RESENSI BUKU

>> Minggu, 29 Maret 2009

Nestapa “Gay” di Negeri Syariat

Judul Buku : Biarkan Aku Memilih; Pengakuan Jujur Seorang Gay yang Coming Out
Penulis : Hartoyo dan Titiana Adinda
Halaman : 134 halaman + xxx
Penerbit : Elex Media Komputindo (Gramedia Group)
Terbit : Februari 2009

Oleh
Murizal Hamzah

Tujuh polisi menghajar dua pemuda tanpa ampun. Belum puas, anggota Polisi Sektor Banda Raya, Banda Aceh, memaksa pemuda itu mencopot semua baju dan celana. Seorang polisi menodongkan senjata laras panjang ke anus pemuda itu. Kemudian seorang pemuda dipaksa memegang penis rekannya hingga ereksi. Tiga puluh menit kemudian, pukul 02.00 WIB, mereka digiring ke halaman Markas Polisi Sektor (Mapolsek) dengan berjongkok. Lalu dimandikan dengan selang air. Ketika seorang pemuda ingin buang air kecil, polisi meminta dia untuk kencing di atas kepala rekannya. “Proses itu berlangsung selama 15 menit. Aku sangat marah, tapi tidak bisa mampu berbuat apa-apa,” tulis Hartoyo dalam buku bersampul putih ini. (hlm. 84-85).

Apa kesalahan dua pemuda itu? Dalam buku inilah Toyo--panggilan akrab Hartoyo-- memaparkan secara ringkas kisah dirinya, seorang gay yang tinggal di negeri syariat. Tragedi penyiksaan ini diawali pada malam 23 Januari 2007 di Banda Aceh. Kala itu, pria dari Binjai Sumatera Utara ini sedang asyik memadu kasih di kosnya dengan pasangannya Bobby (nama samaran), warga Aceh. Warga menangkap mereka di lantai dua Kedai Kopi Pesona di Lamlagang Banda Aceh.

Dalam sekejap, pukulan bertubi-tubi mendarat di sekujur tubuh gay ini. Mereka dianggap telah mencemarkan desa tersebut. Kemudian, warga bingung, mau dibawa ke mana dua gay ini? Jika diusung ke Kantor Waliyatul Hisbah alias polisi syariat--lembaga ini hanya ada di Aceh--warga khawatir esok nama desa ini masuk koran dan ini sama artinya mendatangkan aib. Akhirnya, polisi dipanggil untuk menjemput Toyo dan Bobby.
“Gay” Sejak SD

Di lembaga pengayom masyarakat inilah, dua gay itu kembali disiksa. Esok paginya, mereka dibebaskan setelah penggiat kemanusiaan datang. Seminggu kemudian, setelah didukung oleh berbagai lembaga pembela HAM, perempuan di Jakarta dan Aceh, Toyo yang bekerja di Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) di Banda Aceh pascatsunami 2005 ini melapor balik kekerasan yang dilakukan oleh polisi. Setahun kemudian, Pengadilan Negeri Banda Aceh pada 8 Oktober 2008 melakukan persidangan dengan empat terdakwa anggota polisi. Vonis hakim, pelaku dihukum tiga bulan penjara dengan masa percobaan enam bulan serta denda Rp 1.000. Pelaku tidak harus menjalani hukuman di penjara karena dihukum percobaan.

Dari kasus ini juga, Toyo memahami ada teman-temannya di lembaga kemanusiaan yang tetap mendukung dia atau menceramahinya. Padahal, sebagai lembaga kemanusiaan, mereka harus menghargai berbagai perbedaan, termasuk memilih menjadi gay. Karena itu, dia mempertanyakan lembaga-lembaga kemanusiaan di Aceh yang mengesampingkan isu penyiksaan dirinya karena berkaitan dengan seksualitas. Apakah seorang gay tidak layak untuk hidup aman di bumi Serambi Mekah?

Tak diragukan lagi, Toyo merupakan gay sejati. Sejak kecil hingga kini, dia senang dengan laki-laki. Masa kecil dilalui dengan sukacita sekaligus pada masa itu juga dia merasakan diri sebagai gay. Ketika kelas 5 SD, dia menawarkan saudaranya untuk dipijit. Toyo kecil tidak paham, mengapa dirinya senang mengamati pria bugil. Hingga jari Toyo pun meremas-reman penis saudaranya, menciumnya. Anehnya, saudaranya, membiarkan aksi itu. Sejak itulah, rasa suka dengan laki-laki terus dirasakan dan semakin besar (hlm 8).

Inspirasi bagi Keluarga
Menyimak lembaran demi lembaran, termasuk empat halaman berwarna foto Toyo di berbagai daerah, pembaca diberi kebebasan untuk memahami cara pikir dan bertindak seorang gay. Dalam pengantar penulis, secara terus terang pengalaman ini disampaikan bukan untuk mencari “pembenaran” dan meminta belas kasihan orang. Apalagi mengajak orang lain memilih menjadi gay.

Penulis mengakui, buku yang mengisahkan pengalaman hidup seorang gay dari sisi kemanusiaan selama ini belum banyak diterbitkan. Toyo menuturkan, menjadi gay adalah sebuah pilihan kejujuran hidup. “Buku ini menjadi inspirasi bagi keluarga yang mulai tahu bahwa ada anggota keluarganya yang menjadi bagian kelompok lesbian, gay, biseksual, transgender, interseks, dan quee (LGBTIQ). Bagaimana bersikap manusiawi terhadap anggota keluarga,” tulis Toyo yang menghabiskan masa kuliah selama lima tahun di Universitas Syiah Kuala Banda Aceh.

Sejatinya, buku ini layak dibaca oleh siapa saja yang ingin mengetahui dunia gay, termasuk juga di Aceh yang membentuk komunitas sendiri. Yang sangat menakutkan bagi seorang homeseksual adalah keluar dari persembunyian dan memproklamasikan kepada publik bahwa dirinya adalah gay. Dalam hal ini, Toyo telah memperlihatkan diri bahwa Indonesia tidak hanya memiliki keragaman suku bangsa, agama, budaya, tapi juga keragaman seksual. Dan tentu saja, semua orang bisa tinggal di seluruh pelosok Bumi Ibu Pertiwi ini. n


http://www.sinarharapan.co.id/berita/0903/28/opi05.html

Read more...

Hartoyo : Coming out for his rights

>> Jumat, 27 Maret 2009


Bruce Emond , The Jakarta Post , Jakarta | Fri, 03/27/2009 2:29 PM | People

(JP/Bruce Emond)

When he was an NGO worker involved in gender rights in farming communities, Hartoyo says he was greeted as a hero wherever he went. Today, in his more personal battle for gay rights in Indonesia, it's a much lonelier journey.

"Fighting for gay rights is so different from other humanitarian causes such as education or helping the poor, even sex workers," says the 33-year-old, known as Toyo. "If we are working for gay rights, we're considered somebody who is totally amoral. I'm not out to be a hero, but we are not even given respect as a person trying to achieve something."

He puts the stigma in blunt terms. "They think I am just fighting for penises and vaginas. That is the challenge for me."

The founder of One Voice, a group for empowering gay and bisexual men in Indonesia, is about to take another step in his journey. His autobiography Biarkan Aku Memilh: Pengakuan Seorang Gay (Let Me Choose: The Coming Out Declaration of a Gay Man) will be launched in Jakarta on April 17, followed by a speaking tour of several major cities.

He says he is ready for whatever reaction the book may get; it has several graphic passages about his sexual awakening and a harrowing description of his torture by police in Aceh. A slight, excitable man with a watchful gaze, he has been reviled on websites and received death threats by SMS. Although he sometimes wonders why gay rights is his calling, he has gone through too much to stop now, even if he is mostly going it alone.

While gay people in the West are demanding the right to civil unions, most Indonesian homosexuals are firmly in the closet, despite gay men becoming an increasingly visible part of the urban landscape of Jakarta and other major cities. In conformist, religious and family-oriented Indonesian society, a "don't ask, don't tell" policy still exists for what is considered a deviant lifestyle.

It's not just the general public that is dismissive of the concept of gay rights. Many men who have relations with other men (lesbians in patriarchal Indonesia face their own issues) are not interested in the politics of their sexuality. They are uneasy, even hostile toward gay men who come out publicly.

"They consider it wrong, that I'm strange for doing this," says Toyo, who adds that he does not blame them for their opinion. "They are part of a heterogenist society where they have been taught that being gay and their identity is just about sex. They're victims, too."

The youngest son from a large family of Javanese transmigrants, Toyo was raised in Binjai, North Sumatra. His father was a civil servant and his mother died when he was about two. It was a deeply religious community, and Toyo would study at a madrasah after regular school. He says he is a product of his Javanese ancestry and the more forthright approach of the local Batak people.

He knew early on that he was different. In his book, he tells of declaring to his friends in elementary school that he didn't like girls, which was met by a chorus of laughter.

His teenage years were marked by intense feelings of guilt about his homosexuality. It was only later, when working for an international NGO, that he developed a greater understanding of his identity. He describes an almost mystical experience when all of his repressed feelings and anger suddenly poured out during a meditation session. He read up on homosexuality from websites, and gradually began to come out to colleagues.

His tenuous reality of acceptance was shattered after he moved to Aceh to work in the field of women's and children's rights after the 2004 tsunami. On a January night in 2007, a group of people broke down the door of his rented room in Aceh, beat him and his boyfriend, ransacked his possessions and called the police.

He thought that he would be safe once in custody. Instead, for the next three hours, the two men, mainly Hartoyo, because he says he argued with the police, were subjected to abuse.

In a Jakarta coffee shop on a Saturday morning, a world away from Aceh where sharia law is practiced, Hartoyo takes a deep breath when asked to describe that experience. He says he still shudders when he hears a sudden knock on his door.

"We were treated like animals," he says of being stripped naked, forced to perform sex acts and being urinated upon.

The abuse (the two men were later forced to sign a "contract" stating they would not engage in homosexual relations again) was humilating enough. The reaction of others was also hurtful. Some said he should have known better than to have a homosexual relationship in Aceh of all places.

"I couldn't believe what I was hearing," he says indignantly. "Aceh is still part of Indonesia and the police are supposed to protect citizens ... torture is barred even under war conventions. But everybody was silent when my case came out. I felt it was as though the torture was acceptable because I'm gay."

He pursued his case against the police; when it finally came to trial in October 2008, four policemen were given suspended sentences and fined Rp 1,000 each, the same sentence that might be given for failing to wear a motorbike helmet on the road. He says he was shocked when the judge lectured him that the police had done the right thing in their treatment of him, thereby preventing another tsunami hitting Aceh.

"I was the accused, not the victim," he says.

If anything, such treatment has emboldened him. He denounced the media frenzy last year surrounding serial killer Ryan, which painted homosexuals as jealous, possessive characters with psychopathic tendencies. He plans to send his book to President Susilo Bambang Yudhoyono and the Aceh Police chief, among others, in the hope that his case may be reopened.

He wants gay people living in remote corners of the country to read his story and know they are not alone. He also hopes that one day at least one respected Indonesian public figure will be brave enough to come out.

"I've chosen to publicize my experiences and campaign about this, and that means I'm ready for the consequences of my choices," he says. "Let others disagree with my position, as long as they don't use violence or don't try to force what they want on others. If they don't agree, then let's engage in dialogue. We're still a democratic country."

Biarkan Aku Memilih, co-written by Titiana Adinda, is published by PT Elex Media Komputindo

http://www.thejakartapost.com/news/2009/03/27/hartoyo-coming-out-his-rights.html

Read more...

Gay-Waria dan Urgensi Tes HIV/Aids

>> Selasa, 24 Maret 2009

Ada beberapa hal yang aku ingin tanya dari undangan dibawah ini :

1. Apakah istilah kelompok rentan masih tepat sebagai upaya untuk penghapusan
diskriminasi dalam pencegahan HIV dan AIDS?
2. Apakah yang VCT nya rendah itu hanya gay - waria saja? Apakah perempuan,
pecandu, PSK, tokoh agama, pejabat atau orang juga sudah mempunyai kesadaran
yang tinggi untuk melakukan VCT?
3. Kalau alasan gay - waria malu diketahui jati dirinya, sehingga sulit VCT.
Pertanyaannya adalah sebenarnya akar persoalan apa? Dan apa yang harus
dilakukan? Apakah tepat mendorong gay - waria VCT, padahala persoalannya "MALU
dengan Identitasnya"

Menurut saya kalau masih banyak orang atau lembaga masih berpikir bahwa gay -
waria seperti ada pada undangan ini. Program2 seperti ini akan cuma menghabiskan
sumberdaya saja. Karena persoalan kuncinya bukan soal mereka tidak mau VCT.
Tapi ada banyak soal yang harus mereka hadapi, misalnya seperti yang sudah aku
sampaikan diatas, persoalan identitas, kemudian bagaimana kalau sudah ODHA
kelanjutannya gimana? Misalnya ARV saja kesediannya masih masalah, stigma
masyarakat yang masih tinggi terhadap ODHA, pecandu, PSK ataupun waria - gay.

Karena sangat mungkin sekali orang lebih "memilih" mati daripada harus tahu
sebagai ODHA dan kemudian di diskriminasikan oleh masyarakat maupun keluarga.

Kemudian cara pandang kita terhadap penyakit HIV AIDS ini. Semakin ada banyak
lembaga yang khsusus menangani HIV AIDS, seperti UNAIDS, Depkes dan KPA. Tapi
persoalan diskriminasi tidak menunjukkan perubahan lebih baik. idikatornya
adalah dulu belum ada satu pun kebijakan yang menyebutkan homoseksual itu
menyimpang atau dikriminalkan.

Tapi pada tahun 2008, UU Pornografi menyebutkan
bahwa homoseksual adalah persenggamaan yang menyimpang. Pertanyaannya adalah
dimana tuh lembaga - lembaga yang aku sebutkan diatas posisinya??. Sekarang saya
sedang sebagai pemohon JR UU Pornografi. Tapi tidak ada satupun lembaga yang aku
sebutkan diatas memberikan dukungan baik materi maupun moril bagi gerakan
Judicial Review UU Pornografi tersebut. Semua sibuk dengan program "jualan"
kondomnya saja.

Artinya persoalan menyimpang dan tidak menyimpang tidak tersosialisasikan dengan
baik kepada pengambil kebijakan maupun pihak lain. Aku berani taruhan dimillis
ini saja, masih banyak kok yang menyebutkan bahwa gay - waria itu menyimpang??
Wong masih ada kok psikolog, psikiatri menyebutkan gay - waria itu menyimpang.
Misalnya kita bisa baca pendapat para ahli itu pada saat ada kasus mutilasi
yang diduga dilakukan oleh Ryan. Dan yang meluruskan itu malah LSM2 yang fokus
di isu HAM.

Ini menunjukkan peran lembaga yang mestinya bertanggungjawab untuk sosialisasi
bahwa gay - waria tidak menyimpang belum sama sekali dipikirkan dan dilakukan
kepada semua pihak.

Saya ambil contoh untuk buku - buku pendidikan, aku pernah baca satu buku SD
yang meyebutkan bahwa homoseksual itu adalah "penyakit sosial". Ini kan sangat
parah sekali yang akan diajarkan oleh siswa. Kalau boleh jujur padahal mandat
KPA adalah koordinasi dengan departeman2 salah satunya adalah departemen
pendidikan dan kesehatan. Apakah pernah lembaga2 itu pernah melakukan reformasi
sistem kurikulum dalam pendidikan soal menyimpang dan tidak menyimpang ini?

Belum lagi di kalangan LSM anak, Komisi Perlindungan Anak Indonesia, sampai
sekarang masih banyak menilai bahwa homoseksual adalah sebuah penyimpangan. Ini
pengalaman saya ketika diskusi dengan pihak KPAI dan beberapa LSM anak.

Karena persoalan hiv dan aids / waria - gay = urusan moral. Jangan - jangan LSM
yang kerja untuk HIV dan AIDS yang pendekatan melalui agama juga melakukan hal
yang sama?? Wah parah banget itu...Karena sampai sekarang isu homoseksual
dikalangan agama masih sangat sulit di dobrak. Hanya beberapa orang saja yang
peduli dan care untuk isu Homoseksual. Saya tahu tokoh2 itu baik dari Kristen
dan Muslim. Kebanyakan tokoh agama selalu menginginkan kembali ke "Jalan yang
benar", capek deh...

Menurut saya ini yang mesti dibongkar,
jadi persoalannya bisa terselesaikan dari hulu sampai hilir. Bukan malah
mendorong2 waria - gay untuk VCT, walau aku tahu ini hal yang penting. Tapi bagi
saya ini hanya satu hal saja.

Ironisnya program HIV AIDS itu lebih banyak menyangkut persoalan teknis medis
saja. Itu yang minimal aku aku amati. Makanya ada "guyonan" dengan beberapa
aktivis "kritis", bahwa program HIV dan AIDS di Indonesia, program by LATEX
approach.

Aku punya keyakinan bahwa hal -hal yang berkaitan dengan persoalan sosial, jika
bisa diselesaikan, akan lebih mudah mengajak orang VCT. Dan mungkin sekali akan
sampai pada kesadaran yang tinggi. Karena aku yakin tidak ada yang mau sakit
dalam hal ini menjadi ODHA.

Mungkin diharapkan talkshow kedepannya tidak hanya ,membicarakan soal hal - hal
teknis medis saja. Dan bagi KPA, pemerintah, LSM maupun Lembaga Donor mesti
memberikan perhatian persoalan diskriminasi yang terjadi baik secara sosial,
budaya maupun tafsir agama. Ini penting sekali dibahas, jangan "menghindar" dari
persoalan ini. Karena kalau tidak program HIV dan AIDS khususnya untuk gay dan
waria akan menjadi bunder saja.

Walau aku tahu ini sebuah proses panjang, tapi program HIV dan AIDS di Indonesia
sudah 20 tahun lebih. Dan belum ada tanda - tanda perubahan pendekatan selain
hanya pendekatan teknis saja.


Undangan Liputan

Diskusi Klinik KBR68H

Tema : Gay-Waria dan Urgensi Tes HIV/Aids

Kaum gay dan waria tergolong rentan kena HIV/Aids. Untuk itu, mereka
disarankan untuk rutin melakukan pemeriksaan khusus HIV/Aids atau
Voluntary Counselling Testing (VCT).
Komisi Penanggulangan Aids Nasional (KPAN) menyebutkan bahwa jumlah
komunitas gay-waria yang rutin VCT sangat rendah. Mereka malu diketahui
jati dirinya.
Lebih jauh soal gay-waria dan VCT, kami mengundang Anda untuk mengikuti
talkshow Klinik KBR68H , pada :
Hari, tanggal : Selasa 24 Maret
Waktu : 09.00 WIB
Tempat : Kedai Tempo
Alamat : Jl. Utan Kayu 68H Jakarta Timur.

Narasumber :
- Hary Prabowo (Komunitas Gay-Waria),
- Subagio MS (Direktur Kelembagaan Komunikasi Pemerintahan- Dirjen SKDI-Kominfo)

Acara ini bekerjasama dengan KPAN dan Kominfo.

Terbuka untuk umum. Di Jakarta, simak di 89,2 FM Green Radio.
Info lebh lanjut : Gita (021 851 3386)

Read more...

Gaydar

>> Selasa, 17 Maret 2009

Aku baru saja pulang dari salah satu kedutaan untuk urusan visa di Jakarta. Aku menyeberangi jalan dalam kondisi ramai kenderaan. Kemudian sambil berjalan pelan - pelan, ada lewat mobil kecil berwarna biru. Aku tidak ingat merk mobilnya. Hanya warna, bentuk mobil saja nya yang aku ingat. Oh tidak, aku ingat warna kemeja pengendaranya, kemeja kotak - kotak kuning kecoklatan.

Dengan cepat aku melirik seseorang yang ada dalam mobil itu. Rupanya tatapan ku juga dibalas oleh orang yang ada dalam mobil itu. Dia seorang laki - laki yang berbadan lumayan gemuk. Walau aku hanya sepintas melihat. Tapi aku bisa merasakan tatapan matanya. Ada tatapan yang "lain". Sambil aku berjalan menyeberang dengan memperhatikan mobilnya yang berlalu. Dalam hati aku katakan, pasti dia GAY.

Pada sesi lain. Ketika aku menghadiri satu diskusi di Komunitas Utan Kayu. Pada saat itu mata ku tertujuh pada seorang peserta diskusi. Tanpa aku berdialog dengan dia. Hati ku langsung katakan pasti ada yang "lain" dengan orang ini?? Dia seorang gay, kata ku dalam hati. Setelah acara bubar, kemudian aku tanya kepada teman ku yang kebetulan kenal dengan laki - laki itu. Aku bilang sambil guyon dengan teman ku, bahwa temanmu manis. Kawan ku pun tersenyum.

Dilain hari aku ketemu lagi dengan laki - laki itu pada acara diskusi di Paramadina. Aku datang bersamaan dengan teman perempuan ku. Teman ku yang bertemu di TUK tersenyum. Dengan senyum berbeda. Aku baru sadar rupanya orang yang duduk didepan ku adalah laki - laki yang aku lihat di TUK beberapa hari yang lalu. Mungkin karena itu teman ku tersenyum dengan aku. Teman perempuanpun bertanya, ada masalah apa kok pada tersenyum?? Tanya bingung.

Tapi Teman perempuan ku dengan cepat rupanya tahu apa yang sedang kami senyumkan berdua. Setelah melihat laki - laki yang duduk didepan ku. Teman perempuan ku bilang kepadaku, Ah Toyo suka LEBAY (artinya berlebihan dalam bahasa Jakarte).

Maksud teman ku bahwa aku terlalu berlebihan mengatakan bahwa laki - laki itu gay.
Dalam pergaulan sehari - hari teman perempuan ku ini memang sering bertanya kepada ku, apakah dia gay atau bukan? Bila bertemu dengan seorang laki - laki. Sehingga kalau aku katakan gay, selalu teman perempuan ku katakan, ah Toyo lebay. Sambil tertawa dan mengejekku yang katanya aku dianggap "saingannya" untuk mendapatkan cowok tersebut..

Terakhir aku baru mendapatkan informasi kepastian bahwa laki - laki yang sedang aku diskusikan itu memang benar - benar gay. Laki - laki mengenal teman baikku yang dari Aceh Aceh. Tanpa sengaja laki - laki itu menjadi topik pembahasan temaku yang dari Aceh. Pada saat kami ngobrol santai di Cafe di wilayah Thamrin Jakarta Pusat. Malam hari.

Aku langsung berkerut dahi, kenapa aku selalu bisa tepat mengidentifikasi seseorang itu gay atau bukan ya. Padahal aku tidak melakukan komunikasi verbal dengan orangya. Kalau pun komunikasi hanya waktu yang sangat sedikit sekali. Tapi ironisnya "keahlianku" ini bukan hanya dimiliki oleh aku sendiri saja. Tetapi teman - teman gay yang lain juga banyak dapat mengidentifikasi seseorang itu gay atau bukan.

Jadi jangan heran apabila saya berjalan dengan teman - teman gay. Biasanya akan selalu refleks sambil tersenyum kalau ketemu seseorang yang kami indentifikasi sebagai seorang gay. Moment itu tanpa harus direncanakan terlebih dahulu. Tanpa ada koordinasi.
Tapi sudah langsung kita akan tahu bahwa dia adalah Gay. Apakah aku dan teman - teman ku LEBAY?? aku tidak tahu lah, tapi ini selalu akurat.

Kadang aku dalam kesendirian sering berpikir kenapa aku bisa tahu ya. Dan ini juga sering didiskusikan dengan teman - teman gay. Menurut teman - teman gay ku inilah yang dinamakan GAYDAR.

Apa itu gaydar? Aku dibilang oon ama teman gay ku. Gaydar itu adalah "radar" seorang gay untuk menentukan seseorang itu gay atau bukan. Pertanyaan selanjutnya adalah apakah yang mempunyai gaydar itu hanya seorang gay saja? Menurut teman ku memang ada juga seorang heteroseksual dapat mempunyai gaydar. Asal seseorang itu sering bergaul dengan teman - teman gay. Jadi tidak hanya seorang gay yang punya gaydar.
Memang gay - gay yang sudah "melalang buana" dalam komunitas gay bisaanya mempunyai gaydar yang sangat kuat. Dibandingkan yang lainnya. Ini mungkin ada kaitan dengan "teori" rasa memiliki yang tinggi. Apabila seseorang merupakan bagian dari kelompok tersebut. Maka dia akan mempunyai militansi dan rasa memiliki yang kuat. Mungkin ungkapan itu bisa digunakan untuk menentukan kekuatan gaydar seseorang.

Aku tidak tahu apakah benar alasan teman gay ku itu soal gaydar. Tapi itulah faktanya.

Ini bukan pertama kali aku bisa menentukan seorang gay hanya dari tatapan saja.Sudah sering sekali. Dari pengalamanku umumnya selalu tepat. Begitu juga dengan teman - teman ku. Bahkan dengan laki - laki gay yang sedang bersama anak - anak dan istrinya juga gaydarku bisa aktif. Kalau suami dan ayahnya adalah seorang penikmat laki - laki.

Kalau ditanya oleh temanku yang heteroseksual, bagaimana bisa tahu seseorang itu gay atau tidak? Apa ciri - cirinya?

Kalau menggunakan "keilmuan" gaydar akan sulit sekali di jelaskan kepada orang lain. Karena aku sendiri juga sukar menjelaskan ciri - ciri seorang itu gay atau bukan secara lisan atau tulisan. Itu lah yang selalu ditanya oleh banyak orang kalau aku bilang bahwa aku punya gaydar.

Pernah ada salah seorang wartawan media televisi yang mewancarai aku. Wartawan itu menanyakan kepada ku bagaimana ciri - ciri pasangan gay kalau berjalan? Pertanyaan yang konyol menurutku. Waktu itu aku jawab dengan konyol juga. Aku bilang emang apa bedanya pasangan heteroseksual dengan homoseksual kalau berjalan? Emang kalau pasangan gay itu jalannya NGESOT?? Sang wartawanpun tertawa terbahak - bahak. Yang mungkin dia juga sadar bahwa pertanyaan sangat konyol dan tidak berbobot.

Walau secara fakta, aku sangat bisa membedakan mana pasangan gay atau bukan yang sedang berjalan. Misalnya aku dapat dengan jelas menentukan mana pasangan cowok tetapi bukan gay. Dan mana pasangan cowok mereka adalah gay. Itu sangat bisa aku tentukan. Tapi kalau teman - teman tanya apa ciri - cirinya?? Maka aku akan sulit menjelaskannya. Itu lah unik nya Gaydar.

Dahulu waktu aku remaja katanya kalau gay itu feminin, metroseksual, suka menyanyi, menari, suka masak, memakai anting - anting sebelah kiri, bahwa ada yang bilang kalau jalan sapu tangan selalu ditaruhkan di kantong bagian belakang. Dan berbagai simbol - simbol yang kadang - kadang tidak masuk akal aku pikir. Sampai pada waktu remaja aku sangat "getol" mencari siapa gay itu. Karena keinginan mencari teman. Tapi sayangnya sangat sulit sekali aku bisa menentukan simbol - simbol itu sebagai kepastian gay atau bukan. Dan memang sekarang simbol - simbol itu tidak bisa sama sekali untuk menentukan seseorang itu gay atau bukan.

Ada satu pengalaman, aku punya teman perempuan baik sekali dengan aku. Bahkan sudah aku anggap adik saja. Dia seorang dokter umum di Medan. Dia punya seorang cowok yang lumayan manis sekali (setelah aku ketemu). Aku tidak kenal lelaki itu sebelumnya dan tidak pernah ketemu seingat ku. Pada satu hari aku dikenalkan oleh teman perempuanku itu dengan pacar cowoknya. Pada saat ketemu aku shock sekali dan kaget. Karena langsung GAYDAR ku "aktif". oh oh kamu ketahuan (syair lagu).....

Aku pun kemudian mencoba mendekati teman perempuan ku, untuk bisa menjelaskan dengannya baik - baik. Akhirnya aku bisa menyampaikan
siapa laki - laki yang dicintai nya itu. Teman ku pun sempat marah dengan aku. Dan mencoba menyangkal nya. Mungkin teman ku berpikir bahwa aku Lebay seperti kata teman yang cerita diatas.

Kemudian aku bilang kalau kamu tidak percaya tidak masalah, itu hak kamu. Dan kalau memang benar pacar mu gay juga bukan hal yang salah kok. Tapi kalau kamu mau bukti aku bisa buktikan. Teman perempuan tidak mau menerima tantangan ku untuk membuktikan nya.

Pada saat itu aku yakin teman ku percaya dengan ku. Tapi karena dia sangat cinta dengan cowok itu. Jadinya mencoba mengingkarinya. Sampai sekarang pun aku kasihan dengan teman perempuanku "seperti" dibohongi oleh laki - laki itu. Walau aku tahu ini ada "kesalahan" sistem sosial.

Pada satu sisi aku sangat sayang dengan teman ku. Tapi disisi lain aku juga bingung bagaimana menjelaskan soal ini. Aku kemudian hanya katakan kepada teman perempuanku. Bahwa calon suami adalah seorang penikmat laki - laki. Kalau memang kamu suka dan menerimanya itu tidak masalah. Tapi kamu harus siap jika seandainya suatu saat kamu bisa buktikan sendiri. Minimal kamu tidak akan mengalami trauma atau shock yang mendalam. Karena sejak awal aku sudah menginformasikan kepada mu.

Aku selalu katakan kepada teman perempuan ku itu, bahwa seorang gay tidak selalu melakukan hubungan badan dengan cowok. Mungkin saja pacar mu itu adalah gay yang bisa "menahan" hasrat seksual nya dengan laki - laki. Atau mungkin juga bisa keluar dari gay nya sehingga tetap setia pada kamu, kataku dengan memberi semangat kepada teman ku.

Teman ku waktu itu menangis dan tidak mengatakan apa - apa. Aku juga bingung harus berbuat apa. Awalnya aku mau bicara langsung dengan laki - laki itu secara empat mata. Setelah aku tahu benar bahwa ternyata dia "komplotan" teman gay ku. Dan dari teman gay ku lah aku dapat memastikan bahwa dia gay. Aku marah tapi aku juga tidak tahu harus berbuat apa. Karena laki - laki ini juga selalu menghindar kalau sudah ketemu dengan ku. Sepertinya dia juga punya Gaydar yang bagus. Dan sekarang aku baru tahu mereka sudah menikah dan pindah ke Palembang. Aku juga tidak pernah dapat kabarnya lagi. Aku cuma berharap mereka menjadi suami istri yang bahagia selamanya.

Gaydar itu mungkin dapat menjadi kajian yang menarik dilihat dari sisi psikologi. Mengapa seorang gay lebih mudah mengenali gay lainnya. Apakah ada faktor sosial, budaya, agama yang menekannya. Sehingga karena tekanan yang kuat itu, maka ada cara lain yang untuk berkomunikasi. Walau tanpa verbal. Jadi memaksimalkan indra yang lainnya untuk dapat mengidentifikasi pasangannya. Itu yang perlu diteliti lebih jauh lagi.

Dalam hal ini perlu ditekankan bahwa Gaydar aktif tidak berarti bahwa keduanya saling suka. Bisa saja pada Gaydarnya aktif tetapi tidak tertarik satu sama lain. Atau tertarik keduanya. Sehingga tidak jarang saat gaydar aktif saat itu juga gay itu buang muka misalnya. Karena memang tidak ada rasa apapun.

Jadi Gaydar itu hanya alat penentu atau petunjuk seseorang itu gay atau bukan.
Dan kalau ingin diteliti menarik sekali seberapa akurat gaydar seseorang. Apakah akuratnya sama bagi semua gay yang punya gaydar?? Atau ada faktor yang menyebabkan gaydar seseorang sangat akurat?? Jadi kayak lampu Neon saja untuk mengukur kekuatan watt nya.
Atau mungkin juga gaydar itu adalah sesuatu yang "mistik" yang memang tidak dapat dikaji secara ilmiah? Karena dari pengalaman para ilmuwan (seperti psikolog atau psikitri) kalau membahas soal gay banyak hal yang lucu dan tidak sesuai faktanya.

Hanya waktu yang menentukan itu menjawan misteri dari gaydar tersebut..Kelihatannya lucu, tapi ini lah kenyataannya. Jadi mulai sekarang kalau mau tahu tentang: pacar cowok, bapak, suami, adik laki - laki, teman laki - laki, kakek, paman, anak laki - laki. Apakah mereka gay atau bukan? Kayakanya aku bisa bantu jadi konsultannya deh, GRATIS. hehehehehe.

Wasalam

Toyo

Mampang, 17 Maret 2009








Read more...

Mohon Dukungan JR UU Pornografi

>> Minggu, 15 Maret 2009

Undang – Undang Pornografi telah disyahkan pada tanggal 30 November 2009. UU ini akan efektif diberlakukan pada setiap orang di Indonesia. Kita tahu UU tersebut punya banyak masalah dan sudah lama ditolak oleh banyak orang. Salah satunya kelompok homoseksual.

Pada pasal 4 ayat 1 UU Pornografi menyebutkan homoseksual, lesbian, oral dan anal sex dikategorikan sebagai persenggamaan yang menyimpang. Padahal menurut ilmu psikologi dan psikiatri bahwa homoseksual, biseksual bukanlah penyimpangan (dalam PPDGJ III Depkses tahun 1993). Artinya bahwa UU ini tidak sesuai dengan dengan keilmuan yang ilmiah. Artinya negara telah mendiskriminasikan individu atau kelompok homoseksual sebagai warga negara. Padahal dalam hukum formal Indonesia ( UUD 45), Pancasila, hak asasi manusia, bahwa mendiskriminasikan seseorang/kelompok adalah sebuah tindakan yang tidak dibenarkan. UU itu (baca negara) telah melakukan kekerasan berganda bagi individu / kelompok homoseksual sebagai warga negara. Dampaknya adalah kebebasan individu / kelompok homoseksual di Indonesia akan terus dipinggirkan oleh negara maupun masyarakat. Karena telah distigma (dilabelkan) sebagai penyimpangan seksual seperti yang ada dalam UU tersebut.

Untuk itu kami yang terdiri dari individu seperti Nia Dinata, Ayu Utami, Jajang C Noer, dan di antaranya kelompok homoseksual ( Dodo, Hartoyo, Romoaldo, Agustin, Lili, Aji) maupun organisasi ( Wahid Institute, Koalisi Perempuan Indonesia, Ashram) akan melakukan Judicial Review (JR) UU Pornografi sebagai pemohon. Sedangkan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) sebagai pengacara pemohon.

Judicial Review adalah mekanisme yang syah untuk menolak satu produk hukum (UU) di Indonesia. JR dapat dilakukan oleh personal atau kelompok yang dirugikan secara langsung terhadap satu produk UU di Indonesia. Kelompok homoseksual adalah salah satu kelompok yang dirugikan secara langsung dalam UU tersebut. Sehingga itu lah alasan mengapa kelompok homoseksual akan melakukan JR UU tersebut. Walau JR ini bukan sebuah kepastian UU ini akan ”digugurkan”. Tapi minimal ini sebagai salah satu upaya untuk menggugurkan UU tersebut.

Untuk melakukan JR tersebut kami membutuhkan banyak sumberdaya. Dari mulai dukungan bentuk materi maupun moril. Sekarang ini kami membutuhkan sumber daya materi ( baca dana) untuk kebutuhan JR UU tersebut. Seperti untuk kebutuhan pertemuan team, honor staff ahli dan kebutuhan administrasi lainnya. Sekarang ini sedang dikumpulkan dana dari lembaga – lembaga dan individu yang peduli untuk kegiatan JR ini. Dari mulai kelompok perempuan, seni, adat dan kelompok homoseksual.

Untuk itu kami meminta bantuan kepada semua pihak dapat memberikan sumbangan semampunya untuk keperluan JR UU pornografi ini. Sumbangan dapat diserahkan langsung ataupun maupun melalui rekening di : No rekening : 01-001-00-20-20066-9, Bank : Mega cabang Kuningan, pemilik Rekening : Hartoyo dan Win (Joint Account).

Demikianlah informasi ini kami sampaikan. Atas nama team JR UU Pornografi kami ucapkan banyak terima kasih.

A.n Team Pemohon JR UU Pornografi


Hartoyo

Mobile : 081376 192516 / 021 – 02138925, Email : jam_gadang2003@yahoo.com, Alamat : Jl. Kalibata Utara I No. 18 Jakarta Selatan, Telp : 021 - 798.8875

Read more...




Judul Buku : Biarkan Aku Memilih;
Pengakuan Jujur Seorang Gay yang Coming Out
Penulis : Hartoyo dan Titiana Adinda
Genre : Kisah Nyata (True Story)
Penerbit : Elex Media Komputindo (Gramedia Group)
Tahun Terbit : 2009
Harga : Rp 29.800,-

Aku adalah seorang gay. Sejak kecil aku senang dengan laki-laki, hingga kini aku dewasa. Entah mengapa semua itu bisa terjadi. Sebagai seorang anak dari sebuah desa kecil di Binjai, Sumatra Utara, aku bersyukur bisa menyelesaikan kuliah di universitas negeri di Aceh. Namun, di Aceh jualah aku mendapat perlakuan tidak manusiawi dari masyarakat dan kepolisian karena pilihan orientasi seksualku. Aku merasa sedih dan marah. Menurutku, orang tidak semestinya menerima kekerasan akibat pilihan seksualnya. Namun demikian, komitmenku untuk berjuang demi nilai-nilai kemanusian akan tetap kujalankan. Aku masih tetap menunggu keadilan atas penyiksaan itu. Sungguh itu pengalaman pahit dalam hidupku. Betapa mahalnya harga sebuah kejujuran. Apalagi bicara jujur soal orientasi seksual kepada publik (coming out) bagi gay.

Read more...

Waria Dan Rahmat Allah SWT

>> Rabu, 11 Maret 2009

















Perayaan Hari Perempuan International yang jatuh pada tanggal 8 Maret 2009. Para aktivis perempuan di kota Banda Aceh yang tergabung dalam satu jaringan Gender Working Groups (GWG) merayakan hari tersebut. Sebuah jaringan yang dibangun melalui millis GWG. GWG sendiri selama ini fokus untuk mendiskusikan dan memperjuangkan hak – hak perempuan dan anak pasca bencana tsunami. Pada saat itu perayaan itu bukan hanya dirayakan oleh kelompok perempuan di Banda Aceh saja, tetapi perempuan yang ada diseluruh Indonesia. Ini sebagai upaya untuk melakukan perjuangan keadilan bagi perempuan/anak dan kelompok marginal lainnya.

Perkembangan gerakan perempuan ternyata bukan hanya persoalan perempuan saja yang harus diperjuangkan. Tetapi sudah memperjuangkan kelompok marginal lainnya. Kelompok feminis gerakan "baru" secara sistematis bersama kelompok marginal memperebutkan hak – haknya. Baik hak Sipil politik maupun ekonomi, sosial dan budaya. Tidak terkecuali gerakan perempuan bersama dengan kelompok marginal yang ada di Banda Aceh.

Dalam perayaan kali ini, yang menjadi ketua panitia berasal dari salah satu LSM gerakan hak – hak waria dan homoseksual di Banda Aceh. Kelompok yang aku ini merupakan salah satu kelompok marginal. Walau kita tahu masih banyak kelompok marginal lainnya, seperti penyandang cacat, buruh migran, masyarakat adat, agama minoritas. Waria ada homoseksual adalah kelompok yang mempunyai perbedaan orientasi seksual dan identitas gender. Kelompok ini memang menjadi kelompok yang “paling” terpinggirkan dalam konteks budaya masyarakat yang sangat dogmatis dalam memahami agama. Bukan hanya kelompok sendiri, orang yang peduli dan mau berjuang untuk kelompok harus siap dicap sebagai orang “sesat”.

Memang membicarakan persoalan waria dan homoseksual di Aceh sebenarnya kalau boleh jujur bukanlah hal yang baru. Minimal masyarakat Aceh punya banyak cerita soal persoalan identitas gender seperti seni pertunjukkan salah satunya Biola Aceh (mob-mob). Budaya Seni Mob-Mob menurut T Almusri Ali Bayuna, seorang pencipta lagu Aceh adalah budaya orang tua Aceh zaman dulu saat menang melawan peperangan dengan Belanda. (http://www.acehrecoveryforum.org/id/index.php?action=ARFNews&no=623). Dalam budaya seni diantara pemainnya seorang laki - laki yang mengubah identitas gendernya sebagai seorang “perempuan”. Artinya laki - laki tersebut berpenampilan layaknya "perempuan" umumnya. Berdandan dan mengenakan simbol – simbol perempuan.

Apakah tindakan itu sebagian bagian dari penyingkiran peran perempuan dalam seni ataupun ada alasan lainnya. Mengapa sampai laki – laki harus mengubah identitas gendernya. Informasi ini tidak banyak didapat mengapa itu bisa terjadi. Tapi apapun alasannya bahwa ini menjadi bukti bahwa laki - laki ada budaya di Aceh yang mengubah identitas gendernya. Walau hanya sebatas dalam penampilan dalam panggung seni.

Tapi sayangnya seni musik ini kurang begitu populer dimasyarakat Aceh sebagai sebuah keberagaman musik dan bukti adanya identitas gender lainnya.

Budaya seni mob-mob kembali lagi ditunjukkan dalam penampilan budaya Aceh lainnya pada malam ini. Kelompok yang tergabung dalam komunitas waria dan gay di kota Banda Aceh ikut menampilkan sebuah tarian malam ini. Tarian yang disebut dengan Laweut yang berasal dari kata Selawat. Tarian ini berisi puji-pujian kepada junjungan Nabi Muhammad SAW. Tarian ini umumnya dibawahkan oleh perempuan, sehingga tarian ini biasa sebut tarian Seudati Inong (perempuan).

Malam itu tarian Laweut itu berbeda daripada umumnya karena dibawahkan oleh seorang laki-laki yang berpenampilan perempuan. Kita tidak sedang memperdebatkan soal identitas gender dan homoseksualnya para penarinya. Karena itu dua hal yang berbeda antara menari dengan politik identitas seseorang. Tapi bahwa tarian itu tidak selalu dibawahkan oleh perempuan, itu sebuah bukti dan fakta adanya.

Pada malam itu acara dilaksanakan di pelataran Cafe de Helsinsky dengan dihadiri sekitar 300 orang. Pennampilan itu pada umumnya mendapatkan sambutan yang meria dari para pengunjung. Minimal dari beberapa pengakuan dari aktivis perempuan yang aku kontak via telpon. Bahwkan ada beberapa anggota millis GWG khusus mengirimkan photo-photo dimana para waria menari. Kalau tidak berlebihan bahwa ini ini bukan hanya tariannya, tetapi karena siapa yang membawahkannya. Seseorang laki – laki yang berpenampilan perempuan. Selain itu setelah acara usai menurut keterangan penarinya banyak mendapatkan apresiasi dari para pengunjung malam itu.

Berita ini menjadi sejarah baru tersendiri di Aceh pada malam itu. Panitia dalam hal ini GWG telah memberikan waktu dan ruang pada kelompok waria dan gay sebuah apresiasi yang sangat besar. Kelompok perempuan di Aceh malam itu telah berhasil menunjukkan bahwa gerakan sosial tidak hanya untuk perempuan saja. Tetapi juga untuk kelompok marginal lainnya, dalam hal ini kelompok homoseksual maupun waria. Sekaligus kelompok perempuan Aceh menunjukkan kepada publik bahwa keberpihakan dan keadilan harus didapat oleh setiap orang, tanpa terkecuali untuk seorang waria.

Malam itu juga akhirnya menjadi berita "khusus" di beberapa media Aceh. Terlepas dari kualitas berita yang masih menempatkan waria streotipe di media Aceh. Berita yang lebih mengedankan stigma buruk pada waria. Ini memang kelakuan para media yang sama sekali tidak memiliki rasa keberpihakan pada kelompok marginal. Tapi minimal berita itu dapat menjadi pembelajaran bagi kita semua. Bahwa mereka (waria) itu adalah manusia yang juga berhak berpartisipasi untuk pembangunan di bumi Aceh. Mereka (para penari) adalah para putra Aceh. Lahir dan besar di bumi tanah rencong. Fakta yang tidak dapat diingkari oleh semua orang. Bahkan sebagian penarinya juga adalah orang Aceh yang sama sekali tidak pernah “tersentuh” dengan budaya luar. Kecuali melalui televisi.

Memang kita tahu bahwa keberadaan kelompok homoseksual dan waria pra/ pasca bencana tsunami masih mendapatkan diskriminasi di segala aspek kehidupan. Bahkan mungkin sekali waria dan homoseksual sudah ada sebelum Islam masuk di bumi Aceh.

Memang selama ini diskriminasi yang dialami oleh kelompok ini bukan hanya terjadi di bumi Aceh, tetapi diwilayah Indonesia umumnya. Bahkan diseluruh wilayah dunia. Misalnya masih adanya kelompok waria dan homoseksual dikriminalkan sebagai manusia yang salah. Terutama di negara – negara yang berbasis Islam, seperti Iran misalnya. Label tidak bermoral dan dosa selalu dilekatkan oleh kelompok ini. Tidak terkecuali juga terjadi di bumi Aceh.

Setelah penerapan formalisasi syariat Islam Aceh tidak menjadikan kelompok ini mendapatkan perlindungan khusus dari ketidakadilan. Seperti nilai - nilai ajaran Islam yang rahmat bagi sekalian alam, tanpa terkecuali. Islam yang sangat ramah dan penuh dengan kasih sayang masih belum tergambarkan dalam penerapan kebijakan di bumi Aceh. Khususnya pada kelompok ini. Setelah ada kebijakan - kebijakan yang ada di bumi Aceh, waria adalah salah satu kelompok yang selalu dirugikan dalam hal ini. Selain kelompok perempuan yang mendapatkan dampak ketidakadilan bagi kebijakan tersebut. Masih ada kelompok lain misalnya kelompok penganut agama non muslim. Contohnya “tidak ada akes” sama sekali bagi kelompok non muslim untuk keterlibatan politik praktis di bumi Aceh.

Dalam hal ini penulis meyakini bahwa ini bukan salah pada ajaran Islamnya. Tetapi nilai - nilai Islam masih belum terinternalisasi oleh orang - orang yang membuat kebijakan di bumi Aceh. Agama masih dijadikan alat untuk melanggengkan kekuasaan dengan membangun politik pencitraan yang sangat kokoh bagi penguasa. Lagi - lagi kelompok marginal dan perempuan lah yang menjadi korbannya.

Misalnya adanya larangan pengusaha salon untuk memotong rambut yang bukan muhrimnya. Ini yang terjadi di kota Banda Aceh. Padahal kita tahu bahwa sebagian teman - teman waria mempunyai usaha salon untuk mencukupi kebutuhan hidupnya. Waria secara jenis kelamin biologis adalah laki-laki sehingga dampaknya tidak dapat melayani perempuan sebagai pelanggannya. Dalam hal ini usaha salon sudah dilabelkan sebagai tempat prostitusi. Padahal bekerja adalah hak setiap orang yang sudah diatur dalam UUD 45. Dan juga merupakan perintah dalam ajaran Islam. Penguasa dalam hal ini di Banda Aceh selain menghilangkan hak kerja waria juga telah melakukan prasangka buruk (pelabelan) kepada pekerja salon di Banda Aceh. Bukankah ini dilarang oleh Allah SWT.

Bukankah kegiatan prostitusi itu bisa terjadi dimana saja, termasuk digedung institusi pemerintah dan lembaga keagamaan yang kata suci. Belum lagi teknologi semakin tinggi prostitusi bisa terjadi dalam ruang dan waktu yang sangat luas. Artinya kalau memang prostitusi itu terjadi pada satu tempat, bukan lantas menyamakan yang akhirnya menghilangkan hak kerja sekelompok orang, dalam hal ini waria. Selain tindakan larangan itu tidak sesuai dengan nilai - nilai hak asasi manusia, juga tidak sesuai dengan ajaran Islam.

Padahal selama ini kita tahu waria juga warga negara yang memberikan kontribusi pada masyarakat maupun negara. Minimal usaha salon itu membayar pajak atau zakat dibumi Aceh. Waria selama hanya ditempatkan pada ruang - ruang non formal saja, misalnya salon. Ini membuat akses kerja waria semakin kecil. Padahal kita tahu bahwa waria juga mempunyai keahlian lain. Setelah bekerja di salon pun tetap distigma sebagai tempat prostitusi. Kejahatan negara yang sistematis pada kelompok ini. Ruang kerja warga negara yang telah ditutup oleh negara dan masyarakat yang katanya menunjung tinggi nilai - nilai agama.

Momen hari perempuan ini menjadi sebuah proses belajar bersama untuk dapat saling menghargai perbedaan antar sesama manusia. Karena itu adalah bagian dari rahmat Allah SWT. Mudah-mudahan ini menjadi angin segar bagi gerakan HAM di Aceh untuk menjadi lebih baik. Dengan mengakui dan mau bersama berjuang bagi kelompok waria dan homoseksual sebagai satu kesatuan perjuangan penegakan HAM. Bukan perjuangan hak asasi manusia yang parsial. Bukankah ini esensi dari perintah Allah SWT.

Wasalam


Toyo

Menara Eksekutif, 4 Mei 2009




Read more...