Biseksual Dari Aceh

>> Sabtu, 28 Februari 2009

Aku dapat email dari seseorang dan sempat diskusi via telpon. Dia berada di Aceh.
Selamat membaca emailnya :


Dear mas Toyo,

Saya Maman (nama yang sudah diganti oleh Toyo), saat ini berdomisili di Aceh (daerah Spesifik sudah diganti oleh Toyo). Saya adalah seorang biseksual. Saya sudah berkeluarga. Saat ini saya tinggal terpisah dengan istri tapi masih satu propinsi di Aceh. Istri saya bekerja di kota lain dari saya ( Toyo simpan lokasi istri dan profesinya) berprofesi seorang bidan (profesi samaran). Saya berasal dari keluarga muslim yang taat.

Saat ini saya sangat kesepian, bingung dan menderita dengan orientasi seks yang saya alami. Terkadang saya depresi bahkan sempat terlintas ingin bunuh diri karena tidak tahu harus curhat kemana. Sebenarnya saat ini saya sangat mendambakan seorang kekasih orang pria yang dewasa, yang bisa memanjakanku dengan peluk dan kasih sayangnya.
Tapi siapa yang bisa membahagiakanku? Namun..............sulit sekali bagi saya untuk mendapat seorang lelaki yang bisa membagiakanku. Karena akses informasi aktivitas gay di Aceh sangat tertutup. Hal ini disebabkan oleh keadaan tatanan kehidupan sosial yang kuat dipengaruhi dengan dogma agama.

Melalui email ini saya sangat mengharapkan agar mas Toyo dapat memberikan sedikit informasi mengenai aktivitas komunitas gay di Aceh. Kalau bisa diberikan nomor kontak person gay Aceh yang dapat dihubungi. Kriteria pria yang saya dambakan adalah berusia di atas 35 tahun, bisekseksual (perioritas sudah beristri), gagah ( tidak sisi/feminin maksudnya ), bisa menjaga kerahasiaan, terpelajar. Saya tidak ingin orientasi seks saya diketahui oleh masyarakat umum. Apalagi sampai orang tua saya tahu, mungkin mereka bisa meninggal sambil berdiri.

Saya sangat mengharapkan bantuan mas Toyo, saya tidak ingin mengalami peristiwa penganiayaan seperti mas Toyo alami menimpa/terjadi pada saya. Alamat email ini juga saya samarkan dengan nama Budi Setiawan ( nama email juga diganti Toyo ) bukan Maman (nama samaran yang dibuat Toyo). Ini saya lakukan untuk menjaga kerahasiaan.

Info tersebut dapat mas Toyo kirimkan ke email ini atau di sms ke no XXXX XXX XXXX (ini nomor rahasia saya) biasanya saya aktifkan sekitar jam 18.30 sampe jam 19.00 an, atau saat-saat tertentu yang menurut saya aman. Nomor tersebut saya pergunakan untuk curhat dengan teman - teman gay di Jakarta atau tepatnya di wilayah A (salah satu lokasi di Jakarta Toyo ubah juga daerahnya). Karena sebelum pulang ke Aceh saya pernah tinggal di Jakarta


Thanks atas bantuannya.


Salam persaudaraan



Maman (bukan nama asli)


Read more...

Perempuan Aceh Bicara, Bicara Tentang Moralis

>> Selasa, 24 Februari 2009


Mungkin tulisan ini kurang "etis" aku tuangkan. Karena aku akan memberikan masukan pada sebuah buku yang baru saja di luncurkan dari bumi Aceh. Buku itu diterbitkan oleh Unifem bersama LSM Flower Aceh dan beberapa teman - teman aktivis di Aceh. Judul buku tersebut Perempuan Aceh Bicara. Buku itu adalah kumpulan tulisan dan pengalaman aktivis perempuan di Aceh. Dari 17 judul tulisan hanya 5 yang sudah selesai aku baca. Diantaranya tulisan Ibu Nurjanah, Suraiya, Sri Lestari Wahyuningroem ,Cut Hindun dan Ibu Rosni Idham.

Tulisan Sri Lestari Wahyuningroem tentang Cerita Tiga Perempuan di Masa Damai dan tulisan Suraiya tentang Gerakan Perempuan di Aceh Pasca Tsunami,
memang sangat kuat pesan feminisnya yang diperjuangkan. Disamping juga tulisan Cut Hindun soal lingkungan hidup. Untuk tulisan Nurjanah Ismail ada beberapa catatan yang akan aku akan sampaikan dalam waktu yang lain. Karena tulisan itu ada kaitan dengan tulisan Ibu Nurjanah lainnya.tentang perkawinan, ada di dalam buku yang diterbitkan oleh GTZ German.


Yang aku kritik tentang tulisan Ibu Rosni Idham
yang berjudul Perempuan Aceh Pasca Tsunami dan Perubahan Identitas Situasi Kultural.

Seperti yang aku sampaikan diawal sebenarnya ada rasa kurang nyaman aku menuliskan ini. Pertama karena aku tahu bahwa maksud dari buku ini diterbitkan untuk membuat sejarah perempuan Aceh. Sejarah yang dibuat dari tangan perempuan Aceh sendiri. Selain itu "proyek" besar ini juga hasil kerja sama antara teman - teman aktivis perempuan yang peduli untuk Aceh. Ini bukan kerja yang mudah.

Sudah beberapa kali membaca lagi tulisan Ibu Rosni Idham. Sampai aku pikir apakah ada yang
salah aku memahaminya? Pikirku. Aku kemudian menanyakan kegelisanku ini dengan mengkontak Suraiya melalui SMS. Dan beliau memberikan apreasiasi atas kritikanku terutama soal isi dari tulisannya. Itu juga lah yang membuat aku lebih berani menulis kritikan ini.

Ditambah semakin sulit lagi setelah aku tahu hasil kerja - kerja penulis untuk bumi Aceh selama ini. Misalnya beliau adalah seorang penyair dan juga "pejuang" untuk perempuan Aceh. Selain itu penulis adalah salah satu perempuan yang mendapatkan ACEH PEACE AWARD 2008 Kategori Promotif dari BRA pada tahun 2008.
[1]

Ini artinya Ibu Rosni Idham bukan perempuan "biasa" dalam gerakan perdamaian di Aceh. Belum lagi dia sosok perempuan yang sudah berumur 56 tahun tetapi masih terus berkarya. Ini luar biasa sekali.

Tetapi kemudian aku berani diri melakukan kritikan atas pikiran dan pandangan penulis
dalam tulisan tersebut. Aku berpikir mungkin ada orang lain yang mempunyai pandangan berbeda dalam melihat persoalan perempuan. Mungkin saja aku berbeda "ideologi" dalam melihat persoalan perempuan dengan penulis. Seperti aku berbeda melihat isu perempuan dari kelompok HTI atau PKS. Yang mungkin sama - sama bekerja untuk hak - hak perempuan. Untuk kali ini aku tidak sedang mengelompokan pemikiran penulis sama dengan PKS atau HTI. Karena aku sendiri tidak ada informasi apapun hubungan penulis dengan dua organisasi tersebut. Minimal apa yang menjadi kegelisahan ku ini dapat dipahami sebagai bagian dari pendidikan kita bersama.


Perempuan Aceh Pasca Tsunami dan Perubahan Identitas Situasi Kultural
By : Rosni Idham


Maksud dari tulisan yang disampaikan penulis ingin menceritakan situasi perempuan Aceh pasca Tsunami. Penulis ini menyampaikan bahwa telah
perubahan status sosial keluarga. Yang sebelumnya sebagai istri pejabat ataupun pengusaha. Tetapi karena bencana Tsunami suaminya menjadi korban yang akhirnya harus bekerja sebagai kepala keluarga pada program Cash for Work. Gambaran itu tergambar pada paragrap awal (hal 15).


Bagaimana perempuan Aceh harus berhadapan pada situasi yang sangat sulit. Yang mungkin tidak terbayangkan oleh perempuan sebelumnya. Harus berjuang memenuhi hidupnya dan anak - anaknya sehari - hari. Beratnya perempuan bekerja “sedikit’ tergambar dalam tulisan penulis.

Sayangnya penulis tidak banyak membahas lebih banyak bahwa ini adalah salah satu dampak dari sistem budaya dan tafsir agama yang menempatkan perempuan sebagai sub ordinat (orang nomor dua dari laki – laki). Ini dampak yang sekarang dapat dilihat dan dirasakan langsung oleh perempuan Aceh dari ketidakadilan yang dialami perempuan selama ini secara sistematis. Dalam budaya maupun tafsir agama yang misoginis (benci terhadap perempuan).


Karena perempuan sudah dibentuk secara budaya dan tafsir agama sebagai Ibu Rumah Tangga dalam keluarga. Tapi kenyataannya sekarang dalam situasi yang digambarkan oleh penulis banyak perempuan di Meulaboh “tidak siap” untuk menjadi kepala rumah tangga. Sayang sekali pembahasan yang mendalam soal ini sama sekali tidak muncul. Apalagi membandingkan kondisi laki - laki yang lebih "siap" bekerja mencari nafkah diluar pasca Tsunami dibandingkan perempuan. Karena memang laki - laki sudah disiapkan bekerja diranah publik secara sosial. Ulasan – ulasan ini sama sekali tidak muncul dalam tulisannya.

Kemudian yang paling menggelisakan pada tulisan itu, melihat persoalan perubahan identitas perempuan Aceh pasca Tsunami. Penulis begitu kuat menggunakan nilai - nilai partriaki dalam melihat tubuh perempuan Aceh. Persoalan tubuh perempuan Aceh dilihat dari pandangan moral partriaki. Misalnya ada beberapa kalimat dalam tulisan tersebut mengungkapkan situasi perempuan Aceh ; khususnya pada paragrap – paragraph terakhir. Ini beberapa potongan tulisan Ibu Rosni Idham dalam buku Perempuan Aceh Bicara.[2]


1. Saat ini telah ditemukan banyak perempuan dan gadis Aceh dalam praktek kehidupan sehari - hari sudah terkontaminasi budaya asing (hal 19). Adat budaya leluhur sudah diremehkan. Hidup dengan rasa sosial sudah diabaikan.

2. Para Gadis dengan pakaian minim (ketat dan singkat), rambut tergurai, jalan bergandengan tangan dengan lawan jenis tanpa sungkan. Dibeberapa lokasi tepi pantai telah menjadi arena percintaan. Tanpa rasa malu di tonton oleh banyak orang muda mudi berpelukan. Gaya hidup materialistis sudah menggejala.(hal 19)

3.Perempuan Aceh Pasca Tsunami banyak yang kurang peduli sesama. Tidak mampu mengadopsi perasaan orang lain (tidak ada rasa empati). (hal 19 - 20).

4. Perampuan sekarang tidak segan - segan mengkhinati teman seprofesi. Bahkan menempu cara - cara yang tidak bermoral, berani bertindak nekat memfitnah dan menyusun berbagai strategi, rekayasa dan menyelesaikan guna menjatuhkan teman kemudian menggantikan posisinya, walaupun tidak berkapasitas untuk posisi itu (hal 20). Kemudian tertawa terbahak - bahak setelah rekayasa itu berhasil dibangun. Berani menebar fitnah yang dapat merugikan orang lain secara moral dan financial.

5. Perilaku semacam itu bukan budaya perempuan Aceh. Sikap tersebut identik dengan pegangkangan adat budaya dan prinsip sosial yang berlaku ditengah – tengah realitas hidup rakyat Aceh yang bermantabat.

6. Bahwa situasi itu harus dipulihkan dengan cara memberikan pelatihan terhadap pengurus organisasi perempuan berbasis kepada konsep diri perempuan Aceh. hal 20.

7. Aceh ku Sayang, Aceh ku Malang, kondisi rakyatnya telah mulai mencabik - cabik akar budaya leluhurnya. Telah menginjak - injak tradisi dan adat istiadat yang berakar dan tetap tumbuh ditengah kehidupan masyarakat.

8. Dengan pemberlakuan Syariat Islam sesungguhnya semakin memperkuat kehidupan adat dan budaya Aceh. Karena adapt Aceh dengan ajaran agama Islam yang dianut rakyatnya tidak saling bertentangan. Berjalan seiring bagai zat dan sifat. Hal 20


9. Agar perempuan Aceh pasca Tsunami tetap konsisten tampil dalam bingkai adat dan budaya yang terawat, maka seluruh masyarakat melakukan…………….ada 7 point.


10. Maka jadilah perempuan yang memiliki jati diri dan kepribadian yang terpuji. Tidak muda diombang – ambing oleh gelombang zaman yang memabukkan dan menyesatkan. (hal 21)


Dari ungkapan dan pandangan penulis ini masih sangat kuat sekali budaya partriakinya. Ibu Rosni menempatkan perempuan sebagai objek yang harus diatur moralnya untuk menyelamatkan budaya Aceh yang katanya agung tersebut. Selain itu penulis mencari “kambing hitam” dengan menyalahkan budaya asing. Budaya diluar Aceh.


Padahal tidak semua budaya asing itu buruk dan tidak semua budaya Aceh juga baik. Kalau boleh jujur Syariat Islam yang kita pahami sekarang juga dipengaruhi oleh budaya diluar Aceh (Asing). Budaya Arab.Karena budaya dimanapun tidak akan mungkin tumbuh sendiri tanpa ada inkulturisasi dari budaya lain nya. Jadi kalau akhirnya menyalahkan budaya asing aku pikir penulis tidak bijaksana melihatnya.


Kecenderungan menyalahkan budaya diluar memang sering kita lakukan apabila ada hal yang kurang baik menurut kita. Sering sekali terjadi. Kita selalu menganggap bahwa budaya kita adalah budaya yang baik dan cocok bagi masyarakat tertentu. Padahal apakah memang benar begitu? Benarkah suatu budaya itu akan pasti tepat dan cocok dalam satu masyarakat yang hidup dengan budaya itu. Mungkin cocok bagi pemangku adat atau penguasa. Tapi belum tentu cocok bagi perempuan, anak dan kelompok minoritas dalam budaya tersebut. Kita bisa lihat bagaimana banyak budaya yang ada dimanapun selalu menempatkan perempuan sebagai mahkluk sub ordinat.


Tidak hanya budaya Barat, Indonesia, Aceh ataupun budaya Arab. Semuanya pada umumnya selalu menempatkan perempuan pada posisi yang marginal. Walau aku tidak napikan masih ada hal yang baiknya. Sehingga gaung pemberdayaan perempuan dengan pendekatan kearifan lokal perlu dilihat kembali. Karena yang lokal tidak selalu arif bagi perempuan, anak dan kelompok minoritas.


Persoalan banyak perempuan Aceh yang menjadi materialitis itu juga terjadi dikalangan budaya mana pun. Baik dimasyarakat Aceh maupun masyarakat di luar Aceh. Bentuk nya bisa macam – macam. Ada yang senang bersolek dengan menggunakan parfum yang harganya sampai jutaan rupiah. Jadi bukan hanya menggunakan baju ketat saja. Tapi “budaya” jilbab dan pakaian tertutup/terbuka bagi perempuan juga ‘sebagian” dari korban neoliberalisme. Dalam hal ini lagi – lagi tubuh perempuan lah yang akan menjadi media komoditinya.


Kita tahu ada banyak jilbab dijual di Aceh dengan harga sampai ratusan ribu rupiah. Hanya untuk 1 lembar jilbab penutup kepala. Hal yang tidak bisa aku pikir dalam kondisi masyarakat Aceh yang miskin. Tetapi sayangnya ini ini jarang sekali dipersoalkan oleh banyak orang apalagi sampai pada kebijakan Qanun, termasuk penulis (Rosni Idham)?


Belum lagi misalnya harga mukenah (kain penutup pada perempuan waktu sholat) yang harganya sampai jutaan rupiah per buah. Padahal kita tahu bahwa ajaran Islam “anti” dengan hal – hal yang berlebihan. Aku tidak sedang mendebatkan soal jilbab dengan pakaian ketat/minim. Bagiku sama saja apabila perempuan dijadikan komiditi baik dengan jilbab maupun pakaian ketat yang super mahal itu. Itu sama buruknya.


Budaya hemat sendiri bukan cuma ada di adat Aceh dan ajaran Islam saja. Tetapi disemua adat dan ajaran agama lainnya juga ada. Kita kadang tertegun dengan orang – orang Barat yang sering kita sebut “Kafir” itu. Mereka adalah individu – individu yang sudah “cerdas” untuk menentukan mana kebutuhan yang harus dibeli nya dan mana tidak perlu. Serangan globalisasi sudah dapat mereka saring mana yang penting bagi diri nya dan mana yang tidak. Walau kita tahu globalisasi menyerang siapapun baik di Aceh diluar Aceh. Termasuk orang Barat sendiri. Sistem pendidikan di Barat membuat mereka lebih bisa kritis untuk dapat menentukan sikap dalam membeli suatu barang.


Jika kita sebagai orang Aceh dan kita sebagai seorang muslim tidak patut mencontohnya? Hanya karena mereka berasal dari Barat??

Kalau kita yakin bahwa Syariat Islam adalah sebuah aturan baik yang datang dari Allah SWT. Mestinya aturan itu menjadi rahmat bagi sekalian alam. Bukan kah itu ajaran Islam yang sebenarnya.


Tapi kalau kita terkulai dan “terbius” dengan kata Syariat Islam sebagai hal yang formal saja tetapi lupa bagaimana Syariat Islam itu dioperasionalkan dalam kehidupan sehari – hari? Misalnya bagaimana Qanun – Qanun yang dihasilkan berdampak terhadap perempuan dan kelompok minoritas di Aceh?? Kalau kita lupa dan tidak kritis akan itu maka kita akan hidup dalam kenistaan. Kita tidak akan peduli pada mereka yang terdiskriminasi dan termarginalkan atas penerapan Qanun – Qanun di bumi Aceh.


Itu mungkin kritikanku atas buku Perempuan Aceh Bicara. Khususnya untuk tulisan Ibu Rosni Idham. Semangat tulisannya menurut ku masih sangat misoginis. Jika tujuan buku ini sebagai pencatat sejarah bagi perempuan Aceh. Seharusnya tulisan seperti ini mesti dilihat kembali. Apakah “layak” untuk ditempatkan sebagai media untuk menorehkan sejarah perjuangan perempuan Aceh kedepan.


Tanpa mengurangi rasa hormat ku kepada Kak Suraiya Kamaruzzaman, Flower Aceh, Kak Sri Lestari Wahyuningroem, Kak Khairani Arifin, Kak Fatimah Syam dan Unifem. Kupersembahkan kritikan ini kepada mereka. Dan kepada Ibu Rosni Idham terus berkarya. Aku tunggu puisinya tentang kehidupan Waria di Aceh.



Wasalam


Hartoyo

Feminis Laki – Laki Alumni FP Unsyiah


[1] http://achehpress.com/www.php/news/id/3079/Siapa-Penerima-Perempuan-Aceh-Peace-Award-2008.jp

[2] Perempuan Aceh Bicara, UNIFEM

Read more...

Gay Dan Striptise

>> Sabtu, 21 Februari 2009


Baru - baru ini aku mendapatkan SMS dari seorang teman. Setelah aku baca, ternyata ada undangan menghadiri acara. Sebuah acara dance disalah satu Cafe di Jakarta Pusat. Dance akan dilakukan oleh kelompok homoseksual dan biseksual. Acara ini diorganisir oleh salah satu LSM LGBTIQ di Jakarta.

Aku memutuskan hadir karena yang mengundang adalah teman baik ku. Selain itu aku juga apresiasi bagi penyelenggara acara tersebut. Karena melakukan pengorganisasian kelompok homoseksual tidak harus dalam konteks yang "berat - berat". Artinya memberikan pendidikan bagi teman - teman melalui pendekatan budaya (dalam hal ini dance misalnya). Walau aku sebenarnya agak kurang nyaman apabila harus hadir dalam acara - acara yang hingar bingar. Apalagi pub yang penuh dengan musik - musik keras.

Sudah beberapa kali aku datang ke sebuah acara gay khususnya di Pub. Memang sekarang ini di Jakarta sudah mulai banyak pub - pub yang khusus bagi kelompok gay. Dan aku selalu mendapatkan undangan dalam acara tersebut. Ada beberapa aku hadir dalam acara tersebut. Tapi sayang lagi - lagi aku masih belum begitu nyaman menghadiri acara - acara tersebut. Memang itu persoalan dalam diri ku sendiri. Walau aku tahu ini lah salah kehidupan gay di Jakarta.

Melalui pub teman - teman gay dapat saling berinteraksi satu sama lain. Kebebasan berexpresi yang tidak akan mungkin dilakukan dalam luar. Yang sangat homophobia. Sehingga tidak jarang didalam pub ada pasangan sejenis dengan nyamannya saling berciuman bibir. Ini bukan sesuatu yang aneh memang bagi kelompok heteroseksual. Tapi akan aneh bagi kelompok homoseksual. Mungkin juga dipub gay itu masih ada orang yang "risih' melihat pemandangan itu. Termasuk diri. Aku sadar bahwa pikiran ku masih belum "terbebaskan" dalam konteks budaya heteronormativitas.

Biasanya hingar bingar musik dan pesta alkohol menjadi wajah didalam ruangan pub tersebut. Mungkin ini bukan hanya terjadi dalam pub - pub gay saja. Tetapi juga terjadi dalam pub - pub umumnya. Jadi bukan soal gay atau tidak. Tapi inilah dunia pub.

Kemudian tidak jarang dalam acara tersebut ada kegiatan - kegiatan lainya. Seperti Fashion Show sampai pada dance - dance. Ada yang mempunyai pesan - pesan tertentu. Misalnya pesan pencegahan HIV dan AIDS. Tetapi tidak jarang hanya menampilkan keindahan tubuh laki - laki.

Memamerkan tubuh laki - laki putih dan berotot menjadi ciri khas pub? Tarian seprti Striptise laki - laki juga menjadi sajian hangat bagi para gay yang datang. Kalau dikalangan heteroseksual ditampilkan tubuh perempuan bergoyang - goyang diatas panggung. Sekarang ini tubuh laki - laki yang digambarkan macho bergoyang - goyang. Memang ini adalah fakta dan banyak diminati banyak orang. Lagi pula pengelola pub berpikir bagaimana mendapatkan banyak keuntungan dari kunjungan pendatang. Itu lah bisnis..

Kembali lagi pada cerita awalku. Bagaimana kalau acara itu dikelola oleh sebuah LSM yang secara tegas visi dan misi untuk memberikan pendidikan kritis. Apakah pola - pola memamerkan tubuh juga layak untuk ditampilkan?

Pada saat aku hadir aku berpikir bahwa acara ini akan berbeda dari acara yang dikelola oleh para kapitalis. Pemilik pub ingin mendapatkan keuntungan itu pasti. Tapi pengelola acara yang juga LSM mestinya tidak menggunakan segala cara untuk mengundang teman - teman hadir. Semestinya acara yang dirancang tetap mengedepankan nilai - nilai kemanuasiaan. Yang bebas dari ekploitasi tubuh.

Tapi harapan itu sama sekali tidak aku temukan dalam acara tersebut. Dari mulai dance modern sampai pameran model - model laki - laki yang menggunakan underware. Bahkan sampai membuka semua pakaian yang hanya terlihat underware saja. Sambil menunjukkan bentuk tubuh kepada pengunjung. Ikuti dengan peluk dan siraman minuman ibarat sedang berpesta minuman. Hanya dengan menggunakan Underware. Ini menjadi tontonan yang diberikan oleh pelaksana acara kepada para undangan.

Aku hanya berpikir apa yang sedang terjadi dengan kegiatan ini. Mengapa acara nya tidak ada bedanya dengan pub - pub gay yang dikelola oleh kelompok non ideologis. Mengapa tubuh masih saja menjadi nilai jual dalam kegiatan ini. Yang mestinya LSM mempunyai mandat untuk memberikan pendidikan kepada kelompok gay. Bahwa eksploitasi tubuh adalah bagian dari pelecehan seksual.

Dalam konteks ini tubuh dijadikan komoditi pertarungan syahwat. Pihak pengelola acara mengumbar tubuh untuk dijadikan alat mengundang pengunjung. Ini lah yang masih banyak digunakan kapitalis dalam menjual produknya. Dalam konteks heteroseksual, tubuh perempuan menjadi komoditi agresi seksual laki - laki. Begitu juga acara malam ini, maskulinitas masih diagungkan sebagai komoditi yang layak untuk "dijual".

LSM yang kerja untuk penegakan hak - hak asasi manusia harus lebih berhati - hati menampilkan acara. Harus dilihat apakah ini bagian dari ekploitasi tubuh atau merupakan ekpresi diri. Memang kalau tidak dilihat secara jeli akan sulit membedakan nya. Karena perbedaan itu sangat tipis. Setipis kulit ari. Tapi disini lah peran LSM dapat menentukan perbedaan itu.


Wasalam


Toyo

Read more...

Indah ODHA Perempuan Aceh

>> Minggu, 15 Februari 2009

Baru - baru ini pada tanggal 26 Januari 2009, aku pergi ke Banda Aceh. Aku datang untuk undangan salah satu LSM. Aku di minta menjadi narasumber soal perdamaian bagi perempuan.
Karena pada saat bersamaan juga dilakukan pelatihan HAM dan LGBTIQ di Banda Aceh. Pelaksananya adalah LSM Violet Grey kerjasama dengan Hivos Belanda.

Selain aku mengantarkan buku - buku kepada teman - teman LSM di Banda Aceh. Aku juga ada keinginan ketemu dengan Febri (teman ku yang sama - sama mendapatkan penyiksaan).

Memang malam harinya setelah sampai aku jadwalkan untuk ketemu dengan teman - teman peserta pelatihan. Sesampai ditempat pelatihan. Aku disambut dengan teman - teman sangat baik.
Ternyata pada saat itu tidak hanya teman - teman gay dan waria saja yang ada. Tetapi ada beberapa perempuan. Yang lainnya aku kenal perempuan itu. Temanku, Leila, Ayie dan Norma.
Iya mereka adalah aktivis perempuan di Aceh yang banyak membantu gerakan LGBTIQ di Banda Aceh.

Ada yang aku agak "lain". Aku melihat seorang perempuan hamil yang juga duduk dengan teman - teman peserta lainnya. Siapa perempaun ini, pikirku. Ketua Violet Grey memperkenalkan kepada ku sebagai kakak nya. Aku kemudian bertanya lagi karena kurang yakin atau mungkin heran. Karena hebat juga seorang kakak perempuan di Aceh menerima adiknya sebagai seorang gay. Tapi rupanya bukan kakak kandung tetapi kakak baik saja. Oh begitu.

Aku masih bingung dengan perempuan ini. Karena memang dia satu - satunya perempuan yang tidak aku kenal sebelumnya. Ada rasa bingung dan penarasan siapa sebenarnya perempuan ini.
Nama Indah (bukan nama sebenarnya). Indah mengenakan penutup kepala (seperti selendang). Badang agak kecil dan tinggi dengan kondisi hamil besar.

Setelah masuk ruangan pelatihan aku baru tahu bahwa Indah adalah perempuan dari Aceh, maksudnya lahir dan besar di Aceh. Dengan latar belakang ibu rumah tangga baik - baik layaknya istri - istri dikehidupan masyarakat Aceh. Aku heran dan kaget waktu ketemu perempuan itu. Indah menjadi salah satu peserta dalam pelatihan tersebut. Pada sesi saling menceritakan pengalaman masing - masing akhirnya aku tahu bahwa dia adalah perempuan ODHA di Aceh. Indah salah satu perempuan ODHA yang sudah menjadi survivor. Walau Indah menceritakan pengalaman nya sambil menangis dan mungkin terlalu berat untuk dapat dilupakan.

Ada banyak pelajaran yang aku dapatkan dari ceritanya tersebut. Bagaimana pedihnya dia sebagai perempuan ODHA di Aceh. Perempuan ini tertular dari suaminya yang juga seorang pecandu narkotika. Suami nya meninggal pada saat perempuan itu mengandung anak pertamanya.
Dari rumah sakit tempat suaminya dirawatlah diketahui bahwa suaminya positif HIV dan AIDS.

Berita itu bagi Indah ibarat kiamat, harus menerima kenyataan yang pahit. Suaminya akhirnya meninggalkan Indah untuk selamaya. Dan kemudian setelah dites, Indah juga positif HIV dan AIDS.

Pada saat detik - detik diakhir sebelum meninggal. Suaminya merasa bersalah menikahi Indah (istrinya). Karena seharusnya dia tidak menikahinya. Kamu perempuan baik - baik yang harus menanggung beban ini semua. Semua ini salah ku Indah, mungkin ini terlalu klise. Unkapan maaf yang sudah tidak akan merubah apapun dalam diri Indah pada saat itu.
Perasaan yang tidak sanggup diceritakan oleh Indah pada saat itu. Aku terdiam dan haru mendengar bagaimana berat nya kondisi Indah pada saat itu.

Awalnya Indah menyesali hidup nya dan marah sekali. Belum lagi sikap keluarga yang shock dengan kejadian itu. Seorang perempuan di Aceh yang sama sekali tidak tahu informasi HIV dan AIDS, mungkin sama sekali tidak terpikir soal penyakit itu. Tetapi kemudian harus menjadi bagian dari hidupnya sendiri. Virus yang bersarang dalam tubuh Indah sekarang.

Kemudian atas dukungan teman - teman di LSM di Medan. Indah mulai pelan - pelan bisa angkit. Tapi tidak berakhir mulus begitu saja.
Pada saat dia harus melakukan proses persalinan di Rumah Sakit. Dia juga harus mendapatkan perlakuan yang diskriminasi. Karena sebagian medis ada yang tidak mau membantu proses persalinannya itu. Perdebatan medis itu didengar oleh Indah sendiri. Ingin rasanya marah dengan almarhum suaminya. Ingin rasa mati saja. Karena Tuhan telah memberikan cobaan yang sama sekali Indah tidak lakukan. Sebuah penyakit yang bukan karena "kesalahan" dirinya.

Bagaimana perasaan Indah yang tidak dapat kita bayangkan. Kekerasan dan diskriminasi yang dialami oleh perempuan ini. Seorang perempuan di Aceh yang notabenenya adalah seorang "muslimah" harus mendapatkan perlakuan hina. Padahal pada saat itu kondisinya kritis untuk segera dilakukan operasi caesar. Proses persalinan akhirnya berjalan lancar walau harus melalui jalan panjang.

Perempuan itu menceritakan bagaimana hina dia pada saat itu. Tetapi untungnya Indah mendapatkan dukungan yang besar dari para teman - teman LSM AIDS di Medan. Ada berita gembira bahwa anak pertama nya negatif dari virus AIDS.

Singkat cerita dia menikah kembali dengan seorang laki - laki yang selalu memberikan dorongan kepada nya selama ini. Pada saat aku ketemu dengan perempuan ini. Suaminya juga menungguin Indah mengikuti pelatihan. Laki - laki itu selalu mendorong dirinya untuk selalu kuat. Suami Indah mengatakan kepada perempuan itu bahwa yang kamu lakukan bukan hanya bermanfaat bagi dirimu sendiri Indah.
Tapi berguna bagi semua perempuan di Aceh dan seluruh dunia. Kamu harus kuat ya, cerita Indah soal sosok suaminya itu. Semangat dan dorongan laki - laki itu yang membuat perempuan itu sampai sekarang masih tetap bertahan. Laki - laki itu sekarang telah menjadi ayah dari anak - anaknya.

Dengan dorongan itu lah, kemudian Idah kembali lagi ke Banda Aceh. Dia bergabung sebagai relawan di salah satu LSM yang selama ini membantunya. Kebetulan LSM itu mempunyai program di Banda Aceh yang juga fokus untuk isu HIV dan AIDS. Bersama - sama dengan LSM Violet Grey di Banda Aceh bekerja untuk pencegahan HIV dan AIDS di wilayah Aceh.

Sekarang Indah bersama perempuan - perempuan ODHA yang ada di Aceh membuat support groups. Dukungan sebaya bagi perempuan ODHA. Kita tahu bahwa para ODHA di Aceh sebagian adalah perempuan sebagai ibu rumah tangga. Yang katanya sama sekali bebas dari virus tersebut. Dan mungkin pengalaman nya akan lebih "seru" lagi untuk menjadi pembelajaran bagi kita semua. Kegiatan ini membuat Indah semakin lebih berarti dalam menjalani hidupnya.

Sekarang ini dia sedang mengandung anaknya yang kedua dari perkawinan keduanya. Banyak pelajaran yang bisa Indah terima dalam proses hidupnya. Salah satunya adalah bagaimana belajar untuk saling menghargai perbedaan. Misalnya selama ini dia adalah orang yang selalu menganggap rendah kelompok waria. Jika Indah ketemu dengan waria maka akan mengejeknya sambil menertawakan.

Itu sedikit cerita dari Indah sebagai perempuan Aceh yang ODHA. Indah juga telah menuliskan cerita - cerita teman - teman perempuan yang ODHA lainnya.
Ada keinginannya Indah untuk mendokumentasikan pengalaman - pengalaman perempuan itu dalam bentuk buku. Agar dapat memberikan gambaran situasi perempuan ODHA di Aceh.

Pengalaman Indah ini sebagai potret kecil dari kondisi perempuan di Aceh maupun di Indonesia.Dalam kondisi "normal" saja perempuan di marginalkan dan diskriminasikan. Belum lagi pada kondisi seperti Indah sekarang. Cap dan beban moral yang selalu diemban oleh perempuan membuat Indah dan teman - teman perempuan ODHA semakin termarginalkan. Belum lagi sampai sekarang masih banyak urusan ODHA berkaitan dengan moral. ODHA = tidak bermoral. Padahal kita bisa rasakan sendiri pengalaman perempuan Aceh ini, Indah...

Terus berjuang Indah,,,doa ku untuk mu dan keluarmu...


Wasalam


Toyo

Kalibata, 15 Feb 09

Read more...

Kami Punya Kasih Sayang

>> Rabu, 11 Februari 2009


Tanggal 14 Februari selalu dirayakan sebagai hari kasih sayang. Masyarakat dunia menjadikan hari itu sebagai bentuk ungkapan kasih kepada sesama. Tetapi perkembangan nya bukan hanya diungkapkan kasih sayang pada manusia saja. Ungkapan kasih sayang juga ditujukan kepada semua mahkluk ciptaan Tuhan. Tidak terkecuali kepada seorang pelacur.

Aku dalam hal tidak akan membahas sejarah mengapa tanggal tersebut sebagai hari kasih sayang. Karena ada banyak alasan, salah satunya adanya perbedaan versi dari sejarah itu sendiri. Hari kasih sayang bahkan selalu dilekatkan sebagai label budaya tertentu (Barat). Bahkan lebih ironisnya sebagai satu ajaran yang dibawa oleh agama Nasrani (Kristen). Sehingga tidak jarang kelompok non nasrani melakukan tindakan "resisten" terhadap perayaan Valentine (biasa disebut).
Terutama kelompok Islam sebagai agama mayoritas di Indonesia. Tidak jarang sebagian masyarakat muslim meyakini bahwa merayakan Valentine adalah Haram. Atau minimal sangat tidak dianjurkan sekali. Seperti pengalaman penulis selama ini.

Memang tidak dapat dipungkiri bahwa banyak orang merayakan valentine selalu diikuti dengan kegiatan - kegiatan yang merugikan diri sendiri. Misalnya pesta narkoba ataupun tindakan lain seperti menyerahkan keperawanan pada pacar laki - lakinya.Semua itu selalu dikaitkan atas nama kasih sayang.

Terlepas dari soal pro dan kontra hari kasih sayang tersebut.
Dalam konteks masyarakat kita (Indonesia). Kasih sayang dalam konteks pasangan manusia selalu sama dengan hubungan heteroseksual. Kelompok lain seperti gay dan Lesbian tidak akan pernah dilihat atas kasih sayang itu sendiri. Padahal kelompok homoseksual juga mempunyai makna sendiri dalam hal kasih sayang.

Tuduhan dan anggapan yang menimbulkan stigma itu masih terus dilontarkan oleh masyarakat, akademisi maupun tokoh agama. Menurut Adrianus Meliala (kriminolog UI, kelompok homoseksual dalam menjalin asmara, kaum homoseks tidak mengenal konsep belahan jiwa. Mereka hanya mengenal konsep pembagian peran yang permanen antara perempuan dan pria . Peran tersebut mereka jalankan sampai mereka (http://swaramuslim.com/galery/more.php?id=6040_0_18_0_m)

Belum tuduhan para akademisi itu semakin dikuatkan oleh para tokoh agama. Tokoh agama yang mestinya meyebarkan kasih sayang kepada semua manusia. Justru menjadi kelompok yang paling "buas" dengan mengunakan tafsir teks alkitab. Untuk meminggirkan kelompok homoseksual. Sejarah Sodom dan Gomorah (Kristen) atau sejarah Luth (Islam) menjadi justifikasi kuat untuk "menebarkan" kebencian kepada kelompok homoseksual tersebut.

Karena tafsir tokoh agama yang sangat partriaki dan heterosentris, dan akibatnya pandangan itu masih "ditakuti" atau diyakini sebagai kebenaran absolute. Agama dalam hal ini sudah kehilangan makna ajaran sebenarnya. Yaitu cinta kasih pada sesama. Pemahaman para tokoh agama ini semakin "dipercaya" oleh umatnya. Ruang kritik terhadap tafsir lain akan dikelompok golongan sesat. Terutama untuk tafsir soal homoseksual yang manusiawi. Padahal bicara soal tafsir ini salah satu bentuk akses kuasa yang sangat kuat dari kelompok tokoh agama terhadap tafsir teks alkitab.
Umat telah disistematiskan pada posisi yang lemah.

Pertanyaan nya benarkah hubungan homoseksual itu tidak mengenal konsep belahan jiwa?? atau tidak punya makna kasih dalam berelasi.

Penulis sebagai bagian dari kelompok gay, menjadi bertanya sendiri. Bukan kah aku suka dan sayang kepada laki - laki juga punya nilai. Aku juga tidak pernah mengerti dan paksakan untuk mencintai orang lain?? Walaupun kadang kita suka dan sayang kepada orang lain dapat dimulai dari tampilan luar. Tapi aku pikir ini juga terjadi pada kelompok heteroseksual maupun homoseksual.

Banyak pasangan gay yang hidup berpasangan bertahun - tahun. Walau harus menika satu sama lain. Karena ruang untuk mengungkapkan kasih sayang di publik bagi pasangan gay sama sekali tidak ada di Indonesia. Kelompok heteroseksual bebas diberikan kebebasan berpelukan, ciuman, bergandengan didepan umum. Begitu juga jalan menuju institusi perkawinan direstui oleh negara. Mau monogami maupun Poigami juga diakomodir oleh negara. Tapi itu semua tidak untuk kelompok homoseksual.

Bukan hanya tidak merestui kasih sayang sesama jenis. Bahkan hubungan kasih sayang itu juga layak dikelompokkan sebagai tindakan pelacuran dan zina. Sehingga dikelompokkan sebagai tindakan kriminal. Seperti pada peraturan daerah di Propinsi Sumatera Selatan dan Kota Palembang soal maksiat.

Sebuah kasih sayang tumbuh dalam diri seseorang itu secara "natural" dan sosial.Yang kadang aku dan teman gay sendiri tidak tahu darimana datang kasih sayang itu.
Apakah ini datang dari Tuhan atau ini hanya sebuah nafsu belaka??. Kalau ini hanya sebagai nafsu saja. Mengapa banyak pasangan gay atau lesbian tidak jarang menjalin hubungan tanpa mengutamakan hubungan badan. Pasangan itu rela berkorban satu sama lain seperti layaknya pasangan heteroseksual. Kasih sayang yang katanya datang dari Tuhan justru harus dihancurkan oleh tafsir - tafsir agama yang justru datang dari pikiran manusia. Dalam hal ini tafsir manusia menempatkan posisi lebih tinggi dari kasih sayang itu sendiri.

Sehingga tidak jarang ada banyak seorang gay harus melakukan tindakan penipuan publik. Tidak pernah jujur bahwa dirinya suka dengan sesama jenis. Bahkan tidak sedikit sebagian gay harus menikah dengan perempuan. Dengan berbagai alasan, salah satunya takut DOSA. Pilihan menikah dengan perempuan memang bukan hal yang salah. Karena setiap orang berhak memilih yang terbaik untuk dirinya. Termasuk untuk menentukan menjadi seorang gay.

Tetapi sayangnya pernikahan dengan perempuan oleh seorang gay sebenarnya tidak dia inginkan secara tulus dari lubuk hati. Semua selalu menjawab dengan alasan klise, supaya ada status sosial, ingin punya anak dan biar masuk surga.
Padahal dari pengamatan penulis masyarakat atas nama agama telah memaksakan kasih sayang kepada pihak lain. Dalam hal ini kelompok homoseksual. Sehingga tidak jarang seorang gay yang menikah dengan perempuan tetap saja berhubungan dengan laki - laki lain. Tindakan ini yang penulis tolak, karena bagian dari kekerasan.

Dalam konteks ini kalau dilihat lebih jauh akan makin banyak orang yang menjadi korban dari pemaksaan itu. Baik gay itu sendiri, istrinya, anak - anaknya dan pasangan gay nya. Semua menjadi korban dari sistem sosial yang sangat heterosentris.
Dalam konteks ini apakah kita akan menggugat Tuhan karena telah "melahirkan" orang menjadi gay? Mengapa Tuhan juga menciptakan kasih sayang antara sesama jenis??

Pada Hari Kasih Sayang ini,mungkin kita semua harus refleksi diri. Bahwa kasih sayang bukan hanya milik kelompok heteroseksual. Tetapi kasih sayang juga ada dalam jiwa - jiwa seorang gay. Ini lah keberagaman cinta. Karena itu lah memang yang diciptakan Tuhan. Perbedaan.
Terima Kasih Tuhan yang telah memberikan kasih pada diri ku. Sebagai seorang gay.


Selamat Hari Kasih Sayang Bagi Semua Makhluk

Wasalam


Toyo
Kalibata, 11 Februari 09

Read more...

Manusia Bebas

>> Minggu, 08 Februari 2009



Ingin menjadi manusia yang bebas. Kalimat itu yang selalu diucapkan oleh Anissa (tokoh utama). Anissa adalah tokoh perempuan pejuang dalam film Perempuan Berkalung Sorban. Film ini diangkat dari novel karya Abidah El Khaleiqy banyak bicara soal perjuangan perempuan.


Perjuangan mendobrak sistem budaya partriaki yang terjadi di Pesantren Salafiah di Jombang Jawa Timur. Pesantren yang menerapkan sistem "traditional" dalam sistem pendidikannya. Latar belakang cerita film ini pada tahun 90 an. Dimana saat kekuatan militer dalam pemerintah Orde Baru (Suharto) yang sangat kuat.

Dalam cerita itu bagaimana perempuan dalam tafsir agama (dalam hal ini Islam) ditempatkan pada posisi sub ordinat (rendah).
Bagaimana Anissa maupun santri perempuan yang lain menjadi manusia nomor dua. Dari mulai dilarang perempuan untuk menjadi pemimpin, perempuan harus bersedia di poligami, dilarang meminta cerai. Sampai yang paling Ironis perempuan dilarang untuk mengetahui pelajaran dari ilmu "diluar" Islam.

Para santri perempuan harus sembunyi - sembunyi untuk dapat membaca pemikiran dari tokoh - tokoh sastra besar Indonesia. Seperti buku - buku tulisan dari Pramoedya Ananta Toer (Bumi Manusia). Karena dinilai buku itu ditulis oleh seorang komunis yang anti Tuhan. Tidak segan sampai harus dibakar buku - buku tersebut karena ketahuan membacanya.

Pada saat menonton film itu mungkin kita berpikir. Apakah seburuk itu kondisi perempuan di dalam pesantren? Sehingga tidak heran ketika Tifatul Sembiring Presiden Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Tifatul Sembiring ikut bersuara. Ia mendukung seruan Imam Besar Masjid Istiqlal Ali Mustafa Yakub agar film itu diboikot.
Ia pun meminta film itu dikoreksi. Menurut nya film itu menampilkan diskriminasi terhadap perempuan yang dilakukan ulama dengan dalih agama, seperti perempuan tidak boleh jadi pemimpin, perempuan tidak boleh naik kuda, perempuan tidak perlu berpendapat dan perempuan tidak boleh keluar rumah tanpa disertai muhrimnya. Sehingga Presiden PKS itu lantas mengimbau agar para pekerja kreatif seperti film lebih berhati-hati dalam melahirkan karyanya bila bersentuhan dengan SARA. "Kalau menurut saya, hal-hal yang berkaitan dengan SARA itu harus hati-hati," pungkas Tifatul..

(http://www.detiknew s.com/read/ 2009/02/06/ 120535/1080533/ 10/tifatul- desak-film- perempuan- berkalung- sorban-dikoreksi)

Sayangnya dalam memberikan komentar film itu. Tifatul belum menonton filmnya. Sehingga Tifatul tidak melihat hal - hal yang lain. Seperti bagaimana pandangannya terhadap Islam yang membolehkan poligami. Bagaimana kondisi perempuan yang mengalami pemerkosaan dalam rumah tangga. Apa komentar Tifatul untuk yang ini? Karena sampai sekarang kalangan PKS "menjunjung" tinggi nilai - nilai itu. Yang meyakini bahwa itu adalah perintah Allah SWT.

Sebenarnya kalau boleh jujur ini lah wajah perempuan Indonesia umumnya. Memang penindasan terhadap perempuan bukan hanya terjadi pada tafsir agama Islam saja. Tetapi diagama - agama yang lain juga perempuan masih ditempatkan sebagai manusia kelas dua. Dibandingkan dengan laki - laki. Walau bentuk - bentuk ketidakadilan nya berbeda - beda.

Film telah membuka mata publik bahwa ini lah yang dihadapi oleh banyak perempuan. Sehingga itu lah yang mendasari lahirnya UU PKDRT di Indonesia salah satunya. Perempuan lebih berani untuk menyatakan hak hidupnya. Tapi lagi -lagi perempuan terjerat dalam lingkup tafsir agama yang sangat kuat dalam lingkup partriaki.
Ironisnya bukan hanya laki - laki tetapi perempuan sendiri juga masih "dirasuki" oleh budaya partriaki tersebut. Seperti yang jelas digambar dalam film itu bahwa masih ada laki - laki yang sangat feminis (suami Anissa yang kedua) dan perempuan yang sangat partriaki (Guru pesantren).

Kita berharap film ini akan membuka dan membangun kesadaran banyak perempuan Indonesia. Untuk lebih berani bersuara dan melakukan tafsir - tafsir ulang teks Alkitab yang misoginis. Seperti yang sudah dilakukan oleh Prof Musdah Mulia, Ciciek Farha, Lies Marcos.
Pengalaman film ini kita berharap dapat mendorong munculnya militansi para perempuan korban kekerasan rumah atas nama agama. Dimana pun berada. Katakan bahwa tidak ada toleransi terhadap kekerasan atas dasar apapun, termasuk tafsir agama.

Dalam hal ini kita minta bukti kepada orang - orang seperti Presiden PKS bahwa Islam itu Ramah terhadap perempuan. Tunjukkan tafsir yang berpihak dan dibaca oleh kaca perempuan. Untuk kepentingan perempuan. Bukan keadilan yang ditafsirkan dengan kaca mata Laki - laki (partriaki). Dan untuk kepentingan laki - laki.

Karena perempuan juga membutuhkan hidup bebas sama dengan laki - laki. Bukan kah ini adalah esensi ajaran agama untuk manusia yang diciptakan oleh Allah SWT.



Salam Pembebasan



Toyo


Mampang, 9 Februari 09




Read more...

Bukan Gay Saja Yang Harus Baik dan Pintar

>> Kamis, 05 Februari 2009

Gay itu ternyata ada juga yang pintar nya. Lebih kurang ini kalimat yang disampaikan dari salah seorang pengunjung blog ini. Aku tergelitik dengan kesimpulannya terhadap gay. Aku tidak tahu pandangan pengunjuang blog ini terhadap gay selama ini. Memang disisi lain suatu pandangan yang "positif" untuk kelompok gay. Tapi sebenarnya dibalik itu masih ada persoalan cara pandang yang beda terhadap dunia gay. Walau pengunjung ini tanpa mengungkapkan itu.

Sebenarnya cara pandang itu bukan yang pernah aku dapat. Sering sekali teman - teman atau orang - orang kalau diskusi soal gay dan waria dengan aku. Kebanyakan menyimpulkan bahwa waria itu adalah orang yang kreatif dan penuh ide - ide. Banyak contoh yang diberikan kepada ku tentang waria - waria atau gay yang sukses dalam dunia salon dan kecantikan ataupun karir lainnya.

Untuk gay selalu dilekatkan dengan sebutan bahwa gay itu orang pintar - pintar dan banyak yang sukses. Suka humor, selalu gembira dengan teman - teman gay dan waria. Tiada hari tanpa tertawa. Sehingga hal ini yang banyak dianggap suatu yang positif dari diri waria dan gay tersebut. Benarkah semua gay dan waria itu begitu? Bagaimana jika ada seorang gay dan waria yang tidak seperti itu?

Memang disisi lain ada benarnya tanggapan itu kalau melihat fakta. Bahwa gay banyak yang jadi pejabat atau sukses dalam pendidikan dan karier, suka humor, baik hati dan label lainnya.

Tapi pertanyaannya apakah tidak ada gay yang miskin, bodoh, tidak sukses, tidak berpendidikan dan tidak kreatif? Sanjungan terhadap waria dan gay yang mengeneralkan tersebut justru menjadi persoalan baru bagi kelompok gay sendiri.

Bukankah keberhasilan seseorang itu didapat bukan karena orientasi seksualnya. Tetapi karena usahanya sendiri. Jadi siapa saja dapat berhasil berkat kerja kerasnya bukan karena orientasi seksual nya.

Memang harus diakui bahwa waria banyak yang kerja untuk bidang kecantikan dan model yang sukses. Dan ini merupakan kontribusi yang luar biasa bagi Indonesia.
Tetapi kesuksesan waria ini lebih disebabkan oleh banyak faktor salah satunya kontruksi sosial yang menempatkan waria pada ruang itu saja. Sehingga tidak sedikit waria harus bekerja maksimal dengan segala keterbatasannya.

Tidak jarang para aktivis LGBTIQ sendiri mengatakan bahwa sebagai seorang homoseksual harus pintar - pintar bergaul dengan orang lain. Aku jadi kaget dengan pernyataan itu. Bukan kah persoalan pintar bergaul dan berbuat baik kepada orang lain harus dilakukan oleh semua orang? Mau dia homoseksual atau heteroseksual ya harus berbuat baik pada siapapun.

Sangat tidak adil kalau homoseksual selalu dibebani untuk selalu berbuat baik. Sepertinya homoseksual itu manusia yang aneh dari planet lain. Yang harus selalu di ingatkan untuk berbuat baik kepada orang lain. Padahal soal baik dan buruk juga bisa terjadi oleh siapapun.

Kembali kepersolan awal. Seorang gay memang harus pintar dan terus belajar. Tapi soal pintar bukan hanya diharuskan oleh seorang gay. Tapi oleh setiap orang tanpa melihat latar belakangnya.

Mungkin saja seorang gay menjadi pintar dan sukses karena merasa dirinya ada kekurangan sebagai seorang gay. Karena tidak jarang kelompok gay sendiri menganggap homoseksual itu adalah sebuah "kecacatan". Karena dianggap kecacatan justru memicu seorang gay bekerja dan belajar maksimal. Sebagai bentuk menutupi kecacatan tersebut. Ini ironis sekali. Fakta ini banyak sekali dialami oleh seorang gay.

Sampai sekarang ini. Pertanyaannya apakah semua orang untuk bisa menjadi baik dan pintar itu harus distigma dahulu?? Misalnya dengan label kecacatan atau penyimpangan?? Seperti yang dialami oleh kebanyakan gay sekarang ini.


Tanpa sadar sanjungan ataupun pujian yang kita berikan pada orang lain justru kadang menempatkan kelompok itu sebagai the others.


Wasalam


Toyo

Kalibata, 5 Februari 2009


Read more...

Keblinger Soal HIV dan AIDS

Apabila bicara soal homoseksual maka akan menyamakan dengan penyakit menular. Dalam hal ini HIV dan AIDS. Pandangan itu karena dipengaruhi sebuah kesimpulan mengenai penyebab penyakit HIV dan AIDS salah satunya anal sex. Walau semua kita paham bahwa anal sex bisa juga dilakukan oleh heteroseksual. Tetapi paradigma orang bahwa anal sex sama dengan homoseksual. Apakah kelompok homoseksual lebih banyak melakukan anal sex dibandingkan dengan heteroseksual? Masih perlu dilakukan kajian lebih dalam untuk ini.


Belum lagi bicara homoseksual, maka kita akan bicara soal orientasi seksual. Homoseksual sendiri ada yang lesbian (perempuan) dan gay (laki - laki). Sehingga menyimpulkan bahwa anal sex = homoseksual juga sebuah kekeliruan yang sangat fatal. Karena prilaku seksual anal sex itu hanya dapat dilakukan oleh pasangan gay, tidak untuk lesbian. Selain itu heteroseksual juga bisa melakukan anal sex seperti yang aku paparkan diatas.

Jadi jelas bahwa anal sex adalah menyangkut soal prilaku seksual seseorang sedangkan homoseksual dan heteroseksual adalah menyangkut orientasi seksual. Itu adalah dua hal yang sangat berbeda sekali.

Memang selama ini para pekerja AIDS maupun pemerintah membuat membuat kesimpulan kurang tepat. Seperti yang ditulis berita berikut ini dalam media bahwa ada 1.310 kasus HIV/AIDSyang tercatat pada Juni 2005, kasus yang berasal dari homoseksual dan transeksual (gay/ waria) hanya 2%, jauh dibandingkan dengan kaum heteroseksual (18%) dan penyalah guna napza suntik (61%)[1].

Angka nya memang lebih kecil untuk homoseksual dibandingkan dengan heteroseksual.
Tapi ini fatal sekali sekali dengan menyebutkan homoseksual. Karena mesti dijelaskan lagi bahwa yang mengakibatkan penularan HIV dan AIDS adalah tindakan atau prilaku seseorang. Bukan pada orientasi seksual nya.

Belum lagi kalau disebutkan anal sex = aids. Itu juga sebuah kekeliruan lagi. Bahwa jika seseorang apabila melakukan anal sex baik heteroseksual maupun anal sex bisa aman dari penyakit menular jika dalam berhubungan menggunakan kondom dan pelicin yang benar. Memang seperti yang selalu dikampanye selama ini bahwa AIDS dapat dicegah yang pertama tanpa melakukan hubungan sex (misalnya secara penetrasi), kedua setia pada pasangan, ketiga menggunakan kondom. Kampanye ini digunakan bagi kelompok yang melakukan sex aktif. Sex aktif juga bisa terjadi oleh siapapun, bukan pada orientasi seksualnya.

Banyak juga laki – laki yang menjadi pelanggan - pelanggan “waria” itu umumnya adalah laki - laki yang tidak mau dikelompokkan sebagai homoseksual. Mungkin ini karena homoseksual dianggap rendah dimata masyarakat.

Jadi aku pikir kalau melihat kesimpulan mengenai penyakit HIV dan AIDS harus kritis.
Sampai sekarang saja kita selalu memisahkan antara identitas gender, laki - laki, perempuan dan Waria. Padahal aku sendiri juga mau tanya mana yang disebut waria? Itu yang masih belum jelas sampai detik ini. Pengelompokan identitas gender itu berdasarkan apa? Ini hal yang rumit lagi mesti dibahas.

Mudah – mudahan informasi ini bisa membantu untuk melihat persoalan HIV dan AIDS lebih adil. Sehingga aku tegaskan sekali lagi bahwa penyakit HIV dan AIDS itu adalah suatu penyakit menular yang bisa masuk kepada siapapun. Tidak melihat latar belakang agama, jenis kelamin, etnis, ras, orientasi seksual, status sosial, ekonomi, pendidikan dsb. Penularan nya bisa bermacam – masam seperti hubungan seksual yang tidak aman (seperti melalui anal, vagina), jarum suntik, air susu dan tranfusi darah darah.
Itu semua bisa dicegah dengan beberapa cara, salah satunya menggunakan kondom yang benar.

Jadi mulai sekarang buang jauh – jauh menyimpulkan HIV dan AIDS dengan identitas tertentu seseorang.

Salam


Toyo

Kalibata, 5 Feb 2009

[1] http://www.mail-archive.com/wanita-muslimah@yahoogroups.com/msg03998.


Read more...

Gay VS Pesantren

>> Selasa, 03 Februari 2009

Pada saat Aku datang ke Banda Aceh atas undangan salah satu LSM di Banda Aceh. Ini adalah kedatanganku pertama setelah persidangan kasus ku bulan Oktober 08.
Kedatangan kali tanggal 26 Januari 2009.

Jadwal kedatangan kali ini bertepatan dengan jadwal pelatihan teman - teman Violet Gray. Violet Gray adalah satu LSM yang memperjuangkan hak - hak kelompok LGBTIQ di Aceh. Teman - teman menyebutnya VG lembaga tersebut. VG sendiri berdiri sekitar tahun 2007.


Pelatihan kali ini temanya soal hak asasi manusia dan homoseksual. Pelatihan dimulai tanggal 26 Januari - 30 Januari 09. Pesertanya juga teman - teman gay yang ada di wilayah Aceh. Walau ada peserta perempuan yang lainnya. Seperti dari LSM Perempuan dan perempuan ODHA yang ada di Banda Aceh. Dan juga dihadiri oleh 2 orang dari LSM Medan yang fokus untuk isu HIV dan AIDS (Sahiva). Pelatihan ini dibantu oleh Ayie (Dosen FT Unsyiah)dan Leila, Norma (Staff RPUK). Ketiganya adalah aktivis perempuan yang selama ini yang banyak mensupport kegiatan teman - teman VG.

Aku tidak banyak bisa mengikuti pelatihan kali ini. Dan memang aku juga tidak ada jadwal untuk mengikutinya. Oh ya selain itu Ienes Angela (Waria) dari Yayasan Srikandi Sejati Jakarta juga hadir. Panitia sengaja mengundang Ienes untuk hadir ke Banda Aceh sebagai narasumber. Dan ini adalah kedatangan pertama Ienes ke kota Serambi Mekkah. Kedatangan Ienes diharapkan oleh panitia dapat memberikan support pada teman - teman waria di Banda Aceh.

Aku sampai di Banda Aceh pada sekitar pukul 14.00 WIB. Setelah aku istirahat aku menyempatkan waktu untuk datang kepelatihan tersebut. Sambil aku juga memberikan beberapa buku pesanan teman - teman VG. Buku soal seksualitas dan HAM.

Setelah makan malam bersama dengan peserta yang lain. Aku baru mengetahui kalau ternyata "pacar" ku ikut sebagai peserta juga. Syukur lah Bobby sudah mau bergabung dengan teman - teman gay di Aceh. Apalagi sudah gabung dengan LSM yang mau memperjuangkan hak - hak nya. Minimal ini sudah menjadi perkembangan yang bagus bagi diri bobby sendiri. Sebagai cara untuk menguatkan diri nya sendiri setelah kejadian penyiksaan yang dialami bersama ku pada tahun 2007.

Sempat aku hampir tidak mengenali nya. Karena badan nya yang lebih besar dan wajahnya lebih bersih. Tapi rupanya Bobby sudah mengetahui kedatangan ku. Sehingga dia sempat tidak mau menemui aku. Bahkan tidak mau mengikuti pelatihan malam itu alasan sakit. Tapi atas bantuan Leila aku akhirnya dapat menemui nya. Dan aku diskusi biasa saja dan sempat mendiskusikan hal - hal yang berkaitan dengan kasus yang kami alami berdua. Setelah itupun kami masuk keruang pelatihan untuk mengikuti proses pelatihan bersama teman yang lain.

Malam itu acara difasilitasi oleh Norma. Aku ketinggalan masuk. Teman - teman sudah memegang satu lembar kertas putih. Dan semua nya sedang sibuk mencoret - coret kertas putih tersebut. Kemudian aku bertanya sedang melakukan apa? Norma pun menjelaskan kepada ku dan Bobby untuk menggambarkan perjalanan hidup dari mulai kecil sampai sekarang. Jadi judulnya adalah Sungai Kehidupan.

Aku pun mulai menggambarkannya. Setelah selesai masing - masing peserta diminta untuk saling memaparkan gambar nya sambil menceritakanya pengalaman masing - masing. Satu demi satu teman - teman menceritakannya.

Sampai giliran salah seorang temanku laki - laki. Nama nya Anto (nama samaran). Anto seorang gay. Dia bekerja di salah satu Lembaga International di Banda Aceh. Selama ini Anto juga salah satu orang yang banyak membantu VG. Walaupun dia bukan membantu secara full time. Tapi kontribusi dan banyaknya jaringan LSM yang dimiliki banyak membantu gerakan VG di Aceh.

Anto adalah seorang putra Aceh yang lahir dan besar di Aceh. Walau sempat sekolah di Medan. Tapi masa kecil nya dihabiskan di Aceh. Dia mempunyai kemampuan bahasa Inggris dan Bahasa Arab yang baik. Karena itu juga lah dia dapat bergabung dilembaga asing.

Aku kenal Anto memang sejak aku datang ke Banda Aceh setelah Tsunami sekitar bulan Oktober 06. Sebelumnya aku sudah kenalnya melalui millis di Aceh. Aku beberapa kali ketemunya dan saling diskusi waktu aku masih di Aceh. Aku tidak banyak tahu soal latar belakang nya. Karena memang selama ini kita lebih banyak diskusi soal gerakan perempuan dan sedikit isu gay.

Hanya aku tahu dia seorang gay yang belum begitu terbuka dengan teman - teman di Aceh. Mungkin ini karena pilihan yang diambilnya untuk memudahkan kerja - kerjanya di Aceh. Walau ada sebagian aktivis yang tahu identitasnya.

Pada malam itu lah aku jadi banyak tahu latar belakang Anto. Terutama soal pengalaman seksualitasnya. Pada saat Anto menyampaikan gambar kehidupannya.
Anto dilahirkan di Aceh sampai SMU. Pada masa anak - anak dia pernah beberapa kali pelecehan seksual bahkan pemerkosaan. Yang dilakukan oleh seorang laki - laki dewasa kepada dirinya. Waktu itu Anto tidak tahu harus bicara dengan siapa.

Pengalaman hidup nya itu membuat dia tumbuh dalam kondisi yang trauma dan marah. Bahkan bukan cuma orang lain. Paman nya sendiri pernah melakukan pelecehan seksual kepada dirinya. Anto terus tumbuh dan merasa salah dan kesal dengan perlakuan orang - orang terhadap diri. Kejadian itu tidak pernah Anto ceritakan kepada siapapun.

Rasa marah dan rasa berdosa pun menghantui diri sendiri. Akhirnya dia memutuskan untuk mondok di pesantren Aceh. Selain Anto akan menghapus masa kelam nya tetapi juga untuk mendekatkan diri pada Tuhan. Anto berharap di pesantren akan terhindar dari pelecehan seksual. Dan dia sendiri akan merasa lepas dari dosa - dosa selama ini. Simple nya akan mendapatkan pencerahan dan kehidupan yang baru. Serta yang lebih penting tidak akan ada orang lagi melecehkan diri nya. Itu yang ada dalam pikiran Anto waktu itu.

Anto pun masuk Pesantren. Pesantren itu adalah pesantren yang semua nya adalah santri laki - laki. Memang di pesantren sangat tegas sekali bahwa hubungan sesama jenis dilaknat oleh Tuhan. Itu yang selalu ditegaskan oleh para guru nya. Dan santri - santri sudah paham semua nya.

Dari situasi yang ketat sekali dipesantren. Ternyata Anto menemukan pemandangan yang lebih parah dari luar. Dipesantren Anto sering menemukan hubungan sejenis terjadi. Anto berpikir kenapa di pesantren justru lebih banyak Anto temui kejadian ini. Ada yang dilecehkan tetapi ada juga yang suka dengan suka.

Maksud untuk keluar dari pelecehan seksual ternyata tidak Anto dapatkan. Anto justru sering sekali mendapatkan pelecehan - pelecehan seksual tersebut. Bahkan Anto pernah diikat oleh senior sambil digagahi tubuhnya. Anto marah dan kesal dengan tindakan di pesantren ini. Malah bukan hanya kakak senior tetapi pernah seorang guru nya juga melakukan pelecehan seksual terhadap dirinya. Anto memang memiliki wajah yang manis sekali. Tapi semanis apapun seseorang tidak berhak untuk dilecehkan. Anto sama sekali tidak menikmati pelecehan tersebut.

Dalam kondisi suara yang parau Anto kemudian mengakhiri ceritanya. Sambil mengatakan bahwa bukan jawaban lembaga pesantren untuk kita "terbebaskan" dari pelecehan seksual . Ternyata pesantren bukan lah semata - mata jawabannya. Tidak selalu pesantren menjadi tempat yang aman bagi diri nya maupun bagi anak - anak yang lain. Anto tidak tahu apakah karena santrinya laki - laki semua dan selalu bersama - sama.


Dan malam ini Anto melalui proses yang panjang akhirnya paham soal apa itu homoseksual. Dimana Anto harus memperjuangkan hak diri nya sendiri. Anto tidak mengatakan bahwa dirinya "menjadi" sekarang ini karena trauma masa kecil dan di pesantren. Karena setelah keluar dari pesantren Anto sampai dua tahun kebelakang ini masih saja memutuskan untuk menikah dengan cewek. Untuk bersama dengan laki - laki tidak terpikirkan oleh Anto selama ini.

Tapi ini adalah sebuah proses panjang yang Anto cari selama dua tahun ini.
Pemikiran Feminis dan perjuangan hak asasi manusia selama ini memberikan banyak pemahaman bagi dirinya. Termasuk untuk sadar dan bangga sebagai seorang gay.
Sambil meneteskan air mata, Anto mengatakan bahwa sekarang dia bangga dapat memberikan kontribusi pada VG untuk gerakan gay di Aceh maupun dunia.

Teruskan perjuangan mu sobat.............


Wasalam


Toyo

Kalibata, 3 Februari 09

Read more...

Diskusi Pernikahan Beda Agama

>> Senin, 02 Februari 2009

Pada tanggal 31 Januari 2009 telah dilakukan beda buku soal Perkawinan Beda Agama yang tulis oleh Muhammad Munif dan Ahmad Nurkholis. Buku ini diterbitkan oleh Gramedia Pustaka. Buku ini ditulis didasari dari pengalaman penulis tentang pengalaman pernikahan nya (Ahmad Nurkholis). Nurkholis ini adalah putra dari cendekiawan muslim Indonesia ( Nurkholis Madjid).

Acara beda buku menghadirkan Prof Musdah Mulia (Muslim), Pendeta Saut Sirait ( Kristen) dan Bapak Herman (pemuka agama Budha) sebagai pembedah.
Sedangkan pelaksana kegiatannya adalah Kompas Gramedia dan ICRP di Istora Senayan bersamaan dengan acara pameran buku yang diselenggarakan oleh Kompas Gramedia dari mulai tanggal 28 Januari - 1 Februari 2009.

Awalnya aku berpikir bahwa acara ini akan dihadiri oleh banyak LSM penggiat HAM dan pluralisme. Waktu itu aku datang terlambat ke ruangan. Karena sebelumnya melihat - lihat stand buku murah digedung pameran. Waktu menunjukkan pukul 14.30 WIB, aku pun mencari dimana ruangan diskusi Beda Agama ini dilaksanakan.

Akhirnya aku sampai disatu barisan orang yang panjang sedang mengantri masuk di ruangan Kenanga 4. Awal nya aku pikir apakah ruangan ini yang dijadikan tempat diskusi. Tapi kenapa pesertanya kebanyakan dari teman - teman etnis tionghoa dan beberapa pasangan yang aku yakin sekali mereka dua orang yang berbeda latar belakang agama. Misalnya ada yang laki - laki wajah "jawa" dengan perempuan berwajah tionghoa. Dan ada perempuan menggunakan simbul kristen dan dengan laki - laki yang sedikit menunjukan bahwa dia adalah muslim. Pokoknya agak beda aura peserta yang selama ini aku ikuti.

Aku semakin yakin bahwa ini adalah ruangan diskusi nya. Setelah aku tahu bahwa di meja ada buku pernikahan beda agama. Kemudian aku bertanya kepada penjaga meja benarkah ini tempat diskusi publik tersebut? Panitia menjawab bahwa benar ini ruangan diskusi nya.

Wow, aku pikir keren banget ini diskusi banyak dihadiri oleh banyak orang. Dan yang membuat aku senang tidak satu orang pun yang antri itu aku kenal. Terus aku berpikir kenapa teman - teman LSM tidak banyak yang hadir ya. Setelah aku masuk ruangan, sempat melihat - melihat teman yang hadir dalam ruangan tersebut. Baru aku menemukan ada teman - teman ICRP yang hadir.

Umumnya yang aku lihat peserta nya adalah orang - orang berpasangan (laki - laki dan perempuan). Yang sangat mungkin sekali mereka umumnya pasangan atau mungkin sedang pacaran. Termasuk orang - orang yang duduk disebelah bangku ku, baik di depan maupun di samping kanan dan kiri ku. Wah kok pada pasangan semua ya, pikirku.
Kemudian aku berpikir ini pasti adalah pasangan - pasangan yang mempunyai keyakinan yang berbeda. Memang umumnya adalah anak - anak muda. Walau ada sebagian yang sudah tua.

Acara di mulai sekitar pukul 15.15 WIB, telat 15 menit dari yang sudah direncanakan. Acara dimulai dengan penyampaikan pandangan dari Gramedia alasan mengapa mau menerbitkan buku ini. Intinya menurut Gramedia bahwa pandangan sesuatu itu bukan yang mutlak. Dapat dilihat kembali dalam konteks ruang dan waktu.
Dalam hal ini termasuk soal pandangan pernikahan beda agama. Pihak Gramedia sendiri juga mempersilakan bagi orang - orang yang ingin menuliskan pandangan pernikahan beda agama yang dari versi lain, misalnya ingin membantah buku ini. Untuk dapat mengirimkan naskah nya kepada Gramedia. Kalau memang baik dan layak diterbitkan Gramedia akan menerbitkan.

Pada saat awal sesi diskusi, dua orang penulis memaparkan soal alasan mengapa membuat buku ini. Intinya penulis bicara pengalaman dan pandangan yang lain soal pernikahan beda agama. Bahwa Islam mempunyai beberapa pandangan soal pernikahan beda agama tersebut. Fatwa yang diharamkan oleh MUI dan didukung dengan tidak diakomodir oleh pemerintah terhadap pernikahan beda agama. Situasi ini membuat banyak pasangan beda agama yang bingung dan tidak tahu harus berbuat apa. Banyak dari pasangan itu "menipu" pemerintah. Dengan cara berpura - pura salah satu masuk ke dalam agama pasangannya. Walau ini bukan tidak bijaksana dan bukan pilihan yang baik menurut salah seorang peserta yang hadir.

Ini juga dikuatkan oleh Ibu Musdah bahwa sebenarnya dalam Islam ada 3 pandangan dalam soal pernikahan beda agama ini.
Pandangan pertama bahwa pernikahan beda agama diharamkan.Pandangan pertama ini lah yang "banyak" diyakini oleh ulama di Indonesia. Sehingga pemerintah Indonesia juga jadi ikut - ikutan dengan aturan itu. Misalnya MUI semakin menguatkan dengan membuat Fatwa Haram bagi pernikahan beda agama. Tapi pendapat MUI juga berubah - ubah. Misalnya MUI DKI sebelumnya (sekitar tahun 98) mengeluarkan fatwa dibolehkan nya pernikahan beda agama. Tetapi kemudian pada tahun 2001 MUI DKI mengeluarkan kembali fatwa bahwa pernikahan beda agama itu diharamkan.

Kedua pernikahan beda agama dibolehkan asalkan yang laki - laki muslim dan perempuan non muslim. Tetapi akan haram jika berlaku sebaliknya. Pandangan seperti ini menurut Ibu Musdah pandangan yang sangat bias gender. Karena kalau laki -laki yang non muslim dikuatirkan anak - anak nya akan mengkuti agama ayah nya.
Padahal menurut hasil penelitian bahwa pasangan beda agama, kebanyakan anak - anaknya agamanya akan ikut agama ibu nya. Jadi kalau alasan karena takut agama nya ikut bapaknya maka argumentasi ini jadi tidak relevan. Sambil guyon ibu Musdah mengatakan kalau hanya mau memperbanyak umat melalui perkawinan, ya mestinya perempuan nya lah yang muslim dan laki - laki non muslim.

Pandangan ketiga adalah bahwa pernikahan beda agama itu boleh dilakukan oleh siapa saja. Baik laki - laki muslim dengan perempuan non muslim atau sebaliknya. Karena menurut Ibu Musdah bahwa yang lebih penting adalah perkawinan itu tidak boleh poligami, karena traffiking, perkawinan anak, nikah sirih atau karena motip lainnya seperti motip ekonomi.

Kalau melihat UU No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan sebenarnya menurut Ibu Musdah masih ada sebagian ulama dan pemerintah yang berbeda pandangan menafsirkan pasal 2 UU tersebut. Memang sebagian ulama dan pemerintah melarang perkawinan beda agama tersebut. Tetapi dari pengalaman penulis (Ahmad Nurkholis) ada sebagain petugas catatan sipil di DKI yang mau mencatatkan perkawinanan beda agama. Memang tidak banyak yang mau melakukan itu.

Persoalan yang lebih besar menurut ibu Musdah mestinya pemerintah menempatkan diri sebagai pelayan rakyat. Jadi pemerintah bertugas mencatatkan siapa saja yang melakukan pernikahan dengan syarat yang sudah disebutkan diatas tadi. Jadi posisi pemerintah bukan untuk mensyahkan atau tidak sebuah perkawinan.

Kalau menurut Pendeta Saut Sirait dari pandangan Kristen bahwa tidak ada yang jelas untuk larangan atau membolehkan perkawinan beda agama. Jadi intinya dalam Kristen pernikahan beda agama sendiri tidak menjadi persoalan. Karena yang paling penting adalah bagaimana menebarkan cinta dengan pasangan dengan tulus. Cinta itu tidak tidak pernah bersyarat, artinya cinta datang dalam diri seseorang tidak pernah membedakan latar belakang seseorang. Dia datang begitu saja (natural). Termasuk perkawinan sejenis (homoseksual) juga tidak masalah dalam ajaran Kristen menurut pandangan pendeta Saut Sirait.

Pendapat ini semakin dikuatkan lagi oleh tokoh Budha bapak Herman, yang menegaskan dalam ajaran Budha bahwa perkawinanan adalah persoalan masyarakat. Ajaran Budha tidak mengatur soal perkawinan umat nya. Sehingga Bikshu tidak akan mengatur atau menikahkan soal perkawinanan dan tata cara nya. Perkawinan akan diatur oleh tokoh masyarakat Budha yang biasa disebut dengan Pandita. Begitu juga pandangan perkawinan sejenis ajaran Budha tidak pernah membahas soal itu.
Budha sendiri pernah menghadiri sebuah pernikahan beda agama. Dan Sang Budha pada saat hadir mendoakan pasangan tersebut untuk membangun rumah tangga yang baik.

Sebenarnya itu juga yang ditegaskan oleh Ibu Musdah bahwa dalam ajaran Islam ada 3 hal:
- Soal Aqidah, yaitu menyangkut soal ketuhanan dan kenabian
- Soal Ibadah , yaitu hubungan manusia dengan tuhannya misalnya soal puasa dan sholat.
- Soal Muammalah, yaitu hubungan manusia dengan manusia yang lainnya.
Dalam konteks perkawinan masuk dalam soal Muammalah. Sehingga dalam ilmu - ilmu fiqih, persoalan pernikahan ada dalam BAB Muammalah bukan pada Bab Ibadah ataupun Aqidah.

Pada sesi tanya jawab, salah seorang peserta yang kebetulan anak nya pernah dibantu dinikahkan beda agama oleh Munif. Sempat komplain dan menyampaikan telah meracuni anak nya menikah beda agama. Sempat terjadi debat panjang antara penulis dengan penanya. Tapi Munif menegaskan bahwa dia tidak pernah mengundang anak bapak tersebut untuk hadir kepadanya. Dia hanya membantu persoalan yag dihadapi oleh anak bapak tersebut. Selain itu bapak itu juga komplain dengan Gramedia yang telah menerbitkan buku ini. Dan dengan tegas akan menempuh jalur hukum untuk dapat menarik buku tersebut beredar dipasaran.

Kemudian Ibu Musdah menjawab bahwa siapapun berhak untuk keberatan dan tidak setuju dengan buku ini. Itu hak setiap orang termasuk bapak. Kalau memang mau melakukan jalur hukum, dipersilakan karena itu hak setiap orang. Tapi ibu Musdah menekankan bahwa jangan lupa bahwa ada orang lain juga yang mungkin berbeda pendapat dengan bapak. Dan mungkin juga akan menempuh jalur hukum agar buku ini dapat beredar dipasaran.

Pendeta Saut Sirat menambahkan atas pertanyaan tersebut, kalau bapak tidak setuju dengan buku ini. Sebaiknya lakukan bantahan dalam bentuk buku juga. Jadi menjadi perdebatan yang kritis dan membangun. Dan kemudian minta pihak Gramedia untuk menerbitkannya. Pihak Gramedia sendiri sejak sudah menjelaskan bahwa bersedia menerbitkan buku "tandingannya" Jadi ini menurut pendeta Saut lebih fair dengan ketidaksetujuan bapak.

Walau ada beberapa orang yang tidak setuju, tetapi umumnya pengunjung justru yang hadir adalah orang - orang yang memang membutuhkan informasi ini. Ini ditunjukkan beberapa kali tepuk tangan oleh pengunjung apabila Ibu Musda memberikan jawaban yang menunjukkan kepuasan pada peserta.
Yang mungkin menurut pengunjung sangat rasional dan tepat sasaran.

Selain itu pada saat selesai para pembicara terutama Ibu Musdah dan Munif menjadi "selebritis" karena banyak peserta meminta tanda tangan dan no kontak kedua tokoh ini. Bahkan banyak yang photo bersama dengan Ibu Musdah, diluar jalur ya cerita nya.

Memang terlihat jelas sekali ada banyak orang diluar sana yang sangat membutuhkan informasi soal pernikahan beda agama ini. Mungkin selama ini ulama - ulama dan masyarakat selalu memberikan pandangan yang sama. Bahwa menikah beda agama itu haram. Sehingga orang - orang yang hadir itu mendapatkan satu pencerahan dan sangat berbeda dari pandangan banyak orang. Aku sempat berpikir "kasihan" sekali teman - teman dan orang - orang diluar "haus" akan orang - orang yang mau berjuang untuk hak - hak mereka (soal beda agama).
Pemerintah mesti nya melihat fakta yang ada bahwa ada banyak warga negara tidak mendapatkan hak menikah hanya karena berbeda agama.

Diskusi kali ini memang luar biasa sukses aku katakan. Karena peserta bukan hanya kelompok LSM tetapi justru orang - orang yang mengalami persoalan itu sendiri. Selain itu juga ada dihadiri oleh orang - orang yang tidak setuju perkawinan beda agama. Ini menjadi dialog yang efektif sekali dan membangun satu sama lain.

Mungkin kedepannya bagi teman - teman yang selama ini melakukan kampanye isu - isu HAM, gender, seksualitas dan pluralisme. Untuk dapat mengambil kesempatan dan masuk ke even - even yang populis ini. Seperti pameran - pameran yang diselanggarakan oleh kalangan perusahaan. Ini akan menambah pengetahuan bagi pihak lain yang mungkin sekali sangat dibutuhkan. Jadi tidak hanya diskusi dikalangan LSM lagi. Biasanya kita kan buat even pembicara nya orang LSM, pesertanya LSM dan yang kerja LSM. Jadi seperti ONANI lah .


Wasalam


Toyo
Mampang, 2 Februari 09

Read more...