.. tapi gw juga bingung
kenapa nyokap ngomong gitu yah, secara gw GAK OPEN banget mengenai
orientasi sex gw ma nyokap !… yah sud lah…

Kondisi ini di tambah dengan FILM THE X FILES yang lagi di puter di
bioskop seluruh indonesia…yang temanya kembali lagi mengangkat kasus
yang mirip2 dengan Ryan… Gay dan Mutilasi… DAMN !!! Masyarakat lagi
nge-judge gay dengan hal2 yang sangat negatif, mending sekarang
bertindak dan berbicara lebih hati2 aja… sedih jadinya….

Pembunuhan berantai yang dilakukan tersangka Very Idam
Henyansyah-biasa dipanggil Ryan- memunculkan kehebohan. Pihak yang
paling dominan berperan menggulirkan kehebohan itu adalah media (TV,
Surat kabar ). Kasus itu dikemas media sebagai berita utama secara kontinu selama
beberapa hari bahkan sampai 2 minggu lebih. Bukan hanya pembunuhan yang
menewaskan 11 korban itu yang mencuatkan kehebohan, tetapi orientasi
seksual Ryan sebagai Homoseksual/gay juga mendapat sorotan negative
secara berlebihan.

Pandangan yang semakin tidak menguntungkan kaum homoseksual meningkat.
Seakan-akan semua kaum homoseksual permisif melakukan kejahatan sadis.
Terlebih lagi salah satu jasad korban ditemukan dalam kondisi
dimutilasi. Perilaku sadistik secara gampang diidentikan dengan
komunitas gay. Ironisnya, media melakukan generalisasi tanpa
menampilkan angka statistik secuilpun. Menjadi sangat terlihat jelas
media mengalami kepanikan moral luar biasa terhadap keberadaan kaum gay.
Mengapa media bertindak demikian? Semua berawal dari kriteria
nilai-nilai berita yang diterapkan para jurnalis dalam mekanisme
kerjanya. Aksioma jurnalisme menyatakan, berita berasal dari fakta.
Tetapi, hanya fakta sosial tertentu saja yang dianggap pantas jadi
berita. Beberapa fakta itu adalah keganjilan (oddity), ketidakbiasaan
(unusual), dan di luar kezaliman (extrordinary).
Dalam kasus Ryan, ketiga faktor itu terpenuhi. Media menyambutnya
dengan antusiasme tinggi. Media memberitakan kasus Ryan denagan tiga
kalkulasi, yaitu

(1) setiap jenis kejahatan, terlebih lagi pembunuhan,
merupakan penyimpangan sosial;

(2) jumlah korban yang besar makin
meneguhkan intensitas penyimpangan perilakunya;

(3) orientasi
seksual pelaku pada domain minoritas adalah amunisi paling gampang
ditembakan media untuk menciptakan generalisasi.


Melalui penerapan nilai berita dan ketiga kalkulasi itu, sebenarnya,
apa yang dilakukan media bukanlah mencerminkan fakta sosial secara
oyektif. Lebih tepat jika dikemukan peran yang dilakukan media adalah
mendefinisikan fakta sosial. Dalam memdefinisikan fakta sosial itu
media tidak bisa bekerja mandiri. Media memerlukan lembaga-lembaga yang
mengontrol kebenaran otoritatif bagi masyarakat. Dalam produksi berita
kriminalitas, pasangan yang pasti dilibatkan media adalah kepolisian,
pakar kriminologi dan ahli psikologi serta dokter psikiater.
Pihak kepolisian otomatis dilibatkan media karena otoritasnya sebagai
penjaga ketertiban sosial. Bukankah setiap penyimpangan yang
menciptakan kekacauan sosial memang harus ditangani polisi? Pakar
kriminologi sengaja diwawancarai media untuk memberikan konfirmasi
tentang jenis kejahatan yang diberitakan, misalnya apakah ragam
kejahatan itu baru atau tidak. Ahli psikologi dan dokter psikiater
mendapat posisi sebagai pihak yang menilai kondisi kejiwaan pelaku
kejahatan, misalnya, apakah pelaku waras atau mengalami gangguan jiwa
(neurosis, psikopat, psikosis).
Karena Ryan berada pada lingkup orientasi seksual minoritas, komentar
berbagai institusi sosial itu cenderung seragam. Di situ hadirlah
amplikasi terhadap perilaku menyimpang, yang berarti kedudukan seksual
minoritas pelaku mendapat pembahasan berlebihan. Konsekuensinya, garis
batas identifikasi antara pihak mayoritas-minoritas, waras-sakit, dan
normal-abnormal makin ditebalkan. Hal yang sulit dihindari adalah
stigma terus berhamburan. Pilihan kata seperti “kisah cinta ala homo,”
penyuka sesama jenis,”gay pembunuh,” dan bahkan,”Jack the Ripper”
dengan begitu saja diarahkan kepada Ryan.

Konsep-konsep itu tepat atau tidak mewakili sosok Ryan bukan dianggap
lagi persoalan sebab stigma merupakan teknik pemberian atribut atau
label bagi pelaku penyimpangan sosial. Sebagai produk kontruksi sosial,
stigma memuat kategorisasi, prasangka, dan penstereotipan yang
memojokan kaum minoritas. Benar apa yang dikatakan Howard S Becker
(Labeling Theory, 1991), penyimpangan bukan terletak pada kualitas
tindakan pelaku, melainkan konsekuensi dari aturan dan sanksi yang
diterapkan bagi pelaku. Semakin minoritas orientasi seksual seseorang,
semakin kuat pelabelan atau stigmatisasi yang dilekatkan kepada dia.
Ketersudutan kaum homoseksual akibat pemberitaan kasus Ryan menegaskan,
bias heteroseksisme diaplikasikan media.

Heteroseksisme, ungkap GM Herek(1990), adalah sistem ideology yang menyangkal, mencemarkan, dan menstigmatisasi semua bentuk perilaku, identitas, hubungan, atau
komunitas nonheteroseksual. Wujud konkretnya adalah sentimen
antigay(homophobia), anti lesbian, dan apa pun yang berada di luar
kualifikasi heteroseksual padahal menurut penelitian Kinsey, gay,
lesbian, biseksual, transeksual/transjender memang ada sekitar 5-10%
dalam masyarakat dimanapun dan buku panduan psikiatri Indonesia memang
sudah mengeluarkan Homoseksualitas dari daftar gangguan kejiwaan.
Heteroseksisme menjalar ke dalam seluruh kebiasaan dan institusi
masyarakat, seperti agama, media, dan ilmu pengetahuan. Pandangan
heteroseksistik hadir pada momentum tertentu, terutama ketika kelompok
non-heteroseksual terlibat dalam kasus yang mendapatkan perhatian besar
sebab komunitas non-heteroseksual (gay, lesbian, biseksual,
transjender) secara kultural tidak terlihat. Serentak dengan itu, aneka
serangan berupa kutukan, prasangka buruk, atau generalisasi negative
diarahkan kepada mereka.

Heteroseksisme menjadi penilaian ideologis karena dalam masyarakat
berlaku apa yang disebut Adrianne Rich sebagai compulsory
heterosexuality, yakni paksaan bagi sukyek-subyek sosial untuk mematuhi
heteroseksualitas sebagai kebenaran abadi yang tidak perlu digugat
legimitasinya. Pemaksaan heterokseksualitas tidak saja terjadi secara
kasar (koersif), tetapi juga secara lembut ( hegemoni melalui
kepemimpinan moral dan intelektual). Siapapun yang ingin diakui waras
dan normal harus mematuhi tatanan heteroseksualitas. Sebaliknya,
pihak-pihak yang tidak tunduk pada aturan ini dianggap tidak waras dan
abnormal. Metode kerja heteroseksisme adalah represi dan ekslusi, yakni
penindasan dan penyingkiran terhadap minoritas kaum
non-heteroseksualitas (gay, lesbian, biseksual, transjender) di
masyarakat.

Bias heteroseksisme gampang ditemukan dalam berita kriminalitas yang
menyoroti tindak kejahatan yang dilakukan seseorang yang
diidentifikasikan berorientasi seksual minoritas. Tragisnya, hal ini
tidak disadari kelompok mayoritas heteroseksualitas sebab kaum
minoritas itu dianggap melakukan kejahatan ganda, yaitu terlibat
pembunuhan dan orientasi seksualnya tidak normal. Media jelas berperan
sangat kuat dalam menanamkan dan menyuburkan bias heteroseksisme dalam
masyarakat.


http://www.itsmylifeclub.com/content/curhat/psikopat-dan-homoseksual

Read more...

Homoseksual Bawaan Atau.......

Sebuah studi mutakhir di Karolinska Institute, Swedia yang menunjukkan adanya kesamaan antara otak orang homoseksual dengan otak orang heteroseksual lawan jenisnya telah mendapat sorotan eksklusif dari media sejak studi tersebut dimulai. Hampir seluruh reportase media, termasuk BBC, menyimpulkan bahwa hasil studi tersebut menjadi bukti, atau paling tidak menguatkan dugaan, bahwa homoseksualitas dapat berasal dari faktor bawaan.

Yang mengkhawatirkan dari cara media meliput hasil studi ini adalah adanya bias yang cenderung mengikuti suatu arahan tertentu.

Studi yang dilaporkan dalam jurnal The Proceedings of the National Academy of Sciences tersebut men-scan otak 90 orang homoseksual dan heteroseksual, laki-laki dan perempuan, dan menganalisis kedua belahan otak dari setiap sampel. Ukuran belahan otak (hemisphere) tiap grup sampel dibandingkan dengan grup yang lain. Hasilnya menunjukkan bahwa belahan otak bagian kanan perempuan homoseksual (lesbian) dan laki-laki heteroseksual lebih besar daripada belahan otak kirinya. Sedangkan pada grup sampel perempuan heteroseksual dan laki-laki homoseksual (gay) sama-sama tidak dijumpai adanya perbedaan ukuran kedua belahan otaknya. Ilmuwan juga menemukan lebih banyak jumlah syaraf penghubung yang keluar dari amygdala kanan (struktur kecil mirip almond di dalam otak) pada lesbian dan laki-laki heteroseksual. Sementara itu, pada gay dan perempuan heteroseksual dijumpai lebih banyak pada amygdala kiri.

Sebuah “pertanyaan terbuka”

Sebenarnya bila dicermati, para ilmuwan yang melakukan penelitian ini sendiri pun mengatakan bahwa meski ada kemungkinan adanya entitas neurobiologis yang terlibat dalam kecenderungan seseorang menjadi homoseks, masih ada suatu pertanyaan terbuka yang tidak terjawab melalui studi mereka: observasi ini tidak dapat begitu saja dihubungkan ke studi persepsi ataupun perilaku. Apakah temuan ini berhubungan dengan proses-proses yang terjadi pada perkembangan janin ataupun pasca lahir masih merupakan pertanyaan terbuka.

Stasiun berita BBC yang meliput studi tersebut mewawancarai Dr. Qazi Rahman, seseorang yang diperkenalkan sebagai pengajar kognitif biologi pada Queen Mary, University of London. Dia berkata, “Sepanjang pengetahuan saya, tidak ada lagi argumen - jika anda seorang gay maka anda adalah gay sejak lahir”. Dia juga berkata, tanpa menghadirkan suatu bukti, bahwa perbedaan struktur otak ini merupakan hasil dari proses awal tumbuh kembang janin.

Semestinya stasiun berita dengan nama besar seperti BBC tidak mengambil bias dalam reportasenya, terutama dalam pemberitaan studi ini yang tidak mengklaim adanya pembuktian apapun. Terlebih studi tersebut baru pertama dilakukan dan belum ada yang mengklaim dapat mereplikasi dan mengkonfirmasi hasil temuan yang sama.

Neil E. Whitehead, Ph.D., seorang ilmuwan periset dan penulis kedua dalam buku My Genes Made Me Do It! menjelaskan bahwa metode mutakhir yang digunakan untuk meneliti perbedaan otak SSA (Same-sex attacted) dan OSA (Opposite-sex attracted) adalah Positron Emission Tomography (PET) dan Magnetic Resonanse Imaging (MRI). Upaya-upaya yang lampau belum terbukti dapat direproduksi.

Maka pertanyaannya adalah, “Seberapa besarkan peluang hasil studi tersebut terbukti dapat direplikasi”, tanya Whitehead. “Dalam bidang ini, pengalaman menunjukkan bahwa amat sangat disarankan untuk berhati-hati dan menunggu adanya replikasi… yang seringnya tidak terjadi”.

Perilaku menyebabkan perubahan?

Argumen terbesar bagi studi ini adalah observasi yang dilakukan pada sampel orang dewasa. Ukuran otak dan hubungan syaraf orang-orang yang dijadikan sampel ini belum pernah diukur sebelumnya. Dengan demikian tidak ada catatan sama sekali tentang keadaan parameter yang sama pada masa kanak-kanak mereka. Tidak ada baseline untuk membandingkan apa yang sekarang ditemukan.

Dalam papernya, tim Karolinska juga menyebutkan bahwa otak terus berkembang setelah masa pubertas, terutama pada laki-laki. Artinya, faktor sosial dan lingkungan kemungkinan berpengaruh pada perkembangan ini. Maka bagaimanakah caranya menyimpulkan apakah perubahan otak seseorang terjadi akibat perilakunya, ataukah perilakunya yang menyebabkan terjadinya perubahan otak, jika tidak ada baseline untuk memperbandingkan? Dengan kata lain, apakah homoseksualitas terjadi akibat perbedaan ukuran otak dan sambungan syaraf ataukah perbedaan ini yang disebabkan oleh homoseksualitas?

Dr. Whitehead mengatakan, “Meski pada orang dewasa, otak mengalami perubahan akibat merespon suatu pengalaman. Sebuah studi yang dipublikasikan dalam Nature beberapa tahun lalu menunjukkan bahwa latihan sulap selama 3 bulan membuahkan perubahan mikrostruktural yang dapat diukur pada otak orang dewasa, dan perubahan ini dapat dibalikkan”.

“Dengan kata lain, bukti yang pasti menunjukkan bahwa pengalaman mengubah struktur dan fungsi otak”.

Dr. Mamdouh El-Adl, seorang konsultan psikiatri di Inggris yang memiliki kekhususan dalam bidang kelainan psikoseksual sependapat. “Study Swedia tidak membuat kita dapat menyimpulkan bahwa perbedaan tersebut tidak disebabkan oleh pola-pola pengalaman dan tingkah laku”.

“Saya berpendapat, untuk dapat menyimpulkan demikian sekumpulan sampel perlu diamati semenjak lahirnya, diekspos pada faktor-faktor lingkungan yang sama, dan dikenai serangkaian test yang tepat”, imbuh Dr. El-Adl.

Whitehead mengatakan bahwa argumen tersebut (bahwa seseorang lahir dengan otak SSA ataupun OSA dan tidak mengalami perubahan meski telah menempuh berbagai pengalaman hidup sesudah lahirnya) sangat bersifat hipotetikal. “Untuk membuktikannya kita perlu men-scan ribuan otak bayi dan kembali melakukannya ketika mereka berumur 25 tahun, guna menyelidiki apakah ada korelasi antara struktur pasca lahir dengan aktivitas seksualnya ketika dewasa. Teori semacam ini secara inheren sulit diterima dan secara eksperimental adalah mimpi buruk”, ungkap Whitehead.

Jurnalisme sains yang baik vs yang buruk

Masalah lain terkait interpretasi media atas hasil studi tersebut adalah tentang pengukuran otak yang dilakukan. Para ahli dalam studi tersebut mengukur kedua belah otak secara keseluruhan. Sedangkan telah diketahui bahwa otak memiliki banyak bagian dengan fungsinya masing-masing. Dengan demikian amat penting bagi suatu studi semacam ini untuk mengetahui bagian mana yang menyebabkan pembesaran ukuran otak. Mengingat hal ini tidak diteliti dalam studi tersebut, maka amat mungkin pembesaran yang terjadi diakibatkan oleh bagian yang tidak berhubungan dengan fungsi yang diteliti. Hal ini tentunya dapat membawa kita pada interpretasi hasil studi yang sangat berbeda dari yang dilaporkan media.

“Tentang studi Swedia, paling jauh kita hanya bisa mengatakan bahwa terdapat perbedaan antara otak gay dan otak heteroseks, namun bukti yang paling kuat menunjukkan bahwa perbedaan ini muncul melalui pembelajaran dan pengalaman, bukan bawaan”, demikian Dr. Whitehead menyimpulkan.

“Peneliti studi tersebut telah menggarisbawahi beberapa point tentang neurobiologi orientasi seksual, dan mereka menyatakan dengan jelas bahwa hasil studinya tidak perlu menjadi batasan bagi berbagai penjelasan potensial lain ataupun bagi pengambilan suatu kesimpulan”, jelas Dr. El-Adl, yang juga anggota Royal College of Psychiatrist.

“Namun demikian, media mengambil studi tersebut sebagai jawaban pasti tentang neurobiologi homoseksual dan orientasi seksual. Jeleknya, hal ini makin menyebabkan kebingungan di kalangan publik, khususnya bagi mereka yang ragu tentang orientasi seksual dirinya. Orang-orang ini boleh jadi lebih terpengaruh pada pemberitaan media dan gaya reportasenya daripada menyadari bahwa ini adalah hasil non-konlusif dari suatu proyek studi kecil yang dimuat pada suatu jurnal ilmiah”, tambah Dr. El-Adl.

Dalam buku A Field Guide of Science Writers, Shanon Brownlee, seorang peneliti senior pada the New American Foundation bertanya pada jurnalis sains, “Apakah kita semestinya hanya melaporkan begitu saja tentang berita-berita medis: temuan-temuan baru, terobosan-terobosan baru yang dimuat dalam jurnal ilmiah? Ataukah kita seharusnya menjadi kritikus bagi dunia medis, menyingkap berbagai korupsi dan perbuatan buruk sebagaimana rekan-rekan kita yang meliput politik, militer, dan bisnis?”

Pertanyaan ini perlu ditanyakan kepada para jurnalis sains yang meliput homoseksualitas. Apakah jurnalisme sains telah kehilangan perspektifnya? Ataukah perkembangan-perkembangan baru perlu dibungkus mengikuti trend begitu saja?

Apakah gerakan hak asasi kaum gay telah sangat berpengaruh sehingga jurnalis sains dan ilmuwan seolah takut untuk mengkritisi sesuatu yang akan membuat mereka dicap sebagai homophobic, sesuatu yang secara politis tidak benar.

————————-

Sumber artikel:

Aisha El-Awady, M.D.

Lecturer of Parasitology, Cairo University

www.islamonline.net

Read more...

Homoseksual Tidak Permanen














Sejumlah penelitian mengenai homoseksualitas pada manusia maupun hewan masih banyak dilihat perbedaan sisi biologisnya namun jarang dipelajari penyebabnya. Sampai sekarang bahkan masih diperdebatkan apakah homoseksual merupakan bawaan lahir atau sifat yang dapat diubah.

Penelitian terbaru menunjukkan bahwa obat atau manipulasi genetika mungkin dapat mengaktifkan atau menonaftifkan sifat homoseksual. Setidaknya hal tersebut telah terbukti pada lalat buah, jenis hewan yang sering dipakai di laboratorium karena memiliki gen-gen yang juga dimiliki manusia.

Kecenderungan menyukai sesama jenis pada lalat buah sepertinya dikendalikan dari bagaimana setiap individu menilai bau hewan lainnya. Penelitian sebelumnya juga menunjukkan hasil yang sama pada manusia.

Dalam penelitiannya, David Featherstone dari Universitas Illionis, Chicago, AS menemukan sebuah gen di lalat buah yang disebut genderbuta atau GB. Gen ini berfungsi mengirimkan glutamate sebagai neurotransmitter ke sel-sel otak. Jika otak kekurangan glutamate, kekuatan sambungan sel-sel syaraf, yang disebut synaps, menurun. Hal tersebut akan mempengaruhi perilaku.

Peneliti lainnya, Yael Grosjean, menemukan bahwa seluruh lalat buah jantan yang mengalami mutasi pada gen GB menjadi suka dengan sesama jenis. Mutasi GB menyebabkan lalat buah menyukai lawan jensi maupun sesama jenis alias biseksual.

Untuk mengujinya, para peneliti mengubah kekuatan synaps secara genetik dan memberikan obat yang menguatkan synaps. Mereka menggunakan feromon, zat kimia yang diketahui meningkatkan gairah seks, baik pada hewan maupun manusia. Hasilnya, sifat homoseksual pada lalat buah muncul dan pergi dalam hitungan jam.

"Ini menakjubkan. Saya belum pernah berpikir kami dapat melakukannya karena orientasi seksual selama ini dianggap sebagai sesuatu yang permanen," ujar Featherstone yang melaporkan temuannya dalam jurnal Nature Neuroscience. Temuan ini akan mengubah cara pandang kita mengenai homoseksual.

Belum dapat dipastikan apakh pengaruh yang sama juga bekerja pada manusia. Namun, penelitian pada tahun 2005 menemukan bahwa bau zat kimia yang mengandung testosteron memicu aktifnya bagian otak yang mengendalikan hasrat seksual pada pria homoseks dan wanita biasa, namun tidak pada pria biasa.

http://www2.kompas.com/ver1/Iptek/0712/10/155818.htm

Read more...

Biarkan Kami Menari

>> Jumat, 10 April 2009



Baru - baru teman kelompok gay dan transgender yang ada di Banyumas batal tampil untuk menari tari Lengger pada acara HUT kota Banyumas. Menurut info yang diterima bahwa pihak Bupati menolak adanya penari Lengger yang ditarikan oleh laki - laki. Laki - laki yang berpakaian "perempuan". Sengaja aku buat tanda kutip kata perempuan. Karena aku berpikir bahwa pakaian itu tidak pernah berjenis kelamin. Masyarakat dan sistem sosialah yang membentuk dan menjenis kelaminkan pakaian tersebut. padahal pakaian bersifat netral. Dampaknya yang terjadi seperti yang dialami oleh teman - teman gay di Banyuwangi.

Kemudian kasus ini sempat menjadi perdebatan dibeberapa millis aids dan millis khusus gay. Tapi sayangnya sebagian teman - teman keomunitas gay di Indonesia malah lebih melihatnya dari sisi uang. Meyarankan bahwa lain kali kita semua untuk lebih berhati - hati sebelum ada kontrak yang jelas. Artinya bahwa kalau sudah ada kontrak maka akan semakin menguatkan bagi kelompok tari tersebut. Apakah akan dibatalkan atau tidak, tidak menjadi persoalan. Karena intinya uang sudah dibayarkan dan sudah ada kontrak yang jelas.

Mungkin kalau kita lihat dari sisi ekonomis, alasanya itu benar adanya. Tapi setelah aku konfirmasi dengan teman - teman Banyumas persoalannya bukan hanya uang. Tapi ada banyak persoalan termasuk soal kekecewaan yang dalam termasuk menyangkut persiapan yang sangat lama untuk tari Lengger. Semua pihak berusaha untuk mengklarifikasi persoalan itu, termasuk salah satu jaringan kelompok gay dan waria yang ada di Indonesia.

Tapi sayangnya tidak ada sama sekali melihat bahwa ini persoalan dari sisi bahwa tidak diakuinya sebuah indentitas diri.
Tidak ada yang membahas bahwa ini bukan persoalan uang, tetapi persoalan hak setiap untuk menari, baik itu laki - laki maupun perempuan. Bahwa larangan itu secara langsung telah melarang teman - teman Transgender maupun komunitas gay untuk tampil di Banyumas. Untuk merayakan bersama hari ulang kota Banyumas.

Bupati telah merampas hak - hak sekelompok orang untuk berekpresi dan berkarya. Padahal hukum kita sudah sangat jelas melindungi hak itu. Dan tidak ada larangan dalam bentuk apapun bahwa tari Lengger itu itu harus ditarikan oleh laki - laki maupun perempuan. Bentuk - bentuk dan sikap Bupati Banyumas itu menunjukkan satu arah yaitu yang dinamakan dengan Homophobia. Tapi lagi - lagi tidak ada satupun kelompok yang menjadikan isu ini sebagai isu pembahasan yang serius.

Bagaimanapun larangan Bupati itu adalah sebuah kebijakan yang akhirnya menjadi mengikat. Karena kedudukan dan jabatannya lah Bupati dapat memerintahkan itu. Kasus ini sebenarnya bukan kasus yang pertama tetapi sudah ada beberapa kepala daerah yang melakukan hal yang sama. Dan kelompok gay dan trasngender memilih untuk diam saja. Karena lagi - lagi memang "kami" kelompok yang selalu mendapatkan diskriminasi itu. Tapi ironisnya ada salah seorang kepala daerah di Jawa Barat yang juga melarang untuk gay dan Transgender tampil di publik. Alasannya hanya karena kepala daerah itu bagian dari kelompok gay tersebut. Jadi berusaha untuk menutupi identitasnya. Jadi homoseksual yang Homophobia.

Dalam hal ini bukan kah pemerintah seharusnya menanguni semua warga tanpa terkecuali. Bukan kah gay dan Transgender juga warga kota Banyumas. Yang dalam hal ini punya hak yang sama untuk menarikan Lengger sebagai bagian dari peninggalan budaya kota Banyumas.

Sayang sekali sikap Bupati ini sampai sekarang ini tidak pernah dibahas serius untuk melakukan tindakan protes tegas. Misalnya melayangkan surat protes keras dan melaporkan kepada KOMNAS HAM, misalnya. Tapi sayangnya upaya itu tidak sama sekali dilakukan oleh teman - teman gay. Saya sebagai bagian dari komunitas gay, hanya menulisa yang bisa saya lakukan. Tapi saya berharap tulisan ini memprovokasi kita semua untuk peduli terhadap perjuangan hak asasi manusia. Dalam hal ini kelompok homoseksual di Indonesia.

Wasalam


Toyo
Kalibata, 10 April 2009

Read more...

Serat Centhini Abad 21

>> Selasa, 07 April 2009



Pada tanggal 4 April 2009 pukul 16.00 Wib. Di Komunitas Salihara Pasar Minggu dilakukan diskusi umum membahas soal Serat Centhini.

Pembicaranya Elizabeth D.Inandiak, dia adalah seorang penulis buku yang judulnya Centhini, kekasih yang tersembunyi. Buku nya ada dijual dipasaran. Jika ada yang minat bukunya mungkin bisa dipesan di penerbitnya langsung dengan email babadalas@gmail.com. Elizabeth ini adalah seorang perempuan berkewargaan Perancis yang hampir 4 tahun melakukan riset soal naskah kuno serat Centhini di Jawa.

Pembicara yang kedua adalah Ibu Junanah, perempuan ini adalah seorang dosen bahasa Arab di UII Yogyakarta. Selama ini beliau banyak mempelajari soal kesastraan Aran dalam serat Centhini. Acara ini dimoderatori oleh Nong Darol Mahmada, aktivis AKKBB.
Acara diskusi kali ini adalah bagia
n dari kegiatan sepekan perempuan bulan April yang diadakan oleh Salihara dan lembaga - lembaga lain. Salah satunya dengan Jurnal Perempuan, Kalyanashira Foundation dan Kartini Asia untuk kegiatan V-festival. Semua kegiatan itu adalah untuk menyambut hari Perempuan International pada bulan Maret dan Hari Kartini pada bulan April.

Sebelum dimulai acara sudah ramai pengunjung yang datang. Apakah kedatangan pengunjung sekaligus mengikuti acara malam harinya. Pembacaan sastra perempuan. Tapi minimal pada saat acara dibuka sangat ramai sekali pengunjung yang hadir. Sepertinya tema serat Centhini ini memang menjadi isu yang banyak ditunggu oleh banyak orang. Sehingga peserta diskusi sampai harus mendengarkan diluar ruangan, karena tidak cukup menampung ruanga
n. Mungkin peserta diskusi yang paling banyak selama aku ikuti diskusi di Salihara.


Artinya bahwa isu seksualitas memang masih menjadi isu yang menarik dibahas. Karena kita tahu apabila kita mendengar kata serat Centhini maka bayangan kita adalah soal 'kamasutra" ala Jawa. Atau mungkin juga diperngaruhi karena sekarang adanya UU Pornografi di Indonesia.

Atau mungkin karena memang serat Centhini dianggap sebuah naskah yang jarang dibahas secara mendalam. Sehingga acara ini memang ditunggu oleh banyak orang. Sebelum teman – teman bosan, aku akan mulai berbagi apa yang dapat bagi dari substansi diskusi pada saat

itu.

Ibu Elizabeth D.Inandia menulis buku ini awalnya mendapatkan mandat dari duta besar Prancis Thierry de Beauce’ untuk mengkaji Serat Centhini ini. Sejak itu lah petualangan Elizabeth dimulai.

Buku yang ditulis oleh Elizabeth D.Inandia dengan judul CENTHINI, kekasih yang tersumbunyi. Merupakan hasil “serapan” dari serat Centhini yang “asli” dan ditambah dengan literatur yang lainya. Jadi penulis dalam hal ini tidak sepenuhnya mengambil naskah asli. Tapi meramunya dengan teori – teori ilmu lain. Baik dari buku – buku kebudayaan Jawa, bahkan sampai pemikiran dari Victor Hugo yang dijadikan jendelanya penulis. Buku ini kerjakan selama 4 tahun lamanya oleh penulis. Selain mengacu pada teks – teks tertulis juga didukung oleh literatur non tertulis (lisan). Dari mulai petani, nelayan, kyai, penjaga makam Giri sampai tokoh besar Gus Dur ditanya untuk dimintai keterangan. Sehingga kekuatan dari buku ini adalah penulis berhasil menafsirkan serat Centhini versi baru. Sehingga penulis menamakan bukunya ini adalah “Serat Centhini Abad 21”.


Penulis yakin bahwa penulis serat Centhini yang asli juga berdasarkan literatur dari lainnya. Artinya naskah aslinya juga tidak pernah berdiri sendiri. Sehingga ada hal – hal yang banyak diputar balikan ceritanya dalam buku versi ini. Misalnya hubungan Sultan Agung dengan Nyi Roro Kidul. Yang dalam naskah asli Nyi Roro Kidul yang tergila – gila dengan Sultan Agung, tetapi dalam buku ini justru situasinya dibalik.


Dengan alasan salah satunya menurut penegtahuan penulis bahwa Nyi Roro Kidul adalah mahluk “halus” dan hebat sehingga tidak akan mungkin mencintai Sultan Agung. Dan ini juga ada muatan politik kepada rakyat yang dilakukan oleh Sultan Agung, bahwa kalau ingin menguasai Nusantara maka harus dapat menguasai laut. Karena wilayah Nusantara itu lebih luas wilayah lau

tnya daripada daratan. Sehingga penguasaan Nyi Roro Kidul sebagai simbol untuk menguasai nusantara. Logika itu yang digunakan oleh Sultan Agung untuk meyakinkan rakyatnya. Menurut penulis menjelaskan kepada seseorang penannya.


Serat Centhini yang asli adalah cerita dengan latar belakang abad 17

(tahun 1646 – 77 M). Masa pemerintahan raja Amangkurat di kerajaan Mataram (Sultan Agung ) di Jawa Tengah dengan Sunan Giri di Jawa Timur (masa kerajaan Blambangan). Kemudian baru dibukukan pada masa raja Pakubuwono V ( tahun 1820 – 1823 M) keturanan Sultan dan titisan

dari Amongraga (tokoh dalam serat Centhini). Sehingga masa itu adalah masa dengan latar belakang Islam yang “kuat”. Nanti kita bisa memahami suasana dengan latar belakang masyarakat dan raja – raja penganut Islam yang “taat” pada saat itu. Untuk menuliskan naskah kuno ini, Pakubuwono meminta tiga pujangga (Sastranagara, Ranggasutrasna dan Sastradipura). Dalam naskah asli hanya dituliskan satu pujangga saja.


Proses penulisan buku ini, dimulai dengan melakukan peterjemahan buku asli serat Centhini dari naskah Jawa dituliskan kembali menjadi tulisan Jawa latin. Yang dilakukan oleh H. Karkono Kamajaya diterbitkan pada tahun 1992. Kemudian naskah latin Jawa itu diterjemahkan dalam bahasa Indonesia yang selesai pada tahun 2008. Dan naskah asli Serat Centhini sudah ada dalam bahasa Indonesia sebanyak 12 jilid yang diterbitkan oleh Gadjah Mada University Press. Peterjemah jilid 5 – 12 adalah Prof Dr Marsono. Sedangkan untuk jilid 1 – 4 diterjemahkan dalam bahasa Indonesia oleh Tim Penyadur Darusuprapta pada tahun 1991 diterbitkan oleh Balai Pustaka.


Setelah naskah 12 jilid ada, baru diterjemahkan kembali ke bahasa Perancis. Mulai Elizabeth bekerja. Walau penulis juga akhirnya belajar banyak soal sastra Jawa selama bertahun – tahun tinggal di Yogykarta. Kerja yang sangat luar biasa sekali. Serat Centhini yang asli terdiri dari 4.000 halaman dengan ratusan tembang. Sehingga memang diakui oleh banyak orang bahwa serat Centhini adalah maha karya sastra Jawa kuno yang paling luar biasa karena menyangkut banyak kehidupan manusia.


Walaupun penulis mempunyai kebebasan untuk membaca kembali serat Centhini asli. Tetapi sayangnya penulis sudah menjaga “jarak” dengan persoalan gender, identitas gender. Terutama untuk persoalan seksualitas. Padahal serat Centhini banyak bicara soal perjuangan dan cerita soal perempuan pada masa itu. Dari mulai soal seksualitas, keadilan gender dan identitas gender. Penulis sama sekali “membiarkan” kejadian – kejadian secara natural saja. Tetapi tidak untuk persolan politik lainnya. Padahal jika penulis kuat dan tertarik untuk isu feminis dan seksualitas. Menurut aku akan lebih menarik karya buku ini. Karena kekuatan serat Centhini pada persoalan perjuangan perempuan dan soal “kebebasan” seksualitas. Termasuk menyangkut soal homoseksual dan biseksual.


Serat Centhini sendiri adalah cerita perjalanan dua orang manusia Amongraga (laki – laki) dan Tambangraras (perempuan). Keduanya adalah suatu istri. Kemudian mereka berpisah pada saat malam malam ke 40. Setelah suaminya menyetubui istrinya pada malam 40 hari perkawinannya. Sejak itu lah petualangan dimulai. Tambangraras mencari suaminya ditemani dengan perempuan yang namanya Centhini. Tambangraras adalah seorang perempuan yang cerdas. Sedangkan Centhini adalah seorang pembantu Tambangraras yang sangat patuh sekali.

Menurut penulis dan pembicara yang lain (Ibu Junanah) mengapa justru Centhini yang menjadi ikon / judul buku dalam naskah itu? Kemungkinan pesan dari naskah itu adalah ingin menampilkan sosok Centhini yang sangat abdi kepada majikannya yang sangat taat. Sehingga kalau dikaitkan dengan ajaran Islam bahwa kalau ingin menjadi Sufi, penganut Islam mistik maka harus tambah dan ikhlas atas kehendak pemimpinnya. Itu yang digambarkan oleh tokoh Centhini. Memang serat Centhini ini menurut ibu Junanah menggambarkan bagaimana kalau cara mencapai Manunggaling Kawula Gusti (ajaran Syeh Siti Jenar). Pasra pada tuhan dan harus patuh kepada pemimpinanya. Gambaran kepatuhan itu sangat ditampilkan oleh tokoh Centhini dalam naskah itu.


Menurut aku (Toyo), bahwa serat Centhini juga punya kepentingan politik pada saat dibukukan oleh raja Pakubuwono V. Kita tahu bahwa ini adalah ide dari raja Pakubuwono V. Sehingga isi serat Centhini asli atas “restu” dari raja. Malah beberapa jilid yang kononya dituliskan langsung oleh Pakuwono V terutama untuk persoalan seksualitasnya. Karena sastarawan kurang nyaman dengan isi ceritanya.

Sehingga menurut ibu Junanah nilai sastra Arab dalam serat Centhini banyak yang sudah “salah”. Malah sebagaian ulama bahwa ajaran Islam dalam sastra serat Centhini sudah banyak yang “menyimpang”. Tapi argumentasi Ibu Junanah menurutku hanya karena saja tidak terbiasa melihat perbedaan tafsir dalam Islam. Itu sangat terasa sekali ketika ibu Junanah menjelaskan beberapa hal berkaitan dengan isi serat Centhini dalam konteks ajaran Islam.

Sehingga dalam hal ini sangat mungkin sekali kepentingan Pakubowono V untuk meneguhkan kekuasaan dan kepatuhan rakyatnya kepada raja. Mungkin ini juga mengapa orang Jawa, misalnya di Solo dan Yogya sangat patuh dengan raja. Ini asumsi Toyo saja. Mungkin saja asumsi ini juga salah. Sehingga masih perlu dikaji lebih jauh lagi soal ini.


Gambaran sangat “vulgar” soal sex memang banyak digambarkan dalam serat Centhini dalam buku ini. Misalnya penggunaan kata kontol, penis, minum mani atau hal – hal selama ini yang dianggap tabu oleh masyarakat. Memang kalau dikaitkan dengan UU Pornografi serat Centhini akan mendapatkan larangan terbit dalam konteks sekarang. Karena memang ada secara eksplisit menyebutkan payudara dan alat kelamin laki – laki perempuan. Selain hubungan heteroseksual juga disebutkan soal hubungan homoseksual.


Jadi sering dalam tembang – tembangnya disebutkan kalau misalnya laki – laki minum sesuatu ramuan maka bisa dapat cintia oleh perempuan dan laki – laki. Kalimat – kalimat itu beberapa kali muncul. Ini artinya dalam serat Centhini hubungan seksual manusia menjadi tidak berjenis kelamin. Walau juga ada larangan yang disampaikan karena latar belakang Islam itu. Tapi lagi – lagii penulis tidak banyak membongkar seksualitas dari konteks kekinian. Sehingga sangat kurang dalam. Bagaimana Adipati (laki – laki) begitu menikmati hubungan dengan Cebolang (laki – laki ) dan Nurwitri (laki – laki). Bahkan pada isi tembang 51 dan 52 digambarkan sampai melakukan anal sex sang Adipati bersama Cebolang dan Nurwitri. Serat Centhini ini menjadi bukti lagi bahwa persoalan homoseksual sudah ada sejak dulu bahkan mungkin sejak adanya adanya peradaban manusia.


Cerita dari serat Centhini kalau mau dikupas lagi soal gerakan perempuan banyak sekali. Karena pada umumnya ceritanya banyak melibatkan sosok perempuan yang pemberani dalam Medan Perang. Sampai ada seorang tokoh Kasanah yang menjadi korban pemerkosaan dan pelecehan seksual. Kemudian dia berjuang untuk hidupnya sampai dia berhasil menjadi raja. Tetapi memang Kasanah digambarkan dengan berubah identitas gendernya. Artinya Kasanah menggunakan atribut laki – laki. Walau akhirnya Kasanah menyebutkan dirinya bukan laki – laki dan juga bukan perempuan. Kalau penulis mau membongkarnya ini bagus sekali. Karena ini seperti simbol patung Ardhanary, bahwa tubuh manusia ada unsur maskulin dan feminin. Menurut Kasanah dirinya sekarang sudah menuju kepada pengabdian kepada Tuhan. Sehingga tidak lagi berjenis kelamin. Ini menarik sekali kalau penulis dapat mengkajinya dari teori seksualitas dalam konteks teori postmodernisme.


Belum lagi soal perjalanan Centhini dengan majikannya Tambangraras, karena keamanan. Kedua perempuan menggunakan simbol dan pakaian perempuan. Dalam proses perjalanan mencari suaminya, Amongraga. Selain itu ada juga cerita hancurnya kerajaan Giri dikalahkan oleh istri dari panglima perang Sultan Agung. Yaitu panglima Pekik. Ada banyak cerita dalam serat Centhini yang menggambarkan sosok perempuan yang pemberani. Termasuk dengan Centhini sendiri yang sangat kuat dan taat. Kemudian kalau untuk transgender, dalam buku ini digambarkan kalau Adipati ingin melakukan hubungan dengan laki – laki. Adipati meminta laki – laki itu berdandan layaknya perempuan. Baru kemudian mereka berhubungan badan. Tapi pada satu saat Adipati minta untuk difuck (dianal) dengan pasangan laki - laki yang didandani layaknya perempuan. Ini menunjukkan bahwa relasi hubungan seksual itu sangat cair sekali. Sama seperti yang terjadi sekarang ini bahwa seorang waria tidak selalu menjadi objek penetrasi, tetapi bisa menjadi subjec penetrasi. Menarik menurut aku. Sayangnya Elizabeth kurang peka terhadap isu ini, sehingga tidak dibahas dan dikaji lebih dalam.


Selain soal seksualitas dan feminisme, ada kritikan ku lagi untuk penulis. Menyangkut inkonsisten dalam membuat buku ini. Dalam buku Elizabeth digambarkan seorang raja yang mempunyai istri 12 orang. Padahal isinya digambarkan raja itu adalah seorang muslim yang taat dalam Islam. Saya berpikir apakah mungkin seorang yang taat dalam Islam tetapi memunyai istri sampai 12 orang. Bukan kah itu artinya dia tidak taat lagi kepada ajaran Islam?

Karena Islam dengan tegas hanya “membolehkan” sebanyak 4 orang. Aku kurang senang sebenarnya membahas soal poligami yang ini.

Walau aku tahu bahwa raja – raja dahulu banyak mempunyai selir. Atau memang pada saat itu persoalan ketaatan tidak menyangkut persoalan seksualitas. Artinya laki – laki atau raja bebas mempunyai berapa saja istri. Tetapi asal menunaikan syariat yang lainya masih digolongkan taat. Jadi ketaatan terganggantung bagaimana raja mendefinisikannya. Sayang unsur – unsur itu juga luput menjadi kajian penulis (baca Elizabeth).


Jadi dalam proses perjalanan itu ada cerita tokoh – tokoh lain. Dalam tokoh2 itu dibahas soal hubungan seksualitas. Hanya menurut saya walaupun serat Centhini menggambarkan begitu bebas soal seksualitas. Tetapi tetap saja frame/kerangkanya adalah moral. Artinya beberapa cerita yang menggambarkan bebasnya sex diperankan oleh tokoh – tokoh yang “bejat” atau tidak bermoral dalam pandangan Islam mainstream pada saat itu. Yang akhirnya sebagian tokoh menjadi tobat. Begitu lah umumnya cerita dalam serat Centhini tersebut. Mudah aku salah melihatnya.


Diakhir cerita walau Amongraga dan istrinya (Tambangraras) ketemu. Tetapi kemudian mereka berpisah kembali. Amongraga akhirnya dibuang ke laut, sama nasibnya seperti cerita Syeh Siti Jenar. Dan akhirnya mereka berubah menjadi gendon (sejenis ulat besar) yang dimakan oleh Sultan Agung. Yang gendon jantan dimakan oleh Sultan Agung sedangkan yang cewek dimakan oleh pangeran Pekik. Setelah gendon masuk dalam perut Sultan Agung, maka kemudian berubah menjadi Amangkurat I. Sehingga ada kepercayaan Amangkurat I sebagai jelmaan dari Amongraga. Karena Amongraga memang bernafsu ingin mengalahkan Sultan Agung. Dan akhirnya Amungkarat I kemudian turun temurun menjadi Pakubuwono sekarang ini.

Ini adalah hasil diskusi dan hasil bacaan dari makalah dan buku Serat Centhini abad 21. Ini menjadi peluang untuk dapat mengkaji serat Centhini asli dari perspektif perempuan, seksualitas maupun kajian Islam progresifnya. Akan menjadi lebih menarik sekali kalau dapat dikontekskan kekinian. Seperti yang dilakukan oleh Elizabeth.


Akhir kata, aku tetap memberikan apresiasi yang luar biasa kepada penulis (baca Elizabeth) yang sudah membuka jendela bagi setiap orang. Untuk dapat mempelajari isi serat Centhini dari berbagai aspek kehidupan manusia. Sehingga serat Centhini akan benar – benar menjadi naskah kuno yang bersejarah dan selalu terkontekskan. Sehingga sampai kapan pun naskah itu akan menjadi kajian menarik oleh siapapun. Mari mulai kita membaca kembali serat Centhini itu sebagai warisan budaya bangsa. Mudah – mudahan kedepannya akan banyak ditemukan serat Centhini2 lain yang bukan hanya soal sejarah Jawa. Tetapi juga meyangkut budaya Melayu, Aceh, Batak, Dayak, Papua, Sulawesi dan sebagainya. Sehingga akan semakin menarik untuk memperkaya kebudayaan bumi pertiwi ini. Yang sudah tergantikan dengan adanya UU PORNOGRAFI.


Salam Keberagaman


Toyo


Mampang, 7 April 2009






Read more...